Matahari
menggurat jingga di timur cakrawala pagi itu. Di atas aspal jalanan, mobil
pick-up perlahan membawaku pergi ke kota. Kakek duduk dengan ketenangan seorang
tua yang bijaksana di sebelah kiriku. Wajahnya jernih. Matanya jauh menerawang
ke depan. Aku tak punya indera keenam untuk mengetahui apa-apa yang melintas
dalam benaknya. Ia bercelana dan berkemeja. Sebuah peci hitam menutupi sebagian
rambutnya yang putih, menampakkan ketampanan dan kegagahannya di masa muda.
Paman Rasiman yang duduk di sebelah kananku dan memegang kemudi juga berpakaian
seperti Kakek. Begitu juga dengan empat orang tetangga yang duduk di bak mobil
yang ikut mengantar kepergianku. Sementara yang membedakan antara aku dengan mereka,
para laki-laki itu; aku yang memakai sarung dan aku yang sebentar lagi akan
menjadi seorang laki-laki. Benar. Mobil pick-up ini menuju ke rumah seorang
calak di kota. Dan sebentar lagi, aku akan dikhitan. Akan menjadi seorang
laki-laki, begitu kata para tetangga tentang anak laki-laki yang telah
melaksanakan khitan.
Di depan
sebuah rumah, mobil pick-up yang membawa kami berhenti dan parkir di antara
tiga mobil lain. Aku berpikir bahwa kami telah sampai di tujuan. Setelah turun,
Kakek kemudian menggandengku memasuki halaman rumah. Beberapa orang yang berada
di beranda depan rumah calak itu mengawasiku. Pandangan mata mereka seperti
mengatakan bahwa setelah peristiwa ini selesai, aku menjadi seorang laki-laki.
Namun, aku hanya diam dengan perasaan berbunga. Sebentar seorang laki-laki
keluar dengan menggendong seorang anak laki-laki diikuti dua orang laki-laki.
Kuperhatikan anak laki-laki itu yang berpakaian sama sepertiku. Ia tak menangis
dan tak mengeluarkan airmata. Tapi, mulutnya tak henti-henti mengeluarkan gumam
kesakitan.
“Duduklah,”
kata Kakek kemudian masuk ke sebuah ruangan.
Pada sebuah
kursi di ruang tunggu, kulihat anak laki-laki duduk tak jauh di hadapanku
didampingi seorang laki-laki. Aku berpikir usia anak laki-laki itu beberapa
tahun di atasku dan ia juga akan dikhitan. Sejenak kami saling bertatapan mata.
Aku tersenyum kepadanya.
Tiba-tiba
suara gaduh meluncur dari sebuah ruangan. Jerit seorang anak laki-laki yang
tengah dikhitan.
“Tenang,” kata
Paman Rasiman yang duduk di sebelah kiriku sembari menepuk-nepuk pundakku
pelan. Aku tersenyum. Kemudian kuberikan senyumku kepada anak laki-laki di
hadapanku itu, ketika ketakutan melintas di wajahnya. Namun, ia hanya diam dan
mengalihkan matanya dariku.
Seorang anak
laki-laki keluar dari sebuah ruangan didampingi seorang laki-laki. Kemudian
terdengar panggilan giliran berikutnya. Seorang laki-laki yang duduk
dihadapanku segera berdiri, lalu berjalan menggandeng anak laki-laki itu
memasuki ruangan.
Kuperhatikan
anak laki-laki yang baru saja dikhitan itu. Langkahnya pelan dan berhati-hati.
Tangan kanannya menarik sarung yang dipakainya itu ke depan. Wajahnya terlihat
bingung. Seperti tak tahu apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Saat dia
melihatku, kuberikan senyum kepadanya.
Dalam diam aku
teringat malam hari sebulan yang lalu. Ketika itu aku baru pulang dari mengaji
di mushala.
“Kek, kapan
aku khitan?”
“Kau mau
dikhitan?” kata Kakek. Aku mengangguk.
“Kakek merasa
senang kamu ingin khitan. Karena khitan sendiri merupakan perintah agama. Di
samping itu, untuk menjaga kebersihan pada kemaluanmu,” lanjutnya. Aku
tersenyum.
“Baiklah,
kalau begitu. Kakek akan persiapkan kapan harinya kamu akan dikhitan.”
Beberapa hari
kemudian, Kakek memanggil anak-anaknya ke rumah. Kepada mereka, Kakek
mengutarakan maksudnya.
“Kalian tahu
sendiri, dia sudah tak punya Bapak dan Ibu. Kalau bukan aku, lalu siapa yang
akan mengkhitankan keponakan kalian itu. Untuk itu, aku minta pengertian dari
kalian sebagai Pamannya,” kata Kakek.
Mereka diam
dan setuju. Kemudian bersama mereka, Kakek me-rembug kapan harinya aku akan
dikhitan. Begitu juga acara perayaan kecil-kecilan. Dan malam tadi, Kakek
mengundang para tetangga datang ke rumah. Ia mengadakan selamatan untukku.
Minta doa dari para tetangga, agar apa yang menjadi rencana Kakek sekeluarga
dapat berjalan dengan lancar dan mendapat ridla-Nya.
Kulihat Kakek
keluar dari ruangan itu. Langkahnya tenang dan wajahnya membentuk senyum.
“Habis ini?”
kata Paman Rasiman kepada Kakek.
“Iya.” Kakek
tersenyum duduk di sebelah kananku.
Aku tersentak
ketika tiba-tiba terdengar jeritan disertai suara tangis dari ruangan itu.
“Tenang. Tidak
apa-apa,” kata Paman Rasiman seraya menepuk-nepuk pundakku pelan.
Sebentar
kualihkan mataku dari Paman Rasiman kepada Kakek. Wajahnya yang jernih seketika
membuatku tenang. Kakek tersenyum. Dan aku menjadi tak gentar. Meskipun suara
tangis itu masih terdengar mengaduh.
“Jangan takut.
Tidak sakit, kok,” kata Paman Rasiman lagi. Aku tersenyum. “Kalau tak percaya,
nanti coba kaurasakan sendiri. Paman tidak bohong.”
Kenapa anak
laki-laki itu menangis? Apakah ia benar-benar merasakan kesakitan? Atau
jangan-jangan…? pikirku. Dalam diam, aku teringat beberapa tetangga yang
mengungkapkan bagaimana sakitnya saat dikhitan.
“Bagaimana
tidak sakit?! Kemaluanmu akan dipotong dengan kapak. Iya, kalau tepat ujung
kulitnya yang terpotong. Kalau batang kemaluanmu yang terpotong?” begitu kata
mereka.
Kemudian
kutanyakan hal itu kepada Paman Rasiman.
“Ah, jangan
percaya. Mereka hanya bermaksud menakut-nakuti saja. Coba bayangkan! Kalau
memang begitu caranya, dipotong dengan kapak, mungkin Paman tidak akan mau
dikhitan. Orang lain mungkin juga tidak mau,” jawab Paman Rasiman.
Kemudian aku
teringat perkataan seorang tetangga sebelum berangkat tadi. Ia menyuruhku untuk
tidak menangis saat dikhitan nanti. Katanya: “…kalau kamu menangis, maka saat
kamu dewasa nanti, kamu akan beristri seorang...”
Kucoba
menguatkan hati. Akan kuhadapi semua ini dengan tegar dan berani. Aku tak akan
menjerit dan menangis meski sesakit apapun. Aku ingin menjadi seorang
laki-laki, batinku.
Bersambung ke (06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar