Laman

Rabu, 28 Oktober 2020

(FRAME III) Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (05)

  

Matahari menggurat jingga di timur cakrawala pagi itu. Di atas aspal jalanan, mobil pick-up perlahan membawaku pergi ke kota. Kakek duduk dengan ketenangan seorang tua yang bijaksana di sebelah kiriku. Wajahnya jernih. Matanya jauh menerawang ke depan. Aku tak punya indera keenam untuk mengetahui apa-apa yang melintas dalam benaknya. Ia bercelana dan berkemeja. Sebuah peci hitam menutupi sebagian rambutnya yang putih, menampakkan ketampanan dan kegagahannya di masa muda. Paman Rasiman yang duduk di sebelah kananku dan memegang kemudi juga berpakaian seperti Kakek. Begitu juga dengan empat orang tetangga yang duduk di bak mobil yang ikut mengantar kepergianku. Sementara yang membedakan antara aku dengan mereka, para laki-laki itu; aku yang memakai sarung dan aku yang sebentar lagi akan menjadi seorang laki-laki. Benar. Mobil pick-up ini menuju ke rumah seorang calak di kota. Dan sebentar lagi, aku akan dikhitan. Akan menjadi seorang laki-laki, begitu kata para tetangga tentang anak laki-laki yang telah melaksanakan khitan.

Di depan sebuah rumah, mobil pick-up yang membawa kami berhenti dan parkir di antara tiga mobil lain. Aku berpikir bahwa kami telah sampai di tujuan. Setelah turun, Kakek kemudian menggandengku memasuki halaman rumah. Beberapa orang yang berada di beranda depan rumah calak itu mengawasiku. Pandangan mata mereka seperti mengatakan bahwa setelah peristiwa ini selesai, aku menjadi seorang laki-laki. Namun, aku hanya diam dengan perasaan berbunga. Sebentar seorang laki-laki keluar dengan menggendong seorang anak laki-laki diikuti dua orang laki-laki. Kuperhatikan anak laki-laki itu yang berpakaian sama sepertiku. Ia tak menangis dan tak mengeluarkan airmata. Tapi, mulutnya tak henti-henti mengeluarkan gumam kesakitan.

“Duduklah,” kata Kakek kemudian masuk ke sebuah ruangan.

Pada sebuah kursi di ruang tunggu, kulihat anak laki-laki duduk tak jauh di hadapanku didampingi seorang laki-laki. Aku berpikir usia anak laki-laki itu beberapa tahun di atasku dan ia juga akan dikhitan. Sejenak kami saling bertatapan mata. Aku tersenyum kepadanya.

Tiba-tiba suara gaduh meluncur dari sebuah ruangan. Jerit seorang anak laki-laki yang tengah dikhitan.

“Tenang,” kata Paman Rasiman yang duduk di sebelah kiriku sembari menepuk-nepuk pundakku pelan. Aku tersenyum. Kemudian kuberikan senyumku kepada anak laki-laki di hadapanku itu, ketika ketakutan melintas di wajahnya. Namun, ia hanya diam dan mengalihkan matanya dariku.

Seorang anak laki-laki keluar dari sebuah ruangan didampingi seorang laki-laki. Kemudian terdengar panggilan giliran berikutnya. Seorang laki-laki yang duduk dihadapanku segera berdiri, lalu berjalan menggandeng anak laki-laki itu memasuki ruangan.

Kuperhatikan anak laki-laki yang baru saja dikhitan itu. Langkahnya pelan dan berhati-hati. Tangan kanannya menarik sarung yang dipakainya itu ke depan. Wajahnya terlihat bingung. Seperti tak tahu apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Saat dia melihatku, kuberikan senyum kepadanya.

Dalam diam aku teringat malam hari sebulan yang lalu. Ketika itu aku baru pulang dari mengaji di mushala.

“Kek, kapan aku khitan?”

“Kau mau dikhitan?” kata Kakek. Aku mengangguk.

“Kakek merasa senang kamu ingin khitan. Karena khitan sendiri merupakan perintah agama. Di samping itu, untuk menjaga kebersihan pada kemaluanmu,” lanjutnya. Aku tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu. Kakek akan persiapkan kapan harinya kamu akan dikhitan.”

Beberapa hari kemudian, Kakek memanggil anak-anaknya ke rumah. Kepada mereka, Kakek mengutarakan maksudnya.

“Kalian tahu sendiri, dia sudah tak punya Bapak dan Ibu. Kalau bukan aku, lalu siapa yang akan mengkhitankan keponakan kalian itu. Untuk itu, aku minta pengertian dari kalian sebagai Pamannya,” kata Kakek.

Mereka diam dan setuju. Kemudian bersama mereka, Kakek me-rembug kapan harinya aku akan dikhitan. Begitu juga acara perayaan kecil-kecilan. Dan malam tadi, Kakek mengundang para tetangga datang ke rumah. Ia mengadakan selamatan untukku. Minta doa dari para tetangga, agar apa yang menjadi rencana Kakek sekeluarga dapat berjalan dengan lancar dan mendapat ridla-Nya.

Kulihat Kakek keluar dari ruangan itu. Langkahnya tenang dan wajahnya membentuk senyum.

“Habis ini?” kata Paman Rasiman kepada Kakek.

“Iya.” Kakek tersenyum duduk di sebelah kananku.

Aku tersentak ketika tiba-tiba terdengar jeritan disertai suara tangis dari ruangan itu.

“Tenang. Tidak apa-apa,” kata Paman Rasiman seraya menepuk-nepuk pundakku pelan.

Sebentar kualihkan mataku dari Paman Rasiman kepada Kakek. Wajahnya yang jernih seketika membuatku tenang. Kakek tersenyum. Dan aku menjadi tak gentar. Meskipun suara tangis itu masih terdengar mengaduh.

“Jangan takut. Tidak sakit, kok,” kata Paman Rasiman lagi. Aku tersenyum. “Kalau tak percaya, nanti coba kaurasakan sendiri. Paman tidak bohong.”

Kenapa anak laki-laki itu menangis? Apakah ia benar-benar merasakan kesakitan? Atau jangan-jangan…? pikirku. Dalam diam, aku teringat beberapa tetangga yang mengungkapkan bagaimana sakitnya saat dikhitan.

“Bagaimana tidak sakit?! Kemaluanmu akan dipotong dengan kapak. Iya, kalau tepat ujung kulitnya yang terpotong. Kalau batang kemaluanmu yang terpotong?” begitu kata mereka.

Kemudian kutanyakan hal itu kepada Paman Rasiman.

“Ah, jangan percaya. Mereka hanya bermaksud menakut-nakuti saja. Coba bayangkan! Kalau memang begitu caranya, dipotong dengan kapak, mungkin Paman tidak akan mau dikhitan. Orang lain mungkin juga tidak mau,” jawab Paman Rasiman.

Kemudian aku teringat perkataan seorang tetangga sebelum berangkat tadi. Ia menyuruhku untuk tidak menangis saat dikhitan nanti. Katanya: “…kalau kamu menangis, maka saat kamu dewasa nanti, kamu akan beristri seorang...”

Kucoba menguatkan hati. Akan kuhadapi semua ini dengan tegar dan berani. Aku tak akan menjerit dan menangis meski sesakit apapun. Aku ingin menjadi seorang laki-laki, batinku.

 

Bersambung ke (06)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar