Ruas jalan
yang memanjang di antara dua pertigaan itu ditutup portal. Lalu-lintas
kendaraan dialihkan. Digantikan orang-orang yang berlalu-lalang, orang-orang
yang berkerumun kecil-kecil di pinggir jalan. Tak lupa, para pedagang kaki lima
dan pedagang gelar lapak yang mencari untung. Menyempurnakan keramaian.
Yah, bukan keramaian kalau tidak
ada para pedagang itu. Dan bukan mereka, jika tak mengendus informasi adanya
keramaian. Mungkin hanya wartawan dan detektif yang bisa menyaingi. Akan tetapi,
berbeda dengan kerja kedua profesi itu yang mencari informasi fakta setelah
kejadian, para pedagang itu bahkan telah mendapatkannya sebelum kejadian.
Bayangkan, linuwih, bukan?!
Yo ora ngono, toh yo! Lha wong beritanya itu
sengaja disebar-sebarkan kok. Biar orang-orang datang. Biar tontonan dangdut
koplo, wayang kulit plus campursari, electun-dut, dan sebagainya, ramai dan
sukses. Bayangkan kalau tontonan-tontonan itu tidak ramai, sepi penonton.
Salah-salah dikira ngaji kitab.
Lumrahnya ‘kan
seperti itu. Tontonan ramai, ngaji sepi. Itu namanya tes tes tes pantes. Kalau kebalikannya. Tontonan sepi, ngaji ramai,
disebut durung kedaden alias entah kapan. Selain itu, mana ada penonton koplo
ngantuk saat goyang ngudeg-ngudeg
atau ngulek-ngulek?! Kalau ada, barangkali
seorang wartawan perlu menulisnya. Bukankah, itu aneh dan langka, di luar adat
kebiasaannya.
Konon, ada
sebuah pameo tentang berita. Kalau manusia digigit anjing, itu biasa. Tapi,
jika manusia menggigit anjing, nah itu, baru berita.
Mosok yo ngono?! Guyonane seperti itu.
Artinya, apa yang disebut berita itu punya syarat dan kriteria. Misalnya,
menarik perhatian orang banyak, luar biasa dan penting, aktual serta dibangun
oleh fakta dan data. Karena itu, setiap informasi dalam berita itu harus dipastikan
terlebih dulu, terutama kebenarannya, sebelum ditransfer melalui media massa.
Jangan sampai berita itu hoaks. Atau hanya jadi kabar burung. Yah, kalau
burungnya ada, bisa dikonfirmasi. Kalau kabur, entah kemana, masak ya menunggu
kembali. Tentu, keburu basi.
Memangnya,
burung manusia yang makan nasi.
Wee, gimana,
toh?! Maksudnya, kerja jurnalistik itu tidak sederhana. Karena berhubungan
dengan masyarakat, harus pula bijaksana dalam menyampaikan kebenaran suatu
fakta. Mencari, menulis, dan menyampaikan—media massa—itulah inti dari kerja
jurnalistik.
Tentu berbeda
dengan para pedagang kaki lima dan para detektif. Misalnya, Sherlock Holmes,
detektif Ji, dan detiktif Conan. Meskipun hanya tokoh cerita fiksi, film
thriller dan komik, mereka bekerja menyingkap yang tersembunyi di balik selimut
tetangga. Eh, nganu, maksudnya selimut rahasia. Mengungkap kebenaran suatu
kejadian atau perkara. Menyibak kebohongan, alibi, serta siasat jahat yang
ditutup-tutupi. Istilahnya, The X Files, yang juga menjadi judul sebuah serial
tv dan film. Dan biasanya, misteri-misteri itu baru diungkapkan di depan
pengadilan.
Nah, baik wartawan maupun detektif,
berbeda dengan para pedagang kaki lima atau pedagang gelar lapak. Apalagi bagi
seseorang yang tersesat dan tak malu bertanya sambil jalan. Kalau wartawan dan
detektif bekerja usai kejadian—atau kecurigaan—, maka para pedagang sudah
mendapatkan informasi sebelum acara. Mulai bekerja sebelum hingga selesainya
keramaian.
Wah, ngawur..
Jangan meng-gathuk-gathuk-an yang
belum tentu bisa gathuk. Ini namanya
peng-gathuk-an yang dipaksakan.
Ya tidak
begitu. Karena ini umumnya seperti itu. Memang, dalam junalistik ada konferensi
pers, di mana sebelum digelar, wartawan sudah datang. Atau ketika mendapat
kabar tentang publik figur akan datang di suatu tempat. Kabar tentang jadwal
sidang para koruptor atau artis yang kesandung kasus asusila dan sebagainya.
Umum, umum.
Bahwa
sesungguhnya para pedagang kaki lima dan pedagang gelar lapak tidak pernah
datang setelah keramaian berakhir. Untuk mendapatkan hasil keuntungan yang
maksimal, maka harus standby sebelum hingga sesudah keramaian.
Sekarep wis. Opo jare.
***
Di sebuah
warung kopi sudut pertigaan jalan yang dipasang portal, Abdun tersenyum
sendiri. Menertawakan pikirannya yang meloncat-loncat. Tentang para pedagang
yang berderet di depannya. Bekerja menghadap rombong-rombong bertuliskan: soto
ayam, bakso beranak-pinak, tahu campur aselole, mie ayam monyor-monyor, dan
sebagainya.
Ehm, semuanya
membuktikan, bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya. Makhluk yang kreatif.
Kebutuhannya hanya makan, tapi entah berapa banyak menu makanan yang telah
diciptakan. Enak-enak lagi. Maknyos.
Barangkali,
itulah salah satu kelebihan manusia dari makhluk lainnya terkait makan dan
makanan. Kelebihan yang harus disyukuri.
Sementara di
sebuah buk yang menjadi batas trotoar, dilihatnya orang-orang berwajah lesu.
Mungkin, sebab lama menunggu. Sejak pagi-pagi. Dan kini, matahari hampir di
puncak.
Mereka adalah
para pengantar. Mungkin saudara, keponakan, atau bahkan tetangga yang turut
berbahagia atas seseorang yang hendak ditahbiskan di halaman luas berterop tak
jauh di sebelah selatan sana. Tempat sebuah acara digelar.
“Ramai-ramai
acara apa, Mas?” kata seorang laki-laki yang baru datang.
“Wisuda,” jawab
Abdun. Berharap dia bukan seorang detektif kriminal. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar