Kata para
tetangga, Bapak telah menjadi seorang pemabuk. Penenggak minum-minuman keras
yang sudah lebih dari sekedar kegemaran. Ia kehausan. Dan suatu malam ia pulang
dengan meracau. Ngomong tak karuan, mengumpati sana-sini. Kemudian dalam
keadaan mabuk itulah, ia mengungkapkan apa yang selama ini tak pernah
diungkapkannya kepadaku.
“Hai, kau,
drakula kecil! Ayo, bangun! Kau harus memijit punggungku,” katanya di liang
pintu. “Kalau tidak…” Aku beranjak bangkit dari tidurku yang pura-pura.
Sebenarnya
Bapak tidak perlu mengeluarkan paksaan kalau hanya untuk memintaku memijit
punggungnya. Karena sebuah paksaan malah membuktikan seorang tidak mempunyai
energi untuk merebut simpati. Maka supaya menuruti, harus dengan mengancam.
Bahasa kekerasan. Jika saja ia berkata; “Ah, punggungku capek. Maukah kau memijit
punggungku?” Tentu saja, aku lebih bersenang hati untuk melakukannya. Akan
tetapi, aku cukup senang. Ternyata ia peduli kepadaku, meskipun dengan sebuah
ancaman yang ditegakkan di hadapanku dalam pengaruh minuman keras.
Aku kemudian
memijit punggungnya yang tengkurap di atas amben tua di beranda depan hingga ia
terlelap. Sejak malam itu, aku sering memijit punggungnya.
Masih terlalu
pagi saat ia membangunkan tidurku hari itu. Dengan mata terkantuk-kantuk aku
kemudian mengikuti langkahnya. Entah, ke mana ia akan mengajakku pergi untuk
pertama kalinya sejak aku lahir dan menjadi anaknya. Namun, nampaknya kepergian
kami kali ini cukup jauh, yang tertunjukkan dari mobil angkutan umum yang
membawa kami. Lantas aku pun tahu bahwa tujuan kami adalah sebuah pasar di
tengah kota.
Setelah turun,
ia lalu membawaku ke sebuah warung. Makan soto, seperti yang sesekali kunikmati
di rumah keluarga Marijan. Dan ia selalu menawarkan dan mengambilkan jajanan
ini-itu yang tersedia di warung itu. Sungguh aneh. Akan tetapi, kubiarkan
begitu saja. Aku memang sedang menanti kejutan-kejutan darinya. Aku
menikmatinya.
Kemudian ia
menggandengku memasuki pasar sembari mengatakan bahwa baju yang kupakai sudah
usang dan selayaknya diganti. Ia berjanji membeli baju baru untukku, asalkan
aku harus menuruti apa yang disuruhnya. Di pojokan pasar yang cukup sepi, ia
membeberkan apa-apa yang harus aku kerjakan. Lantas mempercayakan semuanya
kepadaku. Aku melangkah dengan ragu. Akan tetapi, ia terus meyakinkanku dari
tempatnya berdiri. Dan tiba-tiba saja, muncul keinginan agar tidak
mengecewakannya.
Sebentar aku
sudah berdiri di depan stand dagangan dan menyadongkan tangan. Kemudian
berkeliling pasar melakukan hal yang sama, sampai semua stand tak ada yang luput
dari kedatanganku. Sementara ia terus mengawasiku dari jauh. Ia selalu
tersenyum menganggukkan kepala saat aku mengarahkan pandanganku ke arahnya.
Senyum dari sebuah kepuasan yang tak wajar.
Satu pasar
beres sudah. Ia kemudian membawakan ke pasar lainnya di kota. Satu pasar lagi.
Warung-warung. Untuk mengerjakan hal yang sama. Ia hanya mengajakku berhenti
untuk makan dan beristirahat sejenak di serambi sebuah mushalla ketika matahari
nyalang di pertengahan siang.
Entah. Berapa
jumlah seluruh uang yang tergembol dalam kantong plastik hitam di tangannya
saat hari merambat malam dan aku dibebastugaskan dari berdiri meminta-minta.
Akan tetapi, belum juga baju baru datang menggantikan baju usang yang melekat
di tubuhku. Aku hanya diam. Aku senang bahwa ia ternyata tidak hanya peduli
padaku, tetapi juga mempercayakan sesuatu kepadaku. Ia mengandalkanku.
Bapak kemudian
menyuruhku menunggu. Sementara ia melangkah memasuki sebuah gang perkampungan,
meninggalkanku berdiri di depan stasiun kota. Aku tak tahu apa yang menjadi
tujuannya. Sebentar aku mencoba menyusulnya. Kuawasi rumah, toko, warung yang
berdiri berdempetan di kanan-kiri. Mataku memperhatikannya hingga ke dalam. Tak
banyak orang dewasa yang berlalu-lalang di jalanan. Akan tetapi, mereka banyak
terlihat duduk-duduk di warung-warung. Hanya beberapa saja yang duduk-duduk di
beranda rumah.
Aku lantas
berhenti di depan sebuah warung. Di samping kanannya, agak menjorok ke dalam,
kulihat Bapak duduk dengan seorang perempuan. Beberapa orang dewasa tersenyum
aneh saat aku melongok-longokkan kepala di depan mereka. Seperti melihat
sesuatu yang lucu, mereka kemudian tertawa disertai olok-olok. Aku diam
memendam kesal. Aku paling benci dengan apa yang disebut dengan olok-olok.
Tiba-tiba
Bapak berjalan ke arahku. Dengan bantuan cahaya lampu, kulihat wajahnya
menyatakan bahwa ia tak senang aku datang kepadanya. Ia kemudian menyeretku
kembali ke jalan.
“Kau tuli, ya!
Dibilang suruh tunggu sebentar kok, …” Aku tak menghiraukan perkataannya. Aku
buru-buru lari menuju stasiun. Menunggu ia kembali seperti yang disuruhnya.
Sudah pegal
rasanya aku menunggu Bapak. Aku tak tahu ia akan kembali atau tidak. Beberapa
orang dewasa dan beberapa keluarga yang berjalan keluar-masuk stasiun menatapku
dengan tatapan aneh, seperti tidak sepakat dengan apa yang dilihatnya. Seorang
laki-laki kecil berbaju kumal, sendirian di pintu stasiun tanpa orang tua.
Namun, aku terus menunggu. Sampai akhirnya stasiun menjadi lebih sepi. Pintu
dari terali besi di belakangku pun ditutup. Dan seorang laki-laki kemudian
memberikan tatapan seorang detektif.
“Rumahmu mana,
Nak?”
“Sanur.”
“Siapa nama
Bapakmu?”
“Markolan.”
Ia diam dan
berpikir sejenak.
“Mau
kuantarkan pulang?”
Entah. Kenapa
aku mengangguk begitu saja dengan tawarannya itu. Barangkali karena aku seorang
anak kecil yang lugu, dan begitu saja percaya dengan orang dewasa. Aku tak
pernah memikirkan bahwa mungkin saja ia punya maksud untuk mencelakakanku. Atau
barangkali karena seragam petugas stasiun yang dipakainya itu yang membuatku
menganggap laki-laki itu adalah orang yang baik.
Di tengah
perjalanan mengantarku pulang, aku tiba-tiba menjadi resah. Ia membelokkan
sepedanya memasuki sebuah kampung yang bukan desa Sanur. Jangan engkau bilang
aku tak mempunyai kewaspadaan seorang anak kecil tentang gelagat-gelagat yang
tak baik. Aku punya. Seketika berbagai pikiran tentang sesuatu yang buruk
menguasai kepalaku. Akan tetapi, lantas aku menjadi lega. Rupanya, laki-laki
itu membawaku pulang ke rumah Kakek.
Sejak saat itu
aku tinggal bersama Kakek. Karena Bapak tak pernah pulang. Tak pernah kembali
kepadaku; anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar