Pagi itu matahari sedang mekar-mekarnya. Hangat sinarnya terasa menyelimuti wajah bumi. Angin berhembus sepoi mengusap dedaunan. Aku melihat Bapak berdiri di beranda depan. Ia mengenakan baju seperti yang dipakai para tetangga saat pergi ke kota. Barangkali rasa bosan yang akhirnya membikin Bapak pagi itu terlihat hendak menghirup udara segar di luaran. Celana yang membungkus bagian bawah tubuhnya seperti mengisyaratkan bahwa dirinya sedikit pulih dan menerima kepergian Ibu. Aku senang dengan keadaannya itu. Dan sejak saat itu, Bapak kerap pergi.
Sementara itu,
aku mulai mengepakkan sayap. Sepanjang hariku tidak hanya kuhabiskan di rumah
keluarga Marijan. Malah, bisa dikatakan aku sedikit sekali meluangkan waktu
untuk bermain dengan Uma. Aku merubah pola permainanku dengan menggabungkan
diri pada anak-anak laki-laki tetangga yang bermain di jalanan. Kumpulan anak
laki-laki yang berumur beberapa tahun di atasku. Tentu saja, sebagai yang
terkecil dan punya kelainan sosial, aku selalu diremehkan. Terlalu sering
dijadikan sebagai korban dalam setiap permainan mereka. Jika engkau mengalami
apa yang terjadi padaku, barangkali engkau akan memilih untuk meninggalkan
mereka. Berada di rumah dengan menghabiskan bertumpuk-tumpuk komik, di mana
engkau tak dipandang setengah mata. Bahkan dilambungkan sebagai seorang
superhero, yang akhirnya tanpa sengaja menjadikan engkau sebagai ‘kutu komik’.
Akan tetapi, tidak. Aku selalu datang dan ikut dalam permainan mereka. Meskipun
aku yang selalu menjadi pencundang. Aku terus melayani kesenangan mereka untuk
berbuat sewenang-wenang. Engkau bisa saja menganggap aku mempunyai penyakit
psikologis turunan dari Ibu. Ketegaran dan kesabaran yang mendekati masochis.
Namun dengarkan apa yang aku katakan, bahwa aku ingin mendapatkan suatu
perasaan yang positif dari apa yang kaubayangkan.
Sebenarnya
bukan masalah aku selalu menjadi yang terkalahkan atau dikalahkan. Aku bisa
mentolelir kecurangan-kecurangan mereka dalam permainan. Namun, aku tak bisa
menguasai sesuatu yang selalu membakar amarah saat mereka mengolok-olok Bapak
yang pernah menjadi aneh setelah kematian Ibu. Memaki-maki aku dengan sebutan
anak orang sinting. Kuakui, memang Bapak pernah bertingkah seperti orang gila.
Tapi, hanya beberapa bulan saja, selebihnya ia banyak termenung pada sebuah
amben tua di beranda depan. Bagiku, apa yang mereka lakukan kepadaku merupakan
sebuah kecurangan yang derajatnya paling rendah dan paling memalukan dibanding
kecurangan-kecurangan lainnya. Olok-olok. Ejekan. Itulah dia. Aku pun menerjang
mereka. Dan tentu saja, aku yang kemudian malah dihajar oleh mereka.
Akhirnya
seorang dewasa datang melerai kami. Menyelamatkan aku dari amukan massa yang
masih berumuran kepala nol. Pada saat seperti itu, Uma kerap berlarian datang
dengan perhatian yang besar. “Aku tidak apa-apa,” itulah yang selalu kukatakan,
menjawab semua pertanyaannya. Kemudian Uma membimbingku ke rumahnya seraya
terus-menerus memintaku untuk tidak bermain dengan mereka. Sesampai di depan
rumah, Uma lantas memanggil-manggil Ibunya yang segera keluar dan mengungkapkan
kepeduliannya. Tidak lupa pula menyiramku dengan nasehat untuk menghindari dan
tidak mengulanginya lagi. Namun, aku tetap saja kembali kepada mereka dan
berkelahi lagi. Inilah yang kumaksudkan dengan perasaan perasaan positif dari
yang kaubayangkan; bahwa aku dapat menguasai rasa takut.
Di pihak lain,
aku senang Bapak tidak lagi linglung pada amben tua di beranda depan. Kerap
terlihat keluar rumah dengan bercelana. Sebuah kenyataan yang menjadi jawaban
atas olok-olok mereka. Akan tetapi, perubahan yang baik itu belum juga diikuti
dengan perubahan sikapnya kepadaku. Ia benar-benar tak peduli kepadaku.
Entah. Ke mana
saja Bapak selama ini pergi, aku tak tahu pasti. Ia kerap baru pulang ketika
malam telah datang. Selebihnya bermalam di luaran. Ia sudah benar-benar
meninggalkan sabit, cangkul, dan lumpur sawah. Sebelumnya, ketika Bapak ada di
rumah, sungguh aku enggan pulang. Aku suka berlama-lama di rumah keluarga
Marijan. Bermain bersama Uma. Ingin tidur di sana. Akan tetapi, Bapak Marijan
selalu mengantarkan aku yang sedang tidur ke rumah dalam gendongannya. Dan
setelah Bapak jarang di rumah, entah, kenapa aku tiba-tiba ingin pulang ketika
hari beranjak malam. Aku tidak takut sendirian berada di rumah. Bahkan aku
merasa layaknya seorang anak dewasa yang menjaga rumah. Pada amben tua di
beranda rumah itulah, aku duduk-duduk memandang malam. Menunggu Bapak pulang.
Setelah Bapak terlihat di jalanan depan rumah dengan langkahnya yang goyah, aku
pun beranjak masuk. Pura-pura tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar