Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Ketika Rasa?”
Oleh A.
Syauqi Sumbawi
Bacalah!, demikian
perintah pertama dalam tradisi sebuah agama. Bukan sekadar perintah, tetapi
juga memproyeksikan proses kehidupan manusia di dunia. Karena itu, perintah “bacalah!”
tidak bisa diartikan sebatas membaca huruf, meskipun pelajaran pertama manusia
dikenalkan dengan huruf dan “nama-nama”. Akan tetapi, “membaca” keberadaan yang
tidak bisa dilepaskan dan selalu mengelilingi manusia, yaitu hidup dan
kehidupan. Membaca peristiwa (kauniyah)
dan diri sendiri, dimana proses intelektualitas dan spiritualitas menjadi hal
yang kentara di dalamnya. Dan inilah berikutnya yang umum terjadi pada manusia setelah
huruf dan “nama-nama”, yaitu proses identifikasi, memahami dan memaknai segala
sesuatu yang terjadi dan dialaminya.
Uraian di atas adalah
kesan saya terhadap puisi-puisi yang terantologi dalam buku “Ketika Rasa?”. Berbagai identifikasi terkait
pengalaman, perasaan, dan pemahaman tentang peristiwa dan keberadaan manusia menjadi
gambaran umum dari inspirasi serta kreativitas para penyair. Terkait hal
tersebut, catatan ini lebih difokuskan pada contens
puisi yang akan dikemukakan dalam sub-bahasan sebagai berikut, yaitu identifikasi
keberadaan manusia, cinta, proses dan cita-cita, kondisi (sosial) manusia,
serta pemaknaan terkait waktu dan peristiwa, hidup manusia dan keberadaan
Tuhan.
Identifikasi Keberadaan
Manusia: Pengalaman dalam Ragam
Hubungan
Keniscayaan manusia tidak bisa hidup tanpa
kehadiran yang lain, menegaskan keberadaannya sebagai makhluk sosial. Kedekatan
emosional, baik afeksi, motivasi, maupun simpati dan empati menjadi muatan khas
dalam proses awal tentang keberadaan dirinya, yaitu sebagai anak, murid, dan
teman bagi sesamanya. Kesan utama yang tertangkap dalam buku “Ketika Rasa?”,
yakni proses identifikasi dan pemaknaan terhadap keberadaan yang lain.
Pengalaman manusia sejak masih kecil bersama
keluarga, menciptakan hubungan personal yang sangat kuat pada diri anak terhadap
orang tua. Beberapa puisi yang
mengekspresikan kehidupan keluarga dan harapan dalam dimensi waktu, yaitu “Orang Tua” dan “Ibu” karya Fitri Fa’izah, “Ayahku Pahlawanku” dan “Ibu Tercinta” karya Rangga. A. F, “Bintang Harapan” karya Rizka Arwendy, dan “Luka” karya EDS.
Keberadaan orang tua yang sangat
berjasa dan peran yang tak tergantikan, menjadi kesan utama, dimana pada
gilirannya memberikan rasa kehilangan yang sangat besar bersama ketiadaannya. Juga
kesedihan mendalam serta diri yang kehilangan arti. Hal ini diungkap sebagai
berikut:
…Bergumam di atas sujud panjang/ Dia menampar
hidupku tanpa kasihan/ Membuat puing-puing berserakan/ Aku terpenjara oleh
duka/ Jalanku lunglai tak berdaya/ Bagaimana bisa aku hidup tanpa ayah//
(“Luka”,
hlm. 15)
Lembaga
pendidikan atau sekolah, tidak dipungkiri, menjadi ruang sosial penting setelah
keluarga. Keberadaan dan peran guru yang sangat krusial diungkapkan dalam
puisi, yaitu “Guruku” karya Diah safitri, “Guruku Pahlawanku” karya Rangga. A. F. Kesan utama
yang tertangkap yakni identifikasi dan pemahaman mengenai jasa-jasa guru, baik
ilmu, motivasi, bimbingan, maupun keteladanan dalam pendidikan, yang turut
menguatkan keberadaannya, sebagaimana ditunjukkan oleh gelar yang disematkan,
yaitu pahlawan tanpa tanda jasa.
Keberadaan
teman di lingkungan sekolah dan ruang pergaulan lainnya, mengarah pada
identifikasi hubungan yang lebih karib. Hal ini terutama melibatkan unsur-unsur
terdalam diri manusia, baik psikis maupun rasa, dimana upaya saling memahami,
kerjasama, juga rasa ketertarikan terhadap lawan jenis menjadi gambaran umum di
dalamnya.
Beberapa
puisi yang mengidentifikasi keberadaan teman atau hubungan pertemanan dengan
berbagai muatan pengalaman, baik positif maupun negatif, yaitu “Sahabat Sejati” karya Rangga. A. F., “Sahabat Sejati” karya Afif Aflakhul Z, “Sahabat” karya Iriana Kusmita Sari, “Perjalanan Senja” karya Yuli Aprilia, “Tera Yaar Hoon Main” karya Nesa, “Kawan” karya Fatika Putri dan “Aku, Kamu, dan Kita” karya EDS.
Dari
semuanya, nilai penting yang dihadirkan yaitu keberadaan simpati dan empati serta
rasa saling berbagi dalam suka maupun duka. Juga dukungan, pesan, dan motivasi.
Hal ini diungkapkan, misalnya:
Kawan, sebentar lagi kita kan
berpisah/ Berjuang antara bila dan jika/ Antara ada dan tiada/ Mungkin antara
hidup dan mati/ Namun jika gelap kan datang/ Kabut berpaut dengan suatu
kepekatan/ Maka nyalakan lentera dalam kalbumu/… (“Kawan”,
hlm. 50)
Hubungan lain yang menyiratkan
kedekatan pribadi yakni keberadaan sosok idola—selebritis—. Kendati umumnya
lebih merupakan kedekatan psikis serta terjalin melalui sebuah media, bukan
fisik sehari-hari, namun hal tersebut cukup penting dalam membentuk
kepribadian. Hal ini karena figur idola adalah representasi dari harapan dan
keinginan bagaimana seseorang dalam proses menjadi. Atau mendekat pada
“nilai-nilai” yang dipandang penting terkait kehidupannya. Beberapa puisi yang
menyoroti hal tersebut, yaitu “Idolaku” karya Rahmasita Rafida, “Idola” dan “Park Jimin” karya Callista L. S. S.
Indentifikasi
tentang Cinta: Perasaan Manusia di antara Harapan dan Kenyataan
Identifikasi pengalaman
dan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis yang umum disebut cinta, dalam
berbagai ekspresinya dikemukakan pada beberapa puisi yaitu “Tentang Cinta” karya Isni Laily, “Definisi Kamu” dan “Rindu Seorang Pesilat” karya Afif Aflakhul Z., “Teman Hidup” karya Miftakhul Jannah, “Dia” karya Iriana Kusmita Sari, “Ini Aku” dan “Rindu”
karya EDS, “Sebatas Angan dan Harapan” karya Fika Aulia Rahma, “Untuk Tuan (Dari Puan)” karya Tami, “Harap dan Sekian” serta “Mencoba” karya Nesa, “Akhir Sebuah Semu (Semu 2)” karya Zahwa Pramudiya, dan “Bisikan Langit” karya Fitri
Fa’izah.
Kesan
utama dari puisi-puisi cinta dalam buku ini adalah lahirnya harapan dan kebahagiaan
yang tercipta dalam kebersamaan dengan lawan jenis, sekaligus melengkapkan
keberadaan manusia, laki-laki maupun perempuan. Dalam kelindan rasa di ruang
terdalam pada diri manusia, tidak heran jika kegagalan dan pengalaman lainnya
tentang cinta, menjadi sesuatu yang kuat membekas dalam kenangan.
Salah satu
yang agaknya cukup menarik dari puisi-puisi cinta ini, yakni munculnya stigma
patriakhis bersama “ketentuan langit” tentang kodrat perempuan sebagai pihak
yang menunggu atau pasif, seperti dikemukakan berikut:
Berawal oleh sang hawa dari
tulang rusuk Adam/ Aku hanya bisa menunggu tanpa bisa memaksa//…
Kau
tahu, menjadi perempuan itu sangat sulit/ Tidak diizinkan untuk mengungkapkan
rasa/ Bahkan tidak boleh memiliki rasa/…
(“Bisikan Langit”, hlm.
16)
Pengalaman
dan kenangan tentang cinta antara harapan dan kenyataan dikemukakan dalam
beberapa puisi, yaitu “Senja” karya Sajak semesta, “Cinta Dalam Diam” karya Callista. L. S. S, “Masih (dia) di Relung Jiwa (mu)” karya Tami, “Tentang Dirimu” karya Fatika
Putri, “Merindu Wajah Kekasih” karya Fika Aulia Rahma, “Rindu” dan “Malam
ini Tak Ada Lagi Kita” karya Rizka Arwendy, “Ilusi Dalam Senja” dan “Ilusi Tak Bertepi” karya Riska Bunga, “Sebuah Rasa” karya Yuli Aprilia, “Semu” karya Zahwa Pramudiya, “Sepucuk Cerita” karya Nesa, “Terlanjur” dan “Separuh
Harapan” karya Isni Laily, “Janji Alam” karya Rendy Pratama, dan “Rindu” karya Miftakhul Jannah.
Kenyataan
yang tidak sesuai dengan harapan serta perjalanan cinta dalam dimensi waktu,
pada gilirannya akan mengarahkan pada pemahaman umum tentang takdir cinta. Hal
inilah yang menjadi kesan utama dari beberapa puisi, yaitu “Impian Bersamamu” karya Fitriya Bintang, “Setahun” karya Tami, “Ambang Kepastian” karya Achmad Sahid. Hal tersebut diungkapkan,
misalnya:
…
Tasbihku dan salibmu tak mungkin bisa menyatu/ Aku
sadar cinta padamu tak pernah melebihi cinta pada Tuhanku//…
Takdir memang tak pernah
berkata iya pada dua manusia/ yang tak sama// (“Setahun”,
hlm. 100)
Soal hati kita tak pernah ragu/ Setiap langkah
lahir sejarah baru/ Namun soal kehendak-Nya kita tak menahu/ Maha kasih sayang
menjawab keraguanmu//
Berada dalam ambang kepastian/ Bukan hanya menunggu
kekasih idaman/ Tapi bagaimana soal mengikhlaskan/ Jikalau Tuhan memberikan
perbedaan jalan// (“Ambang Kepastian”, hlm. 20)
Identifikasi Proses
dan Cita-cita: Tujuan Manusia dalam Partikularitas
Waktu
Pengalaman dan
pemahaman tentang kehidupan manusia di dunia, mengarahkan manusia pada
identifikasi diri sendiri bersama waktu. Melihat gambaran dirinya di masa depan
serta berupaya mewujudkan keinginan maupun cita-cita, yang tak lain adalah
konkritisasi terkait apa dan bagaimana dia dalam proses menjadi. Dalam
partikularitas waktu, manusia pun menyusun rencana secara matang dan
menjalankannya secara maksimal. Tidak lain, demi sesuatu yang disebut
kesuksesan, yang melahirkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Beberapa puisi
yang mengekspresikan keinginan dan cita-cita, yaitu “Derai Waktu” karya Umu Mas’ula Sa’adah (ilmu),
“Mimpi” karya Callista. L. S. S. (cita-cita), “Apa Kabar Kawan?” karya Sajak semesta, “Terlalu Larut” karya Yuli Aprilia, “Sepenggal Mimpi” karya Diah Safitri, dan “Lembaran Cerita” karya Miftakhul Jannah.
Dari semuanya, pesan utama yang tertangkap bahwa
proses menuju cita-cita tidaklah instan. Diperlukan perjuangan yang besar dan
waktu yang tak sebentar, dimana seseorang perlu mengerahkan seluruh potensi
diri. Selain pengetahuan dan usaha, hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah doa
kepada Tuhan. Karena kesuksesan dalam cita-cita, tidak lain adalah takdir baik di
masa depan. Hal ini, diungkapkan sebagai berikut:
Ilmu hakikat kalbu/ Penuntun keinginan/ Pegangan
jalanan berbatu, berliku, dan meninggi/ Kukejar hingga larut/ Meski waktu
dengan lihainya berdetak cepat/ Tak peduli dengan keluh kesahku/ Dalam
menggapai langit/ Terbang di angkasa bersama bintang kemenangan// (“Derai
Waktu”, hlm. 5)
Aku hanya bisa berusaha/ Sambil memohon pada Tuhan/
Agar takdir baik datang/… (“Mimpi”, hlm. 21)
Identifikasi Kondisi Manusia: Nilai Manusia, Kritik Sosial, Identitas Kultural
Pengalaman
menyaksikan kondisi dan permasalahan manusia dalam kehidupan sehari-hari, mengarahkan
pada identifikasi dan penilaian terhadap berbagai sikap dan perilaku. Beberapa
puisi yang menyiratkan hal tersebut, yaitu “Takut” karya Iriana Kusmita Sari, “Sarah” karya Riska Bunga, “Nilai” karya Annafika Nur Valena Hiljri, “Pedagang Asongan” dan “uang”
karya
Fitriya Bintang, “Pion di Atas Hitam Putih” karya Annafika Nur Valena Hiljri,
“Menjadi Manusia Lain” karya Tami, “Kisah Ayam dan Burung”, “Posthink”, dan “Sia-Sia” karya Rizaldy Alifian Ramadhan, “Terbenam” karya Sajak Semesta, dan “Muak” karya Achmad Sahid.
Sebagai
responnya, yaitu lahirnya rasa simpati atas perjuangan dan empati terhadap
nasib manusia. Juga sindiran dan kecaman terhadap perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Secara umum, puisi-puisi di atas mengarah pesan
utama, yakni menjadi pribadi yang lebih baik, seperti diungkapkan:
…/ Cukuplah menjadi manusia
yang bermanfaat/ Dan seorang hamba yang taat// (“Posthink”, hlm. 76)
Demikian pula dengan respon lain, yakni dalam
bentuk kritik sosial (politik), dikemukakan oleh puisi-puisi, yaitu “Sebuah Percakapan Menyayat Sanubari” karya Aulia Cahyani, “Laungan Jelata” karya Sajak semesta, “Imbas Perang” karya Fatika Putri, “Egois” karya Rendy Pratama, “Sebab Debu Semakin Sendu” karya Miftakhul Jannah dan “Sang Pemilik Kursi” karya Rizaldy Alifian Ramadhan.
Hal yang harus digarisbawahi dari munculnya
puisi sosial tersebut, disebabkan realitas kehidupan manusia yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang disosialisasikan dan diinternalisasikan pada tiap
individu masyarakat. Bahkan, nilai-nilai tersebut malah dirusak oleh kalangan
yang notabene adalah “para penjaganya”.
Sementara pada puisi “Pencak Silat” karya Afif Aflakhul Z.,
menampilkan nilai-nilai budaya luhur, yang menjadikannya penting untuk
dilestarikan. Sekaligus menjadi kebanggaan dan identitas kultural individu dan
masyarakat.
Memaknai Waktu dan
Peristiwa: Pengalaman terkait
kejadian di sekitar manusia
Berbagai moment peristiwa, seperti hujan, senja,
pelangi, angin dan sebagainya, menjadi sesuatu yang sangat personal terkait
pengalaman, pemahaman, dan perasaan manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh
aspek batin manusia yang ikut terlibat di dalamnya, sebagaimana ditunjukkan
beberapa puisi, yaitu “Hujan” karya Aulia Cahyani, “Setelah Kemarau Panjang” karya Annafika Nur Valena Hiljri, “Cermin Bianglala” karya Fatika Putri, “Senja” karya Rahmasita Rafida, “Tanya Bumi” karya Fika Aulia Rahma, “Penyampaian Alam” karya Zahwa Pramudiya, dan “Setelah
Kemarau Panjang” karya Annafika Nur Valena Hiljri.
Poin penting dari puisi-puisi di atas, bahwa selain
menggambarkan proses perenungan dan kondisi perasaan manusia, pengalaman atas berbagai
moment peristiwa tersebut juga mengarahkan pemahaman manusia tentang Tuhan,
seperti dikemukakan dalam puisi “Cermin bianglala” dan “Hujan”.
Gelimang air membiru/ Jernihnya membisu di
samudera/ Bianglala pelangi indahnya warna//
Parasnya melampir kedamaian/ Bersahaja dalam
kesucian/ Menitih di sepanjang masa...// (“Cermin Bianglala”, hlm.
32)
… Ternyata rintik bukan hanya sebuah titik/
Ternyata rinai tidak hanya sedang menyapa/ Ternyata kemalangan hanya mencoba
penyamaran//
Hendak
mengucap syukur, lamun Tuhan sedang menegur/… (“Hujan”,
hlm. 10)
Sementara dalam puisi “Mawar” dan “Kucingku”
karya Rahmasita Rafida, pengalaman
terkait tumbuhan dan hewan menyiratkan keberadaan makhluk lain yang turut
mempengaruhi kondisi batin dan perasaan manusia, terutama sebagai pelipur lara.
Memaknai Hidup Manusia dan Kekuasaan Tuhan: Pengalaman Personal dan Kebergantungan Manusia
Pengalaman
dan keterlibatan manusia dalam berbagai peristiwa bersama waktu, tidak hanya menjadikan
manusia akrab dengan permasalahan, harapan, ketakutan, kegagalan, kematian, dan
sebagainya, tetapi juga berusaha memahami dan memberi makna. Terutama keberadaan
diri sendiri. Hal ini ditampilkan oleh beberapa puisi yaitu, “Syarat
Kembali” dan
“Mimpiku Terhadapmu” karya Rendy Pratama, “Lembayung” dan “Mencari Aku” karya Aulia
Cahyani, “Kosong Kelabu” karya Annafika Nur Valena Hiljri,
“Sendiri” karya Iriana Kusmita Sari, dan “Keabadian di Dunia Mimpi” karya Diah Safitri.
Kesan penting dari puisi-puisi di atas,
mengarah pada lahirnya pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari “ketentuan”
rahasia, yang menguasai hidupnya. Ketidakmampuan menggenggam takdir hidupnya, pada
gilirannya melahirkan kesadaran tentang kebergantungan manusia pada Tuhan,
sekaligus menegaskan posisinya sebagai makhluk religius. Manusia tidak hanya
menyembah dan berdoa, tetapi juga menjadikan-Nya sebagai pusat dari seluruh
proses hidupnya.
Beberapa puisi yang mengekspresikan hal
tersebut, yaitu “Manusia” karya Rizka Arwendy, “Bangun
Dari Kelemahan” dan
“Cinta Sejati” karya Achmad Sahid “Takdir Datang” karya Fitriya Bintang, “Sesal?” karya Riska Bunga, “Yang Pernah Hilang” karya Fika Aulia Rahma, “Cahaya Kesejukan” karya Diah safitri, “Duka”
karya Yuli Aprilia.
Di antara pemahaman penting
tentang Tuhan terkait kompleksitas permasalahan hidup manusia di dunia, yaitu
bahwa Dia Maha Baik dan tak pernah meninggalkan hamba-Nya. Hal ini diungkapkan misalnya, yaitu:
Tak henti-hentinya engkau
berikan/ Rahmat dan nikmatmu bagi kami/ Tuntunan-Mu selamatkan kami/ dari
kejamnya dunia ini// (“Cahaya Kesejukan”, hlm. 26)
Kita tidak sendiri dalam
perjalanan/ Segala kehendak-Nya memunculkan keindahan/ Berjuang dengan kasih
sayang membawa keridaan/ Menghapus segala luka menjadikan impian berlian// (“Bangun Dari Kelemahan”, hlm. 58)
Penutup
Ulasan ini merupakan catatan kesan dari pembacaan sederhana atas puisi-puisi dalam antologi ini. Karena lebih
diarahkan untuk mencari makna umum dan kategorisasinya, tentunya catatan ini
memiliki banyak kekurangan, serta belum mewadahi seluruh unsur yang terkandung
di dalamnya. Akhirnya, inilah
“Ketika Rasa?” yang menghadirkan identifikasi dan pemaknaan peristiwa manusia.
[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar