Laman

Sabtu, 12 Januari 2013

JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD XVII DAN XVIII


JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD XVII DAN XVIII
(Kajian Metode Penelitian Disertasi Prof. Dr. Azyumardi Azra)

A. Latar Belakang
Kajian tentang transmisi dan penyebaran gagasan pembaruan Islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi kekuasaan Eropa dalam abad ke-17 dan ke-18, penting karena beberapa alasan, yaitu sejarah sosial intelektual Islam pada periode ini sangat sedikit dikaji, di mana kebanyakan perhatian diberikan kepada sejarah politik Muslim. Di samping itu, karena terjadinya kemerosotan entitas-entitas politik Muslim, periode ini sering dipandang sebagai masa gelap dalam sejaran Muslim. Bertentangan dengan pandangan yang banyak dipegangi ini, peneliti berusaha mengungkapkan bahwa abad ke-17 dan ke-18 merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial intelektual kaum muslim. 
Sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah. Posisi penting kedua kota ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji, mendorong sejumlah besar guru (ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah Dunia Muslim datang dan bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan pembaruan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Sebagian besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini, yang berasal dari berbagai wilayah Dunia Muslim, membawa berbagai tradisi pembaruan ke Makkah dan Madinah. Terdapat usaha-usaha sadar di antara ulama dalam jaringan untuk memperbarui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam. Tema pokok pembaruan mereka adalah konstruksi sosio-moral masyarakat-masyarakat Muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan ulama, semangat pembaruan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya di banyak bagian Dunia Muslim.
Pengembangan gagasan pembaruan dan transmisinya melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat kompleks. Terdapat saling silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil dari proses pembaruan mereka, khususnya dalam bidang hadits dan tasawuf (thariqah). Kajian dalam kompleksitas hubungan dan atas kitab-kitab atau karya-karya yang dihasilkan dalam jaringan ulama, akan mengungkapkan banyak hal tentang bagaimana gagasan pembaruan Islam ditransmisikan dari pusat-pusat jaringan keberbagai bagian Dunia Islam.
Memahami proses-proses transmisi gagasan pembaruan itu menjadi semakin penting dalam hubungannya dengan perjalanan Islam di Nusantara. Karena kawasan ini secara geografis terletak pada pinggiran (periferi) Dunia Muslim, terdapat kecenderungan di kalangan sarjana dan peneliti di masa modern untuk tidak memasukkan Nusantara dalam pembaruan tentang Islam. Diasumsikan, Islam di kawasan ini tidak memiliki tradisi pembaruan yang mantap. Bahkan, Islam di Nusantara bukan “Islam yang sebenarnya”, karena bercampur dangan budaya lokal. Pada intinya, Islam di Nusantara berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Tentu saja pengaruh lokal masih nampak, tetapi untuk menyebut tradisi Islam di Nusantara tidak mempunyai kaitan Islam di Timur Tengah jelas merupakan kekeliruan yang fatal.
Suatu kekeliruan juga menganggap hubungan antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis daripada keagamaan. Setidaknya sejak abad ke-17 hubungan di antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya, dengan Dinasti Utsmani. Jika hubungan keagamaan dan keilmuan ini dalam masa belakangan mendorong munculnya semacam kesadaran politik, khususnya vis-à-vis imperialisme Eropa, itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya kesadaran tentang “identitas Islam”.
Kemakmuran kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Muslim Melayu-Indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat pembaruan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan ibadah haji juga membuat perjalanan naik haji dari Nusantara semakin baik. Tatkala hubungan ekonomi, politik sosial-keagamaan antar negara-negara Muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad ke-14 dan ke-15, maka semakin banyak pulalah penuntut ilmu dan jamaah haji dari Dunia Melayu-Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji. Hal ini mendorong munculnya komunitas yang oleh sumber-sumber Arab disebut Ashab al-Jawiyyin (saudara kita orang Jawi) di Haramayn. Istilah “Jawi”, meskipun berasal dari kata “Jawa”, merujuk kepada setiap orang yang berasal dari Nusantara.
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan pembaruan  Islam di antara kaum Muslim Melayu-Indonesia. Kajian atas sejarah kehidupan, pembaruan dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual di antara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga perkembangan Islam semasa di Dunia Melayu-Indonesia. Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual-keagamaan yang terdapat di antara mereka dengan ulama di Timur Tengah.
Terdapat sejumlah murid Jawi, yang menjadi subyek kajian ini, yang terlibat dalam jaringan ulama pada abad ke-17 dan ke-18, setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Nusantara. Di sinilah mereka menjadi transmitter utama tradisi intelektual-keagamaan tradisi Islam dari pusat-pusat pembaruan Islam di Timur Tengah ke Nusantara.
Kecenderungan intelektual-keagamaan paling mencolok yang muncul dari jaringan ulama adalah harmonisasi antara syariat dan tasawuf. Tasawuf yang telah diperbarui sehingga menjadi lebih sesuai dengan tuntunan syariat ini sering disebut banyak sarjana masa kita sebagai “neo-sufisme”. Rekonsiliasi dan harmonisasi antara syariat dan tasawuf telah ditekankan sejak masa lebih awal oleh tokoh-tokoh semacam Al-Ghazali dan Al-Qusyairi, tetapi rekonsiliasi itu mencapai momentumnya terutama melalui jaringan ulama. Para tokoh dalam jaringan ulama percaya betul, hanya dengan komitmen total kepada syariat, maka kecenderungan sufisme awal yang ekstravagan dan eksesif dapat dikontrol. Komitmen baru kepada syariat dan tasawuf pada gilirannya mendorong munculnya upaya-upaya serius ke arah rekonstruksi sosio-moral masyarakat-masyarakat Muslim.
Meski hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan ulama dalam jaringan mempunyai komitmen kepada pembaruan Islam, tidak terdapat keseragaman di antara mereka dalam hal metode dan pendekatan untuk mencapai tujuan ini. Kebanyakan mereka memilih pendekatan damai dan evolusioner, tetapi sebagian kecil, yang paling terkenal di antara mereka adalah Muhammad bin ’Abd Al-Wahhab di Semenanjung Arabia dan Utsman bin Fudi di Afrika Barat, lebih menyenangi pendekatan dan cara-cara radikal, yang pada gilirannya juga ditempuh sementara ulama atau gerakan pembaru di Nusantara, semacam Gerakan Padri di Minangkabau.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, jaringan ulama di Haramayn memberikan dasar bagi semangat pembaru dalam berbagai masyarakat Muslim di Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18. Pertukaran gagasan dan pemeliharaan wacana intelektual dalam masa ini sangat krusial bagi sejarah pemikiran keagamaan Islam di Nusantara. Gejolak dan dinamika pemikiran yang muncul dari hubungan dan kontak yang begitu intens melalui jaringan ulama memunculkan efek revitalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan kebanyakan kaum Muslim Melayu-Indonesia.
Dalam perspektif peneliti, kajian ini merupakan langkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran Islam di pusat keilmuan Islam di Timur Tengah pada abad ke-17 dan ke-18. Selain untuk memperkaya dalam tema kajian yang berkaitan, penelitian ini tampaknya dimaksudkan pula untuk merevisi nomenklatur “pembaruan Islam” yang selama ini selalu dihubungkan dengan gerakan Islam pada abad ke-20, yang berkembang sejalan dengan perubahan sosial-budaya Muslim akibat desakan modernisasi oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Daripada bertitik tolak dari modernisasi, penelitian ini berusaha menjelaskan pembaruan Islam dengan menghadirkan satu pelacakan historis di mana gagasan pentingnya syariah dalam pemikiran dan praktik keagamaan Muslim tampil menjadi wacana dominan yang disuarakan oleh ulama terkemuka Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18.

B. Rumusan Masalah
Kajian ini berupaya menjawab beberapa pokok masalah, yaitu pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan?  
Kedua, apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara? Bagaimana modus transmisi itu?
Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara?    

C. Kajian Teoritis
1.     Tinjauan Penelitian Terdahulu
Sejauh ini, tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tidak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis tentang sumber-sumber pemikiran mereka; dan khususnya tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama yang ada; dan tentang bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara.
Beberapa tulisan John O. Voll membahas tentang jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah, dan hubungan-hubungan mereka dengan bagian-bagian lain Dunia Muslim.[1] Akan tetapi dia membahas terutama tentang kebangkitan jaringan itu di antara ulama Timur Tengah dan Anak Benua India. John O. Voll hanya secara sambil lewat menyebut keterlibatan ulama Melayu-Indonesia seperti ‘Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari dalam jaringan ulama internasional tersebut.  
A.H. Johns, di pihak lain, dalam beberapa tulisannya[2] juga membahas hubungan-hubungan tersebut, khususnya antara al-Sinkili dan Ibrahim al-Kurani. Tetapi dia tidak melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan al-Sinkili dengan ulama lain di Haramayn. Langkanya kajian tentang jaringan keilmuan tokoh-tokoh ulama Melayu-Indonesia lainnya bahkan lebih mencolok. Kajian-kajian yang membahas ulama terkemuka selain al-Sinkili gagal mengungkapkan jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur Tengah.
Lebih jauh, ketika jaringan keilmuan itu sedikit disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada aspek “organisasional” jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang dari bagian-bagian lain Dunia Muslim. Tidak ada kajian yang membahas “kandungan intelektual” yang terdapat dalam jaringan ulama tersebut. Padahal, kajian tentang aspek intelektual ini sangat penting untuk mengetahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama.    
2.    Posisi Kajian dan Temuan yang Diharapkan
Kajian ini berusaha menjelaskan sejumlah masalah penting yang berkaitan dengan pokok bahasan di atas, di mana hal tersebut menjadikannya sebagai studi komprehensif pertama tentang jaringan ulama global, dengan referensi khusus kepada ulama Melayu-Indonesia, beserta kecenderungan-kecenderungan intelektual mereka dalam abad ke-17 dan ke-18.
Berbeda dengan studi-studi yang ada tentang Islam di Indonesia pra abad ke-19, yang biasanya mendasarkan pembahasannya pada sumber-sumber Barat dan lokal, peneliti berusaha semaksimal mungkin menggali dan menggunakan sumber-sumber berbahasa Arab. Tampaknya inilah kajian pertama yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif dalam pengkajian yang berkenaan dengan sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
Hasil kajian ini diharapkan menjadi informasi pertama dan utama yang secara khusus membahas tentang peranan jaringan ulama dalam transmisi gagasan-gagasan pembaruan ke Nusantara, dan sekaligus pelacakan awal tentang sumber-sumber pembaruan awal dalam sejarah Islam di Nusantara. 

D.   Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian sejarah sosial dan intelektual, di mana dalam metode penelitiannya, peneliti menggunakan peranti sosio-cultural history dan memfokuskan pada aktifitas-aktifitas transmisi dan penyebaran gagasan pembaruan Islam, dengan penekanan pada ulama Nusantara, yaitu ar-Raniri, al-Sinkili, al-Maqasari pada abad ke-17 dan al-Palimbani, al-Banjari, Dawud al-Fatani serta beberapa ulama lainnya pada abad ke-18.
Paradigma yang digunakan adalah paradigma definisi sosial yang mengacu pada apa yang ditegaskan oleh Max Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan sosial, di mana tindakan sosial dimaksudkan sebagai semua tindakan yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi seseorang dan diarahkan kepada tindakan orang lain.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dan mendasarkan cara kerjanya pada prosedur penelitian sejarah, yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
1.        Heuristik  
Heuristik atau pengumpulan sumber data penelitian dilakukan melalui telaah teks atau library research. Pada tahap ini, peneliti melakukan penelitian di berbagai tempat dan perpustakaan, mulai dari Banda Aceh, Jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo, Makkah, Madinah, Leiden, New York City, hingga ke Ithaca (New York State). Dari sekian banyak sumber data yang dikumpulkan, peneliti kemudian mengelompokkan sumber-sumber data tersebut ke dalam sumber primer atau sumber sekunder.
Kamus-kamus biografi berbahasa Arab tentang ulama dan tokoh lainnya yang terlibat dalam jaringan ulama pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan sumber primer dan mutlak dalam penelitian ini. Di samping itu, sumber-sumber berbahasa Melayu-Indonesia, terutama yang ditulis oleh ulama yang dibahas dalam kajian ini, yang sering memberikan nama para guru murid-murid Jawi di Haramayn.
2.       Verifikasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan seleksi terhadap sumber data melalui kritik sejarah. Adapun langkah kritik yang dilakukan, yaitu pertama, kritik terhadap fisik sumber data (kritik ekstern). Di sini peneliti menguji keaslian atau autentisitas sumber sejarah. Kedua, kritik terhadap isi sumber (kritik intern). Peneliti menguji apakah isi dari pernyataan sumber data itu dapat dipercaya, dengan cara membandingkan beberapa sumber yang sama. Pada tahap ini akan diperoleh sumber data yang dapat dipercaya kebenarannya atau kredibilitasnya.
3.       Interpretasi
Peneliti melakukan proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah, juga melakukan penyusunan fakta-fakta dengan dukungan teori yang dimilikinya. Pada proses ini, dimungkinkan masuknya unsur-unsur subjektif peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkannya.
4. Historiografi
Dalam penulisan hasil penelitian, peneliti menyusunnya secara kronologis sesuai dengan kerangka penulisan atau sistematika pembahasan yang telah dipersiapkan untuk menjadi patokan sebagaimana umumnya penelitian ilmiah. 
Dengan modal ilmu sejarah dan modal bahasa jurnalistik yang dikuasainya, peneliti berhasil menyajikan sebuah karya ilmiah secara lebih dalam dan lebih cermat, serta mudah dipahami.

E.    Temuan Teoritik
Berdasarkan konseptualisasi yang dilakukan oleh peneliti, temuan teoritis yang didapatkan antara lain, yaitu:
1.     Hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara[3] sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk, yaitu pertama, sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan, di mana inisiatif dalam hubungan ini kebanyakan diprakarsai oleh Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia.[4] Kedua, akhir abad ke-13 sampai abad ke-15, Muslim Arab dan Persia mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini, hubungan keagamaan dan kultural terjalin erat.[5] Ketiga, sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin lebih bersifat politis, juga keagamaan, dengan faktor penting yaitu kedatangan dan peningkatan pertarungan antara kekuatan Portugis dengan Dinasti Utsmani di Lautan India.[6] Dalam periode ini, Muslim Nusantara mengambil inisiatif untuk menjalin hubungan politik dan keagamaan, tidak hanya dengan Dinasti Utsmani, tetapi juga dengan penguasa Haramayn. Seiring dengan semakin banyaknya Muslim Nusantara datang ke Makkah dan Madinah, pada giliran berikutnya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara ulama-ulama Timur Tengah dengan murid-murid Nusantara.   
2.    Saling-silang hubungan ulama yang terlibat dalam jaringan menciptakan komunitas-komunitas intelektual internasional yang saling berkaitan satu sama lain. Hubungan-hubungan di antara mereka pada umumnya tercipta dalam kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid, madrasah, dan ribath. Oleh karena itu, kaitan dasar di antara mereka bersifat akademis dengan mengambil bentuk hubungan guru dengan murid (vertikal) serta hubungan guru dengan guru atau murid dengan murid (horizontal). Dua sarana penting yang membuat hubungan ini relatif solid adalah isnad hadits dan silsilah tarekat.    
3.    Sementara penekanan pada telaah hadist terus berlanjut dan rekonsiliasi antara syariat dengan tasawuf secara progresif memperoleh landasan yang semakin kuat, perkembangan pemikiran keagamaan para ulama pada abad ke-18 cenderung lebih purifikasionis (pemurnian ajaran). Sebagai mereka percaya, pembaruan keagamaan tidak boleh dibatasi pada rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf semata, tetapi juga harus mencakup pemurnian praktik-praktik keagamaan. Pada tahap ini, pembaruan mendapatkan penekanan yang lebih aktif atau, lebih tepatnya, praksis. Seperti masa sebelumnya, organisasi tarekat pada masa ini dimanfaatkan sebagai sarana rekonstruksi kehidupan sosio-moral ummah. Hal ini terutama menjelang abad ke-19, dengan semakin meningkatnya penetrasi penjajah Eropa ke Dunia Islam, tarekat-tarekat sering menggerakkan kaum Muslim agar bangkit melawan para penguasa asing.
4.    Penyebaran gagasan-gagasan pembaruan dari pusat-pusat jaringan ulama di Timur Tengah oleh tiga ulama paling penting dari wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17, yaitu Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Ra’uf al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari. Karier dan ajaran-ajaran ketiga ulama ini dengan jelas menunjukkan bahwa perkembangan Islam di Nusantara sangat terpengaruh oleh perkembangan di Timur Tengah. Atas jasa ketiga ulama ini, kecenderungan-kecenderungan pembaruan jaringan ulama itu segera diterjemahkan ke Nusantara. Tema pokok pembaruan mereka adalah kembali pada ortodoksi Sunni, dengan ciri paling menonjol yaitu keselarasan antara syariat dan tasawuf. Dalam hal ini, para mujaddid Melayu-Nusantara ini banyak sekali memberikan sumbangan kepada penguatan jati diri Islam dalam masyarakat mereka. Hasil yang kemudian tampak dari proses ini adalah semakin intensifnya Islamisasi di Nusantara.
5.    Beberapa ulama utama Melayu-Indonesia berasal dari berbagai wilayah dan kelompok etnis di Nusantara yang berperan dalam jaringan ulama pada periode abad ke-18 hingga awal ke-19, antara lain yaitu Syihab al-Din bin Abd Allah Muhammad, Kemas Fakhr al-Din, Abd al-Shamad al-Palimbani, Kemas Muhammad bin Ahmad, dan Muhammad Muhyi al-Din bin Syihab al-Din, di mana semuanya dari wilayah Sumatera Selatan. Kemudian Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muhammad Nafis al-Banjari dari Kalimantan Selatan. Selanjutnya adalah Abd al-Wahhab al-Bugisi dari Sulawesi, Abd al-Rahman al-Mashri al-Batawi dari Batavia, serta Dawud bin Abd Allah al-Fatani dari wilayah Patani di Thailand Selatan. Mereka memainkan peranan yang menentukan, bukan hanya dalam mempertahankan momentum pembaruan Islam di Nusantara, tetapi lebih penting lagi adalah dalam meneruskan bendera pembaruan kepada generasi ulama Melayu-Indonesia sesudahnya. Di samping itu, mereka juga memainkan peranan penting dalam melestarikan semangat kaum Muslim Nusantara dalam menghadapi ekspansi wilayah yang terus dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. 

F. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu pertama, para ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang berpusat di Makkah dan Madinah memainkan peranan menentukan dan menyiarkan gagasan-gagasan pembaruan baik melalui pengajaran maupun karya tulis. Pembaruan dalam jaringan ulama, segera diterjemahkan pula di Nusantara. Di sini dapat digarisbawahi bahwa pembaruan Islam di Nusantara dimulai sejak paruh kedua abad ke-17 dan bukannya pada abad ke-19 dan ke-20. Tentang pembaruan ini, Islam di wilayah Melayu-Indonesia pada abad ketujuh belas bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan juga Islam yang berorioentasi pada syariat (hukum). Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abad-abad sebelumnya, Islam mistislah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di Timur Tengah, para ulama Melayu-Indonesia sejak paruh kedua abad ketujuh belas dan seterusnya melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar, bahkan secara serentak, untuk menyebarkan neo-Sufisme di Nusantara.
Kedua, bangkitnya neo-Sufisme, tak diragukan lagi, terutama merupakan hasil usaha jaringan ulama, yang semakin berjaya sejak menjelang akhir abad ke-16. Jaringan ulama yang terpusat terutama di Haramayn timbul sebagai akibat interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan pembaruan Islam dari Afrika Utara (wilayah Maghrib), Mesir, Syiria, Irak, Yaman, India, dan Haramayn sendiri.  Jaringan ulama itu sendiri mencakup hubungan-hubungan yang rumit di antara para ulama dari berbagai dari dunia Muslim. Karena kedudukannya yang utama dalam Islam, Makkah dan Madinah semakin banyak menarik minat para ulama sejak abad kelima belas. Loci utama wacana pengetahuan dan pembaruan Islam itu adalah dua masjid suci di Makkah dan Madinah. Pada saat yang sama, madrasah-madrasah dan ribath-ribath juga tumbuh dalam jumlah besar di kedua kota itu, yang sebagian besar di antaranya berdiri wakaf yang berasal dari penguasa atau kaum Muslim kaya di bagian-bagian lain dari dunia Islam. Madrasah-madrasah dan ribath-ribath ini sangat besar sumbangannya bagi kebangkitan pengetahuan dan pembaruan Islam di Haramayn.
Ketiga, penyebaran pembaruan Islam di Nusantara sepanjang abad ke-17 dan ke-18 tidak lantas bahwa “tradisi kecil” Islam di bagian dunia Islam ini menjadi sepenuhnya sesuai dengan “tradisi besar”. Berbagai bentuk keyakinan dan praktik-praktik yang tidak Islami terus mencengkeram segmen tertentu kaum Muslim. Hal ini merupakan alasan penting bagi kelanjutan usaha untuk memperbarui kembali keyakinan dan praktik kaum Muslim pada periode selanjutnya.       


[1] John O. Voll, “Muhammad Hayya al-Sindi dan Muhammad ibn Abd al-Wahhab: An Analysis of an Intellectual Group in the Eighteenth Century Madina”, BSOAS, 38 (1975) dan “Hadits Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the Eighteenth Century Haramayn and Their Impact in the Islamic World”, JAAS, 15, 34 (1980). Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2005) hlm. xxii
[2] A. H. Johns, “Friends in Grace: Ibrahim al-Kurani and Abd al-Rauf al-SInkili”, dalam S. Udin (peny.), Spectrum: Essays Presented of Sutan Takdir Alisjahbana on His Seventieth Birthday (Jakarta: Dian Rakyat, 1978) dan “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, 19 (1975). Lihat, Ibid
[3] Hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara pada awalnya merupakan perkembangan dari hubungan perdagangan antara Timur Tengah dengan Cina yang telah berlangsung sejak berabad-abad sebelum Masehi. Wilayah Cina yang menjadi pusat perdagangan ini adalah Cina bagian utara, dengan jalur perdagangan melalui Asia Tengah. Kegiatan perdagangan yang sepenuhnya dilakukan melalui jalur-jalur perdagangan di daratan Asia ini dengan sendirinya tidak memberi kemungkinan tumbuhnya suatu perdagangan maritim di Cina.
Munculnya wilayah Cina bagian selatan sebagai pusat kekuasaan pada abad IV M, berpengaruh pada perkembangan perdagangan antara Cina dengan Timur Tengah. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh pusat peradaban Cina bagian utara yang diserang oleh suku-suku bangsa dari Asia Tengah pada awal abad IV M. Akibat peristiwa ini, banyak di antara para bangsawan Cina yang melakukan migrasi ke wilayah Cina bagian selatan dan mendirikan dinasti-dinasti baru. Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta: Balai Pustaka, 1992) hlm.13.
Para pendiri dinasti-dinasti Cina bagian Selatan mendorong tumbuhnya perdagangan maritim antara kedua daerah tersebut melalui kepulauan Nusantara. Lihat, Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang1979) hlm. 26-27. 
 Meskipun pada masa itu Nusantara telah menjadi pusat perdagangan maritim di Asia Tenggara yang menjalin hubungan perdagangan dengan wilayah India, tampaknya para penguasa Cina tidak berminat untuk menjadikan Nusantara sebagai wilayah hubungan dagang mereka. Bagi penguasa Cina, Asia Tenggara pada umumnya, merupakan daerah yang belum beradab. Selebihnya, wilayah Asia Tenggara hanya merupakan daerah-daerah yang menjelaskan hubungan pelayaran antara Cina dengan Timur Tengah. Asia Tenggara hanya mendapat perhatian Cina jika ada hubungan dengan perdagangan Timur Tengah. Lihat, Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 13-14
Seperti Cina, para pedagang Timur Tengah juga tidak terlalu menaruh perhatian untuk menjalin perdagangan dengan Nusantara. Bagi mereka, Cina adalah tujuan utama perdagangan mereka. Hal ini barangkali disebabkan para pelayar dan pedagang Timur Tengah yang masih kurang mengenal tentang Nusantara, kecuali hanya sebagai tempat transit temporal sebelum melanjutkan perjalanan, baik pergi ke Cina maupun kembali ke Timur Tengah. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 20
Selain itu adalah komoditi utama perdagangan Nusantara pada waktu itu —cengkeh, pala, lada, kayu cendana, getah kayu kamper, kayu manis, lilin, damar— yang kurang diminati oleh para pedagang Timur Tengah.
[4] Perkembangan kondisi sosial di Timur Tengah dengan munculnya Islam sebagai kekuatan politik dan agama, memberikan perubahan yang signifikan dalam perdagangan kaum Muslim Timur Tengah. Selanjutnya, perluasan wilayah Islam ke Persia dan Anak Benua India sepanjang masa Dinasti Umayyah (660-749 M) memberikan dorongan baru kepada pelayaran Timur Tengah untuk menjelajah sampai ke Timur Jauh. Penaklukan wilayah-wilayah ini memberikan kepada Muslim Timur Tengah yang baru memeluk Islam sejumlah pelabuhan-pelabuhan strategis sepanjang rute perdagangan mulai dari Teluk Persia hingga Lautan India. Pada periode ini, pelayaran dan perdagangan kaum Muslim mengalami peningkatan intensitasnya secara regular melalui rute laut sejak Arabia Selatan hingga Lautan Cina.
Kapal-kapal dagang Muslim Timur Tengah melakukan pelayaran di sepanjang garis pantai India sebelah selatan menuju Gujarat dan Malabar, selanjutnya menuju Sri Langka dengan melintasi samudera India menuju kepulauan Nicobar melewati bagian utara Sumatera. Selanjutnya, kapal-kapal tersebut bergerak menuju Kedah melalui selat Malaka. Rute perdagangan ini kemudian terbagi menjadi dua arah, yaitu ke arah utara menuju Cina dan ke arah timur menuju Palembang (Sumatera) atau Jawa. Lihat, Azhar Arsyad, “Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan & Yayasan Festival Istiqlal, 2006) hlm. 79
Sejalan dengan kondisi Timur Tengah di atas, perkembangan di Nusantara memunculkan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kekuasaan baru di wilayah tersebut pada paruh kedua abad ke-7 M hingga lima abad kemudian. Hampir seluruh wilayah Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa berada di bawah kekuasaannya. Pada periode ini, kerajaan Sriwijaya memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan Timur Tengah dan Cina. Sriwijaya bahkan menguasai lalu lintas pelayaran dan mendominasi perdagangan Nusantara, dan ibukotanya, Palembang, menjadi entrepot terpenting di kawasan ini. Dari seluruh kapal asing ini, keuntungan yang diperoleh oleh kerajaan Sriwijaya sangat besar. Selain penarikan bea cukai, Sriwijaya —yang merupakan negara maritim— juga memperoleh keuntungan lain dari perdagangan. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 23. Lihat pula, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 61.
Seperti perkampungan pedagang-pedagang Arab di Kanton (Cina) yang telah ada sejak abad ke-4 M, wilayah kerajaan Sriwijaya yang menjadi pelabuhan-pelabuhan transit mengalami proses Islamisasi seiring dengan interaksi yang cukup rapat antara pedagang-pedagang Muslim dengan penduduk setempat dalam kehidupan sehari-hari. Para pedagang Muslim ini tinggal di daerah-daerah tersebut untuk beberapa waktu lamanya sambil menunggu datangnya angin baik, kemudian melanjutkan perjalanannya ke tujuan masing-masing. Selama tinggal di daerah transit tersebut, mereka berkesempatan membongkar dan memuat barang-barang dagangan di kapal, serta berinteraksi dengan penduduk setempat. Lihat, Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, hlm. 32. Lihat pula, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, hlm. 61.
[5] Proses Islamisasi ini menjadi meningkat seiring dengan migrasi besar Muslim Timur Tengah dari Kanton ke Palembang, untuk menemukan wilayah perlindungan yang aman, di mana telah terjadi kerusuhan di kota tersebut yang tidak menguntungkan pihak Muslim Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya menjelaskan bahwa munculnya beberapa kerajaan Muslim di Nusantara sejak akhir abad ke-13 M, menciptakan momentum baru bagi hubungan-hubungan politik, agama antara Timur Tengah dengan Nusantara. Pada masa ini, perkembangan menunjukkan perbedaan dengan sebelumnya, jika dalam masa sebelumnya Muslim Timur Tengah memusatkan kegiatan-kegiatan mereka pada perdagangan, maka sejak menjelang akhir abad ke-12 M mereka mulai memberikan perhatian khusus pada usaha-usaha penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
Pergeseran dalam kegiatan-kegiatan ini tidak hanya disebabkan perubahan-perubahan politik agama di Timur Tengah sendiri, tetapi juga oleh kemerosotan perdagangan di Nusantara sebagai akibat kemunduran kekuasaan Sriwijaya, khususnya menjelang akhir abad ke-13. Terlepas dari faktor penyebabnya, dampak kemunduran Sriwijaya terhadap perdagangan di Nusantara sangat besar. Dalam upaya meningkatkan kembali pendapatan negara yang terus merosot, para penguasa Sriwijaya menempuh kebijakan ekonomi dan perdagangan yang monopolistik, mengenakan bea-cukai yang besar terhadap kapal-kapal asing, dan memaksa para pedagang asing membayar denda yang berat jika mereka berusaha berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara. Sebagai konsekuensinya, para pedagang asing, khususnya pedagang-pedagang Muslim Timur Tengah, kini menghadapi kesulitan dan gangguan berat dalam perdagangan mereka. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Ibid, hlm. 15-17 dan hlm. 31
Dengan mempertimbangkan semua perkembangan ini, tidak heran kalau kemudian para pedagang Timur Tengah ini mengalihkan kegiatan-kegiatan dagang mereka ke tempat-tempat lain di Nusantara. Selain itu, mereka mulai mengambil bagian lebih aktif dalam penyebaran Islam. Hasilnya, bentuk-bentuk hubungan baru yang lebih akrab antara Timur Tengah dan Nusantara juga mulai muncul, terutama hubungan yang diperkuat dengan tali agama yang kemudian dengan cepat berkembang. Hubungan dagang tentu saja tidak ditinggalkan, bahkan hubungan dalam bidang ini diperkuat dengan pembentukan hubungan-hubungan religio-kultural, yang selanjutnya diikuti oleh hubungan dalam bidang-bidang lain, khususnya dalam bidang politik keagamaan. Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1992) hlm. 212. Lihat pula, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Ibid, hlm. 31-32
[6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar