Nurel
Javissyarqi **
Judul: Dunia
Kecil; Panggung & Omong Kosong
Penulis: A. Syauqi
Sumbawi
Penerbit: Pustaka
puJAngga, Lamongan
Tahun
Terbit: 11 September 2007
Tebal
Buku: 219 halaman
Judul sangat tepat nan penuh
daya pikat serta mampu mewakili keseluruhan isi kepala cerita; tampak ada dunia
yang dipaksakan masuk, namun tak menjadikan ilustrasi pemerkosaan. Suatu
kesengajaan yang melampaui batas, tapi masih bisa dianggap tahap kenormalan.
Ketika Dunia Kecil berbicara; inilah alam raya lorong panjang penuh kejutan
mengasyikkan, dengan sajian dan penyajiaan yang tak membosankan. Ada jenis
kamus tebak-tebakan, kadang mengena dan sekali tempo diplesetkan menjadi
gurauan kecil yang pasti tak mencederai saat jatuh kecelakaan dalam setengah
sengaja, pun sesuatu yang mengsle dari engsel-nya, tetapi tetap berbentuk dunia
alit pemikiran, sebab perhatian sangat, menentukan keadaan, kehadiran di luar
realitas kebanyakan pembaca alam kehidupan.
Sapaan ini ditulis saat
menanti waktu pementasan naskah teater karya saya di kampus Universitas Negeri
Jember, garapan Teater Tiang dengan sutradara Tomtom, yang bertitel “Zaitun,
Cahaya di atas Cahaya” dari buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” [Cet 1 Mei
2001, PUstaka puJAngga (PuJa) dan FKKH Yogya, Cet ke 2 Jan 2006, PuJa dan
Lintang Sastra Yogya]; ada semisal kebertemuan waktu di mana membaca manuskrip
novel ini. Dunia Kecil serupa waktu pendendam, atau suara-suara lantang
dibicarakan sebab dari ke-tirakat-an mendiamkan diri dalam dunia terpencil,
sebuah wilayah tidak terjangkau, daerah terlarang, ruang rahasia, namun kini
mulai menampakkan diri sebagai hal pembuka saat suara-suara keinginan tak
terbendung; kebertemuan itu batas tak bersisa antara dunia luar dengan dunia
terowongan ganjil.
Ini novel sepenggal cermin
utuh di panggung kehidupan; ada saatnya manusia dalam tahap kesadaran ingin
diperhatikan sebagai pemain dan di mana ia menanti jalannya cerita memanggil
dirinya tampil kembali dengan ritme-ritme kesadaran penataan batin, pengolahan
waktu, di samping butuh ornamen pembantu agar dunia panggung benar-benar telah
melewati beberapa latihan seperti kesabaran, usaha keras, ketajaman menganalisa
sebelum menjadi wacana publik. Penantian sangat penting dengan mengolah batin,
menajamkan rasa, dan gerak-gerak lincah itu berasal dari beberapa latihan
trampil, mempertimbangkan dan membuka segala jalur kemungkinan agar jenis-jenis
kelemahan bisa diatasi lewat beberapa akrobat jitu nan memukau; saudaraku A.
Syauqi Sumbawi menjaga intensitas kemungkinan amat mengagumkan tersebut,
bagaimana ia membolak-balik perkara dari yang lemah menjadi lincah, yang berat
ditekuk begitu mudah, dan diciptakannya ruang meditatif pembeda dari keseharian
yang lumrah, privasi cantik ‘kan dipanggil-panggil dari segenap penjuru untuk
berbagi.
Saat pembacaan sampai
seperempat manuskrip novel ini, saya merasakan kekaguman luar biasa. Daya tutur
penceritaannya seperti Hermann Hesse yang kalem, tidak securiga Jostein
Gaarder, namun masih kuat membangun rasa penasaran. Ada kemiripan Alan Lightman
membuat filosofis pada hitungan-hitungan masa. Setidaknya kekaguman ini
melebihi kedekatan selama ini; sebagai teman keseharian, kayaknya di luar nalar
kami saat berdialog di warung kopi. Itulah dunia imajinya yang melampaui batas
percakapan yang pernah beredar di angkringan.
Membaca Dunia Kecil, kayak
melihatmu yang lain sahabat, di luar fisikal. Ini dunia kepala kita; manusia. Jangan-jangan
pembaca tulisan saya pun berkata sama; realitas yang tersampaikan lewat
kata-kata, dunia kecil, pikiran, dan khayalan di setiap kepala insan. Ada
langkah-langkah penuh kesadaran sebagai makhluk pilihan; hidup berpilihan
sendiri. Membaca omong kosong bukan membuang waktu percuma, menyebut ini
kemampuan berani tanpa harus suntuk dengan aturan hukum yang membuat mandul.
Dan kota kami mempunyai semuanya jika membaca tak sekedarnya.
Dunia Kecil memang seolah tak
memiliki harapan, namun terlampiaskan di sana; pembaca akan mendapatkan
harapan-harapan itu melewati terowongan pikiran masing-masing. Inilah harapan
satu-satunya yang paling jitu sebagai keagungan sebuah karya yang memberi banyak
inspirasi para pembacanya. Karya ini telah melewati tahap itu; ketinggian
penciptaan yang tersekat rasa kurang percaya diri atau ini kevulgaran rasa
malu, menjadi keluguan cantik, seperti kata pelukis Van Gogh; “dengan
keluguannya wanita juga bisa indah.” Dan dengan keluguannya, novel ini menjadi
indah.
A. Syauqi Sumbawi telah
menemukan teknik tersendiri bagaimana pembaca digiring terus penasaran dengan
tidak perlu banyak pertanyaan filosofis berlebih. Kita seperti diajak berjalan
di jalur serba penuh kejutan; kemungkinan yang jelas-jelas membangun kesadaran
masa depan, kegelisahan kita diaduk-aduk, merayu cepat hendak memperkosa cerita
namun menjadi terangkut oleh sang sutradara; penulis takdir kebersamaan
nalar-perasaan yang terus kembara. Inilah dunia kalian; manusia-manusia yang
siap ribuan tantangan, tidak sebagai penunggu keindahan semata, tersebab
batu-batu kerikil dilalui, kabut tebal terus diterjang akan semakin menawan,
lebih cantik dari sekuntum bunga terdiam di taman impian.
Dunia kecil bukanlah mimpi,
tetapi suatu bangunan kesadaran utuh dari gugusan kegelisahan besar bernama
kerahasiaan, dan saudara akan tampak serupa anak kecil yang tercekik rasa haus
penasaran, kian memuncak mupus. Hanya sekat-sekat penceritaanlah yang
menghentikan untuk termenung kembali, dan melanjutkan kembara bacaan dengan
gairah terbaru.
A. Syauqi Sumbawi mampu
membangun nafas-nafas pembacanya dengan terapi kejiwaan yang mengagumkan. Saya
sebut ini rasa malu; keluguan indah di waktu-waktu kini telah mulai sirna dan
nampak pudar oleh kemolekan tampakan cerita-cerita picisan. Kejujuran pencerita
Dunia Kecil telah mampu mengangkat hal remeh, terkalahkan, tak diperhatikan
karena dianggap ketololan, menjelma kejeniusan; ini tak terdapat pada
karya-karya orang lama yang kadang tampak merendahkan diri yang sejatinya
mengangkat nalarnya. Sedangkan novel ini sanggup membangun kekasaran itu
menjadi dialogis terapi yang manusiawi sebagai jarak serta jembatan antara
keseriusan dan goda. Sehingga pembaca menemukan bangunan kekaguman yang tak
terkira.
Saya angkat ini bukan
berdasar persahabatan semata, tapi murni membaca karya tersebut di luar apa
yang saya perkirakan dari sebuah pertemanan, dan sebagai musuh kreatif jika
kalian tidak percaya keobjektifan saya. Buat apa mengangkat sesuatu yang
rendah, sementara waktu terus bergulir menemukan muara kebenaran, kehakikian
kerja yang indah; manakala saudara sekadar membaca tulisan ini akan tidak
menemukan apa yang terkemukakan, olehnya bacalah dan kalian akan segera jujur
menerima keadaan sebenarnya, keniscayaan sebuah tutur gaib yang menghipnosis
sukma, menjelajah dalam dunia kecil saudara bersama pengarang.
Ini bukan kesimpulan atau
komentar, tapi salam hormat; sejatinya akan tidak mewakili jika disebut seperti
itu, dan tidaklah pantas melakukannya terhadap sesuatu yang sudah mampu
menerjemahkan dirinya. Saya sekedar omong-omong saja. Omong kosong barangkali,
dari dunia yang benar-benar kosong tanpa nilai. Tidakkah saudara telah lama
sadar; dunia sekarang banyak kekosongan jiwa ketika tanda-tanda hanya sekedar
tubuh-tubuh bergerak tanpa maksud, seperti tindakan anarkis yang tak tahu
maksud tujuan? Apa tujuan saudara? Mengakhiri cerita sebelum habis? Atau
berperang dengan prasangka diri sendiri berlarut-larut? Novel ini memberi
jawaban secara keseluruhan, ketersesatan memberi penyadaran, penyimpangan yang
nanti dapat mengetahui letak kesejatian. Maka, novel ini perlu dibaca bagi yang
tengah di seberang jalan, yang ragu melangkahkan kaki ketika hendak bertekad,
dan yang mengendap-endap sebab cahaya keyakinan di dadanya masih kurang terang;
bacalah sebelum nalar-nalar saudara dibajak pikiran-pikiran yang tak
bertanggungjawab.
Novel ini tak mewajibkan
pembaca mengakui, menerima dengan saklek atau ia tidak sepenuhnya
bertanggungjawab, karena pertanggungjawaban hanya ada pada diri masing-masing,
jarak dunia kecil saudara dengan dunia realitas pandangan mata. Pembaca karya
sastra dewasa tentu menyadari kekerdilan diri ketika dihadapkan ke sebuah novel
kecil ini; inilah mata batin saudara, wujud rangkuman dari khayal, kamus yang
siap dibuka kapan saja ketika membutuhkan dunia kecil. Pembaca bebas menjadi
aktor yang mana, terpenting meyakininya, sebab dengan kepercayaan kita sanggup
memasuki dengan leluasa.
Namun bukan berarti sewaktu
saudara saking percaya dirinya akan kasus kerahasiaan, saudara lantas tidak
perlu membaca ini, sebab bagaimana pun dunia kecil tetaplah berbeda satu sama
lain. Dari perbedaan itu akan memperluas soal menjadi jawaban atas jarak
keengganan yang mulai jelas, atau ketika merasa sok akrab, maka matilah
penalaran. Sebab itu sebaiknya menempatkan diri sebagai seorang murid di
hadapan karya-karya batin sebelum menggerakkan kesadaran luar yang penuh
kecerdasan teknik serta akrobatik atas hasil saudara nyerocos dalam buku-buku.
Itu sangat kurang jikalau saudara mabuk, tak bisa jelas memandang mana sesuatu
yang perlu ditinggal dan sepantasnya dikerjakan.
Kemampuan menghipnosis
merupakan daya yang harus diandalkan dan dimilik para pencerita. Saya menemukan
energi novel ini sangat kuat, meski ada beberapa titik sekedarnya. Namun perlu
disadari, kadang kita melihat perjalanan hidup terlintas biasa diterima
sebagaimana dianggap kewajaran. Nilai yang mengalir perlahan menatap wajah
manusiawi yang tidak harus perlu dimaknai secara gamblang. Tidakkah kelupaan
juga memberikan banyak fungsi, selain tak banyak bicara?! Kadang kita perlu
waktu refreshing, tidak seluruh bermuatan makna dalam penceritaan (atau jalan
cerita hayat tidak harus melulu bermakna manfaat produktif), kalau tidak ingin
pembaca sempoyongan, kalau berharap pembaca bisa berleha-leha.
Saudara tentu tahu kapan
beristirah dan kapan waktunya meneruskan perjalanan. Ini berhubungan erat
dengan kesehatan akan segala termiliki; ingatan, daya penasaran, pun demam yang
perlu diperhitungkan berhenti atau melangkah terus mengusir kebosanan atau
sebaliknya demi meningkatkan daya kemampuan. (Aktor) Yangrana memiliki
kemampuan menata kediriannya, di mana mencret dan saat harus mengumpulkan
energi sebelum hendak menaiki panggung pemikiran yang menawan. Suatu peran
penuh daya pikat, pembaca diajak bergelantungan oleh beberapa cerita terikat di
batang kayu kemungkinan sebelum temukan akar-akar kemampuan melihat cahaya
matahari kepastian.
Inilah ungkapan tak berhenti
bergumam dalam mulut batinku, sahabat; kau pantas diandalkan, tanpa meminta
sebuah keyakinan dari siapapun. Sebab yang kau sampaikan itu merupakan
serpihan-serpihan yang ternikmati dan kami menggelinding dari keberadaan
masing-masing sebagai sosok kesadaran. Pembaca mungkin berat membaca sketsa
abtraksi dari novel saudara, namun setidaknya mampu merangkak dari dinding
tebing kekisah dan sekali tempo menginjakkan penalaran penuh mantap, menjadikan
kami meyakini diri sendiri; inilah Dunia Kecil yang diandalkan. Dan kami pasti
menyambangi ulang dengan penuh penasaran dan penasaran, lantas menyadari bahwa
rasa penasaran itu dunia kecil yang sejati, sebagaimana filsuf yang terus
diteror ribuan pertanyaan diri terdalam.
Setelahnya, saya serahkan
kepada pembaca; ingin menjadi penjelajah imaji, filsuf, peneliti sejati, atau
seorang perayu handal, bahkan seorang yang tidak mau menemui seseorang sama
sekali; segelas air siap berubah warna kebusukan atau tetap murni di dalam
kulkas. Semua memiliki resiko masing-masing. Saudara tentu tahu, resiko itu seperti
bayangan; ketika kita memilih huruf A, maka resiko pilihan itu serupa bayangan
huruf A ketika disorot cahaya. Begitu pun dengan pilihan huruf-huruf lain serta
bayangannya. [*]
Univ. Negeri Jember, 13 Juli 2007
*) Epilog Novel Dunia Kecil ; Panggung & Omong Kosong, Karya A. Syauqi Sumbawi,
Penerbit PUstaka puJAngga, Cetakan pertama : 11 September 2007.
*) Nurel Javissyarqi (penulis buku Trilogi Kesadaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar