HUBUNGAN
INTELEKTUAL KEAGAMAAN ANTARA TIMUR TENGAH
DAN NUSANTARA PADA
ABAD XVII
Ahmad Syauqi
Sumbawi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis,
Nusantara merupakan wilayah yang terdiri dari kumpulan pulau-pulau yang terbuka
oleh laut, yang mana sejak zaman kuno, wilayah ini menjadi tempat persilangan
jaringan lalu-lintas dunia Timur dengan dunia Barat. Pada
masa ini, navigasi dengan teknologi kapal layar mula-mula terutama menempuh
jalur menyusuri pantai. Dengan dikenalnya astrolabium dan ilmu bintang serta
sistem angin yang berlaku di Lautan Nusantara dan Lautan Cina, pelayaran
samudera dapat diselenggarakan. Meskipun demikian, tempat berlabuh dengan jarak-jarak
tertentu untuk transit sementara dan mempersiapkan perbekalan baru, masih
dibutuhkan oleh para pelayar untuk melanjutkan perjalanan.
Sistem angin di
Nusantara yang dikenal sebagai angin musim —musim Barat dan musim Timur yang
sangat menentukan jalur pelayaran dan perdagangan di Nusantara—, memberikan
kemungkinan jalur pelayaran timur-barat, pergi-pulang secara teratur dan
berpola tetap. Dengan potensi-potensi seperti ini, maka tidak mengherankan jika
kemudian muncul kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan —selanjutnya
juga pusat-pusat kerajaan— di Nusantara.
Hubungan antara
Timur Tengah dengan Nusantara merupakan proses panjang yang telah terjadi sejak
masa pra Islam. Hubungan antara kedua wilayah ini merupakan lanjutan dari
hubungan perdagangan antara wilayah Timur Tengah (Arab dan Persia) dengan
Kerajaan Cina melalui jalur maritim, terutama pada menjelang lahirnya Islam dan
masa awal Islam. Pada masa ini, selain armada kapal Arab dan Persia melakukan
perjalanan dagang ke Cina, kemungkinan besar juga melakukan pengembaraan di
wilayah Nusantara.
Sejalan dengan
perubahan kondisi sosial yang terjadi di wilayah Timur Tengah bersama muncul
dan berkembangnya Islam, hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara mengalami
perkembangan yang lebih luas dan lebih dalam —dari sekedar hubungan pelayaran
dan ekonomi perdagangan—terutama karena berkaitan dengan proses Islamisasi.
Implikasi dari proses ini, bahwa sebagai wilayah dengan jumlah penduduk
beragama Islam yang cukup besar dan berada di pinggiran Dunia Muslim, Timur
Tengah —terutama Makkah dan Madinah— menjadi bagian penting dan berpengaruh
besar dalam kehidupan sosial umat Islam Nusantara.
Hubungan dalam
bidang intelektual keagamaan antara Timur Tengah dan Nusantara pada abad ke-17
M, merupakan perkembangan berikutnya dari hubungan-hubungan yang telah terjadi
antara kedua kawasan tersebut. Perkembangan ini setidaknya dipengaruhi oleh
beberapa faktor penting, yaitu pertama, penegakan kekuasaan dinasti Turki
Utsmani di jalur pelayaran dan perdagangan internasional di kebanyakan Timur
Tengah sampai ke Nusantara dari kekuatan politik lain, khususnya Portugis, yang
turut mempengaruhi keamanan perjalanan jamaah haji Muslim Nusantara. Kedua,
yaitu peningkatan kemakmuran kerajaan-kerajaan Muslim Nusantara akibat
meningkatnya perdagangan yang menguntungkan, seperti emas, lada, dan
rempah-rempah lainnya, sejak abad ke-16 M sampai ke-17 M. Sinergitas
faktor-faktor ini memberikan sumbangan signifikan kepada pertumbuhan jumlah
jamaah haji Nusantara di Makkah dan Madinah.
Pada perkembangan
berikutnya, terdapat di antara pada jamaah haji Nusantara ini yang sengaja
tinggal dan menuntut ilmu di Haramayn dalam berbagai bidang ilmu Islam selama
beberapa waktu. Hal ini menyebabkan munculnya komunitas penuntut ilmu dari Nusantara
di Haramayn, yang merupakan inti dari hubungan intelektual keagamaan di
kalangan Muslim Nusantara. Setelah menyelesaikan studi di Makkah dan di
Madinah, sebagian besar mereka kembali ke kampung halaman dan menjadi penyebar
utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam dari pusat-pusat keilmuan Islam di
Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah, ke Nusantara.
Kajian ini berusaha
membahas tentang hubungan intelektual keagamaan antara kaum Muslim Timur Tengah
dengan Nusantara pada abad ke-17 M. Hal ini menjadi penting, terutama untuk
memahami perkembangan Islam di Nusantara dalam kaitan hubungannya dengan pusat
Dunia Muslim berkenaan dengan gagasan-gagasan pembaruan Islam di Nusantara.
II. PEMBAHASAN
A. Hubungan antara
Timur Tengah dengan Nusantara Sebelum Abad ke-17
1. Hubungan Ekonomi
Perdagangan
Hubungan antara
Timur Tengah dengan Nusantara pada awalnya merupakan perkembangan dari hubungan
perdagangan antara Timur Tengah dengan Cina yang telah berlangsung sejak
berabad-abad sebelum Masehi. Wilayah Cina yang menjadi pusat perdagangan ini
adalah Cina bagian utara, dengan jalur perdagangan melalui Asia Tengah.
Kegiatan perdagangan yang sepenuhnya dilakukan melalui jalur-jalur perdagangan
di daratan Asia ini dengan sendirinya tidak memberi kemungkinan tumbuhnya suatu
perdagangan maritim di Cina.
Munculnya wilayah
Cina bagian selatan sebagai pusat kekuasaan pada abad IV M, berpengaruh pada
perkembangan perdagangan antara Cina dengan Timur Tengah. Para pendiri
dinasti-dinasti Cina bagian Selatan mendorong tumbuhnya perdagangan maritim
antara kedua daerah tersebut melalui kepulauan Nusantara.
Meskipun pada masa
itu Nusantara telah menjadi pusat perdagangan maritim di Asia Tenggara yang
menjalin hubungan perdagangan dengan wilayah India, tampaknya para penguasa
Cina tidak berminat untuk menjadikan Nusantara sebagai wilayah hubungan dagang
mereka. Bagi penguasa Cina, Asia Tenggara pada umumnya, merupakan daerah yang
belum beradab. Selebihnya, wilayah Asia Tenggara hanya merupakan daerah-daerah
yang menjelaskan hubungan pelayaran antara Cina dengan Timur Tengah. Asia
Tenggara hanya mendapat perhatian Cina jika ada hubungan dengan perdagangan
Timur Tengah.
Seperti Cina, para
pedagang Timur Tengah juga tidak terlalu menaruh perhatian untuk menjalin
perdagangan dengan Nusantara. Bagi mereka, Cina adalah tujuan utama perdagangan
mereka. Hal ini barangkali disebabkan para pelayar dan pedagang Timur Tengah
yang masih kurang mengenal tentang Nusantara, kecuali hanya sebagai tempat
transit temporal sebelum melanjutkan perjalanan, baik pergi ke Cina maupun
kembali ke Timur Tengah. Selain itu adalah komoditi utama perdagangan Nusantara
pada waktu itu —cengkeh, pala, lada, kayu cendana, getah kayu kamper, kayu
manis, lilin, damar— yang kurang diminati oleh para pedagang Timur Tengah.
Di antara komoditi
utama perdagangan Timur Tengah yang diminati oleh Cina adalah zamrud, berlian,
yakut, zabarjad, gading, kurma, kismis, dan bahan-bahan celupan. Sementara
komoditi Cina yang diminati oleh Timur Tengah ialah teh, kertas, kain, satin,
sutera, benda-benda keramik, dan obat-obatan.
Perkembangan
kondisi sosial di Timur Tengah dengan munculnya Islam sebagai kekuatan politik
dan agama, memberikan perubahan yang signifikan dalam perdagangan kaum Muslim
Timur Tengah. Selanjutnya, perluasan wilayah Islam ke Persia dan Anak Benua
India sepanjang masa Dinasti Umayyah (660-749 M) memberikan dorongan baru
kepada pelayaran Timur Tengah untuk menjelajah sampai ke Timur Jauh. Penaklukan
wilayah-wilayah ini memberikan kepada Muslim Timur Tengah yang baru memeluk
Islam sejumlah pelabuhan-pelabuhan strategis sepanjang rute perdagangan mulai
dari Teluk Persia hingga Lautan India. Pada periode ini, pelayaran dan
perdagangan kaum Muslim mengalami peningkatan intensitasnya secara regular
melalui rute laut sejak Arabia Selatan hingga Lautan Cina.
Sejalan dengan
kondisi Timur Tengah di atas, perkembangan di Nusantara memunculkan kerajaan
Sriwijaya sebagai pusat kekuasaan baru di wilayah tersebut pada paruh kedua
abad ke-7 M hingga lima abad kemudian. Hampir seluruh wilayah Sumatera,
Semenanjung Malaya, dan Jawa berada di bawah kekuasaannya. Pada periode ini,
kerajaan Sriwijaya memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan
Timur Tengah dan Cina. Sriwijaya bahkan menguasai lalu lintas pelayaran dan
mendominasi perdagangan Nusantara, dan ibukotanya, Palembang, menjadi entrepot
terpenting di kawasan ini. Dari seluruh kapal asing ini, keuntungan yang
diperoleh oleh kerajaan Sriwijaya sangat besar. Selain penarikan bea cukai,
Sriwijaya —yang merupakan negara maritim— juga memperoleh keuntungan lain dari
perdagangan.
Seperti
perkampungan pedagang-pedagang Arab di Kanton yang telah ada sejak abad ke-4 M,
wilayah kerajaan Sriwijaya yang menjadi pelabuhan-pelabuhan transit mengalami
proses Islamisasi seiring dengan interaksi yang cukup rapat antara
pedagang-pedagang Muslim dengan penduduk setempat dalam kehidupan sehari-hari.
Proses Islamisasi ini menjadi meningkat seiring dengan migrasi besar Muslim
Timur Tengah dari Kanton ke Palembang, untuk menemukan wilayah perlindungan
yang aman, di mana telah terjadi kerusuhan di kota tersebut yang tidak
menguntungkan pihak Muslim Timur Tengah.
Perkembangan
berikutnya menjelaskan bahwa munculnya beberapa kerajaan Muslim di Nusantara
sejak akhir abad ke-13 M, menciptakan momentum baru bagi hubungan-hubungan
politik, agama antara Timur Tengah dengan Nusantara. Pada masa ini,
perkembangan menunjukkan perbedaan dengan sebelumnya, jika dalam masa
sebelumnya Muslim Timur Tengah memusatkan kegiatan-kegiatan mereka pada perdagangan,
maka sejak menjelang akhir abad ke-12 M mereka mulai memberikan perhatian
khusus pada usaha-usaha penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
Pergeseran dalam
kegiatan-kegiatan ini tidak hanya disebabkan perubahan-perubahan politik agama
di Timur Tengah sendiri, tetapi juga oleh kemerosotan perdagangan di Nusantara
sebagai akibat kemunduran kekuasaan Sriwijaya, khususnya menjelang akhir abad
ke-13. Terlepas dari faktor penyebabnya, dampak kemunduran Sriwijaya terhadap
perdagangan di Nusantara sangat besar. Dalam upaya meningkatkan kembali
pendapatan negara yang terus merosot, para penguasa Sriwijaya menempuh
kebijakan ekonomi dan perdagangan yang monopolistik, mengenakan bea-cukai yang
besar terhadap kapal-kapal asing, dan memaksa para pedagang asing membayar
denda yang berat jika mereka berusaha berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di
Nusantara. Sebagai konsekuensinya, para pedagang asing, khususnya
pedagang-pedagang Muslim Timur Tengah, kini menghadapi kesulitan dan gangguan
berat dalam perdagangan mereka.
Dengan
mempertimbangkan semua perkembangan ini, tidak heran kalau kemudian para
pedagang Timur Tengah ini mengalihkan kegiatan-kegiatan dagang mereka ke
tempat-tempat lain di Nusantara. Selain itu, mereka mulai mengambil bagian
lebih aktif dalam penyebaran Islam. Hasilnya, bentuk-bentuk hubungan baru yang
lebih akrab antara Timur Tengah dan Nusantara juga mulai muncul, terutama
hubungan yang diperkuat dengan tali agama yang kemudian dengan cepat
berkembang. Hubungan dagang tentu saja tidak ditinggalkan, bahkan hubungan
dalam bidang ini diperkuat dengan pembentukan hubungan-hubungan
religio-kultural, yang selanjutnya diikuti oleh hubungan dalam bidang-bidang
lain, khususnya dalam bidang politik keagamaan.
2. Hubungan Politik
Keagamaan
Pada akhir abad
ke-13 M, kerajaan Samudera Pasai secara pasti mulai berdiri seiring dengan
kemunduran Sriwijaya. Dalam masa ini, kekuasaan Islam di luar wilayah Nusantara
justru menunjukkan kemunduran yang luar biasa— dinasti Amawiyah Andalus sedang
terdesak ke selatan, dinasti Fatimiyah tengah mengalami kemunduran dan perang
Salib masih berlangsung, serta hancurnya dinasti Abbasiyah di Baghdad pada
tahun 1258 oleh Hulagu Khan—. Di sini, munculnya Samudera Pasai sebenarnya
merupakan akibat arus balik peranan pedagang Muslim Timur Tengah di wilayah
Nusantara. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sentimen religio-kultural
yang menghubungkan antara Timur Tengah dan Nusantara kemudian berkembang
melewati batas-batas ajaran formal Islam. Para penguasa Muslim di Sumatera dan
Semenanjung Malaya —tempat Islam pertama kali menancapkan akar terkuatnya—,
sering mengasosiasikan diri mereka dengan kekuasaan-kekuasaan politik besar di
Timur Tengah, mulai dari kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Perlak, hingga
kerajaan Aceh.
Hubungan politik
antara Timur Tengah dengan Nusantara tampak nyata ketika Sultan Ali Mughayyat
Syah (1511-1530 M), sultan pertama kerajaan Aceh, mengadakan hubungan dengan
dinasti Turki Utsmani yang tampil sebagai kekuatan politik Islam terbesar di
Dunia Muslim. Hubungan ini jelas sangat diwarnai solidaritas keagamaan dalam
menghadapi Portugis (kaum Kristen) yang sejak tahun 1521 M menguasai pelabuhan
Pasai. Dalam hal ini, Turki Utsmani membantu Aceh untuk mengusir Portugis.
Selanjutnya, Sultan Aceh, Ala al-Din Riayat Syah al-Kahhar (1537-1571 M),
melakukan langkah formal untuk tunduk secara sukarela pada kekuasaan dinasti
Turki Utsmani sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan kepada Aceh.
Langkah ini tampaknya didasari oleh kebutuhan kerajaan Aceh atas sekutu yang
kuat. Tidak hanya untuk mengusir Portugis dari Malaka, tetapi juga untuk
memperluas kekuasaan kerajaan Aceh ke wilayah-wilayah lain, khususnya daerah
pedalaman di Sumatera.
Pada perkembangan
berikutnya, di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M) kerajaan
Aceh meraih kejayaan politiknya. Kontrol kerajaan begitu efektif atas seluruh
pelabuhan penting di pantai barat dan di pantai timur Sumatera. Selain
mendominasi jaringan perdagangan maritim di pelabuhan-pelabuhan tersebut,
kerajaan Aceh juga melakukan kontrol atau penguasaan di bagin-bagian tertentu
Semenanjung Malaya, yaitu Pahang, Kedah, dan Perlis. Semua perkembangan ini
—sedikit banyak—disebabkan oleh bantuan yang diberikan dinasti Turki Utsmani,
baik penasihat-penasihat militer, senjata, maupun amunisi.
Hubungan antara
kerajaan-kerajaan Nusantara dengan Timur Tengah tidak terbatas pada Dinasti
Turki Utsmani. Kerajaan Aceh, misalnya, juga menjalin hubungan dengan pusat
keagamaan Islam, yakni Makkah dan Madinah (Haramayn). Meskipun hubungan ini
lebih bersifat keagamaan ketimbang politik, namun hubungan penguasa Aceh dengan
penguasa Haramayn mempunyai implikasi politik yang penting bagi kerajaan Aceh.
Dari hubungan ini, selain menerima “stempel emas”, sejak tahun 1570-an kerajaan
Aceh secara reguler menerima ulama-ulama terkemuka dari Hijaz.
Kemudian sejak abad
ke-17 M, seiring dengan kemunculannya, beberapa kerajaan Muslim di wilayah
Nusantara menjalin hubungan dengan Hijaz untuk meneguhkan kekuasaan mereka.
Pada tahun 1638 M, penguasa Banten di Jawa Barat, Abd al-Qadir (1626-1651 M),
mendapat gelar “Sultan” dari Syarif Makkah sebagai hasil misi khusus yang
dikirimkannya ke Tanah Suci. Selanjutnya Mataram, sebuah kerajaan besar Muslim
di pulau Jawa, juga merasakan kebutuhan untuk menjalin hubungan yang erat
dengan Syarif makkah, dan sekaligus untuk mendapatkan gelar sultan dari
penguasa Tanah Suci ini. Untuk tujuan terakhir ini, penguasa Mataram, Pangeran
Rangsang, mengirim delegasi ke Makkah pada tahun 1641 M. Duta Mataram itu menumpang
kapal Inggris ke Surat, India; dan dari sana dengan kapal Muslim menuju Jeddah.
Seperti bisa diduga, Syarif Makkah memenuhi keinginan Pangeran Rangsang dan
memberikan gelar Sultan kepadanya. Pangeran Rangsang sejak saat itu lebih
dikenal sebagai Sultan Agung, salah seorang penguasa terbesar Mataram. Sultan
Agung, yang sangat bersyukur atas anugerah yang dilimpahkan penguasa Haramayn
kepadanya, pada tahun berikutnya mengirim sekelompok orang Jawa membawa hadiah
kepada Syarif Makkah dan sekaligus menunaikan haji atas namanya.
Di samping penguasa
kerajaan Aceh, kerajaan Banten, dan kerajaan Mataram, beberapa penguasa Muslim
Nusantara lainnya juga diketahui pernah menerima surat-surat dari penguasa
Haramayn, termasuk penguasa Palembang dan penguasa Makassar.
Pengiriman
surat-surat melalui pihak ketiga, seperti dalam kasus kerajaan Palembang, dan
pengiriman dua orang mullah dari Makkah ke Makassar, mengindikasikan
terdapatnya orang-orang Nusantara dari masing-masing wilayah itu di Makkah.
Mereka, bisa jadi adalah para pedagang atau jamaah haji yang memperpanjang masa
tinggal mereka di Makkah untuk berdagang dan menuntut ilmu. Di samping itu juga
memainkan peran sebagai duta-duta kerajaan mereka di Haramayn.
Para penguasa
Haramayn setidaknya sejak abad ke-16 M, tampaknya telah mengenal baik Muslim
Nusantara. Dalam hal ini, kerajaan-kerajaan Muslim Nusantara, khususnya Aceh,
turut membantu kehidupan para penguasa Haramayn dan penuntut ilmu di Tanah Suci
dengan berbagai hadiah yang mereka kirimkan. Dengan begitu, penguasa Haramayn
sebaliknya, dapat memberikan dukungannya kepada para penguasa Muslim Nusantara.
Surat-surat dan hadiah-hadiah semacam itu, dipandang para penguasa dan kaum
Muslim Nusantara umumnya memiliki aura kesucian yang bersumber dari tempat paling
suci dalam tradisi Islam. Hal ini tentu saja memberikan implikasi yang cukup
penting, terutama dalam memberikan legitimasi bagi kekuasaan para penguasa di
mata kaum Muslim Nusantara.
B. Hubungan
Intelektual Keagamaan antara Timur Tengah dan Nusantara pada Abad ke-17
Kawasan Muslim
Nusantara, yang secara geografis terletak di pinggiran (periphery) Dunia Islam,
merepresentasi wilayah Dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi.
Meskipun demikian, perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diceraikan dari
Islam di Timur Tengah. Sejak Islam berkembang di Nusantara, dinamika Islam
Timur Tengah secara terus-menerus mempengaruhi diskursus Islam di Nusantara
—bahkan sampai masa yang paling dekat sekarang ini—. Hal ini dipengaruhi oleh
keberadaan Timur Tengah sebagai pusat Dunia Islam, terutama Makkah dan Madinah
(Haramayn).
Makkah dan Madinah,
sebagai tempat kelahiran dan pertumbuhan Islam, sebagai tempat ibadah haji dan
ziarah suci, memberikan prestise tersendiri di kalangan Muslim. Meskipun secara
kuantitatif institusi-institusi intelektual keagamaan tidak sebanyak di Baghdad
atau Kairo, posisi Makkah dan Madinah tersebut memberikan bobot tersendiri dan
nilai tambah yang signifikan, baik terhadap pemikiran Islam yang
dikembangkannya maupun terhadap tingkat pengaruhnya atas bagian-bagian lain di
Dunia Muslim. Kedudukan religio-historis Makkah dan Madinah yang khas ini
menjadi alasan utama mengapa ulama yang terlibat dalam wacana intelektual
keagamaan di Haramayn ini lebih kosmopolitan dibandingkan wacana-wacana
semacamnya di kota-kota lain di Timur Tengah. Kedudukan ini pula yang
menyebabkan pengaruh yang dimainkan ulama “alumnus” Haramayn terhadap dinamika
Islam di Nusantara melebihi ulama “alumnus” dari tempat-tempat lain.
Sebagai pusat
institusi intelektual keagamaan dengan kekhasan yang dimilikinya, Makkah dan
Madinah, telah menarik perhatian sebagian besar penuntut ilmu dari Dunia Muslim
yang lain. Mereka datang untuk belajar, menetap, dan mengajar di sana, yang
pada gilirannya menimbulkan semacam jaringan intelektual dan keilmuan Islam di
antara mereka. Penting diketahui, bahwa para guru dan murid yang terlibat dalam
jaringan tersebut, sebagian besar berasal dari luar Haramayn. Mereka kebanyakan
datang dari Yaman, Mesir, Afrika Utara (Maghribi), Irak, Turkistan, Kurdistan,
Anak Benua India, dan Asia Tenggara. Sifat kosmopolitas seperti ini, pada
perkembangannya memiliki pecahan atau cabang di berbagai penjuru Dunia Muslim.
Di samping sifat
kosmopolitanisme mereka yang terlibat di dalamnya, lembaga-lembaga pendidikan
seperti madrasah klasik, kuttab, halaqah, dan ribath di Makkah dan Madinah juga
mempunyai keistimewaan dalam sejarah pendiriannya. Lembaga-lembaga semacam ini
didirikan dan dikembangkan oleh para penguasa Muslim dan ulama mancanegara. Tentu
saja hal ini berbeda dengan kondisi kota-kota di luar Haramayn, di mana
lembaga-lembaga pendidikannya didirikan oleh penguasa lokal. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan jaringan ulama di Haramayn
merupakan proses yang tidak sederhana dan merupakan dialektika antara kedudukan
Haramayn yang khas dengan aspirasi tentang konribusi yang dapat diberikan pada
bagian-bagian Dunia Muslim lainnya. Akan tetapi, terlepas dari kompleksitas
dialektika ini, proses tersebut mempertegas kedudukan Haramayn sebagai pusat
dinamika Islam secara global. Melalui jaringan ulama yang dimilikinya, kedua
kota ini pada gilirannya melakukan transmisi wacana intelektual dan keilmuan
Islam ke berbagai penjuru Dunia Muslim lainnya. Pada tataran ini, mereka mendorong
pembaruan pemikiran dan praktik keagamaan masyarakat yang mempunyai
wakil-wakilnya dalam jaringan ulama tersebut.
Perkembangan
hubungan internasional dalam wacana intelektual keagamaan dan keilmuan Islam di
Makkah dan Madinah merupakan rangkaian dari perkembangan-perkembangan lain,
baik di Haramayn maupun Dunia Muslim secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan
beberapa faktor penting yang mempengaruhinya, yang bersifat keagamaan, sosial
ekonomi, maupun politik.
Penegakan kekuasaan
dinasti Turki Utsmani di jalur pelayaran dan perdagangan internasional di
kebanyakan Timur Tengah sampai ke Nusantara dari kekuatan politik lain,
khususnya Portugis, merupakan faktor penting yang mendorong terciptanya
hubungan politik dan diplomatik yang lebih erat antara Nusantara dengan Timur
Tengah. Kondisi ini juga mempengaruhi keamanan perjalanan jamaah haji Muslim
Nusantara. Faktor penting lain, yaitu peningkatan kemakmuran kerajaan-kerajaan
Muslim Nusantara akibat meningkatnya perdagangan yang menguntungkan, seperti emas,
lada, dan rempah-rempah lainnya, sejak abad ke-16 M sampai ke-17 M.
Faktor-faktor ini memberikan sumbangan signifikan kepada pertumbuhan jumlah
jamaah haji Nusantara di Makkah dan Madinah.
Meskipun sebagian
besar adalah jamaah haji biasa, terdapat pula sejumlah Muslim Nusantara yang
selain berkeinginan menunaikan kewajiban haji, juga memenuhi
kebutuhan-kebutuhan lain, seperti menuntut ilmu atau mengabdikan diri melayani
tempat-tempat suci. Bahkan terdapat pula di antara mereka yang datang untuk
berdagang. Mereka ini berpindah, baik secara permanen ataupun temporal di
wilayah Haramayn.
Pada perkembangan
berikutnya, terdapat di antara pada jamaah haji Nusantara ini yang sengaja
tinggal dan menuntut ilmu di Haramayn tentang berbagai ilmu Islam selama beberapa
waktu. Hal ini menyebabkan munculnya komunitas yang disebut oleh orang Makkah
dan Madinah sebagai komunitas “Jawi” atau ashabu al-Jawiyyin di Tanah Suci.
Istilah “Jawi”, meskipun secara harfiah merujuk kepada penduduk Jawa, tetapi di
sini mengandung arti semua orang yang berasal dari Nusantara. Jadi, baik orang
Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, maupun Patani (di Thailand Selatan),
semuanya disebut “Jawi”. Komunitas “Jawi” di Haramayn ini membentuk sebuah
perkampungan yang disebut dengan “koloni Jawi”. Biasanya, para orang tua di
koloni ini menghabiskan masa-masa akhir hidup mereka dengan melakukan ibadah.
Sementara yang berusia muda, bergiat dalam mempelajari agama Islam.
Lebih lanjut,
tipologi yang diberikan John O. Voll tentang kaum Muslim yang datang ke
Haramayn berikut ini dapat lebih memperkaya kajian ini. Pertama, yaitu mereka
yang disebut little immigrants, merupakan orang-orang yang datang dan bermukim
di Haramayn, dan dengan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan
setempat. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa imigran jenis ini, pada mulanya
datang untuk menunaikan ibadah haji, tetapi kemudian —mungkin karena ingin
melayani tempat-tempat suci atau karena tidak punya biaya untuk pulang—
memutuskan bermukim di Haramayn. Mereka hidup sebagai penduduk biasa, dan tidak
ada indikasi bahwa mereka adalah ulama yang turut berperan dalam jaringan
intelektual dan keilmuan Islam. Oleh karena itu, kebanyakan kehidupan mereka
tidak terekam dalam data-data kesejarahan di sana.
Kedua, grand
immigrants, adalah ulama par excellence. Mayoritas imigran jenis ini telah
mempunyai dasar keagamaan Islam yang baik. Sebagian di antara mereka sangat
‘alim dan terkenal, apakah di negeri asal mereka atau di pusat-pusat keilmuan
lain. Oleh karena itu, ketika berada di Haramayn, mereka mampu untuk ambil
bagian dalam diskursus intelektual keagamaan dan keilmuan Islam yang
kosmopolitan tersebut. Dalam beberapa hal, mereka berperan aktif, baik dalam
pengajaran maupun dalam menelurkan gagasan-gagasan baru. Ke-alim-an dan
kesalehan mereka ini, merupakan salah satu faktor yang mampu menarik minat para
penuntut ilmu dari berbagai belahan Dunia Muslim untuk belajar di Haramayn.
Kelompok imigran ini merupakan inti jaringan intelektual keagamaan dan keilmuan
Islam dalam skala internasional di Haramayn.
Ketiga, adalah
ulama dan murid pengembara, yang menetap di Makkah dan Madinah dalam perjalanan
panjang mereka menuntut ilmu. Mereka umumnya datang ke Haramayn untuk
menunaikan haji dan sekaligus menuntut ilmu. Biasanya mereka memperpanjang masa
bermukim di sana, dan pada umumnya belajar dengan sejumlah guru yang berbeda.
Ketika merasa telah mendapatkan ilmu yang memadai dan telah memperoleh
otorisasi untuk mengajar (ijazah) dari guru-guru tersebut, mereka kemudian
kembali ke negeri asal masing-masing, yang biasanya terletak di pinggiran Dunia
Muslim. Dengan membawa ilmu, gagasan, dan metode yang dipelajari, mereka
menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan dan keilmuan Islam dari
Haramayn ke berbagai bagian Dunia Muslim.
Para penuntut ilmu
dari “Jawi” di Haramayn dapat dikelompokkan dalam tipe ketiga ini. Di antara
mereka yang terlibat dalam jaringan intelektual keagamaan dan keilmuan Islam di
atas merupakan inti utama dari tradisi intelektual keagamaan dan keilmuan Islam
di antara kaum Muslim Nusantara.
Keterlibatan para
penuntut ilmu Nusantara dalam jaringan intelektual keagamaan dan keilmuan Islam
yang berpusat di Haramayn di atas dimulai pada pertengahan abad ke-17 M.
Kehidupan akademis dalam koloni Jawi telah menarik perhatian banyak penuntut
ilmu dari Nusantara. Mereka inilah yang akhirnya menjadi bagian dari jaringan
tersebut yang kemudian memainkan peran dalam penyebaran keilmuan Islam kepada
kaum Muslim Nusantara. Tradisi ini dipertahankan oleh keluarga-keluarga yang
telah mengirimkan anaknya ke Haramayn untuk mencurahkan hidupnya dalam kegiatan
belajar agama Islam atas nama seluruh keluarga, dan mereka yang mendukung
secara finansial selama masa belajar di sana. Penyelenggaraan pendidikan juga
dibiayai oleh lembaga-lembaga waqaf di Makkah yang didirikan untuk
mengakomodasi para jamaah haji atau para penuntut ilmu dari berbagai penjuru
Nusantara. Beberapa bangunan pun didirikan oleh perseorangan ketika
melaksanakan ibadah haji, yang akhirnya ikut mendukung kelestarian tradisi ini.
Hubungan antara
para penuntut ilmu dan para guru yang terlibat dalam jaringan ini menciptakan
komunitas-komunitas intelektual keagamaan dan keilmuan Islam dengan skala
internasional yang saling berkaitan satu sama lain. Hubungan-hubungan di antara
mereka pada umumnya tercipta dalam kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui
lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid, madrasah, dan ribath. Oleh karena
itu, kaitan dasar di antara mereka bersifat akademis dengan mengambil bentuk
hubungan guru dengan murid (vertikal) serta hubungan guru dengan guru atau
murid dengan murid (horizontal).
Selanjutnya
hubungan yang cukup longgar ini diikat oleh isnad hadits dan mata rantai
spiritual melalui tarekat sufi dalam bentuk hubungan antara mursyid (pemimpin
tarekat) dan murid (anggota tarekat). Hal ini menjadikan hubungan intelektual
keagamaan dan keilmuan Islam menjadi cukup solid. Oleh karena itu, meskipun
seorang murid telah kembali ke kampung halamannya, hubungan dengan gurunya tetap
terjalin erat. Sebagai contoh adalah kasus Abd al-Rauf al-Sinkili yang
berkoresponden menyeberangi Lautan India dengan gurunya, Ibrahim al-Kurani, di
Madinah untuk meminta petunjuk tentang masalah-masalah yang dihadapi di
negerinya.
C. Para Tokoh yang Terlibat
dan Wacana Intelektual Keagamaan yang Berkembang Pada Abad ke-17
Para tokoh
Nusantara yang terlibat dalam hubungan intelektual keagamaan dan keilmuan Islam
pada abad ke-17, antara lain, yaitu Nur al-Din al-Raniri (w. 1658), Abd al-Rauf
al-Sinkili (1615-1693), dan Muhammad Yusuf al-Makassari (1626-1699). Al-Raniri
dan al-Sinkili merupakan ulama yang berpengaruh di kerajaan Aceh. Sementara
al-Makassari, berasal dari Makassar, mengabdi di kerajaan Banten, dan meninggal
di pengasingannya, di Cape Town, Afrika Selatan.
Al-Raniri pada awal
abad ke-17, berangkat ke Hadramaut untuk melanjutkan pelajaran yang telah
diperolehnya di Ranir. Sekitar tahun 1620-1621 al-Raniri melakukan kunjungan ke
Haramayn bersamaan dengan ibadah haji yang dilakukannya. Dalam hal ini, dia
juga menjalin hubungan dengan para penuntut ilmu dan jamaah haji Nusantara.
Guru al-Raniri yang paling terkenal adalah Abu Hafs Umar bin Abd Allah Ba
Syayban al-Tarimi al-Hadhrami (w. 1565). Ba Syayban inilah yang menginisiasi
al-Raniri ke dalam tarekat Rifa’iyah dan menunjuknya sebagai khalifah-nya dalam
tarekat tersebut, serta memberikan wewenang dan tanggungjawab dalam
menyebarkannya di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, al-Raniri juga
mempunyai silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyah dan tarekat Qadiriyah.
Sementara
al-Sinkili dan al-Makassari meninggalkan Nusantara menjelang pertengahan abad
ke-17 M. Mereka mengembara sambil menuntut ilmu selama belasan tahun di
kota-kota kecil sepanjang rute perdagangan dan haji dari Nusantara hingga
semenanjung Arabia, sebelum akhirnya sampai di Makkah dan Madinah. Di sana,
keduanya belajar dan melakukan kontak keilmuan dengan berbagai ulama, di
antaranya adalah Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, dan Muhammad
al-Barzanji. Al-Sinkili diangkat sebagai khalifah tarekat Syattariyah oleh
al-Qusyasyi dan kembali ke Nusantara setelah gurunya meninggal dunia. Adapun
al-Makassari melanjutkan pengembaraannya menuntut ilmu ke Baghdad. Di sana, dia
menerima inisiasi dari Syaikh Abu Barakat sebagai khalifah tarekat Khalwatiyah,
sebelum akhirnya kembali ke Nusantara.
Dalam rentang waktu
yang cukup lama, jejak para tokoh ulama di atas diikuti oleh para penuntut ilmu
Nusantara generasi berikutnya. Di samping merupakan bagian dari diskursus
intelektual keagamaan yang sama, mereka juga membentuk cabang hubungan
intelektual keagamaan dan keilmuan Islam Nusantara.
Paradigma paling
dominan dalam wacana intelektual keagamaan dan keilmuan Islam yang dikembangkan
jaringan ini adalah pembaruan dengan tema utama “kembali kepada al-Qur’an dan
Hadits.” Dalam hal ini, Haramayn yang pada abad-abad awal Islam menjadi pusat
terpenting studi al-Qur’an dan hadits, kemudian merosot pada abad ke-15 M,
kembali menunjukkan kekuatannya dalam bidang tersebut. Fenomena ini ditunjukkan
oleh hampir seluruh madrasah klasik dan halaqah pada periode ini memusatkan
diri pada studi al-Qur’an, tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu Islam lainnya sebagai
pelengkap. Oleh karena itu, wacana intelektual keagamaan dan keilmuan Islam
yang berkembang pada intinya adalah kembali kepada ortodoksi Islam dengan
doktrin yang elbih skripturalistik.
Pembaruan juga
dikembangkan dalam tarekat-tarekat sufi yang berpusat di ribath-ribath. Pada
masa ini telah terjadi wacana harmonisasi antara syariat dan tasawuf. Konflik
panjang antara kedua dimensi Islam pada masa lampau ini, tidak lagi relevan di
Haramayn. Rekonsiliasi dan harmonisasi antara syariat dan tasawuf yang telah
ditekankan sejak masa lebih awal oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali dan
Al-Qusyairi, mencapai momentumnya terutama melalui jaringan intelektual dan
keilmuan Islam pada masa ini. Sebagai implikasinya, pemahaman dan praktek
sufisme yang berkembang adalah sufisme yang lebih sesuai dengan kerangka
ortodoksi, yang menekankan ketaatan dan penghormatan pada ketentuan-ketentuan
syariah. Dalam hal ini, terjadi reinterpretasi atas doktrin mistik-filosofis
yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi, al-Jilli, dan tokoh lainnya. Doktrin sufisme
yang sebelumnya menekankan pada imanesi Tuhan, bergeser pada penekanan terhadap
transendensi Tuhan. Di samping itu, persepsi sufisme yang semula bersikap
eskapis sehingga mengabaikan dunia, berganti dengan persepsi sufisme yang
positif terhadap dunia. Oleh karena itu, lebih mendorong dinamika dan
aktivisme. Komitmen baru kepada syariat dan tasawuf ini pada gilirannya
mendorong munculnya upaya-upaya serius ke arah rekonstruksi sosio-moral
masyarakat-masyarakat Muslim.
Salah satu ciri
penting lainnya yang menonjol dalam wacana intelektual keagamaan dan keilmuan
Islam pada masa ini adalah kebebasan dalam mengikuti berbagai tradisi pemikiran
dan aliran Islam yang berbeda, baik dalam bidang teologi, fiqh, maupun tasawuf.
Keempat madzhab fiqh Sunni, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, dengan
bebas mendirikan dan mengembangkan halaqah dan madrasah klasik masing-masing.
Lebih lanjut, misalnya seorang Sunni penganut Syafi’i, boleh belajar kepada
syaikh madzhab Hanafi, dan seterusnya. Perbedaan persepsi keagamaan ini tidak
dijadikan sebagai penyebab yang dapat mematikan suasana dialog dan wacana di
Haramayn.
Fenomena semacam di
atas juga terjadi dalam kepengikutan suatu aliran tarekat. Seorang syaikh atau
muridnya bisa mengikuti tarekat sufi yang berbeda. Bahkan hampir setiap mereka
yang terlibat dalam jaringan ini mengikuti beberapa tarekat, yang berbeda bukan
hanya dari segi nama, tetapi juga dari segi doktrin dan tradisi ketasawufan
mereka. Sebagai contoh dalam kasus ini adalah al-Sinkili dan al-Makassari.
Al-Sinkili adalah seorang khalifah tarekat Syattariyah dan Qadiriyah dalam
waktu bersamaan. Sementara al-Makassari menjadi tiga khalifah tarekat yang
berbeda, yaitu Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Khalwatiyah.
Meskipun dapat
dipastikan bahwa kebanyakan ulama dalam jaringan intelektual keagamaan dan
keilmuan Islam ini mempunyai komitmen kepada pembaruan Islam, namun tidak
terdapat keseragaman di antara mereka dalam hal metode dan pendekatan untuk
mencapai tujuan ini. Mayoritas mereka memandang pembaruan lebih merupakan
dialektika intelektual yang tidak dapat dipaksakan. Oleh karena itu, mereka memilih
cara-cara damai dan evolusioner. Akan tetapi, sebagian kecil, yang paling
terkenal di antara mereka adalah Muhammad bin ’Abd Al-Wahhab di Semenanjung
Arabia dan Utsman bin Fudi di Afrika Barat, lebih menyenangi pendekatan dan
cara-cara radikal. Hal ini juga pada gilirannya ditempuh oleh para ulama atau
gerakan pembaru di Nusantara, seperti Gerakan Paderi di Minangkabau.
Terlepas dari
perbedaan-perbedaan itu, jaringan intelektual keagamaan dan keilmuan Islam di
Haramayn ini memberikan dasar bagi semangat pembaru dalam berbagai masyarakat
Muslim di Nusantara. Gejolak dan dinamika pemikiran yang muncul dari hubungan
dan kontak yang begitu intens melalui jaringan ini memunculkan efek
revitalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan kebanyakan kaum
Muslim Nusantara.
Akar-akar
sosio-historis di atas mempengaruhi perkembangan wacana intelektual dan
keilmuan Islam pada masa-masa selanjutnya —bahkan pada masa yang paling dekat
sekarang ini—. Berbagai corak pemikiran Islam yang tersebar ke Nusantara dicerna
oleh kaum Muslim dengan tingkat pemahaman yang berbeda pula, yang kemudian
melahirkan kecenderungan-kecenderungan sikap keberagamaan yang tidak sama. Di
antara mereka terdapat orang-orang yang cenderung ke mistis-filosofis,
berorientasi syariah, atau memadukan keduanya. Terdapat pula pola pemikiran
mereka yang cenderung akomodatif terhadap kebudayaan lokal, atau sebaliknya.
Pada masa belakangan, muncul pemikiran-pemikiran di antara mereka yang dikenal
sebagai modernisme, tradisionalisme, fundamentalisme, dan sebagainya.
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian
dan analisa di atas, studi tentang hubungan intelektual keagamaan antara Timur
Tengah dan Nusantaar pada abad ke-17 M. ini dapat disimpulkan sebagai berikut,
yaitu:
Pertama, hubungan
antara Timur Tengah dengan Nusantara telah terjalin sejak masa pra-Islam,
dengan bentuk-bentuk hubungan dalam bidang ekonomi perdagangan, politik
keagamaan,—di mana faktor-faktor sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial
agama serta proses Islamisasi berkelindan dan mempengaruhi hubungan-hubungan di
atas—. Dalam bidang ekonomi perdagangan, hubungan Nusantara dan Timur Tengah
merupakan kelanjutan dari aktivitas perdagangan antara Timur Tengah dengan Cina
yang berkembang dalam pola perdagangan maritim, sebagai dampak dari munculnya
pusat-pusat kekuatan politik di wilayah Cina bagian Selatan. Dari sinilah
Nusantara mulai mendapat perhatian dari pedagang-pedagang Timur Tengah, dan
pada tataran berikutnya melibatkan kerajaan Sriwijaya dalam penguasaan jalur
pelayaran dan perdagangan tersebut. Faktor-faktor seperti regulasi yang
diterapkan oleh kerajaan Sriwijaya dalam pelayaran dan perdagangan dan
perkembangan politik di Cina yang tidak menguntungkan kaum Muslim, secara umum
ikut mendorong pertumbuhan pusat-pusat perdagangan baru di wilayah Nusantara.
Seiring dengan kelahiran Islam di Timur Tengah dan para pedagang Timur Tengah
yang menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, pada akhirnya melahirkan
sebuah kekuatan politik Muslim sebagai implikasi dari semakin intensifnya penyebaran
Islam di Nusantara.
Hubungan politik
keagamaan antara Timur Tengah dan Nusantara mulai terjalin erat bersamaan
dengan penetrasi bangsa-bangsa Eropa (Portugis), yang kemudian memunculkan
dinasti Turki Utsmani sebagai pemegang supremasi mengalahkan Portugis. Dalam
masa ini, Muslim Nusantara mengambil banyak inisiatif untuk menjalin hubungan
politik keagamaan dengan dinasti Turki Utsmani, dan sekaligus memainkan peran
lebih aktif dalam perdagangan di Lautan India. Hubungan politik juga terjalin
dengan para penguasa Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua, hubungan
intelektual keagamaan dan keilmuan Islam antara Timur Tengah dan Nusantara
merupakah lanjutan dari hubungan yang lebih intens antara Nusantara dan Timur
Tengah yang dimulai dengan semakin banyaknya kaum Muslim Nusantara yang pergi
ke Haramayn —di samping melaksanakan ibadah haji, berdagang, juga untuk
menuntut ilmu— yang pada giliran berikutnya mendorong terciptanya jaringan di
antara ulama-ulama Timur Tengah dengan murid-murid Nusantara. Dua sarana
penting yang membuat hubungan ini relatif solid adalah isnad hadits dan
silsilah tarekat.
Ketiga, di antara
mereka yang terlibat dalam hubungan intelektual keagamaan dan keilmuan Islam
pada abad ke-17 di kalangan Muslim Nusantara adalah Al-Raniri, Al-Sinkili, dan
al-Makassari. Setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan
Madinah, mereka kembali ke Nusantara. Di sinilah mereka menjadi penyebar utama
tradisi intelektual keagamaan dan keilmuan Islam dari pusat-pusat pembaruan
Islam di Timur Tengah ke Nusantara. Tema pokok dalam wacana intelektual
keagamaan dan keilmuan Islam mereka adalah kembali pada ortodoksi Sunni, dengan
ciri paling menonjol yaitu keselarasan antara syariat dan tasawuf. Dalam hal
ini, para mujaddid Nusantara ini banyak sekali memberikan sumbangan kepada
penguatan jati diri Islam dalam masyarakat Muslim Nusantara. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar