Sebuah koridor
bagian depan gedung itu mulai ditinggalkan orang-orang. Resepsi wisuda telah
usai. Tak ada lagi kerumunan. Hanya perayaan kecil bersama keluarga dengan foto
bersama. Juga ucapan selamat yang beredar dalam selang-seling ungkapan
kegembiraan lainnya.
Duduk dekat
sebuah tiang koridor, Abdun diam mengamati yang tergelar di hadapannya.
Membayangkan suatu hari nanti. Menghadiri acara ketika anak-anaknya diwisuda.
Entah wisuda apa, yang jelas pendidikan tinggi setelah madrasah aliyah atau
SMA. Baik sarjana, magister, maupun doktor. Mungkin juga pengukuhan gelar guru
besar atau profesor.
Wah, ngelindur
opo maneh iki?! gumamnya. Kemudian tertawa. Seperti menertawakan diri sendiri.
Menghentikan panjang angan-angan. Sebelum semuanya jadi tak karu-karuan.
Opo jare wis?!
gumamnya lagi. Berusaha menenangkan gejolak diri terkait harapan dan kenyataan
atas hidup kedua anaknya kelak.
Abdun
mengarahkan matanya pada keluarga Pakde Banjir yang sedang foto bersama. Mbak
Mila, putri ragil Pakde Banjir, baru saja diwisuda. Itu berarti, kelima anaknya
telah jadi sarjana. Abdun berbahagia untuk itu. Kemudian teringat keluarganya.
Terutama kedua anaknya, yang memberikan harapan besar pada dirinya. Teringat
pada keberadaannya di sekitar gedung itu, yang tak lain sebagai sopir yang
mengantar Pakde Banjir dan keluarganya.
Kembali Abdun
mengedarkan matanya. Tak jauh di sampingnya, dia melihat seorang laki-laki
dengan pakaian wisuda. Di bawah bayang-bayang remang sebuah tiang, laki-laki
itu berdiri menghadap ke arahnya. Menatap ujung koridor yang sepi.
Abdun tak tahu
apa yang dipikirkan oleh laki-laki itu. Namun lebih seksama memperhatikan di
kedua matanya, dia seperti menemukan serangkaian pengalaman mengendap kuat
dalam ingatan. Sebagai kenangan yang tidak mudah dilupakan. Membentuk persona.
Laki-laki itu
mengalihkan matanya ke udara terang. Tersenyum saat kedua matanya bersiborok
dengan mata Abdun. Tampak kikuk bersama anggukan keramahan, sebelum kemudian
melangkah pergi.
***
Kenangan yang
kuat mengendap dalam ingatan, terkait harapan dan kenyataan, serta pilihan
hidup yang diyakini, agaknya menjadi sasaran dalam puisi “Persinggahan
Bayang-Bayang” karya Bambang Kempling. Dalam buku antologi Persinggahan
Bayang-Bayang (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2014) hlm. 29, diungkapkan sebagai
berikut:
PERSINGGAHAN BAYANG-BAYANG
sebuah koridor
memanjang di lubuk malam
membawamu terdiam
berhitung dalam detik hentinya
:sendiri
hari-hari yang tergambar,
menyajikan keengganan untuk menunggu
malam di persinggahan
antara pilar-pilar
cengkerama bayang-bayang
memberi kesaksian abadi atas sangsi
kini pesta telah usai
lepas bagaikan sketsa angin
dan sebuah koridor itu
tak mampu mengisahkan keheningan
***
Koridor
menjadi diksi kunci puisi ini, dengan berbagai muatan kesan citraan, imaji,
kenangan, serta keheningan yang tak terkisahkan. Umumnya, koridor dipahami
menunjuk pada lorong dalam rumah, atau lorong yang menghubungkan gedung yang
satu dengan yang lain.
Pada bangunan
gedung, kesan panjang sebuah lorong lebih tertangkap bersama tiang-tiang atau
pilar-pilar yang tegak berdiri. Lebih panjang dan pekat lagi ketika malam hari
bersama bayang-bayang yang tercipta dengan bohlam. Suasana yang agaknya
tergambar dari bait pertama puisi, …sebuah
koridor/ memanjang di lubuk malam/ membawamu terdiam/ berhitung dalam detik
hentinya/ :sendiri//.
Koridor yang
cenderung menghadirkan kesendirian bagi seseorang. Kesendirian yang terasa
begitu dalam, yang membuat seseorang akan mengingat dan merenungkan kembali
perjalanan hidup yang terjaring dan terbentang dalam ingatan. Menilai berbagai
peristiwa, menerjemahkan diri sendiri. Dalam dimensi waktu, seseorang akan
melihat dirinya di masa lalu, juga mengambar keberadaannya di masa yang akan
datang. Sendiri, tak ada yang lain.
Dalam
kesendirian itu pula, mungkin seseorang akan melihat… hari-hari yang tergambar,/ menyajikan keengganan untuk menunggu/.
Menemukan dirinya dalam serangkaian episode hidup yang sangat membekas. Begitu
dalam. Bahkan, membuatnya tak ingin mengulang kembali pada... malam di persinggahan/. Tak ingin
berlarut-larut dalam balutan rasa—baik suka maupun duka—yang lahir dari episode
hidup.
Barangkali,
sebab kebosanan dan bayangan kesia-siaan yang kerap dirasakan dari sesuatu
keberadaan yang bersifat mungkin,… antara
pilar-pilar/ cengkerama bayang-bayang/. Terlebih dalam proses mempertemukan
antara harapan dan kenyataan, yang… memberi
kesaksian abadi atas sangsi//. Dalam proses menjadi diri, di hadapan
keniscayaan hidup manusia yang ragu-ragu, lantaran tak ada kepastian.
Keberadaan manusia yang mumkin wujud, yang terus memberikan kesaksian atas apa
yang diyakini.
Sebuah
keyakinan atas pilihan hidup, yang selalu tumbuh di antara dualitas yang
disebut kegagalan dan kesuksesan. Keyakinan, yang barangkali paling berharga
bagi seseorang. Meskipun,… kini pesta
telah usai/ lepas bagaikan sketsa angin/, dan sebuah koridor itu/ tak mampu
mengisahkan keheningan//, kebahagian yang dirasakan selalu penting bagi
seseorang. Untuk disimpan dalam ingatan. Sebagai kenangan, yang tak pernah
mengisahkan (keheningan) kualitas
proses seseorang dalam memelihara keyakinan atas pilihan hidupnya. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar