Laman

Minggu, 24 Januari 2021

PENYAKSIAN DAN GERAK DALAM KABUT

Menikmati esai dari puisi berjudul "Kabut" 
karya Goenawan Mohamad

Usai hujan sepanjang malam, pagi tergelar juga di luar pintu. Selain dingin, Abdun mendapati jejaknya di udara. Entah, berapa liter air menguap dan merendah sebagai kabut. Meskipun jangkauan mata menciut, namun hal itu bukan masalah bagi Abdun. Tak perlu baginya mencari dan menyalakan lampu kabut. Karena dia tahu, itu hanya akan sia-sia. Lantaran barang itu belum pernah ada tersimpan di rumahnya.

Tak perlu juga menyalakan mesin sepedamotor butut. Lantas mengendarainya dengan tarikan kuat-kuat pada gas. Menembus dingin di permukaan aspal jalan yang menggigil. Ke kota hanya untuk membeli kacamata kabut. Tak perlu. Selain tak pernah terekam dalam daftar pengeluaran tak terduga—yang biasanya ditambal dengan menjual kambing—, pasar dan toko-toko di kota umumnya masih belum buka. Namun yang terpenting dari semuanya, Abdun merasa kedua matanya sehat dan baik-baik saja.

Yah, tak ada yang rumit dalam kabut. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan secara keterlaluan dari semua kejadian. Sederhana saja. Proporsional, demikian istilah populernya. Karena itu, Abdun pun menikmatinya.

Kabut yang jarang-jarang tergelar di hadapannya. Menyamarkan pepohonan, pematang sawah, dan segala yang setiap hari dilihatnya. Kini, semua itu muncul dalam ingatannya. Melompat-lompat, menjangkau sebuah kalimat. Mengingatkan pada ungkapan Mbah Mad, gurunya, yang kerap diulang-ulang.

“Kalam Tuhan tak pernah berhenti. Maka pandanglah semuanya sebagai ayat.”

Lantas, untuk siapakah semua ayat ini?! Apa hakikat dan tujuannya?!

 ***

Pertanyaan dan wacana di atas inilah yang agaknya dikemukan dalam puisi “Kabut” karya Goenawan Mohamad, sebagaimana termaktub pada buku “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”, Jakarta: Metafor Publishing, 2001. Secara lengkap dituliskan sebagai berikut:

 

Kabut

 

Siapakah yang tegak di kabut ini.

Atau Tuhan, atau kelam:

Bisik-bisik lembut yang sesekali

Mengusap wajahnya tertahan-tahan

 

Kepada siapakah kabut ini

Telah turun perlahan-lahan:

Kepada pak tua, atau kami

Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan

 

1963

 

***

Istilah kabut, umumnya menunjuk pada uap air dekat permukaan tanah, yang berkondensasi menjadi mirip awan. Terjadinya kabut disebabkan hawa dingin dan kadar kelembaban yang tinggi. Di sini, kabut menjadi sebuah fenomena alam yang acapkali hadir dan terasa melampaui kemampuan manusia. Maka, lumrah jika kita pun bertanya-tanya tentang keberadaannya. Sebagaimana dinyatakan pada larik pertama yaitu, ...Siapakah yang tegak di kabut ini/.

Ungkapan di atas tidak lain merupakan gambaran umum dari berbagai pertanyaan awal yang pernah muncul pada diri manusia. Sebuah pertanyaan ontologis yang sederhana sekaligus rumit, lantaran menjangkau lapis-lapis pengetahuan. Tentang realitas yang mengejawantah bersama kabut. Realitas yang terlihat secara kasat mata atau (kabut) itu sendiri. Atau realitas tunggal yang merupakan hakikat dari segala keberadaan (Tuhan). Atau kesan yang tertangkap dari realitas (kelam).

Ketiga dimensi inilah yang biasa tergelar di hadapan manusia. Juga menyapa manusia dalam… Bisik-bisik lembut yang sesekali/ Mengusap wajahnya tertahan-tahan//. Barangkali, dahi seseorang akan berkerut-kerut dan kepalanya menjadi hangat lantaran memikirkannya.

Berpikir, itulah. Tidak lain merupakan perintah untuk manusia ketika berhadapan dengan ayat-ayat, baik tersurat maupun tersirat. Tidak hanya melibatkan potensi intelektualitas, tetapi juga spiritualitas. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab suci, yaitu iqra’ bismirabbika. Proses berpikir yang umum dinyatakan dalam ungkapan seperti afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala ta’lamun, dan lainnya.

Sebagai petunjuk bagi manusia yang berpikir, umumnya ayat-ayat hadir dalam realitas yang terlihat atau memungkinkan untuk diidentifikasi. Namun, tidak cukup berhenti pada yang terlihat secara kasat mata. Proses berpikir manusia perlu diarahkan untuk menembus kabut. Hingga pada dimensi hakikat, yang merupakan poin terpenting dari keberadaannya. Pada titik ini, yang kemudian dituntut dari manusia adalah penyaksian atas-Nya.

Berbeda dengan bait pertama yang mengarah pada wacana realitas—hakikat—, bait kedua puisi menunjukkan pada wacana gerak atau proses dinamis. Di sini, ungkapan,… Kepada siapakah kabut ini/ Telah turun perlahan-lahan:/ menghadirkan gerak waktu bersama (kabut) rahasianya yang menyimpan realitas di masa depan. Tentang harapan yang mungkin menjadi nyata. Baik yang disebut gagal ataupun sukses, yang terpenting dari semuanya adalah gerak atau proses.

Kemudian ungkapan… Kepada pak tua, atau kami/, agaknya mengarah pada kandungan waktu atau usia manusia dalam dua kategori, yaitu tua dan muda. Terkait waktu, konon dikatakan bahwa yang dimiliki (pak tua) orang yang berusia lanjut adalah masa lalu dan pengalaman. Sementara yang dimiliki oleh (kami) anak muda—kalangan usia penyair kala itu— adalah masa depan dan cita-cita. Maka tidak heran, jika kakek atau nenek seseorang, misalnya, akan berusaha memanfaatkan waktu untuk menceritakan masa lalunya. Tentang kenangan yang bahagia, kesuksesan, dan sebagainya, yang barangkali bisa diambil sebagai pelajaran oleh generasi berikutnya.

Pada baris terakhir, ungkapan… Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan// menjadi pilihan dari luas kesempatan yang dimiliki oleh seseorang. Memanfaatkan waktu untuk (kerja) gerak kreativitas dan hal-hal produktif, atau membiarkan (sawah sepi ditinggalkan) dengan meringkuk dalam kemalasan yang dingin.

Dalam setiap masyarakat dan setiap bangsa, tidak dipungkiri, generasi muda selalu diharapkan dalam perubahan. Selalu penting dalam gerak perubahan masyarakat. Bahkan, untuk menggoncang dunia. Demikian yang pernah diungkapkan Bung Karno.

Yah, gerak dinamis itulah poinnya. Untuk menjadi sesuatu. Entah, apa. Dari semua yang bernilai, barangkali adalah menjadi manusia, dalam kemanusiaan.

 

***

Perlahan kabut mengudar. Tak jauh dari arah depan, Abdun melihat Mbah Saleh dan istrinya tengah berjalan menyusuri pematang sawah. Entah, apa tujuan sepasang kakek-nenek berusia tujuhpuluh tahun plus itu. Setiap hari selalu pergi ke sawah. Pagi-pagi selalu. Berjibaku dengan lumpur. Juga, dengan bongkah.

Abdun tahu. Semua anak dari keduanya telah menjadi “orang” di luar kota. Setiap lebaran, mereka pulang dengan mobil sendiri-sendiri. Setiap bulan, tak lupa mengirim uang untuk kedua orang tua. Bahkan, tak jarang mereka ber-infaq untuk biaya pembangunan masjid dan mushala di kampung halaman.

Ah, mungkin bagi keduanya, bekerja di sawah adalah gerak dan penyaksian dalam hidupnya. Terlebih di sepuh usia. Demikian, gumam Abdun. Terdiam dengan pikiran yang masih menduga-duga [*]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar