Laman

Rabu, 28 Oktober 2020

(FRAME III) Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (04)

 

Kata para tetangga, Bapak telah menjadi seorang pemabuk. Penenggak minum-minuman keras yang sudah lebih dari sekedar kegemaran. Ia kehausan. Dan suatu malam ia pulang dengan meracau. Ngomong tak karuan, mengumpati sana-sini. Kemudian dalam keadaan mabuk itulah, ia mengungkapkan apa yang selama ini tak pernah diungkapkannya kepadaku.

“Hai, kau, drakula kecil! Ayo, bangun! Kau harus memijit punggungku,” katanya di liang pintu. “Kalau tidak…” Aku beranjak bangkit dari tidurku yang pura-pura.

Sebenarnya Bapak tidak perlu mengeluarkan paksaan kalau hanya untuk memintaku memijit punggungnya. Karena sebuah paksaan malah membuktikan seorang tidak mempunyai energi untuk merebut simpati. Maka supaya menuruti, harus dengan mengancam. Bahasa kekerasan. Jika saja ia berkata; “Ah, punggungku capek. Maukah kau memijit punggungku?” Tentu saja, aku lebih bersenang hati untuk melakukannya. Akan tetapi, aku cukup senang. Ternyata ia peduli kepadaku, meskipun dengan sebuah ancaman yang ditegakkan di hadapanku dalam pengaruh minuman keras.

Aku kemudian memijit punggungnya yang tengkurap di atas amben tua di beranda depan hingga ia terlelap. Sejak malam itu, aku sering memijit punggungnya.

Masih terlalu pagi saat ia membangunkan tidurku hari itu. Dengan mata terkantuk-kantuk aku kemudian mengikuti langkahnya. Entah, ke mana ia akan mengajakku pergi untuk pertama kalinya sejak aku lahir dan menjadi anaknya. Namun, nampaknya kepergian kami kali ini cukup jauh, yang tertunjukkan dari mobil angkutan umum yang membawa kami. Lantas aku pun tahu bahwa tujuan kami adalah sebuah pasar di tengah kota.

Setelah turun, ia lalu membawaku ke sebuah warung. Makan soto, seperti yang sesekali kunikmati di rumah keluarga Marijan. Dan ia selalu menawarkan dan mengambilkan jajanan ini-itu yang tersedia di warung itu. Sungguh aneh. Akan tetapi, kubiarkan begitu saja. Aku memang sedang menanti kejutan-kejutan darinya. Aku menikmatinya.

Kemudian ia menggandengku memasuki pasar sembari mengatakan bahwa baju yang kupakai sudah usang dan selayaknya diganti. Ia berjanji membeli baju baru untukku, asalkan aku harus menuruti apa yang disuruhnya. Di pojokan pasar yang cukup sepi, ia membeberkan apa-apa yang harus aku kerjakan. Lantas mempercayakan semuanya kepadaku. Aku melangkah dengan ragu. Akan tetapi, ia terus meyakinkanku dari tempatnya berdiri. Dan tiba-tiba saja, muncul keinginan agar tidak mengecewakannya.

Sebentar aku sudah berdiri di depan stand dagangan dan menyadongkan tangan. Kemudian berkeliling pasar melakukan hal yang sama, sampai semua stand tak ada yang luput dari kedatanganku. Sementara ia terus mengawasiku dari jauh. Ia selalu tersenyum menganggukkan kepala saat aku mengarahkan pandanganku ke arahnya. Senyum dari sebuah kepuasan yang tak wajar.

Satu pasar beres sudah. Ia kemudian membawakan ke pasar lainnya di kota. Satu pasar lagi. Warung-warung. Untuk mengerjakan hal yang sama. Ia hanya mengajakku berhenti untuk makan dan beristirahat sejenak di serambi sebuah mushalla ketika matahari nyalang di pertengahan siang.

Entah. Berapa jumlah seluruh uang yang tergembol dalam kantong plastik hitam di tangannya saat hari merambat malam dan aku dibebastugaskan dari berdiri meminta-minta. Akan tetapi, belum juga baju baru datang menggantikan baju usang yang melekat di tubuhku. Aku hanya diam. Aku senang bahwa ia ternyata tidak hanya peduli padaku, tetapi juga mempercayakan sesuatu kepadaku. Ia mengandalkanku.

Bapak kemudian menyuruhku menunggu. Sementara ia melangkah memasuki sebuah gang perkampungan, meninggalkanku berdiri di depan stasiun kota. Aku tak tahu apa yang menjadi tujuannya. Sebentar aku mencoba menyusulnya. Kuawasi rumah, toko, warung yang berdiri berdempetan di kanan-kiri. Mataku memperhatikannya hingga ke dalam. Tak banyak orang dewasa yang berlalu-lalang di jalanan. Akan tetapi, mereka banyak terlihat duduk-duduk di warung-warung. Hanya beberapa saja yang duduk-duduk di beranda rumah.

Aku lantas berhenti di depan sebuah warung. Di samping kanannya, agak menjorok ke dalam, kulihat Bapak duduk dengan seorang perempuan. Beberapa orang dewasa tersenyum aneh saat aku melongok-longokkan kepala di depan mereka. Seperti melihat sesuatu yang lucu, mereka kemudian tertawa disertai olok-olok. Aku diam memendam kesal. Aku paling benci dengan apa yang disebut dengan olok-olok.

Tiba-tiba Bapak berjalan ke arahku. Dengan bantuan cahaya lampu, kulihat wajahnya menyatakan bahwa ia tak senang aku datang kepadanya. Ia kemudian menyeretku kembali ke jalan.

“Kau tuli, ya! Dibilang suruh tunggu sebentar kok, …” Aku tak menghiraukan perkataannya. Aku buru-buru lari menuju stasiun. Menunggu ia kembali seperti yang disuruhnya.

Sudah pegal rasanya aku menunggu Bapak. Aku tak tahu ia akan kembali atau tidak. Beberapa orang dewasa dan beberapa keluarga yang berjalan keluar-masuk stasiun menatapku dengan tatapan aneh, seperti tidak sepakat dengan apa yang dilihatnya. Seorang laki-laki kecil berbaju kumal, sendirian di pintu stasiun tanpa orang tua. Namun, aku terus menunggu. Sampai akhirnya stasiun menjadi lebih sepi. Pintu dari terali besi di belakangku pun ditutup. Dan seorang laki-laki kemudian memberikan tatapan seorang detektif.

“Rumahmu mana, Nak?”

“Sanur.”

“Siapa nama Bapakmu?”

“Markolan.”

Ia diam dan berpikir sejenak.

“Mau kuantarkan pulang?”

Entah. Kenapa aku mengangguk begitu saja dengan tawarannya itu. Barangkali karena aku seorang anak kecil yang lugu, dan begitu saja percaya dengan orang dewasa. Aku tak pernah memikirkan bahwa mungkin saja ia punya maksud untuk mencelakakanku. Atau barangkali karena seragam petugas stasiun yang dipakainya itu yang membuatku menganggap laki-laki itu adalah orang yang baik.

Di tengah perjalanan mengantarku pulang, aku tiba-tiba menjadi resah. Ia membelokkan sepedanya memasuki sebuah kampung yang bukan desa Sanur. Jangan engkau bilang aku tak mempunyai kewaspadaan seorang anak kecil tentang gelagat-gelagat yang tak baik. Aku punya. Seketika berbagai pikiran tentang sesuatu yang buruk menguasai kepalaku. Akan tetapi, lantas aku menjadi lega. Rupanya, laki-laki itu membawaku pulang ke rumah Kakek.

Sejak saat itu aku tinggal bersama Kakek. Karena Bapak tak pernah pulang. Tak pernah kembali kepadaku; anaknya.

 

Bersambungke (05)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar