JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD XVII DAN XVIII
(Kajian Metode Penelitian Disertasi Prof. Dr.
Azyumardi Azra)
A. Latar Belakang
Kajian tentang transmisi dan penyebaran gagasan
pembaruan Islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi kekuasaan Eropa dalam
abad ke-17 dan ke-18, penting karena beberapa alasan, yaitu sejarah sosial
intelektual Islam pada periode ini sangat sedikit dikaji, di mana kebanyakan
perhatian diberikan kepada sejarah politik Muslim. Di samping itu, karena
terjadinya kemerosotan entitas-entitas politik Muslim, periode ini sering
dipandang sebagai masa gelap dalam sejaran Muslim. Bertentangan dengan
pandangan yang banyak dipegangi ini, peneliti berusaha mengungkapkan bahwa abad
ke-17 dan ke-18 merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial
intelektual kaum muslim.
Sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18
adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah. Posisi
penting kedua kota ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji, mendorong
sejumlah besar guru (ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah
Dunia Muslim datang dan bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan
semacam jaringan pembaruan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Sebagian
besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini, yang berasal dari berbagai
wilayah Dunia Muslim, membawa berbagai tradisi pembaruan ke Makkah dan Madinah.
Terdapat usaha-usaha sadar di antara ulama dalam jaringan untuk memperbarui dan
merevitalisasi ajaran-ajaran Islam. Tema pokok pembaruan mereka adalah
konstruksi sosio-moral masyarakat-masyarakat Muslim. Karena hubungan-hubungan
ekstensif dalam jaringan ulama, semangat pembaruan tadi segera menemukan
berbagai ekspresinya di banyak bagian Dunia Muslim.
Pengembangan gagasan pembaruan dan transmisinya
melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat kompleks. Terdapat
saling silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan, sebagai hasil
dari proses pembaruan mereka, khususnya dalam bidang hadits dan tasawuf (thariqah).
Kajian dalam kompleksitas hubungan dan atas kitab-kitab atau karya-karya yang
dihasilkan dalam jaringan ulama, akan mengungkapkan banyak hal tentang
bagaimana gagasan pembaruan Islam ditransmisikan dari pusat-pusat jaringan
keberbagai bagian Dunia Islam.
Memahami proses-proses transmisi gagasan pembaruan
itu menjadi semakin penting dalam hubungannya dengan perjalanan Islam di Nusantara.
Karena kawasan ini secara geografis terletak pada pinggiran (periferi)
Dunia Muslim, terdapat kecenderungan di kalangan sarjana dan peneliti di masa
modern untuk tidak memasukkan Nusantara dalam pembaruan tentang Islam.
Diasumsikan, Islam di kawasan ini tidak memiliki tradisi pembaruan yang mantap.
Bahkan, Islam di Nusantara bukan “Islam yang sebenarnya”, karena bercampur
dangan budaya lokal. Pada intinya, Islam di Nusantara berbeda dengan Islam di
Timur Tengah. Tentu saja pengaruh lokal masih nampak, tetapi untuk menyebut
tradisi Islam di Nusantara tidak mempunyai kaitan Islam di Timur Tengah jelas
merupakan kekeliruan yang fatal.
Suatu kekeliruan juga menganggap hubungan antara
Islam di Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis daripada
keagamaan. Setidaknya sejak abad ke-17 hubungan di antara kedua wilayah Muslim
ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meski juga terdapat hubungan
politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya, dengan Dinasti
Utsmani. Jika hubungan keagamaan dan keilmuan ini dalam masa belakangan
mendorong munculnya semacam kesadaran politik, khususnya vis-à-vis
imperialisme Eropa, itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya kesadaran
tentang “identitas Islam”.
Kemakmuran kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara,
terutama sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan kepada
segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Muslim Melayu-Indonesia untuk melakukan
perjalanan ke pusat-pusat pembaruan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya
Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan ibadah haji juga membuat
perjalanan naik haji dari Nusantara semakin baik. Tatkala hubungan ekonomi,
politik sosial-keagamaan antar negara-negara Muslim di Nusantara dengan Timur
Tengah semakin meningkat sejak abad ke-14 dan ke-15, maka semakin banyak
pulalah penuntut ilmu dan jamaah haji dari Dunia Melayu-Indonesia yang
berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute
perjalanan haji. Hal ini mendorong munculnya komunitas yang oleh sumber-sumber
Arab disebut Ashab al-Jawiyyin (saudara kita orang Jawi) di Haramayn.
Istilah “Jawi”, meskipun berasal dari kata “Jawa”, merujuk kepada setiap orang
yang berasal dari Nusantara.
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama
tradisi intelektual dan pembaruan Islam di
antara kaum Muslim Melayu-Indonesia. Kajian atas sejarah kehidupan, pembaruan
dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidak hanya sifat hubungan
keagamaan dan intelektual di antara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah,
tetapi juga perkembangan Islam semasa di Dunia Melayu-Indonesia. Kehidupan dan
pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai
jaringan intelektual-keagamaan yang terdapat di antara mereka dengan ulama di
Timur Tengah.
Terdapat sejumlah murid Jawi, yang menjadi subyek
kajian ini, yang terlibat dalam jaringan ulama pada abad ke-17 dan ke-18, setelah
menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar
mereka kembali ke Nusantara. Di sinilah mereka menjadi transmitter utama
tradisi intelektual-keagamaan tradisi Islam dari pusat-pusat pembaruan Islam di
Timur Tengah ke Nusantara.
Kecenderungan intelektual-keagamaan paling mencolok
yang muncul dari jaringan ulama adalah harmonisasi antara syariat dan tasawuf.
Tasawuf yang telah diperbarui sehingga menjadi lebih sesuai dengan tuntunan
syariat ini sering disebut banyak sarjana masa kita sebagai “neo-sufisme”.
Rekonsiliasi dan harmonisasi antara syariat dan tasawuf telah ditekankan sejak
masa lebih awal oleh tokoh-tokoh semacam Al-Ghazali dan Al-Qusyairi, tetapi
rekonsiliasi itu mencapai momentumnya terutama melalui jaringan ulama. Para
tokoh dalam jaringan ulama percaya betul, hanya dengan komitmen total kepada
syariat, maka kecenderungan sufisme awal yang ekstravagan dan eksesif
dapat dikontrol. Komitmen baru kepada syariat dan tasawuf pada gilirannya
mendorong munculnya upaya-upaya serius ke arah rekonstruksi sosio-moral
masyarakat-masyarakat Muslim.
Meski hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan
ulama dalam jaringan mempunyai komitmen kepada pembaruan Islam, tidak terdapat
keseragaman di antara mereka dalam hal metode dan pendekatan untuk mencapai
tujuan ini. Kebanyakan mereka memilih pendekatan damai dan evolusioner, tetapi
sebagian kecil, yang paling terkenal di antara mereka adalah Muhammad bin ’Abd
Al-Wahhab di Semenanjung Arabia dan Utsman bin Fudi di Afrika Barat, lebih
menyenangi pendekatan dan cara-cara radikal, yang pada gilirannya juga ditempuh
sementara ulama atau gerakan pembaru di Nusantara, semacam Gerakan Padri di
Minangkabau.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, jaringan
ulama di Haramayn memberikan dasar bagi semangat pembaru dalam berbagai
masyarakat Muslim di Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18. Pertukaran gagasan
dan pemeliharaan wacana intelektual dalam masa ini sangat krusial bagi sejarah
pemikiran keagamaan Islam di Nusantara. Gejolak dan dinamika pemikiran yang
muncul dari hubungan dan kontak yang begitu intens melalui jaringan ulama
memunculkan efek revitalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan
kebanyakan kaum Muslim Melayu-Indonesia.
Dalam perspektif peneliti, kajian ini merupakan
langkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan
pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan
pemikiran Islam di pusat keilmuan Islam di Timur Tengah pada abad ke-17 dan ke-18.
Selain untuk memperkaya dalam tema kajian yang berkaitan, penelitian ini tampaknya
dimaksudkan pula untuk merevisi nomenklatur “pembaruan Islam” yang
selama ini selalu dihubungkan dengan gerakan Islam pada abad ke-20, yang
berkembang sejalan dengan perubahan sosial-budaya Muslim akibat desakan
modernisasi oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Daripada bertitik
tolak dari modernisasi, penelitian ini berusaha menjelaskan pembaruan Islam
dengan menghadirkan satu pelacakan historis di mana gagasan pentingnya syariah
dalam pemikiran dan praktik keagamaan Muslim tampil menjadi wacana dominan yang
disuarakan oleh ulama terkemuka Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18.
B. Rumusan Masalah
Kajian ini berupaya menjawab beberapa pokok
masalah, yaitu pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara
ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? Bagaimana sifat dan
karakteristik jaringan itu? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang
berkembang dalam jaringan?
Kedua, apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan
intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara? Bagaimana modus transmisi itu?
Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan
Islam di Nusantara?
C. Kajian Teoritis
1. Tinjauan
Penelitian Terdahulu
Sejauh ini, tidak terdapat
kajian komprehensif tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Meski
terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Indonesia
pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tidak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji
secara kritis tentang sumber-sumber pemikiran mereka; dan khususnya tentang
bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama
yang ada; dan tentang bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu
mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara.
Beberapa tulisan John O. Voll
membahas tentang jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah, dan hubungan-hubungan
mereka dengan bagian-bagian lain Dunia Muslim.[1] Akan tetapi dia membahas
terutama tentang kebangkitan jaringan itu di antara ulama Timur Tengah dan Anak
Benua India. John O. Voll hanya secara sambil lewat menyebut keterlibatan ulama
Melayu-Indonesia seperti ‘Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf
al-Maqassari dalam jaringan ulama internasional tersebut.
A.H. Johns, di pihak lain,
dalam beberapa tulisannya[2] juga membahas
hubungan-hubungan tersebut, khususnya antara al-Sinkili dan Ibrahim al-Kurani.
Tetapi dia tidak melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan
al-Sinkili dengan ulama lain di Haramayn. Langkanya kajian tentang jaringan
keilmuan tokoh-tokoh ulama Melayu-Indonesia lainnya bahkan lebih mencolok.
Kajian-kajian yang membahas ulama terkemuka selain al-Sinkili gagal
mengungkapkan jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur Tengah.
Lebih jauh, ketika jaringan
keilmuan itu sedikit disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada
aspek “organisasional” jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang
dari bagian-bagian lain Dunia Muslim. Tidak ada kajian yang membahas “kandungan
intelektual” yang terdapat dalam jaringan ulama tersebut. Padahal, kajian
tentang aspek intelektual ini sangat penting untuk mengetahui bentuk gagasan
dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama.
2. Posisi Kajian dan Temuan yang Diharapkan
Kajian ini berusaha
menjelaskan sejumlah masalah penting yang berkaitan dengan pokok bahasan di
atas, di mana hal tersebut menjadikannya sebagai studi komprehensif pertama
tentang jaringan ulama global, dengan referensi khusus kepada ulama
Melayu-Indonesia, beserta kecenderungan-kecenderungan intelektual mereka dalam
abad ke-17 dan ke-18.
Berbeda dengan studi-studi yang ada tentang Islam
di Indonesia pra abad ke-19, yang biasanya mendasarkan pembahasannya pada
sumber-sumber Barat dan lokal, peneliti berusaha semaksimal mungkin menggali
dan menggunakan sumber-sumber berbahasa Arab. Tampaknya inilah kajian pertama
yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif dalam pengkajian yang
berkenaan dengan sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
Hasil kajian ini diharapkan
menjadi informasi pertama dan utama yang secara khusus membahas tentang peranan
jaringan ulama dalam transmisi gagasan-gagasan pembaruan ke Nusantara, dan sekaligus
pelacakan awal tentang sumber-sumber pembaruan awal dalam sejarah Islam di
Nusantara.
D. Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian sejarah sosial dan intelektual,
di mana dalam metode penelitiannya, peneliti menggunakan peranti sosio-cultural
history dan memfokuskan pada aktifitas-aktifitas transmisi dan penyebaran
gagasan pembaruan Islam, dengan penekanan pada ulama Nusantara, yaitu ar-Raniri,
al-Sinkili, al-Maqasari pada abad ke-17 dan al-Palimbani, al-Banjari, Dawud
al-Fatani serta beberapa ulama lainnya pada abad ke-18.
Paradigma yang digunakan adalah paradigma definisi
sosial yang mengacu pada apa yang ditegaskan oleh Max Weber sebagai tindakan
sosial antar hubungan sosial, di mana tindakan sosial dimaksudkan
sebagai semua tindakan yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi seseorang dan
diarahkan kepada tindakan orang lain.
Penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian kualitatif dan mendasarkan cara kerjanya pada prosedur penelitian
sejarah, yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
1.
Heuristik
Heuristik
atau pengumpulan sumber data penelitian dilakukan melalui telaah teks atau library
research. Pada tahap ini, peneliti melakukan penelitian di berbagai tempat
dan perpustakaan, mulai dari Banda Aceh, Jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo,
Makkah, Madinah, Leiden, New York City, hingga ke Ithaca (New York State). Dari
sekian banyak sumber data yang dikumpulkan, peneliti kemudian mengelompokkan
sumber-sumber data tersebut ke dalam sumber primer atau sumber sekunder.
Kamus-kamus
biografi berbahasa Arab tentang ulama
dan tokoh lainnya yang terlibat dalam jaringan ulama pada abad ke-17 dan ke-18
merupakan sumber primer dan mutlak dalam penelitian ini. Di samping itu, sumber-sumber
berbahasa Melayu-Indonesia, terutama yang ditulis oleh ulama yang dibahas dalam
kajian ini, yang sering memberikan nama para guru murid-murid Jawi di Haramayn.
2.
Verifikasi
Pada
tahap ini, peneliti melakukan seleksi terhadap sumber data melalui kritik
sejarah. Adapun langkah kritik yang dilakukan,
yaitu pertama, kritik terhadap fisik sumber data (kritik ekstern). Di sini
peneliti menguji keaslian atau autentisitas sumber sejarah. Kedua, kritik
terhadap isi sumber (kritik intern). Peneliti menguji apakah isi dari
pernyataan sumber data itu dapat dipercaya, dengan cara membandingkan beberapa
sumber yang sama. Pada tahap ini akan diperoleh sumber data yang dapat
dipercaya kebenarannya atau kredibilitasnya.
3.
Interpretasi
Peneliti melakukan proses analisis terhadap
fakta-fakta sejarah, juga melakukan penyusunan fakta-fakta dengan dukungan
teori yang dimilikinya. Pada proses ini, dimungkinkan masuknya unsur-unsur
subjektif peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau
konseptualisasi terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang
dikembangkannya.
4. Historiografi
Dalam penulisan hasil penelitian, peneliti
menyusunnya secara kronologis sesuai dengan kerangka penulisan atau sistematika
pembahasan yang telah dipersiapkan untuk menjadi patokan sebagaimana umumnya penelitian
ilmiah.
Dengan modal ilmu sejarah dan modal bahasa
jurnalistik yang dikuasainya, peneliti berhasil menyajikan sebuah karya ilmiah
secara lebih dalam dan lebih cermat, serta mudah dipahami.
E. Temuan Teoritik
Berdasarkan konseptualisasi yang dilakukan oleh
peneliti, temuan teoritis yang didapatkan antara lain, yaitu:
1. Hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara[3] sejak kebangkitan Islam
sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil
beberapa bentuk, yaitu pertama, sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12,
hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan, di mana inisiatif
dalam hubungan ini kebanyakan diprakarsai oleh Muslim Timur Tengah, khususnya
Arab dan Persia.[4]
Kedua, akhir abad ke-13 sampai abad ke-15, Muslim Arab dan Persia mulai
mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap
ini, hubungan keagamaan dan kultural terjalin erat.[5] Ketiga, sejak abad
ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin lebih bersifat
politis, juga keagamaan, dengan faktor penting yaitu kedatangan dan peningkatan
pertarungan antara kekuatan Portugis dengan Dinasti Utsmani di Lautan India.[6] Dalam periode ini, Muslim
Nusantara mengambil inisiatif untuk menjalin hubungan politik dan keagamaan,
tidak hanya dengan Dinasti Utsmani, tetapi juga dengan penguasa Haramayn. Seiring
dengan semakin banyaknya Muslim Nusantara datang ke Makkah dan Madinah, pada giliran
berikutnya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara ulama-ulama Timur
Tengah dengan murid-murid Nusantara.
2. Saling-silang hubungan ulama yang terlibat dalam jaringan
menciptakan komunitas-komunitas intelektual internasional yang saling berkaitan
satu sama lain. Hubungan-hubungan di antara mereka pada umumnya tercipta dalam
kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti
masjid, madrasah, dan ribath. Oleh karena itu, kaitan dasar di antara
mereka bersifat akademis dengan mengambil bentuk hubungan guru dengan murid
(vertikal) serta hubungan guru dengan guru atau murid dengan murid (horizontal).
Dua sarana penting yang membuat hubungan ini relatif solid adalah isnad
hadits dan silsilah tarekat.
3. Sementara penekanan pada telaah hadist terus berlanjut dan
rekonsiliasi antara syariat dengan tasawuf secara progresif memperoleh landasan
yang semakin kuat, perkembangan pemikiran keagamaan para ulama pada abad ke-18
cenderung lebih purifikasionis (pemurnian ajaran). Sebagai mereka percaya,
pembaruan keagamaan tidak boleh dibatasi pada rekonsiliasi antara syariat dan
tasawuf semata, tetapi juga harus mencakup pemurnian praktik-praktik keagamaan.
Pada tahap ini, pembaruan mendapatkan penekanan yang lebih aktif atau, lebih
tepatnya, praksis. Seperti masa sebelumnya, organisasi tarekat pada masa ini
dimanfaatkan sebagai sarana rekonstruksi kehidupan sosio-moral ummah.
Hal ini terutama menjelang abad ke-19, dengan semakin meningkatnya penetrasi
penjajah Eropa ke Dunia Islam, tarekat-tarekat sering menggerakkan kaum Muslim
agar bangkit melawan para penguasa asing.
4. Penyebaran gagasan-gagasan pembaruan dari pusat-pusat jaringan
ulama di Timur Tengah oleh tiga ulama paling penting dari wilayah
Melayu-Indonesia pada abad ke-17, yaitu Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Ra’uf
al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari. Karier dan ajaran-ajaran ketiga
ulama ini dengan jelas menunjukkan bahwa perkembangan Islam di Nusantara sangat
terpengaruh oleh perkembangan di Timur Tengah. Atas jasa ketiga ulama ini,
kecenderungan-kecenderungan pembaruan jaringan ulama itu segera diterjemahkan
ke Nusantara. Tema pokok pembaruan mereka adalah kembali pada ortodoksi Sunni,
dengan ciri paling menonjol yaitu keselarasan antara syariat dan tasawuf. Dalam
hal ini, para mujaddid Melayu-Nusantara ini banyak sekali memberikan
sumbangan kepada penguatan jati diri Islam dalam masyarakat mereka. Hasil yang
kemudian tampak dari proses ini adalah semakin intensifnya Islamisasi di
Nusantara.
5. Beberapa ulama utama Melayu-Indonesia berasal dari berbagai
wilayah dan kelompok etnis di Nusantara yang berperan dalam jaringan ulama pada
periode abad ke-18 hingga awal ke-19, antara lain yaitu Syihab al-Din bin Abd
Allah Muhammad, Kemas Fakhr al-Din, Abd al-Shamad al-Palimbani, Kemas Muhammad
bin Ahmad, dan Muhammad Muhyi al-Din bin Syihab al-Din, di mana semuanya dari
wilayah Sumatera Selatan. Kemudian Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muhammad
Nafis al-Banjari dari Kalimantan Selatan. Selanjutnya adalah Abd al-Wahhab
al-Bugisi dari Sulawesi, Abd al-Rahman al-Mashri al-Batawi dari Batavia, serta Dawud
bin Abd Allah al-Fatani dari wilayah Patani di Thailand Selatan. Mereka memainkan
peranan yang menentukan, bukan hanya dalam mempertahankan momentum pembaruan
Islam di Nusantara, tetapi lebih penting lagi adalah dalam meneruskan bendera
pembaruan kepada generasi ulama Melayu-Indonesia sesudahnya. Di samping itu, mereka
juga memainkan peranan penting dalam melestarikan semangat kaum Muslim
Nusantara dalam menghadapi ekspansi wilayah yang terus dilakukan oleh
kekuatan-kekuatan kolonial Eropa.
F. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah, dapat disimpulkan
sebagai berikut, yaitu pertama, para ulama Melayu-Indonesia yang
terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang berpusat di Makkah dan Madinah
memainkan peranan menentukan dan menyiarkan gagasan-gagasan pembaruan baik
melalui pengajaran maupun karya tulis. Pembaruan dalam jaringan ulama, segera
diterjemahkan pula di Nusantara. Di sini dapat digarisbawahi bahwa pembaruan Islam
di Nusantara dimulai sejak paruh kedua abad ke-17 dan bukannya pada abad ke-19
dan ke-20. Tentang pembaruan ini, Islam di wilayah Melayu-Indonesia pada abad
ketujuh belas bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan
juga Islam yang berorioentasi pada syariat (hukum). Ini merupakan perubahan
besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abad-abad sebelumnya, Islam
mistislah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di Timur Tengah, para
ulama Melayu-Indonesia sejak paruh kedua abad ketujuh belas dan seterusnya
melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar, bahkan secara serentak,
untuk menyebarkan neo-Sufisme di Nusantara.
Kedua, bangkitnya neo-Sufisme, tak diragukan lagi, terutama merupakan
hasil usaha jaringan ulama, yang semakin berjaya sejak menjelang akhir abad ke-16.
Jaringan ulama yang terpusat terutama di Haramayn timbul sebagai akibat
interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan pembaruan Islam dari Afrika Utara
(wilayah Maghrib), Mesir, Syiria, Irak, Yaman, India, dan Haramayn sendiri. Jaringan ulama itu sendiri mencakup
hubungan-hubungan yang rumit di antara para ulama dari berbagai dari dunia
Muslim. Karena kedudukannya yang utama dalam Islam, Makkah dan Madinah semakin
banyak menarik minat para ulama sejak abad kelima belas. Loci utama
wacana pengetahuan dan pembaruan Islam itu adalah dua masjid suci di Makkah dan
Madinah. Pada saat yang sama, madrasah-madrasah dan ribath-ribath juga
tumbuh dalam jumlah besar di kedua kota itu, yang sebagian besar di antaranya
berdiri wakaf yang berasal dari penguasa atau kaum Muslim kaya di bagian-bagian
lain dari dunia Islam. Madrasah-madrasah dan ribath-ribath ini sangat
besar sumbangannya bagi kebangkitan pengetahuan dan pembaruan Islam di
Haramayn.
Ketiga, penyebaran
pembaruan Islam di Nusantara sepanjang abad ke-17 dan ke-18 tidak lantas bahwa
“tradisi kecil” Islam di bagian dunia Islam ini menjadi sepenuhnya sesuai
dengan “tradisi besar”. Berbagai bentuk keyakinan dan praktik-praktik yang
tidak Islami terus mencengkeram segmen tertentu kaum Muslim. Hal ini merupakan
alasan penting bagi kelanjutan usaha untuk memperbarui kembali keyakinan dan
praktik kaum Muslim pada periode selanjutnya.
[1]
John O. Voll, “Muhammad Hayya al-Sindi dan Muhammad ibn Abd al-Wahhab: An
Analysis of an Intellectual Group in the Eighteenth Century Madina”, BSOAS, 38
(1975) dan “Hadits Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the Eighteenth
Century Haramayn and Their Impact in the Islamic World”, JAAS, 15, 34
(1980). Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Revisi
(Jakarta: Kencana, 2005) hlm. xxii
[2]
A. H. Johns, “Friends in Grace: Ibrahim al-Kurani and Abd al-Rauf al-SInkili”,
dalam S. Udin (peny.), Spectrum: Essays Presented of Sutan Takdir
Alisjahbana on His Seventieth Birthday (Jakarta: Dian Rakyat, 1978) dan
“Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, 19
(1975). Lihat, Ibid
[3] Hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara pada awalnya
merupakan perkembangan dari hubungan perdagangan antara Timur Tengah dengan
Cina yang telah berlangsung sejak berabad-abad sebelum Masehi. Wilayah Cina
yang menjadi pusat perdagangan ini adalah Cina bagian utara, dengan jalur
perdagangan melalui Asia Tengah. Kegiatan perdagangan yang sepenuhnya dilakukan
melalui jalur-jalur perdagangan di daratan Asia ini dengan sendirinya tidak
memberi kemungkinan tumbuhnya suatu perdagangan maritim di Cina.
Munculnya
wilayah Cina bagian selatan sebagai pusat kekuasaan pada abad IV M, berpengaruh
pada perkembangan perdagangan antara Cina dengan Timur Tengah. Hal ini setidaknya
dipengaruhi oleh pusat peradaban Cina bagian utara yang diserang oleh suku-suku
bangsa dari Asia Tengah pada awal abad IV M. Akibat peristiwa ini, banyak di
antara para bangsawan Cina yang melakukan migrasi ke wilayah Cina bagian
selatan dan mendirikan dinasti-dinasti baru. Lihat, Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II (Jakarta:
Balai Pustaka, 1992) hlm.13.
Para
pendiri dinasti-dinasti Cina bagian Selatan mendorong tumbuhnya perdagangan
maritim antara kedua daerah tersebut melalui kepulauan Nusantara. Lihat,
Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, terj. Joesoef
Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang1979) hlm. 26-27.
Meskipun pada masa itu Nusantara telah menjadi
pusat perdagangan maritim di Asia Tenggara yang menjalin hubungan perdagangan
dengan wilayah India, tampaknya para penguasa Cina tidak berminat untuk
menjadikan Nusantara sebagai wilayah hubungan dagang mereka. Bagi penguasa
Cina, Asia Tenggara pada umumnya, merupakan daerah yang belum beradab.
Selebihnya, wilayah Asia Tenggara hanya merupakan daerah-daerah yang
menjelaskan hubungan pelayaran antara Cina dengan Timur Tengah. Asia Tenggara
hanya mendapat perhatian Cina jika ada hubungan dengan perdagangan Timur
Tengah. Lihat, Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia II, hlm. 13-14
Seperti
Cina, para pedagang Timur Tengah juga tidak terlalu menaruh perhatian untuk
menjalin perdagangan dengan Nusantara. Bagi mereka, Cina adalah tujuan utama
perdagangan mereka. Hal ini barangkali disebabkan para pelayar dan pedagang
Timur Tengah yang masih kurang mengenal tentang Nusantara, kecuali hanya
sebagai tempat transit temporal sebelum melanjutkan perjalanan, baik pergi ke
Cina maupun kembali ke Timur Tengah. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,
hlm. 20
Selain
itu adalah komoditi utama perdagangan Nusantara pada waktu itu —cengkeh, pala,
lada, kayu cendana, getah kayu kamper, kayu manis, lilin, damar— yang kurang
diminati oleh para pedagang Timur Tengah.
[4]
Perkembangan kondisi sosial di Timur Tengah dengan munculnya Islam sebagai
kekuatan politik dan agama, memberikan perubahan yang signifikan dalam
perdagangan kaum Muslim Timur Tengah. Selanjutnya, perluasan wilayah Islam ke
Persia dan Anak Benua India sepanjang masa Dinasti
Umayyah (660-749 M) memberikan dorongan baru kepada pelayaran Timur Tengah
untuk menjelajah sampai ke Timur Jauh. Penaklukan wilayah-wilayah ini
memberikan kepada Muslim Timur Tengah yang baru memeluk Islam sejumlah
pelabuhan-pelabuhan strategis sepanjang rute perdagangan mulai dari Teluk
Persia hingga Lautan India. Pada periode ini, pelayaran dan perdagangan kaum
Muslim mengalami peningkatan intensitasnya secara regular melalui rute laut
sejak Arabia Selatan hingga Lautan Cina.
Kapal-kapal dagang Muslim Timur Tengah melakukan pelayaran di
sepanjang garis pantai India sebelah selatan menuju Gujarat dan Malabar,
selanjutnya menuju Sri Langka dengan melintasi samudera India menuju kepulauan
Nicobar melewati bagian utara Sumatera. Selanjutnya, kapal-kapal tersebut
bergerak menuju Kedah melalui selat Malaka. Rute perdagangan ini kemudian
terbagi menjadi dua arah, yaitu ke arah utara menuju Cina dan ke arah timur
menuju Palembang (Sumatera) atau Jawa. Lihat, Azhar Arsyad,
“Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai” dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi
Nusantara (Jakarta: Mizan & Yayasan Festival Istiqlal, 2006) hlm. 79
Sejalan
dengan kondisi Timur Tengah di atas, perkembangan di Nusantara memunculkan
kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kekuasaan baru di wilayah tersebut pada paruh
kedua abad ke-7 M hingga lima abad kemudian. Hampir seluruh wilayah Sumatera,
Semenanjung Malaya, dan Jawa berada di bawah kekuasaannya. Pada periode ini,
kerajaan Sriwijaya memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan
Timur Tengah dan Cina. Sriwijaya bahkan menguasai lalu lintas pelayaran dan
mendominasi perdagangan Nusantara, dan ibukotanya, Palembang, menjadi
entrepot terpenting di kawasan ini. Dari seluruh kapal asing ini,
keuntungan yang diperoleh oleh kerajaan Sriwijaya sangat besar. Selain
penarikan bea cukai, Sriwijaya —yang merupakan negara maritim— juga memperoleh
keuntungan lain dari perdagangan. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,
hlm. 23. Lihat pula, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia II, hlm. 61.
Seperti
perkampungan pedagang-pedagang Arab di Kanton (Cina) yang telah ada sejak abad
ke-4 M, wilayah kerajaan Sriwijaya yang menjadi pelabuhan-pelabuhan transit
mengalami proses Islamisasi seiring dengan interaksi yang cukup rapat antara
pedagang-pedagang Muslim dengan penduduk setempat dalam kehidupan sehari-hari. Para
pedagang Muslim ini tinggal di daerah-daerah tersebut untuk beberapa waktu
lamanya sambil menunggu datangnya angin baik, kemudian melanjutkan
perjalanannya ke tujuan masing-masing. Selama tinggal di daerah transit
tersebut, mereka berkesempatan membongkar dan memuat barang-barang dagangan di
kapal, serta berinteraksi dengan penduduk setempat. Lihat, Ibrahim Tien Ying
Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, hlm. 32. Lihat pula, Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II,
hlm. 61.
[5]
Proses Islamisasi ini menjadi meningkat seiring dengan migrasi besar Muslim
Timur Tengah dari Kanton ke Palembang, untuk menemukan wilayah perlindungan
yang aman, di mana telah terjadi kerusuhan di kota tersebut yang tidak
menguntungkan pihak Muslim Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya menjelaskan bahwa munculnya
beberapa kerajaan Muslim di Nusantara sejak akhir abad ke-13 M, menciptakan
momentum baru bagi hubungan-hubungan politik, agama antara Timur Tengah dengan
Nusantara. Pada masa ini, perkembangan menunjukkan perbedaan dengan sebelumnya,
jika dalam masa sebelumnya Muslim Timur Tengah memusatkan kegiatan-kegiatan
mereka pada perdagangan, maka sejak menjelang akhir abad ke-12 M mereka mulai
memberikan perhatian khusus pada usaha-usaha penyebaran Islam di wilayah
Nusantara.
Pergeseran dalam kegiatan-kegiatan ini tidak hanya disebabkan
perubahan-perubahan politik agama di Timur Tengah sendiri, tetapi juga oleh
kemerosotan perdagangan di Nusantara sebagai akibat kemunduran kekuasaan
Sriwijaya, khususnya menjelang akhir abad ke-13. Terlepas dari faktor
penyebabnya, dampak kemunduran Sriwijaya terhadap perdagangan di Nusantara
sangat besar. Dalam upaya meningkatkan kembali pendapatan negara yang terus
merosot, para penguasa Sriwijaya menempuh kebijakan ekonomi dan perdagangan
yang monopolistik, mengenakan bea-cukai yang besar terhadap kapal-kapal asing,
dan memaksa para pedagang asing membayar denda yang berat jika mereka berusaha
berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara. Sebagai konsekuensinya,
para pedagang asing, khususnya pedagang-pedagang Muslim Timur Tengah, kini
menghadapi kesulitan dan gangguan berat dalam perdagangan mereka. Lihat, Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama, Ibid, hlm. 15-17 dan hlm. 31
Dengan
mempertimbangkan semua perkembangan ini, tidak heran kalau kemudian para
pedagang Timur Tengah ini mengalihkan kegiatan-kegiatan dagang mereka ke
tempat-tempat lain di Nusantara. Selain itu, mereka mulai mengambil bagian
lebih aktif dalam penyebaran Islam. Hasilnya, bentuk-bentuk hubungan baru yang
lebih akrab antara Timur Tengah dan Nusantara juga mulai muncul, terutama
hubungan yang diperkuat dengan tali agama yang kemudian dengan cepat
berkembang. Hubungan dagang tentu saja tidak ditinggalkan, bahkan hubungan
dalam bidang ini diperkuat dengan pembentukan hubungan-hubungan
religio-kultural, yang selanjutnya diikuti oleh hubungan dalam bidang-bidang
lain, khususnya dalam bidang politik keagamaan. Lihat, Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III
(Jakarta: Balai Pustaka, 1992) hlm. 212. Lihat pula, Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama, Ibid, hlm. 31-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar