Laman

Rabu, 28 Oktober 2020

(FRAME III) Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (03)


Pagi itu matahari sedang mekar-mekarnya. Hangat sinarnya terasa menyelimuti wajah bumi. Angin berhembus sepoi mengusap dedaunan. Aku melihat Bapak berdiri di beranda depan. Ia mengenakan baju seperti yang dipakai para tetangga saat pergi ke kota. Barangkali rasa bosan yang akhirnya membikin Bapak pagi itu terlihat hendak menghirup udara segar di luaran. Celana yang membungkus bagian bawah tubuhnya seperti mengisyaratkan bahwa dirinya sedikit pulih dan menerima kepergian Ibu. Aku senang dengan keadaannya itu. Dan sejak saat itu, Bapak kerap pergi.

Sementara itu, aku mulai mengepakkan sayap. Sepanjang hariku tidak hanya kuhabiskan di rumah keluarga Marijan. Malah, bisa dikatakan aku sedikit sekali meluangkan waktu untuk bermain dengan Uma. Aku merubah pola permainanku dengan menggabungkan diri pada anak-anak laki-laki tetangga yang bermain di jalanan. Kumpulan anak laki-laki yang berumur beberapa tahun di atasku. Tentu saja, sebagai yang terkecil dan punya kelainan sosial, aku selalu diremehkan. Terlalu sering dijadikan sebagai korban dalam setiap permainan mereka. Jika engkau mengalami apa yang terjadi padaku, barangkali engkau akan memilih untuk meninggalkan mereka. Berada di rumah dengan menghabiskan bertumpuk-tumpuk komik, di mana engkau tak dipandang setengah mata. Bahkan dilambungkan sebagai seorang superhero, yang akhirnya tanpa sengaja menjadikan engkau sebagai ‘kutu komik’. Akan tetapi, tidak. Aku selalu datang dan ikut dalam permainan mereka. Meskipun aku yang selalu menjadi pencundang. Aku terus melayani kesenangan mereka untuk berbuat sewenang-wenang. Engkau bisa saja menganggap aku mempunyai penyakit psikologis turunan dari Ibu. Ketegaran dan kesabaran yang mendekati masochis. Namun dengarkan apa yang aku katakan, bahwa aku ingin mendapatkan suatu perasaan yang positif dari apa yang kaubayangkan.

Sebenarnya bukan masalah aku selalu menjadi yang terkalahkan atau dikalahkan. Aku bisa mentolelir kecurangan-kecurangan mereka dalam permainan. Namun, aku tak bisa menguasai sesuatu yang selalu membakar amarah saat mereka mengolok-olok Bapak yang pernah menjadi aneh setelah kematian Ibu. Memaki-maki aku dengan sebutan anak orang sinting. Kuakui, memang Bapak pernah bertingkah seperti orang gila. Tapi, hanya beberapa bulan saja, selebihnya ia banyak termenung pada sebuah amben tua di beranda depan. Bagiku, apa yang mereka lakukan kepadaku merupakan sebuah kecurangan yang derajatnya paling rendah dan paling memalukan dibanding kecurangan-kecurangan lainnya. Olok-olok. Ejekan. Itulah dia. Aku pun menerjang mereka. Dan tentu saja, aku yang kemudian malah dihajar oleh mereka.

Akhirnya seorang dewasa datang melerai kami. Menyelamatkan aku dari amukan massa yang masih berumuran kepala nol. Pada saat seperti itu, Uma kerap berlarian datang dengan perhatian yang besar. “Aku tidak apa-apa,” itulah yang selalu kukatakan, menjawab semua pertanyaannya. Kemudian Uma membimbingku ke rumahnya seraya terus-menerus memintaku untuk tidak bermain dengan mereka. Sesampai di depan rumah, Uma lantas memanggil-manggil Ibunya yang segera keluar dan mengungkapkan kepeduliannya. Tidak lupa pula menyiramku dengan nasehat untuk menghindari dan tidak mengulanginya lagi. Namun, aku tetap saja kembali kepada mereka dan berkelahi lagi. Inilah yang kumaksudkan dengan perasaan perasaan positif dari yang kaubayangkan; bahwa aku dapat menguasai rasa takut.

Di pihak lain, aku senang Bapak tidak lagi linglung pada amben tua di beranda depan. Kerap terlihat keluar rumah dengan bercelana. Sebuah kenyataan yang menjadi jawaban atas olok-olok mereka. Akan tetapi, perubahan yang baik itu belum juga diikuti dengan perubahan sikapnya kepadaku. Ia benar-benar tak peduli kepadaku.

Entah. Ke mana saja Bapak selama ini pergi, aku tak tahu pasti. Ia kerap baru pulang ketika malam telah datang. Selebihnya bermalam di luaran. Ia sudah benar-benar meninggalkan sabit, cangkul, dan lumpur sawah. Sebelumnya, ketika Bapak ada di rumah, sungguh aku enggan pulang. Aku suka berlama-lama di rumah keluarga Marijan. Bermain bersama Uma. Ingin tidur di sana. Akan tetapi, Bapak Marijan selalu mengantarkan aku yang sedang tidur ke rumah dalam gendongannya. Dan setelah Bapak jarang di rumah, entah, kenapa aku tiba-tiba ingin pulang ketika hari beranjak malam. Aku tidak takut sendirian berada di rumah. Bahkan aku merasa layaknya seorang anak dewasa yang menjaga rumah. Pada amben tua di beranda rumah itulah, aku duduk-duduk memandang malam. Menunggu Bapak pulang. Setelah Bapak terlihat di jalanan depan rumah dengan langkahnya yang goyah, aku pun beranjak masuk. Pura-pura tidur.

 

Bersambungke (04)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar