Laman

Rabu, 28 Oktober 2020

(FRAME III) Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (02)


Sungguh aneh, kondisiku berangsur-angsur membaik setelah itu. Tiba-tiba aku menjadi seorang anak kecil yang trengginas. Bertubuh segar menggemaskan. Sorot mataku setajam mata elang. Aku memiliki tenaga yang memungkinkan bergerak seperti menjelajah. Tidak gampang kepayahan dan jatuh sakit. Aku memiliki gairah menyusu yang sangat besar melebihi anak-anak kecil lain seusiaku. Di usia tiga setengah tahun kegairahan itu belum juga hilang dariku. Kegairahan yang aneh, seperti anehnya perubahan kondisiku yang melonjak tajam setelah perubahan nama.

Kalau saja Bapak punya uang banyak, ingin rasanya ia membeli berkaleng-kaleng susu untukku. Akan tetapi, tidak. Bapak tak pernah punya uang banyak. Sebagai petani kecil, penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Makan makanan yang disesuaikan dengan statusnya yang kecil. Lidahnya tak cocok dengan makanan yang menghabiskan uang banyak. Dan Ibu pun kewalahan. Sepanjang hari waktunya habis untuk melunasi kegemaranku menyusu. Tubuhnya menjadi kurus sebab sari-sari makanan yang dimakannya habis kuhisap. Apalagi ia tak pernah menambah konsumsi makanan yang mengandung gizi lebih, seperti yang disarankan oleh dokter puskesmas. Para tetangga yang merasa nyaman dengan perubahan kondisiku, menjadi terusik ketika melihat kondisi Ibu yang mengenaskan. Namun, Ibu menjawabnya dengan tersenyum. Sebagai pengorbanan atas kasih sayangnya kepadaku, ia rela menjadi seperti itu. Ia sabar dengan tingkah anak pertamanya. Dan barangkali engkau akan mengatakan bahwa Ibu memiliki kesabaran yang lebih. Kesabaran seorang masochis.

Tak berselang lama, kehendak Tuhan mengambil Ibu dariku. Aku terpaksa berhenti menyusu. Para ibu-ibu tetangga tak ada yang bersedia menggantikan Ibu untuk merelakan air susunya untukku. Akhirnya, aku harus mengekang gairah menyusuku yang akut.

Mungkin engkau akan menganggap bahwa dengan cara apapun, kematian adalah wajar. Sudah menjadi kehendakNya. Tak bedanya juga dengan kematian Ibu. Akan tetapi, tidak bagi Bapak. Sorot matanya seperti seorang hakim ketua yang memvonis bahwa aku adalah drakula kecil pembunuh istrinya.

Kalau saja aku seorang dewasa yang menikam Ibu hingga tewas, barangkali sudah sepantasnya hakim ketua akan memvonisku dengan hukuman yang berat. Dan karena kesalahan tidak normal dari seorang anak kecil, maka Bapak masih menghormati kesopanan dengan tidak menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada sikapnya yang menjadi acuh tidak acuh kepadaku.

Sejak kematian Ibu, bisa dikatakan hampir tiap hari Bapak hanya tinggal di rumah. Ia menjadi pemurung. Pada amben tua di beranda depan, ia banyak menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di sana. Matanya menerawang jauh menembus dedaunan dari bermacam pohon yang tumbuh di sekitarnya. Ia tak pernah lagi menyapakan kakinya dengan lumpur sawah. Mengayunkan cangkul di pekarangan rumah. Rasa putus asa dan kesedihan yang berat ditanggungnya itu telah menyembunyikan sesuatu yang masih ada. Membuatnya membekukan keringat dan apa yang pernah diharapkan dalam kehidupannya. Ia ambruk. Dan ia sudah mencampakkan semua kepeduliannya. Juga tak menganggapku lagi sebagai anak laki-laki yang pernah diharapkannya.

Bapak sebenarnya bukan anak tunggal di keluarganya. Orang tuanya memiliki empat anak perempuan selain Bapak. Akan tetapi, kesemuanya meninggal sebelum menginjakkan umur lima belas tahun. Sehingga ia menjadi satu-satunya anak laki-laki dan anak orang tuanya yang masih hidup. Sementara kedua orang tuanya sendiri telah meninggal beberapa tahun sebelum Bapak menikah dengan Ibu. Untunglah, Bapak masih memiliki kerabat dekat yang tinggal di kanan-kiri rumah. Dan aku sedikit terurus dengan keberadaan mereka. Sementara keluarga Ibu tinggal di luar kampung. Hanya sesekali saja mereka menengok dengan membawa oleh-oleh.

Adalah keluarga Bapak-Ibu Marijan yang banyak meluangkan waktu mengurusku di antara kerabat dan tetangga yang lain. Mereka tinggal di rumah di sebelah kanan rumah kami dengan sebuah pekarangan kecil yang memberikan jarak. Ibu Marijan masih terhitung saudara misan atau sepupu dengan Bapak. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang umurnya sedikit di bawahku. Namanya Uma.

Hampir setiap pagi Ibu Marijan memanggilku ke rumahnya. Kemudian aku menjadi teman yang baik bagi Uma. Kami bermain bersama dan menerima pelajaran pertama tentang pedoman bagaimana menjadi seorang manusia yang baik. Kalau kebetulan terjadi percekcokan kecil di antara kami, maka Ibu Marijan segera meleraikan kami disertai sebuah nasehat bagaimana seharusnya seorang anak kecil berbuat. Tidak nakal. Meskipun begitu, pada dasarnya hubunganku dengan Uma berlangsung baik. Kami saling menyayangi satu sama lain. Dan aku senang menghabiskan hari-hariku di rumah keluarga Marijan.

 

Bersambungke (03)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar