Laman

Senin, 26 Oktober 2020

(ULASAN NOVEL) Dengan Keluguannya, Novel Ini Menjadi Indah


Nurel Javissyarqi **

 

Judul: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong

Penulis: A. Syauqi Sumbawi

Penerbit: Pustaka puJAngga, Lamongan

Tahun Terbit: 11 September 2007

Tebal Buku: 219 halaman

 

Judul sangat tepat nan penuh daya pikat serta mampu mewakili keseluruhan isi kepala cerita; tampak ada dunia yang dipaksakan masuk, namun tak menjadikan ilustrasi pemerkosaan. Suatu kesengajaan yang melampaui batas, tapi masih bisa dianggap tahap kenormalan. Ketika Dunia Kecil berbicara; inilah alam raya lorong panjang penuh kejutan mengasyikkan, dengan sajian dan penyajiaan yang tak membosankan. Ada jenis kamus tebak-tebakan, kadang mengena dan sekali tempo diplesetkan menjadi gurauan kecil yang pasti tak mencederai saat jatuh kecelakaan dalam setengah sengaja, pun sesuatu yang mengsle dari engsel-nya, tetapi tetap berbentuk dunia alit pemikiran, sebab perhatian sangat, menentukan keadaan, kehadiran di luar realitas kebanyakan pembaca alam kehidupan.

Sapaan ini ditulis saat menanti waktu pementasan naskah teater karya saya di kampus Universitas Negeri Jember, garapan Teater Tiang dengan sutradara Tomtom, yang bertitel “Zaitun, Cahaya di atas Cahaya” dari buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” [Cet 1 Mei 2001, PUstaka puJAngga (PuJa) dan FKKH Yogya, Cet ke 2 Jan 2006, PuJa dan Lintang Sastra Yogya]; ada semisal kebertemuan waktu di mana membaca manuskrip novel ini. Dunia Kecil serupa waktu pendendam, atau suara-suara lantang dibicarakan sebab dari ke-tirakat-an mendiamkan diri dalam dunia terpencil, sebuah wilayah tidak terjangkau, daerah terlarang, ruang rahasia, namun kini mulai menampakkan diri sebagai hal pembuka saat suara-suara keinginan tak terbendung; kebertemuan itu batas tak bersisa antara dunia luar dengan dunia terowongan ganjil.

Ini novel sepenggal cermin utuh di panggung kehidupan; ada saatnya manusia dalam tahap kesadaran ingin diperhatikan sebagai pemain dan di mana ia menanti jalannya cerita memanggil dirinya tampil kembali dengan ritme-ritme kesadaran penataan batin, pengolahan waktu, di samping butuh ornamen pembantu agar dunia panggung benar-benar telah melewati beberapa latihan seperti kesabaran, usaha keras, ketajaman menganalisa sebelum menjadi wacana publik. Penantian sangat penting dengan mengolah batin, menajamkan rasa, dan gerak-gerak lincah itu berasal dari beberapa latihan trampil, mempertimbangkan dan membuka segala jalur kemungkinan agar jenis-jenis kelemahan bisa diatasi lewat beberapa akrobat jitu nan memukau; saudaraku A. Syauqi Sumbawi menjaga intensitas kemungkinan amat mengagumkan tersebut, bagaimana ia membolak-balik perkara dari yang lemah menjadi lincah, yang berat ditekuk begitu mudah, dan diciptakannya ruang meditatif pembeda dari keseharian yang lumrah, privasi cantik ‘kan dipanggil-panggil dari segenap penjuru untuk berbagi.

Saat pembacaan sampai seperempat manuskrip novel ini, saya merasakan kekaguman luar biasa. Daya tutur penceritaannya seperti Hermann Hesse yang kalem, tidak securiga Jostein Gaarder, namun masih kuat membangun rasa penasaran. Ada kemiripan Alan Lightman membuat filosofis pada hitungan-hitungan masa. Setidaknya kekaguman ini melebihi kedekatan selama ini; sebagai teman keseharian, kayaknya di luar nalar kami saat berdialog di warung kopi. Itulah dunia imajinya yang melampaui batas percakapan yang pernah beredar di angkringan.

Membaca Dunia Kecil, kayak melihatmu yang lain sahabat, di luar fisikal. Ini dunia kepala kita; manusia. Jangan-jangan pembaca tulisan saya pun berkata sama; realitas yang tersampaikan lewat kata-kata, dunia kecil, pikiran, dan khayalan di setiap kepala insan. Ada langkah-langkah penuh kesadaran sebagai makhluk pilihan; hidup berpilihan sendiri. Membaca omong kosong bukan membuang waktu percuma, menyebut ini kemampuan berani tanpa harus suntuk dengan aturan hukum yang membuat mandul. Dan kota kami mempunyai semuanya jika membaca tak sekedarnya.

Dunia Kecil memang seolah tak memiliki harapan, namun terlampiaskan di sana; pembaca akan mendapatkan harapan-harapan itu melewati terowongan pikiran masing-masing. Inilah harapan satu-satunya yang paling jitu sebagai keagungan sebuah karya yang memberi banyak inspirasi para pembacanya. Karya ini telah melewati tahap itu; ketinggian penciptaan yang tersekat rasa kurang percaya diri atau ini kevulgaran rasa malu, menjadi keluguan cantik, seperti kata pelukis Van Gogh; “dengan keluguannya wanita juga bisa indah.” Dan dengan keluguannya, novel ini menjadi indah.

A. Syauqi Sumbawi telah menemukan teknik tersendiri bagaimana pembaca digiring terus penasaran dengan tidak perlu banyak pertanyaan filosofis berlebih. Kita seperti diajak berjalan di jalur serba penuh kejutan; kemungkinan yang jelas-jelas membangun kesadaran masa depan, kegelisahan kita diaduk-aduk, merayu cepat hendak memperkosa cerita namun menjadi terangkut oleh sang sutradara; penulis takdir kebersamaan nalar-perasaan yang terus kembara. Inilah dunia kalian; manusia-manusia yang siap ribuan tantangan, tidak sebagai penunggu keindahan semata, tersebab batu-batu kerikil dilalui, kabut tebal terus diterjang akan semakin menawan, lebih cantik dari sekuntum bunga terdiam di taman impian.

Dunia kecil bukanlah mimpi, tetapi suatu bangunan kesadaran utuh dari gugusan kegelisahan besar bernama kerahasiaan, dan saudara akan tampak serupa anak kecil yang tercekik rasa haus penasaran, kian memuncak mupus. Hanya sekat-sekat penceritaanlah yang menghentikan untuk termenung kembali, dan melanjutkan kembara bacaan dengan gairah terbaru.

A. Syauqi Sumbawi mampu membangun nafas-nafas pembacanya dengan terapi kejiwaan yang mengagumkan. Saya sebut ini rasa malu; keluguan indah di waktu-waktu kini telah mulai sirna dan nampak pudar oleh kemolekan tampakan cerita-cerita picisan. Kejujuran pencerita Dunia Kecil telah mampu mengangkat hal remeh, terkalahkan, tak diperhatikan karena dianggap ketololan, menjelma kejeniusan; ini tak terdapat pada karya-karya orang lama yang kadang tampak merendahkan diri yang sejatinya mengangkat nalarnya. Sedangkan novel ini sanggup membangun kekasaran itu menjadi dialogis terapi yang manusiawi sebagai jarak serta jembatan antara keseriusan dan goda. Sehingga pembaca menemukan bangunan kekaguman yang tak terkira.

Saya angkat ini bukan berdasar persahabatan semata, tapi murni membaca karya tersebut di luar apa yang saya perkirakan dari sebuah pertemanan, dan sebagai musuh kreatif jika kalian tidak percaya keobjektifan saya. Buat apa mengangkat sesuatu yang rendah, sementara waktu terus bergulir menemukan muara kebenaran, kehakikian kerja yang indah; manakala saudara sekadar membaca tulisan ini akan tidak menemukan apa yang terkemukakan, olehnya bacalah dan kalian akan segera jujur menerima keadaan sebenarnya, keniscayaan sebuah tutur gaib yang menghipnosis sukma, menjelajah dalam dunia kecil saudara bersama pengarang.

Ini bukan kesimpulan atau komentar, tapi salam hormat; sejatinya akan tidak mewakili jika disebut seperti itu, dan tidaklah pantas melakukannya terhadap sesuatu yang sudah mampu menerjemahkan dirinya. Saya sekedar omong-omong saja. Omong kosong barangkali, dari dunia yang benar-benar kosong tanpa nilai. Tidakkah saudara telah lama sadar; dunia sekarang banyak kekosongan jiwa ketika tanda-tanda hanya sekedar tubuh-tubuh bergerak tanpa maksud, seperti tindakan anarkis yang tak tahu maksud tujuan? Apa tujuan saudara? Mengakhiri cerita sebelum habis? Atau berperang dengan prasangka diri sendiri berlarut-larut? Novel ini memberi jawaban secara keseluruhan, ketersesatan memberi penyadaran, penyimpangan yang nanti dapat mengetahui letak kesejatian. Maka, novel ini perlu dibaca bagi yang tengah di seberang jalan, yang ragu melangkahkan kaki ketika hendak bertekad, dan yang mengendap-endap sebab cahaya keyakinan di dadanya masih kurang terang; bacalah sebelum nalar-nalar saudara dibajak pikiran-pikiran yang tak bertanggungjawab.

Novel ini tak mewajibkan pembaca mengakui, menerima dengan saklek atau ia tidak sepenuhnya bertanggungjawab, karena pertanggungjawaban hanya ada pada diri masing-masing, jarak dunia kecil saudara dengan dunia realitas pandangan mata. Pembaca karya sastra dewasa tentu menyadari kekerdilan diri ketika dihadapkan ke sebuah novel kecil ini; inilah mata batin saudara, wujud rangkuman dari khayal, kamus yang siap dibuka kapan saja ketika membutuhkan dunia kecil. Pembaca bebas menjadi aktor yang mana, terpenting meyakininya, sebab dengan kepercayaan kita sanggup memasuki dengan leluasa.

Namun bukan berarti sewaktu saudara saking percaya dirinya akan kasus kerahasiaan, saudara lantas tidak perlu membaca ini, sebab bagaimana pun dunia kecil tetaplah berbeda satu sama lain. Dari perbedaan itu akan memperluas soal menjadi jawaban atas jarak keengganan yang mulai jelas, atau ketika merasa sok akrab, maka matilah penalaran. Sebab itu sebaiknya menempatkan diri sebagai seorang murid di hadapan karya-karya batin sebelum menggerakkan kesadaran luar yang penuh kecerdasan teknik serta akrobatik atas hasil saudara nyerocos dalam buku-buku. Itu sangat kurang jikalau saudara mabuk, tak bisa jelas memandang mana sesuatu yang perlu ditinggal dan sepantasnya dikerjakan.

Kemampuan menghipnosis merupakan daya yang harus diandalkan dan dimilik para pencerita. Saya menemukan energi novel ini sangat kuat, meski ada beberapa titik sekedarnya. Namun perlu disadari, kadang kita melihat perjalanan hidup terlintas biasa diterima sebagaimana dianggap kewajaran. Nilai yang mengalir perlahan menatap wajah manusiawi yang tidak harus perlu dimaknai secara gamblang. Tidakkah kelupaan juga memberikan banyak fungsi, selain tak banyak bicara?! Kadang kita perlu waktu refreshing, tidak seluruh bermuatan makna dalam penceritaan (atau jalan cerita hayat tidak harus melulu bermakna manfaat produktif), kalau tidak ingin pembaca sempoyongan, kalau berharap pembaca bisa berleha-leha.

Saudara tentu tahu kapan beristirah dan kapan waktunya meneruskan perjalanan. Ini berhubungan erat dengan kesehatan akan segala termiliki; ingatan, daya penasaran, pun demam yang perlu diperhitungkan berhenti atau melangkah terus mengusir kebosanan atau sebaliknya demi meningkatkan daya kemampuan. (Aktor) Yangrana memiliki kemampuan menata kediriannya, di mana mencret dan saat harus mengumpulkan energi sebelum hendak menaiki panggung pemikiran yang menawan. Suatu peran penuh daya pikat, pembaca diajak bergelantungan oleh beberapa cerita terikat di batang kayu kemungkinan sebelum temukan akar-akar kemampuan melihat cahaya matahari kepastian.

Inilah ungkapan tak berhenti bergumam dalam mulut batinku, sahabat; kau pantas diandalkan, tanpa meminta sebuah keyakinan dari siapapun. Sebab yang kau sampaikan itu merupakan serpihan-serpihan yang ternikmati dan kami menggelinding dari keberadaan masing-masing sebagai sosok kesadaran. Pembaca mungkin berat membaca sketsa abtraksi dari novel saudara, namun setidaknya mampu merangkak dari dinding tebing kekisah dan sekali tempo menginjakkan penalaran penuh mantap, menjadikan kami meyakini diri sendiri; inilah Dunia Kecil yang diandalkan. Dan kami pasti menyambangi ulang dengan penuh penasaran dan penasaran, lantas menyadari bahwa rasa penasaran itu dunia kecil yang sejati, sebagaimana filsuf yang terus diteror ribuan pertanyaan diri terdalam.

Setelahnya, saya serahkan kepada pembaca; ingin menjadi penjelajah imaji, filsuf, peneliti sejati, atau seorang perayu handal, bahkan seorang yang tidak mau menemui seseorang sama sekali; segelas air siap berubah warna kebusukan atau tetap murni di dalam kulkas. Semua memiliki resiko masing-masing. Saudara tentu tahu, resiko itu seperti bayangan; ketika kita memilih huruf A, maka resiko pilihan itu serupa bayangan huruf A ketika disorot cahaya. Begitu pun dengan pilihan huruf-huruf lain serta bayangannya. [*]

Univ. Negeri Jember, 13 Juli 2007

*) Epilog Novel Dunia Kecil ; Panggung & Omong Kosong, Karya A. Syauqi Sumbawi, Penerbit PUstaka puJAngga, Cetakan pertama : 11 September 2007.

 

*) Nurel Javissyarqi (penulis buku Trilogi Kesadaran)

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar