Catatan Kesan atas Puisi-Puisi Herry Lamongan
Oleh A. Syauqi Sumbawi
Salah satu keunikan manusia adalah upayanya untuk memahami diri sendiri. Kendati para ahli—terutama yang concern dalam kajian filsafat manusia—telah menawarkan berbagai konsep ilmiah yang variatif dari berbagai perspektif, namun hal tersebut tampaknya belum cukup memadai, serta bukan merupakan proyeksi manusia yang sebenarnya. Walhasil, permasalahan manusia tetap menjadi sebuah misteri, dimana seluruh peristiwa yang berkaitan dengannya menjadi kauniyah.
Manusia adalah makhluk puitika, barangkali dapat dikatakan sebagai salah
satu konsep mengenai manusia dalam konteks keterlibatannya dengan “dunia
puisi”, dimana “moment puitika” merupakan syarat untuk “menjadi”, baik dalam
mencipta, membaca, maupun mengapresiasi karya puisi. Dengan moment puitika
pula, manusia membuat jarak dari kehidupan sehari-hari. Bukan terpisah, tetapi
menjadikannya sebagai “medan makna”, sehingga melahirkan sesuatu yang indah,
yakni bermakna untuk kemanusiaan.
Proses di atas, tidak lain merupakan catatan kesan penulis atas beberapa
puisi Herry Lamongan, dimana berbagai peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari—yang tampaknya biasa—di hadapan penyair berubah menjadi moment puitika.
Di sini, pada titik ketersambungan historis antar peristiwa—terutama antara
idealitas dan realitas—, potensi makna bermanifestasi dalam bentuknya kali ini,
yaitu “Kembali ke Taman”, “Perantaan
Saat Senja”, “Kwartin Desember”, “Gambarmu
Memanggil-manggil”, “Orasi
Musim Kampanye”, “Ujung Satu Benturan,” dan “Dendang Kecil.”
Ketersambungan antara idealitas dan realitas merupakan kesan yang paling
tampak atas puisi “Kembali Ke Taman”.
KEMBALI KE TAMAN
Sekian lama berhenti saja
Pentas-pentasmu dalam angan
Engkau berlalu sendiri-sendiri terpisahkan jarak
Engkau biar berduka sebuah rabu diam tergantung
Sebuah sore yang terlanjur mapan
Berantakan pudar, lusuh dan berkarat
Kembali ke taman
Tersisa murung dinding usia lapuk pelahan
Engkau semakin lelap dalam gigil
Perjalanan harus dimulai dari awal
Dari serpih kenangan yang pernah engkau nyanyikan
Di masa lalu
Terjaga di pintu terbuka
Lupakan yang pergi
Catat yang mekar dengan kilau doa
Dengan kibar semangat
Secara keseluruhan, puisi ini menyiratkan romantisme dinamis, sekaligus
menjadi jembatan yang menghubungkan antara realitas statis menuju idealitas
gerak di dalamnya. Idealitas gerak yang memberikan kebahagiaan. Dengan konteks
aktivitas dunia kesenian, puisi ini menyapa untuk melanjutkan yang semestinya,
seperti pintu terbuka bagi langkah-langkah kita, keluar dari sepi yang rugi.
Pada spektrum yang lebih luas, puisi ini juga memproyeksikan dinamika idealitas
humanisme universal, baik individu maupun sosial, terkait prinsip dualisme
dalam kehidupan itu sendiri, seperti siang dan malam, yang mensyaratkan
harmonisasi.
PRATAAN SAAT SENJA
Memasuki gelombang bukit-bukitmu
Matahari bergulir redup
Lingsir menyuci dedaun jati di Prataan
di sungai rindumu yang berangkat siang tadi
Senyummu berkebaran lepas dari jerat tahun
Jerat jam kerja yang rutin berulang-ulang,
Hari senja pada Desember yang senja
Tenda-tenda ditegakkan
Hirup pikuk diungsikan
Kita sewa sepi di jantung Tuban paling dalam
Pada puisi “Perantaan Saat Senja”, romantisme muncul menjadi semangat
untuk menepi dari rutinitas yang dianggap normal. Bukan sekadar mengusir
kebosanan atau mencari hiburan, tetapi lebih merupakan sebuah gerak reflektif,
yang telah berubah mewah dan langka oleh profanitas keseharian. Gerak reflektif
yang disengaja untuk menyentuh idealitas yang sakral.
Impresi
ketersambungan idealitas dan realitas tampak pula pada puisi “Kwartin Desember”
yang satiris.
KWARTIN
DESEMBER
Sepasang kekasih lungguh
berhimpitan atas motor
Mematikan mesin, tanpa gupuh berkasih-kasihan
memeluk Desember di tepi zaman. Berdekapan
mesra melagukan alamat palsu ala kadarnya...
Dengan
konteks percintaan anak muda dan pacaran, puisi ini mengisyaratkan
keterhimpitan waktu dan terhentinya gerak idealitas, yang lebih disebabkan oleh
adanya pragmatisme-egois yang lahir dari kondisi yang tampak menyenangkan.
Realitanya, hidup tidak seperti itu, melainkan siklus dualisme kondisi. Dan
setiap akhir waktu menyimpan sejarahnya sendiri.
Berbeda dengan ketiga puisi di atas yang menyimpan idealitas personal,
idealitas dari empat puisi berikut, lebih bersifat sosial dan kekeluargaan.
Pada puisi “Gambarmu Memanggil-manggil” dan “Orasi Musim Kampanye”, masa
pemilihan umum menjadi konteks yang tegas, terutama aktivitas kampanye. Hal menarik
dari dua puisi ini adalah hubungan pesan di antara keduanya yang saling
melengkapi, baik terkait bentuk kampanye—melalui visual-tulisan dan lisan,
sifat dan bentuk pelanggaran, maupun kausalitas yang terkandung di dalamnya.
GAMBARMU MEMANGGIL-MANGGIL
Ke mana pun aku berpaling
Wajahmu hadir berlembar-lembar sepanjang jalan
Aku menempuhmu dari desa sampai kota sebelum
seruanmu diam ditanggalkan pekan hening
Ke mana pun kaki menempuh
Gambarmu memanggil-manggil, teriakmu melambai-lambai
sebelum panwas atau pol pp atau lawan-lawan politikmu
mencopoti belitanmu di pohonan di cagak-cagak,
mengusir
namamu dari kain bentang yang menjajah angkasa
Karena engkau bukan merah putih kekasih bangsa sejati
yang wajib ada dalam degup jantung bunda pertiwi
engkau hanya maksud baik dikemudikan hasrat semusim
maka dekat benar dengan benturan dengan janji-janji
kelam
sementara berhenti berduka
Aku mendengar sapaanmu serak dalam gambar
Aku membaca tubuhmu dalam sajak
Terbata-bata lungkrah
***
ORASI MUSIM KAMPANYE
Suaramu lantang. Wajah menyala. Buih semulut
membasuh basah luas lapangan
Engkau lebih tampak memaksa. Mengecam
keras tetangga kiri kanan,
memuji tinggi diri pribadi mendesak pemilih suka
padamu
Apa kata yang menarik dari hingar musim kampanye
Kata-kata orasi
Jejak-jejak janji
Jalan perkawanan yang kelak dihapus dari peta
untuk dilupakan
Ruang-ruang berduka atau
gembira setelah perhitungan
Tapi langit berkabung
Bahkan tak sedikit memilih suwung
Memilih tidur
Atau pergi memancing pada hari pemilu
Ya, siapa yang mau peduli ?
Puisi “Gambarmu Memanggil-manggil”
menggambarkan kondisi idealitas-minus, yaitu pelanggaran terhadap peraturan
sosial dan pragmatisme untuk kepentingan pribadi. Begitu pula, dengan
janji-janji politik yang faktanya, acapkali dikhianati. Karena itu, tidak heran
jika skeptisisme dan apatisme menjadi salah satu jawabannya. Sementara pada “Orasi Musim Kampanye”, kondisi
idealitas-minus lebih bersifat etis dan mengarah pada pengabaian tanggungjawab
moral, bahkan dalam bentuknya yang vulgar.
Kondisi
idealitas-minus, terutama dalam kepemimpinan nasional diungkapkan dalam puisi
“Ujung Satu Benturan”, yang menggambarkan episode berikutnya dari dua puisi
sebelumnya.
UJUNG SATU BENTURAN
Herry
Lamongan
kursi-kursi melayang di angkasa pengap
berkelepak beku sediam batu
lalu hinggap merah pada kepala
siapa dilarikan ke rumah sakit?
ruangan itu bertanya pada waktu
aku tak kuasa menjawabmu kerna luka benturan
mengiris pedih setiap hati
negeri hanya hirup-pikuk nama-nama
hanya tumpahan janji meringkuh merah
mambasah dada
sungguh kabar bangsaku
cuma debat riuh tanpa makna
entah, mengalir sengit tanpa bismillah
Konflik
politik dan kepentingan di kalangan elite, merupakan ekspresi yang tak
berkesudahan sebagai kelanjutan, sekaligus konsekuensi dari pemilihan umum yang
tidak ideal, dimana dampaknya sangat terasa dalam kehidupan rakyat sehari-hari.
Anehnya, pertikaian tersebut tampaknya sengaja diciptakan, untuk dijadikan
sebagai medan pencitraan kalangan elite. Bahkan, sebagai pengalihan atas
tanggungjawab moral terhadap pemenuhan janji-janji politik masa kampanye.
Walhasil, inilah sebuah drama politik, dimana rakyat adalah korban dari setiap
episodenya. Sebuah proyeksi dari kehidupan yang kehilangan aspek
spiritualitasnya. Nilai-nilai—spiritualitas— yang seharusnya dirawat, malah
dirusak oleh para penjaganya sendiri, terutama melalui hipokrisi. Puisi ini
tampak sebagai otokritik terhadap realitas ke-Indonesia-an kita, dimana seluruh
kehidupan berbangsa dan bernegara, idealnya harus dijiwai oleh “Ketuhanan yang
Maha Esa”.
Idealitas
yang bersifat kekeluargaan menjadi kesan penting dalam puisi “Dendang Kecil”, terutama peran dan
tanggungjawab orang tua terhadap anak-anaknya.
DENDANG
KECIL
: kepada istri
anak-anak tidak balik ke rumah
pada jam-jam pulang sekolah
pada malam-malam usai siang yang tegesa
juga pada saat liburan yang tak seberapa
tiada terkata dalam hitungan
sudah berapa lama mereka pergi dewasa, jauh
berguru atau menikah
mereka lepas masa kecil yang bersahaja
meninggalkan dongengmu sebelum pulas
lalu menulis sejarahnya sendiri
di lembar kusut pakeliran masa depan
seperti kata Gibran, anak-anak
bisa engkau bikinkan rumah tubuhnya
tetapi tidak bagi jiwanya
karena anak-anak pergi dari hangat pelukanmu
membiarkan kita berdua kembali
membasuh umur kian kusam tanpa mereka
ya, selusin sajak engkau lahirkan
selusin pula meninggalkan rumah ini
diam termangu digergaji sepi
Romantisme menjadi ekspresi umum dalam
puisi ini terkait
keberadaan seorang anak dalam kehidupan keluarga, dimana proses afeksi,
proteksi, edukasi, dan sebagainya berkelindan seiring berlalunya waktu, yang
mengantarkan pada tanggungjawab dalam bentuknya yang lain ketika seorang anak
telah dewasa. Hal yang patut dicatat, yakni siratan siklus kemanusiaan yang
bersifat dinamis dan eksistensi kemanusiaan dalam diri seorang anak. Kemudian,
dari kompleksitas kehidupan keluarga, baik suka maupun duka, harmonisasi
merupakan keniscayaan yang menjembatani dualisme yang senantiasa mewarnai
historisitas kehidupan anak manusia.
Ulasan
di atas, tidak lebih merupakan kesan penulis dari tujuh
puisi karya Herry Lamongan. Beberapa varian idealitas, baik personal maupun
sosial, diungkapkan secara sederhana. Kesederhanaan yang terkadang mengecoh.
Karena acapkali kita mendapati sesuatu yang “besar” yang tersimpan dalam
keberadaannya yang tampak sederhana. Barangkali, inilah salah satu karakter
dari karya para penyair berpengalaman, yaitu menampilkan nilai dan kualitas
dari keseharian yang biasa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar