Telaah Buku: “Posisi Agama dalam
Ideologi Negara: Studi Gagasan NASAKOM Soekarno”
Karya Ahmad Atho’ Lukman Hakim
Oleh Ahmad Syauqi Sumbawi
Pada awal
tahun 1960, Presiden Soekarno melontarkan gagasan politiknya tentang NASAKOM,
yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Lahirnya gagasan yang diarahkan untuk
mempersatukan ketiga hal tersebut dalam sebuah pemerintahan dilatarbelakangi
oleh kekhawatiran beliau atas ancaman disintegrasi bangsa jika pertentangan
ideologis di antara ketiganya tidak diselesaikan, baik pada dewan
Konstituante—hasil Pemilu 1955— maupun dalam politik praktis.
Sebagaimana
diketahui, ada tiga rancangan mengenai dasar negara yang diajukan pada sidang
dewan Konstituante—sekaligus mewakili ketiganya—, yaitu Pancasila, Islam, dan
Sosial Ekonomi. Karena yang terakhir hanya mendapat dukungan sedikit, maka
perdebatan kemudian lebih terfokus pada ideologi antara Islam dan Pancasila.
Beberapa
permasalahan krusial yang muncul dalam sidang tersebut, baik content maupun
prosesnya, yaitu pertama, sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang dipandang oleh golongan Islam masih sekuler dan “kabur”. Di sini, golongan
Islam yang didominasi oleh Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) secara
resmi menolak UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara, serta
menyerukan sebuah negara Islam. Akibat penolakan tersebut, dewan Konstituante
terancam gagal menubuhkan NKRI, karena hanya didukung oleh 52% suara. Sedangkan
persyaratan resminya adalah lebih dari 2/3 suara anggota dewan Konstituante
atau minimal 67% suara.
Kedua, konflik
yang mengarah pada upaya saling menjatuhkan antar ideologi. Hal ini bisa
dilihat pada konflik golongan Islam dan Komunis. Golongan Islam menganggap
golongan Komunis hanya setengah hati menerima Pancasila, lantaran sebelumnya
mengajukan Sosial Ekonomi, sebagai dasar negara. Di samping itu, PKI sebagai
lembaga resmi komunis di Indonesia dinilai belum mampu melepaskan
anti-nasionalisme dan atheisme yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat
Pancasila yang berlandaskan paham “Ketuhanan”.
Krisis
konstitusional akibat “kebuntuan” dan “kegaduhan” dewan Konstituante, akhirnya
direspon dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Selain pembubaran dewan
Konstituante, dekrit ini juga menyatakan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi
Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negara.
Dari peristiwa
di atas, setidaknya ada dua hal yang harus digarisbawahi, yaitu pertama,
perdebatan terkait sila pertama Pancasila kembali “tertunda” dan belum
menghasilkan titik temu. Kedua, dengan pembubaran dewan Konstituante, konflik
ideologis kemudian berlanjut di tingkat bawah. Hal ini bisa dilihat dari
agitasi golongan Komunis (PKI) ketika mendukung serangkaian budaya yang
jelas-jelas melecehkan agama dan peranannya dalam kehidupan masyarakat.
Untuk melerai
konflik ideologi yang terus berkembang di atas, Presiden Soekarno kemudian
mencetuskan gagasan NASAKOM-nya, sebagai tafsir atas Pancasila, terutama aspek
ideologi. Dengan gagasan tersebut, Soekarno berharap adanya persatuan dari
seluruh komponen kekuatan di Indonesia untuk menuntaskan revolusi yang belum
selesai. Hal ini dapat disadari, mengingat beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya,
seperti pemberontakan PRRI-Permesta (1958), perpecahan di kalangan militer,
ketegangan hubungan antara pusat dan daerah, serta upaya-upaya percobaan
pembunuhan terhadap Soekarno. Pada spektrum yang lebih luas, gagasan NASAKOM
juga diarahkan secara dinamis untuk “membentengi” bangsa dari pengaruh Perang
Dingin yang terjadi antara Blok Barat dan Blok Timur.
Lebih dari
itu, barangkali dapat dikatakan bahwa NASAKOM merupakan finalisasi dari
pemikiran politik Soekarno yang dinamis sejak tahun 1920-an, sebagai cita-cita
untuk menyatukan kekuatan ideologis yang ada di Indonesia. Pada titik ini, satu
syarat yang diharapkan oleh Soekarno, yaitu adanya progresivitas pada ketiga
ideologi tersebut, baik nasionalisme, agama (Islam), maupun komunisme.
Konstruksi Buku dan Signifikansinya
Dalam
konstruksinya, buku karya Ahmad Atho’ Lukman Hakim ini merupakan hasil
kolaborasi antara studi pemikiran tokoh dan studi historis. Karena itu,
metodologi-nya didasarkan pada penelitian kepustakaan, dimana penelusuran terhadap
sumber-sumber data, baik primer maupun sekunder, dijabarkan dengan pendekatan
ilmu-ilmu sosial.
Menggarisbawahi
signifikansi buku ini, setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan karya ini
penting dalam konteks ke-Indonesiaan, yaitu, pertama, NASAKOM merupakan gagasan
politik yang fenomenal—karena ingin menyatukan tiga ideologi besar yaitu
nasionalisme, agama, dan komunisme—, sekaligus kontroversial—karena melahirkan
pro-kontra di kalangan masyarakat Indonesia—.
Kedua, reaksi
pemerintah Orde Baru yang melarang gagasan NASAKOM dan praktik-praktik
de-Soekarnoisasi. Sebagai tafsir atas Pancasila, pemerintah Orde Baru kemudian
mencetuskan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ketiga,
ketokohan Soekarno, yang tidak hanya masih berpengaruh besar dalam perpolitikan
Indonesia hingga sekarang, tetapi juga menjadi bahan kajian penting bagi para
intelektual, baik nasional maupun internasional.
Secara umum,
buku ini berusaha mengungkapkan permasalahan terkait posisi agama dalam
ideologi negara, khususnya gagasan NASAKOM Soekarno dan relevansinya terhadap
wajah politik Indonesia dewasa ini. Pembahasan dalam buku ini dibuka dengan
memberikan gambaran umum tentang perdebatan ideologis antara nasionalisme,
agama (Islam), dan komunisme yang dimulai sejak fase pergerakan kebangkitan
nasional, fase konstruksi Indonesia, hingga proses finalisasi yang terhenti
oleh keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pembahasan
kemudian berlanjut pada setting sosial yang dihadapi oleh Soekarno, yang mana
dimaksudkan sebagai uraian mengenai biografi dan aktifitas politiknya.
Berikutnya, pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Soekarno dalam konstruksi
ke-Indonesia-an, antara lain nasionalisme, demokrasi, revolusi, hubungan antar
ideologi—nasionalisme, Islam, dan marxisme—, Pancasila, dan ajaran Islam. Dapat
dikatakan, pokok-pokok pemikiran ini merupakan embrio dari gagasan Soekarno
tentang NASAKOM.
NASAKOM dalam konteks ke-Indonesiaan
Gagasan
NASAKOM Soekarno dalam konteks ke-Indonesia-an menurut penulis, dapat
dijelaskan, yaitu pertama, sebagai tafsir atas Pancasila dalam bidang ideologi.
Dalam hal ini, NASAKOM tidak hanya merupakan realitas ideologi yang hidup di
Indonesia, tetapi juga “wajah lain” dari Trisila yang pernah diungkapkan oleh
Soekarno sebagai perasan dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.
Kedua, sebagai
federasi ideologi, yang menyatukan ideologi besar yang ada di dunia. Di sini,
tampak bahwa NASAKOM sebagai tafsir Pancasila, tidak hanya diharapkan menjadi
ideologi yang dapat diterima dalam skala nasional, tetapi juga menjadi ideologi
besar di dunia Internasional.
Ketiga,
sebagai usaha konsolidasi nasional, terutama dalam perlawanan menghadapi
kapitalisme global. Menurut Soekarno, NASAKOM tidak lain adalah rekonstruksi
makna nasionalisme untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang bersatu dan berdaulat
dalam suatu negara yang merdeka, serta bebas dari koloni politik maupun
ekonomi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat NASAKOM bagi Soekarno adalah
tenaga-tenaga revolusioner yang niscaya bagi perjalanan revolusi di Indonesia.
Sekularisasi Soekarno dan Agama Progresif
Posisi agama
dalam ideologi NASAKOM, yang merupakan hasil penelitian buku ini dijelaskan
sebagai berikut, yaitu pertama, melalui NASAKOM, Soekarno melakukan
sekularisasi dengan membedakan fungsi agama dan fungsi negara. Lebih lanjut,
fungsi agama lebih mengarah untuk menyalakan “api” agama dalam diri umat
beragama, sedangkan fungsi negara adalah sebagai alat perjuangan untuk seluruh
warga negara. Kedua, dalam NASAKOM, agama diposisikan sebagai salah satu
kekuatan revolusioner. Dengan syarat, agama tersebut tidak kolot dan
konservatif, melainkan agama yang progresif dan toleran. Ketiga, unsur agama
dalam NASAKOM adalah agama yang toleran terhadap keyakinan agama maupun
keyakinan ideologi lainnya, dengan mengedepankan prinsip persamaan,
persaudaraan, dan kemerdekaan. Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa Soekarno
secara tidak langsung terlibat dalam transformasi pemikiran keagamaan dari
agama yang eksklusif dan fanatik menuju agama yang inklusif dan toleran.
Analisis Konsep NASAKOM dan Peta Politiknya
Dalam analisanya
terhadap konsep NASAKOM Soekarno, penulis menjelaskan bahwa gagasan ini muncul
dari transformasi budaya yang selanjutnya mempengaruhi pembentukan orientasi
dan politik. Mengambil tipologi Clifford Geertz, tiga sub-budaya, yaitu santri,
abangan, dan priyayi, menurut penulis, pada gilirannya membentuk peta ideologi
politik sebagai berikut, yaitu nasionalisme mayoritas dari priyayi, agama dari
kalangan santri, dan komunisme dari kalangan abangan. Dari ketiganya, faktor
budaya yang mempengaruhi lahirnya NASAKOM adalah spiritualitas Jawa yang
berkarakter menyatukan seluruh unsur kebenaran.
Orientasi
politik di antara ketiganya, dalam relasinya ternyata tidak harmonis. Perbedaan
interpretasi ajaran agama melahirkan ekspresi politik yang berlainan di kalangan
santri. Di sini, santri modernis cenderung lebih bermusuhan dengan kalangan
priyayi dan abangan, sedangkan santri tradisionalis sebaliknya. Sementara
priyayi dan abangan cenderung tidak konflik. Karena itu dapat dipahami, jika
NASAKOM lebih diterima oleh kalangan priyayi, abangan, dan santri
tradisionalis, dimana ketiganya memiliki kedekatan budaya di antara ketiganya.
Dalam konflik aliran politik ini, Soekarno menurut penulis, berada di antara
ketiga sub-kultur tersebut.
Perkembangan
politik kala itu, baik nasional maupun global, juga turut mempengaruhi lahirnya
gagasan NASAKOM. Berbagai pemberontakan yang terjadi di daerah, tidak
dipungkiri, menyebabkan posisi Angkatan Darat (AD) semakin kuat dalam
perpolitikan nasional. Demi stabilitas pemerintahan, mau tidak mau Seokarno
harus bergandengan tangan dengan AD. Kemudian untuk mengimbangi kekuatan AD
inilah, Seokarno merangkul PKI yang sejak peristiwa Madiun bermusuhan dengan
militer, khususnya AD yang dikenal memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat. Sementara
itu, kondisi politik di tingkat global tengah berada di bawah dominasi politik
negara kapitalis dan mulai merambah ke Indonesia. Karenanya, Soekarno memainkan
peran PKI untuk mengeliminasi pengaruh negara kapitalis tersebut.
NASAKOM dan Relevansinya dengan Kondisi Politik Indonesia
Mutakhir
Relevansi
gagasan NASAKOM dengan wajah perpolitikan Indonesia dewasa ini, dijelaskan oleh
penulis, bahwa gagasan Soekarno tersebut mempunyai semangat kebebasan ideologi,
sepanjang ideologi tersebut progresif dan mendukung cita-cita negara. Kemudian
untuk membangun nasionalisme Indonesia, hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu
[1] nation building harus disertai dengan society building guna menemukan
kepribadian bangsa. Karena itu, slogan-slogan persatuan harus disertai dengan
aksi nyata; [2] untuk mewujudkan cita-cita negara Indonesia di bidang politik,
maka nasionalisme hendaknya diarahkan pada kesejahteraan rakyat, bukan
mendukung kepentingan asing yang merugikan rakyat. Di bidang ekonomi,
nasionalisme diarahkan pada terwujudnya kemandirian ekonomi, setidaknya
memperkecil ketergantungan terhadap negara lain. Sementara di bidang budaya,
nasionalisme diarahkan pada lahirnya pribadi-pribadi berkarakter kuat yang
berakar dari kebudayaan nasional.
Terlepas dari
keterbatasannya, buku ini merupakan kontribusi penting, baik dalam kajian
sejarah tokoh maupun pemikiran politik di Indonesia, terutama mengenai posisi
agama dalam ideologi NASAKOM. Satu hal yang barangkali dapat diambil dari
semangat gagasan Soekarno tersebut, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku ini
untuk direnungkan bersama, bahwa tidak ada ideologi yang berbahaya, yang
berbahaya adalah fanatisme dalam ber-ideologi. Karena itu, progresivitas dalam
ideologi merupakan syarat mutlak bagi lahirnya persatuan bangsa, untuk
diarahkan pada upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar