Laman

Rabu, 11 November 2020

IDENTIFIKASI DAN MEMAKNAI PERISTIWA MANUSIA

Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Ketika Rasa?”

Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

Bacalah!, demikian perintah pertama dalam tradisi sebuah agama. Bukan sekadar perintah, tetapi juga memproyeksikan proses kehidupan manusia di dunia. Karena itu, perintah “bacalah!” tidak bisa diartikan sebatas membaca huruf, meskipun pelajaran pertama manusia dikenalkan dengan huruf dan “nama-nama”. Akan tetapi, “membaca” keberadaan yang tidak bisa dilepaskan dan selalu mengelilingi manusia, yaitu hidup dan kehidupan. Membaca peristiwa (kauniyah) dan diri sendiri, dimana proses intelektualitas dan spiritualitas menjadi hal yang kentara di dalamnya. Dan inilah berikutnya yang umum terjadi pada manusia setelah huruf dan “nama-nama”, yaitu proses identifikasi, memahami dan memaknai segala sesuatu yang terjadi dan dialaminya.

Uraian di atas adalah kesan saya terhadap puisi-puisi yang terantologi dalam buku “Ketika Rasa?”. Berbagai identifikasi terkait pengalaman, perasaan, dan pemahaman tentang peristiwa dan keberadaan manusia menjadi gambaran umum dari inspirasi serta kreativitas para penyair. Terkait hal tersebut, catatan ini lebih difokuskan pada contens puisi yang akan dikemukakan dalam sub-bahasan sebagai berikut, yaitu identifikasi keberadaan manusia, cinta, proses dan cita-cita, kondisi (sosial) manusia, serta pemaknaan terkait waktu dan peristiwa, hidup manusia dan keberadaan Tuhan.     

 

Identifikasi Keberadaan Manusia: Pengalaman dalam Ragam Hubungan

Keniscayaan manusia tidak bisa hidup tanpa kehadiran yang lain, menegaskan keberadaannya sebagai makhluk sosial. Kedekatan emosional, baik afeksi, motivasi, maupun simpati dan empati menjadi muatan khas dalam proses awal tentang keberadaan dirinya, yaitu sebagai anak, murid, dan teman bagi sesamanya. Kesan utama yang tertangkap dalam buku “Ketika Rasa?”, yakni proses identifikasi dan pemaknaan terhadap keberadaan yang lain.

Pengalaman manusia sejak masih kecil bersama keluarga, menciptakan hubungan personal yang sangat kuat pada diri anak terhadap orang tua. Beberapa puisi yang mengekspresikan kehidupan keluarga dan harapan dalam dimensi waktu, yaitu “Orang Tua” danIbu” karya Fitri Fa’izah, Ayahku Pahlawanku” dan Ibu Tercinta” karya Rangga. A. F, Bintang Harapan” karya Rizka Arwendy, dan Luka” karya EDS.

Keberadaan orang tua yang sangat berjasa dan peran yang tak tergantikan, menjadi kesan utama, dimana pada gilirannya memberikan rasa kehilangan yang sangat besar bersama ketiadaannya. Juga kesedihan mendalam serta diri yang kehilangan arti. Hal ini diungkap sebagai berikut:

…Bergumam di atas sujud panjang/ Dia menampar hidupku tanpa kasihan/ Membuat puing-puing berserakan/ Aku terpenjara oleh duka/ Jalanku lunglai tak berdaya/ Bagaimana bisa aku hidup tanpa ayah//

(“Luka”, hlm. 15)

 

Lembaga pendidikan atau sekolah, tidak dipungkiri, menjadi ruang sosial penting setelah keluarga. Keberadaan dan peran guru yang sangat krusial diungkapkan dalam puisi, yaitu Guruku” karya Diah safitri, “Guruku Pahlawanku” karya Rangga. A. F. Kesan utama yang tertangkap yakni identifikasi dan pemahaman mengenai jasa-jasa guru, baik ilmu, motivasi, bimbingan, maupun keteladanan dalam pendidikan, yang turut menguatkan keberadaannya, sebagaimana ditunjukkan oleh gelar yang disematkan, yaitu pahlawan tanpa tanda jasa.  

Keberadaan teman di lingkungan sekolah dan ruang pergaulan lainnya, mengarah pada identifikasi hubungan yang lebih karib. Hal ini terutama melibatkan unsur-unsur terdalam diri manusia, baik psikis maupun rasa, dimana upaya saling memahami, kerjasama, juga rasa ketertarikan terhadap lawan jenis menjadi gambaran umum di dalamnya.

Beberapa puisi yang mengidentifikasi keberadaan teman atau hubungan pertemanan dengan berbagai muatan pengalaman, baik positif maupun negatif, yaitu Sahabat Sejati” karya Rangga. A. F., Sahabat Sejati” karya Afif Aflakhul Z, Sahabat” karya Iriana Kusmita Sari, Perjalanan Senja” karya Yuli Aprilia, Tera Yaar Hoon Main” karya Nesa, Kawan” karya Fatika Putri dan Aku, Kamu, dan Kita” karya EDS.

Dari semuanya, nilai penting yang dihadirkan yaitu keberadaan simpati dan empati serta rasa saling berbagi dalam suka maupun duka. Juga dukungan, pesan, dan motivasi. Hal ini diungkapkan, misalnya:

Kawan, sebentar lagi kita kan berpisah/ Berjuang antara bila dan jika/ Antara ada dan tiada/ Mungkin antara hidup dan mati/ Namun jika gelap kan datang/ Kabut berpaut dengan suatu kepekatan/ Maka nyalakan lentera dalam kalbumu/… (“Kawan”, hlm. 50)

 

Hubungan lain yang menyiratkan kedekatan pribadi yakni keberadaan sosok idola—selebritis—. Kendati umumnya lebih merupakan kedekatan psikis serta terjalin melalui sebuah media, bukan fisik sehari-hari, namun hal tersebut cukup penting dalam membentuk kepribadian. Hal ini karena figur idola adalah representasi dari harapan dan keinginan bagaimana seseorang dalam proses menjadi. Atau mendekat pada “nilai-nilai” yang dipandang penting terkait kehidupannya. Beberapa puisi yang menyoroti hal tersebut, yaitu Idolaku” karya Rahmasita Rafida, Idola” dan Park Jimin” karya Callista L. S. S.

   

Indentifikasi tentang Cinta: Perasaan Manusia di antara Harapan dan Kenyataan

Identifikasi pengalaman dan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis yang umum disebut cinta, dalam berbagai ekspresinya dikemukakan pada beberapa puisi yaitu Tentang Cinta” karya Isni Laily, Definisi Kamu” dan Rindu Seorang Pesilat” karya Afif Aflakhul Z., Teman Hidup” karya Miftakhul Jannah, Dia” karya Iriana Kusmita Sari, “Ini Aku” dan “Rindu” karya EDS, “Sebatas Angan dan Harapan” karya Fika Aulia Rahma, Untuk Tuan (Dari Puan)” karya Tami, Harap dan Sekian” serta Mencoba” karya Nesa, Akhir Sebuah Semu (Semu 2)” karya Zahwa Pramudiya, danBisikan Langit” karya Fitri Fa’izah.

Kesan utama dari puisi-puisi cinta dalam buku ini adalah lahirnya harapan dan kebahagiaan yang tercipta dalam kebersamaan dengan lawan jenis, sekaligus melengkapkan keberadaan manusia, laki-laki maupun perempuan. Dalam kelindan rasa di ruang terdalam pada diri manusia, tidak heran jika kegagalan dan pengalaman lainnya tentang cinta, menjadi sesuatu yang kuat membekas dalam kenangan.

Salah satu yang agaknya cukup menarik dari puisi-puisi cinta ini, yakni munculnya stigma patriakhis bersama “ketentuan langit” tentang kodrat perempuan sebagai pihak yang menunggu atau pasif, seperti dikemukakan berikut:

Berawal oleh sang hawa dari tulang rusuk Adam/ Aku hanya bisa menunggu tanpa bisa memaksa//…  

Kau tahu, menjadi perempuan itu sangat sulit/ Tidak diizinkan untuk mengungkapkan rasa/ Bahkan tidak boleh memiliki rasa/…

 (“Bisikan Langit”, hlm. 16)

 

Pengalaman dan kenangan tentang cinta antara harapan dan kenyataan dikemukakan dalam beberapa puisi, yaitu Senja” karya Sajak semesta, Cinta Dalam Diam” karya Callista. L. S. S, Masih (dia) di Relung Jiwa (mu)” karya Tami, Tentang Dirimu” karya Fatika Putri, Merindu Wajah Kekasih” karya Fika Aulia Rahma, “Rindu” dan “Malam ini Tak Ada Lagi Kita” karya Rizka Arwendy, Ilusi Dalam Senja” dan “Ilusi Tak Bertepi” karya Riska Bunga, Sebuah Rasa” karya Yuli Aprilia, “Semu” karya  Zahwa Pramudiya, Sepucuk Cerita” karya Nesa, “Terlanjur”  dan “Separuh Harapan” karya Isni Laily, Janji Alam” karya Rendy Pratama, dan Rindu” karya Miftakhul Jannah.

Kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan serta perjalanan cinta dalam dimensi waktu, pada gilirannya akan mengarahkan pada pemahaman umum tentang takdir cinta. Hal inilah yang menjadi kesan utama dari beberapa puisi, yaitu Impian Bersamamu” karya Fitriya Bintang, “Setahun” karya Tami, Ambang Kepastian” karya Achmad Sahid. Hal tersebut diungkapkan, misalnya:  

Tasbihku dan salibmu tak mungkin bisa menyatu/ Aku sadar cinta padamu tak pernah melebihi cinta pada Tuhanku//…

Takdir memang tak pernah berkata iya pada dua manusia/ yang tak sama// (“Setahun”, hlm. 100)

 

Soal hati kita tak pernah ragu/ Setiap langkah lahir sejarah baru/ Namun soal kehendak-Nya kita tak menahu/ Maha kasih sayang menjawab keraguanmu//

Berada dalam ambang kepastian/ Bukan hanya menunggu kekasih idaman/ Tapi bagaimana soal mengikhlaskan/ Jikalau Tuhan memberikan perbedaan jalan// (“Ambang Kepastian”, hlm. 20)

 

Identifikasi Proses dan Cita-cita: Tujuan Manusia dalam Partikularitas Waktu  

Pengalaman dan pemahaman tentang kehidupan manusia di dunia, mengarahkan manusia pada identifikasi diri sendiri bersama waktu. Melihat gambaran dirinya di masa depan serta berupaya mewujudkan keinginan maupun cita-cita, yang tak lain adalah konkritisasi terkait apa dan bagaimana dia dalam proses menjadi. Dalam partikularitas waktu, manusia pun menyusun rencana secara matang dan menjalankannya secara maksimal. Tidak lain, demi sesuatu yang disebut kesuksesan, yang melahirkan kebahagiaan dalam hidupnya.

Beberapa puisi yang mengekspresikan keinginan dan cita-cita, yaitu Derai Waktu” karya Umu Mas’ula Sa’adah (ilmu), Mimpi” karya Callista. L. S. S. (cita-cita), Apa Kabar Kawan?” karya Sajak semesta, Terlalu Larut” karya Yuli Aprilia, Sepenggal Mimpi” karya Diah Safitri, dan Lembaran Cerita” karya Miftakhul Jannah.

Dari semuanya, pesan utama yang tertangkap bahwa proses menuju cita-cita tidaklah instan. Diperlukan perjuangan yang besar dan waktu yang tak sebentar, dimana seseorang perlu mengerahkan seluruh potensi diri. Selain pengetahuan dan usaha, hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah doa kepada Tuhan. Karena kesuksesan dalam cita-cita, tidak lain adalah takdir baik di masa depan. Hal ini, diungkapkan sebagai berikut:

Ilmu hakikat kalbu/ Penuntun keinginan/ Pegangan jalanan berbatu, berliku, dan meninggi/ Kukejar hingga larut/ Meski waktu dengan lihainya berdetak cepat/ Tak peduli dengan keluh kesahku/ Dalam menggapai langit/ Terbang di angkasa bersama bintang kemenangan// (“Derai Waktu”, hlm. 5)

 

Aku hanya bisa berusaha/ Sambil memohon pada Tuhan/ Agar takdir baik datang/… (“Mimpi”, hlm. 21)

 

Identifikasi Kondisi Manusia: Nilai Manusia, Kritik Sosial, Identitas Kultural

Pengalaman menyaksikan kondisi dan permasalahan manusia dalam kehidupan sehari-hari, mengarahkan pada identifikasi dan penilaian terhadap berbagai sikap dan perilaku. Beberapa puisi yang menyiratkan hal tersebut, yaitu Takut” karya Iriana Kusmita Sari, Sarah” karya Riska Bunga, Nilai” karya Annafika Nur Valena Hiljri, Pedagang Asongan” dan “uang” karya Fitriya Bintang, Pion di Atas Hitam Putih” karya Annafika Nur Valena Hiljri, Menjadi Manusia Lain” karya Tami, Kisah Ayam dan Burung”, “Posthink”, dan “Sia-Sia” karya Rizaldy Alifian Ramadhan, “Terbenam” karya Sajak Semesta, dan “Muak” karya Achmad Sahid.

Sebagai responnya, yaitu lahirnya rasa simpati atas perjuangan dan empati terhadap nasib manusia. Juga sindiran dan kecaman terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Secara umum, puisi-puisi di atas mengarah pesan utama, yakni menjadi pribadi yang lebih baik, seperti diungkapkan:   

…/ Cukuplah menjadi manusia yang bermanfaat/ Dan seorang hamba yang taat// (“Posthink”, hlm. 76)

 

Demikian pula dengan respon lain, yakni dalam bentuk kritik sosial (politik), dikemukakan oleh puisi-puisi, yaitu Sebuah Percakapan Menyayat Sanubari” karya Aulia Cahyani, Laungan Jelata” karya Sajak semesta, Imbas Perang” karya Fatika Putri, Egois” karya Rendy Pratama, Sebab Debu Semakin Sendu” karya Miftakhul Jannah dan Sang Pemilik Kursi” karya Rizaldy Alifian Ramadhan.

Hal yang harus digarisbawahi dari munculnya puisi sosial tersebut, disebabkan realitas kehidupan manusia yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal yang disosialisasikan dan diinternalisasikan pada tiap individu masyarakat. Bahkan, nilai-nilai tersebut malah dirusak oleh kalangan yang notabene adalah “para penjaganya”.

Sementara pada puisi Pencak Silat” karya Afif Aflakhul Z., menampilkan nilai-nilai budaya luhur, yang menjadikannya penting untuk dilestarikan. Sekaligus menjadi kebanggaan dan identitas kultural individu dan masyarakat.

 

Memaknai Waktu dan Peristiwa: Pengalaman terkait kejadian di sekitar manusia   

Berbagai moment peristiwa, seperti hujan, senja, pelangi, angin dan sebagainya, menjadi sesuatu yang sangat personal terkait pengalaman, pemahaman, dan perasaan manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh aspek batin manusia yang ikut terlibat di dalamnya, sebagaimana ditunjukkan beberapa puisi, yaitu Hujan” karya Aulia Cahyani, “Setelah Kemarau Panjang” karya Annafika Nur Valena Hiljri, “Cermin Bianglala” karya Fatika Putri, Senja” karya Rahmasita Rafida,Tanya Bumi” karya Fika Aulia Rahma, Penyampaian Alam” karya Zahwa Pramudiya, dan  Setelah Kemarau Panjang” karya Annafika Nur Valena Hiljri.

Poin penting dari puisi-puisi di atas, bahwa selain menggambarkan proses perenungan dan kondisi perasaan manusia, pengalaman atas berbagai moment peristiwa tersebut juga mengarahkan pemahaman manusia tentang Tuhan, seperti dikemukakan dalam puisi “Cermin bianglala” dan “Hujan”.

Gelimang air membiru/ Jernihnya membisu di samudera/ Bianglala pelangi indahnya warna//

Parasnya melampir kedamaian/ Bersahaja dalam kesucian/ Menitih di sepanjang masa...// (“Cermin Bianglala”, hlm. 32)

 

… Ternyata rintik bukan hanya sebuah titik/ Ternyata rinai tidak hanya sedang menyapa/ Ternyata kemalangan hanya mencoba penyamaran//

 Hendak mengucap syukur, lamun Tuhan sedang menegur/… (“Hujan”, hlm. 10)

 

Sementara dalam puisi “Mawar” dan “Kucingku” karya Rahmasita Rafida, pengalaman terkait tumbuhan dan hewan menyiratkan keberadaan makhluk lain yang turut mempengaruhi kondisi batin dan perasaan manusia, terutama sebagai pelipur lara.

 

Memaknai Hidup Manusia dan Kekuasaan Tuhan: Pengalaman Personal dan Kebergantungan Manusia

Pengalaman dan keterlibatan manusia dalam berbagai peristiwa bersama waktu, tidak hanya menjadikan manusia akrab dengan permasalahan, harapan, ketakutan, kegagalan, kematian, dan sebagainya, tetapi juga berusaha memahami dan memberi makna. Terutama keberadaan diri sendiri. Hal ini ditampilkan oleh beberapa puisi yaitu, Syarat Kembali” dan “Mimpiku Terhadapmu” karya Rendy Pratama, “Lembayung” dan  Mencari Aku” karya Aulia Cahyani, Kosong Kelabu” karya Annafika Nur Valena Hiljri, Sendiri” karya Iriana Kusmita Sari, dan Keabadian di Dunia Mimpi” karya Diah Safitri.

Kesan penting dari puisi-puisi di atas, mengarah pada lahirnya pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari “ketentuan” rahasia, yang menguasai hidupnya. Ketidakmampuan menggenggam takdir hidupnya, pada gilirannya melahirkan kesadaran tentang kebergantungan manusia pada Tuhan, sekaligus menegaskan posisinya sebagai makhluk religius. Manusia tidak hanya menyembah dan berdoa, tetapi juga menjadikan-Nya sebagai pusat dari seluruh proses hidupnya.

Beberapa puisi yang mengekspresikan hal tersebut, yaitu Manusia” karya Rizka Arwendy, “Bangun Dari Kelemahan” dan “Cinta Sejati” karya Achmad Sahid Takdir Datang” karya Fitriya Bintang, “Sesal?” karya Riska Bunga, Yang Pernah Hilang” karya Fika Aulia Rahma, Cahaya Kesejukan” karya Diah safitri, “Duka” karya  Yuli Aprilia.

Di antara pemahaman penting tentang Tuhan terkait kompleksitas permasalahan hidup manusia di dunia, yaitu bahwa Dia Maha Baik dan tak pernah meninggalkan hamba-Nya.  Hal ini diungkapkan misalnya, yaitu:

 

Tak henti-hentinya engkau berikan/ Rahmat dan nikmatmu bagi kami/ Tuntunan-Mu selamatkan kami/ dari kejamnya dunia ini// (“Cahaya Kesejukan”, hlm. 26)

 

Kita tidak sendiri dalam perjalanan/ Segala kehendak-Nya memunculkan keindahan/ Berjuang dengan kasih sayang membawa keridaan/ Menghapus segala luka menjadikan impian berlian// (“Bangun Dari Kelemahan”, hlm. 58)

 

Penutup

Ulasan ini merupakan catatan kesan dari pembacaan sederhana atas puisi-puisi dalam antologi ini. Karena lebih diarahkan untuk mencari makna umum dan kategorisasinya, tentunya catatan ini memiliki banyak kekurangan, serta belum mewadahi seluruh unsur yang terkandung di dalamnya. Akhirnya, inilah “Ketika Rasa?” yang menghadirkan identifikasi dan pemaknaan peristiwa manusia. [*]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar