TELAAH METODE
ANALISIS SASTRA JOHN WANSBROUGH TERHADAP AL-QURAN
Ahmad Syauqi
Sumbawi
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan
salah satu kitab suci yang memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap
jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan
perilaku, menjustifikasi berbagai peperangan, melandasi berbagai aspirasi,
memelihara berbagai harapan, dan memperkuat identitas kolektif. Al-Qur’an juga
digunakan dalam ibadah-ibadah publik dan pribadi kaum Muslimin, serta
dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya
dipandang sebagai tindak kesalehan dan implementasi ajarannya dalam kehidupan
merupakan kewajiban setiap Muslim.
Sejumlah pengamat
Barat memandang al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sulit dipahami dan
diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah
menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang
sekitar dua puluhan tahun, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan,
perbedaan gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Meskipun bahasa Arab yang
digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.
Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan
berjilid-jilid kitab tafsir yang berusaha menjelaskan makna pesannya. Sekalipun
demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu
mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya
diketahui oleh Tuhan.
Pada umumnya, kaum
Muslimin meyakini bahwa al-Qur’an bersumber dari Tuhan, dan al-Qur’an sendiri
mengkonfirmasikan hal tersebut. Keyakinan sumber ilahiyah wahyu-wahyu yang
diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa
keyakinan semacam itu, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai
Muslim. Akan tetapi, keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika
diproklamirkan pertama kali oleh al-Qur’an dan berlanjut hingga dewasa ini di
kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad
bahwa dirinya merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang
Arab sezaman dengannya. Al-Qur’an sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi
yang serius terhadap Nabi, tetapi justru merekam rentetan peristiwa tersebut
tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan Nabi tentang
asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya, juga bantahan terhadap
miskonsepsi mereka.
Dalam beberapa
bagian al-Qur’an, para penentang Nabi memandangnya sebagai kahin (tukang tenun)
dan wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenun”. Nabi juga
dituduh sebagai syaa’ir (penyair), majnun (kerasukan jin atau berada di bawah
pengaruhnya), sahir (tukang sihir) atau mashur (korban sihir), dan wahyu yang
diterimanya dianggap sebagai sihr (sihir).
Berbagai gagasan
para penentang Nabi di atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber
inspirasi al-Qur’an berasal dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah,
bukan dari Allah. Dalam konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair
ataupun penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin
atau setan. Tanpa memutarbalikkan fakta, al-Qur’an telah merekam rentetan
kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut pandang orang yang semasa dengan
Nabi Saw mengenai asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya.
Sejalan dengan itu, al-Qur’an juga merespon para oposan Nabi tersebut. Meskipun
respon spesifik al-Qur’an berbeda untuk setiap kasusnya, namun dalam berbagai
jawaban tersebut, kitab ini selalu menekankan asal-usul ilahiyahnya, yaitu
bersumber dari Tuhan semesta alam.
Rupanya gagasan
para oposan Nabi di atas memiliki sisi kemiripan dengan konsepsi yang
dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan dalam
kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih
ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad pertengahan ini,
Muhammad digagaskan sebagi penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran
al-Qur’an yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang
sesat dan penuh bid’ah.
Meskipun lebih
merupakan mitos dan fiksi imajinatif, gagasan Barat abad pertengahan tersebut
memiliki pengaruh kuat di kalangan sarjana Barat pada masa berikutnya, dan
terlihat sulit untuk dihilangkan dari pikiran masyarakat Barat hingga dewasa
ini. Akan tetapi, konsepsi abad pertengahan ini secara sederhana dapat
diabaikan karena tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang
serius. Di sini, gagasan Barat abad pertengahan tidak dapat disejajarkan dengan
gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya.
Karya Barat modern
yang berupaya melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada tahun
1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum
aufgenommen? Dalam penelitiannya, Geiger berkesimpulan bahwa seluruh ajaran
Muhammad yang tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri
asal-usulnya dari Yahudi secara transparan. Tidak hanya sebagian besar kisah
para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Qur’an pada faktanya juga
bersumber dari tradisi Yahudi. Akan tetapi, selama hampir setengah abad setelah
publikasinya, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian
ini. Baru pada tahun 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan
mempublikasikan karyanya, Juedische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur’an),
yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Pasca kemunculan
kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian
serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur’an. Dalam hal ini, terjadi
semacam pertarungan akademik antara mereka yang menganggap al-Qur’an tidak
lebih tiruan dari tradisi Yahudi dan mereka yang menganggap agama Kristen
sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berusaha membuktikan bahwa
asal-usul genetik al-Qur’an secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan
Muhammad merupakan seorang murid Yahudi tertentu. Sementara para sarjana
Kristen juga berupaya membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang
tradisi Kristiani, serta menganggap Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen
yang mengajarkan suatu bentuk aneh dari agama Kristen.
Di kalangan para
sarjana tersebut, John Wansbrough muncul dengan penerbitan karyanya, Quranic
Studies: Sources and Methods of Sciptural Interpretation, pada tahun 1977.
Dengan menggunakan metode kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism)
dan studi kritis terhadap redaksi (redaction criticism) atau juga disebut
dengan metode analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an, John
Wansbrough menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan hasil konspirasi antara
Muhammad dengan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang berada di
bawah pengaruh Yahudi, dan pada batas tertentu Kristen, sehingga asal-usul
al-Qur’an sepenuhnya berada dalam tradisi tersebut.
Tesis yang
dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang perdebatan di kalangan para
sarjana yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan
orientalis sendiri maupun sarjana muslim.
Berdasarkan uraian
di atas, kajian ini berusaha menjelaskan beberapa masalah pokok terkait dengan
tema di atas sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana historisitas al-Qur’an
dalam pandangan John Wansbrough? Kedua, bagaimana metodologi analisis sastra
John Wansbrough dan penerapannya terhadap al-Qur’an? Ketiga, bagaimana wacana
yang berkembang tentang Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi
Al-Qur’an?
Pembahasan
1. Historisitas
al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough
Pada umumnya,
gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah” telah
diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan
percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa
sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama
tersebut —terlepas dari persoalan teologis—. Penekanan pada aspek kesejarahan
di atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan
kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat
tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan.
Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar
historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah
yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang
positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis
sumber —kitab suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa
yang sesungguhnya terjadi.”
Terlepas dari
persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama,
yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah,
yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan
menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam
kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan
Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau
data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya
terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini,
al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis
Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.
Setidaknya terdapat
empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan
asal-usul atau sumber al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik
al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber
genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau
sumber genetik al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu
Yahudi dan Kristen, yang secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar
belakang al-Qur’an —Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat
unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Pendapat-pendapat
yang berkembang di kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau
sumber-sumber al-Qur’an di atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi
agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan
tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari
informasi-informasi historis yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan
catatan, apabila al-Qur’an dipandang sebagai sumber sejarah yang otoritatif—.
Di samping itu, pengaruh kedua tradisi keagamaan Semit tersebut terhadap milieu
Arab tampak tidak cukup menyakinkan. Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua
tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an
sendiri mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan
penyebaran ajaran agama mereka masing-masing kepada orang-orang Arab. Akan
tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup membuahkan hasil yang maksimal, karena
implikasi politik kedua agama tersebut. Orang-orang Arab lebih memilih untuk
setia dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhur mereka.
Kemiripan ajaran
al-Quran dengan tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para
orientalis Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah
al-Qur’an—. Akan tetapi, barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan
dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab
suci masing-masing ketiga agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab
suci —bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari
Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an
memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan
bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang
mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar
dari sumber tunggal, yaitu umm al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab
yang tersembunyi), atau lawh mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan
esensi pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu
diturunkan kepada pada utusan Tuhan. Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian
Lama serta Injil, semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu
universal dan identik, maka manusia harus mengimani seluruhnya.
Dalam al-Qur’an, di
samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan
Kristen, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada
seluruh kitab yang diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat
dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan
keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi
al-Qur’an tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi
peringatan. Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah
disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena
tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.
Meskipun uraian di
atas dianggap lebih bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah
yang bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya.
Sementara di kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber
dan asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang
kontroversial.
Berkaitan dengan
persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an
merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi
bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—.
Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya
bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam
pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan
dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang
berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak
dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis
menghadapi banyak kesulitan.
Sementara
sumber-sumber lain yang tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim,
terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta
terjadi. Informasi yang terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad
tersebut. Sumber-sumber internal ini bermaksud mendokumentasikan basis
keimanan, validitas kitab suci, dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini
dapat dilihat dari karakter historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam
yang terbukti lebih lentur daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir
mempunyai kategori informasi yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab
datangnya wahyu yang menurut para pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk
merekam peristiwa sejarah yang berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an.
Analisis ayat dengan menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi
aktual sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman
bahwa al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian
dicatat, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana
penafsiran al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir
bukan karena nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta
kesusastraan yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam
kajian Islam dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.
Lebih jauh,
Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal
yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan
apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah
bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan
oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan
Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan
Kristen—, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan
urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan
Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa
awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya
sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
2. Metodologi
Analisis Sastra John Wansbrough dan Penerapannya dalam al-Qur’an
Dalam dua bukunya,
yaitu Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation dan
The Sektarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History,
John Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber dari sudut pandang
sastra, dengan tujuan untuk melepaskan pandangan teologis dari sejarah dalam
melihat asal-usul Islam. Hal ini disebabkan oleh pandangan John Wansbrough
tentang tidak adanya kelayakan dalam penggunaan metode kritik historis terhadap
sumber-sumber sejarah Islam masa awal tersebut.
Argumentasi
Wansbrough, dalam hal ini, adalah bahwa kita tidak tahu dan mungkin tidak akan
pernah dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Semua yang kita ketahui
sekarang adalah apa yang dipercaya telah terjadi oleh orang-orang yang datang
kemudian. Analisis sastra atas sumber semacam itu akan menyatakan pada kita
tentang komponen-komponen yang digunakan orang untuk menghasilkan
pandangan-pandangan mereka dan mendefinisikan secara tepat apa yang mereka
kemukakan. Akan tetapi, analisis sastra tidak akan bicara tentang apa yang
terjadi.
Terkait dengan
persoalan di atas, seperti kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang
diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagai respon Tuhan atas situasi sosio-moral
masyarakat Arab pada abad ke-7 M. Pewahyuannya terentang selama kurang lebih
dua puluh dua tahun, di saat mana Muhammad muncul dari posisi sebagai seorang
pembaharu keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya, Makkah, menjadi
pemimpin aktual di Madinah dan sebagian besar Jazirah Arab. Karena wahyu turun
sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras
dengan tujuan umat Islam selama masa-masa tersebut, maka adalah sebuah
kewajaran kalau gaya sastra Al-Qur’an berubah-ubah serta susunannya tidak
sistematis.
Metode yang
digunakan oleh John Wansbrough untuk membuktikan tesis-tesisnya adalah kajian
kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan kajian kritis terhadap
redaksi (redaction criticism) al-Qur’an atau juga disebut dengan metode
analisis sastra (method of literary analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan
importasi dari teknik-teknik kritik Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya
digunakan para sarjana Yahudi dan Kristen dalam kajian-kajian modern tentang
Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kajian semacam ini berangkat dari
proposisi bahwa rekaman-rekaman sastra “Sejarah Penyelamatan”, meskipun
menampilkan diri seakan-akan semasa peristiwa yang dilukiskan, pada faktanya
berasal dari periode setelah itu.
Dalam aplikasinya,
Wansbrough “menemukan” bahwa al-Qur’an merupakan kreasi pasca-kenabian dengan
terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi pada karakter referensialnya dan
kemunculan sejumlah ayat “duplikat”. Dalam hal ini, menurut Wansbrough, audiens
al-Qur’an dipandang mampu mengisi detail-detailnya yang hilang dalam narasi.
Akan tetapi kemudian, ketika Islam sebagai entitas dengan mapan dan stabil
—berdasarkan struktur politiknya— datang setelah ekspansi Arab keluar wilayah
mereka, materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektual aslinya dan
membutuhkan eksplikasi tertulis —eksplikasi yang tersedia dalam tafsir dan
sirah.
Untuk menjelaskan
pandangannya mengenai karakter referensial al-Qur’an, Wansbrough memberikan
contoh sebagai berikut, yaitu pertama, contoh tentang Yusuf dan
“saudara-saudaranya yang lain” dalam surat Yusuf (12) ayat 59, paralel dengan
kisah Injil dalam Genesis 42: 3-13, di mana pengetahuan tentang kisah dalam
Genesis diterima oleh sebagian audiens al-Qur’an, karena di dalam al-Qur’an
tidak disebutkan sebelumnya tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah karena
ketakutan Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an:
“Bawalah padaku saudara laki-lakimu dari ayahmu”, tidak muncul dalam konteks
al-Qur’an, meskipun kita tidak datang pertama kali dengan pengetahuan tentang
kisah Injil.
Kedua, contoh
berkaitan dengan kehendak Ibrahim untuk mengorbankan anak laki-lakinya, dan
penyembelihan dalam al-Qur’an adalah implikasi dari kisah yang ada dalam Injil,
di mana anak laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang
yang dipersembahkan. Di sini, permasalahannya jauh lebih kompleks karena
tradisi tafsir Yahudi memainkan peran di dalamnya. Studi yang dilakukan Geza
Vermes menjelaskan bahwa banyak tradisi Yahudi —dan Kristen— menyampaikan kisah
bahwa Ishaq —dalam tradisi Islam adalah Ismail— mengetahui dirinya akan
dikurbankan sebelum peristiwa sesungguhnya terjadi dengan tujuan untuk
menekankan kehendak Ishaq untuk mempersembahkan dirinya sendiri. Tradisi tafsir
Yahudi juga bersifat referensial. Tradisi ini berasumsi bahwa kisah tentang
pengurbanan jelas bagi audiensnya dan bahwa signifikansi Ibrahim dalam kisah
itu akan menjadi bukti bagi semua orang yang membaca Injil. Jadi, penekanannya
pada Ishaq dan tentu saja bukan pada eksklusi peran Ibrahim. Posisi al-Qur’an
juga sama. Pengetahuan tentang kisah Injil telah dikemukakan. Karakter
referensial al-Qur’an perlu menjelaskan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap
al-Qur’an yang melihat apa yang disebut karakter “Arabia secara khusus” dari
kitab ini dan mencoba mengabaikan latar belakang tradisi Yahudi-Kristen secara
keseluruhan.
Pandangan tentang
gaya referensial al-Qur’an juga membawa Wansbrough dalam dugaan bahwa kita
sekarang ini sedang berhubungan dengan gerakan sektarian secara penuh dalam
“lingkungan sektarian Yahudi-Kristen”. Paralelitas antara literatur al-Qur’an
dan Qumran, walaupun tidak harus memainkan interdependensi, menunjukkan proses
serupa dalam elaborasi teks Injil dan adaptasinya untuk tujuan-tujuan
sektarian.
Menurut Wansbrough,
al-Qur’an sebagai dokumen yang tersusun dari ayat-ayat referensial yang
dikembangkan dalam framework polemik sektarian Yahudi-Kristen, diletakkan
bersama-sama oleh sarana-sarana konvensi sastra, misalnya penggunaan qul
(katakanlah), konvensi narasi, dan konjungsi paralelitas versi-versi kisah yang
disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi”, yang barangkali dihasilkan dari
tradisi asli yang satu dengan sarana yang bervariasi melalui transformasi oral
dalam konteks penggunaan liturgi. Cukup jelas di sini, varietas metode
(misalnya analisis bentuk, analisis formula oral) yang telah dilakukan di luar
kajian Islam, khususnya Injil, digunakan Wansbrough dalam analisisnya tentang
al-Qur’an.
Analisis Wansbrough
menyatakan bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar “calque dari bentuk-bentuk yang
mapan dari masa awal”, tetapi al-Qur’an juga berusaha mereproduksi Injil dalam
bahasa Arab dan menyesuaikannya untuk masyarakat Arabia. Karena satu hal,
al-Qur’an tidak mengikuti motif pemenuhan yang dipandang sebagai preseden oleh
Perjanjian Baru dan penggunaannya dalam Injil Ibrani. Lebih dari itu, karena
al-Qur’an muncul dalam situasi polemik, ada upaya yang jelas untuk memisahkan
al-Qur’an dari wahyu Musa melalui sarana-sarana seperti modus pewahyuan dan
penekanan pada bahasa dalam al-Qur’an.
Lebih lanjut
Wansbrough menyatakan bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks al-Qur’an terjadi
bersamaan dengan pembentukan komunitas. Teks kitab suci yang final tidak ada
dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkontrol
secara sepenuhnya. Sehingga pada akhir abad ke- 2 H/ 8 M menjadi momen historis
untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral dan unsur-unsur liturgi
sehingga melahirkan kanon kitab suci yang final dan muncul konsep aktual
tentang Islam.
Oleh karena itu,
semua hadits yang menyatakan tentang himpunan aI-Qur’an, dalam pan¬dangan
Wansbrough, secara historis harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat
dipercaya. Semua informasi terse¬but adalah fiktif yang punya maksud-maksud
tertentu. Semua informasi tersebut, barangkali disusun oleh para fuqaha untuk
menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau
mengikut model periwayatan teks orisinal Pantekosta dan kanonisasi Kitab Suci
Ibrani. Semua informasi tersebut mengasumsikan sebelumnya wujudnya standar
(ca¬non) dan karena itu, tidak bisa lebih dahulu dari abad ke- 3 Hijriah.
Kritik sastra
menggiring Wansbrough untuk menyimpul¬kan teks yang diterima (textus receptus)
dan selama ini diyaki¬ni oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang
bela¬kangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Menurut Wansbrough, teks
Al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Wansbrough menyatakan bahwa
riwayat-riwayat menge¬nai AI-Qur’an versi Utsman adalah fiksi yang muncul di
masa kemudian, yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam
usahanya untuk menggambarkan asal-usulnya.
3. Wacana tentang
Metodologi Analisis Sastra John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an
Tesis yang
dikemukakan John Wansbrough banyak mengundang pro-kontra di kalangan para
pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, baik dari kalangan
orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi
kapasitas para pengkaji yang lain, wacana yang dikemukakan oleh Andrew Rippin
dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili perdebatan dalam kajian ini.
Secara umum, Andrew
Rippin sependapat dengan John Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam
adalah agama dalam sejarah, Rippin membenarkan penggunaan analisis sastra oleh
Wansbrough dalam mengkritisi Al-Qur’an, sebagaimana juga dipergunakan dalam
mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh posisi Islam
yang tidak historis karena tidak ada dukungan berupa bukti ekstra literer dalam
data arkeologis yang tersedia. Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari
kalangan muslim sendiri, lanjut Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang
ditulis dua abad setelah fakta sejarah terjadi.
Selanjutnya, apa
yang dikemukakan Wansbrough berkaitan dengan sumber-sumber Islam masa awal,
menurut Rippin, bukanlah hal yang baru. Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa
Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah lebih dulu menyatakan hal demikian.
Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan kepada Muhammad dan
digunakan uintuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarnya berasal
dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin ini
sedang mencari dukungan dari apa yang disebut sebagai sunnah.
Sementara dalam
menanggapi tesis-tesis John Wansbrough dan pembelaan Andrew Rippin terhadap
metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur Rahman menyatakan bahwa keampuhan
metode historis sebenarnya sudah cukup membuktikan tentang keaslian bahan-bahan
historis kaum Muslim, dan pengalihan kepada suatu metode analisa sastra yang
murni tidak diperlukan.
Fazlur Rahman
memberikan contoh tentang sebuah konsekuensi yang terjadi apabila menghilangkan
sisi historis dan hanya memakai pendekatan sastra —yang menjadikan para
pendukung metode sastra tidak dapat memaknai al-Qur’an—, yaitu
perbedaan-perbedaan tertentu dalam al-Qur’an dilihat dari kronologi periode
Mekkah dan Madinah, seperti kisah perselisihan Ibrahim dengan ayahnya. Surat
Maryam (19) ayat 47 (Makkiyah) mengatakan bahwa Ibrahim sementara bersahabat
dengan ayahnya, ia (Ibrahim) menyatakan pada ayahnya bahwa dirinya akan terus berdoa
memohonkan ampun baginya. Kemudian pada periode Madinah, ketika al-Qur’an
memerintahkan kaum Muhajirin untuk melepaskan diri dari anggota keluarga
dekatnya di Makkah agar tetap pagan dan terus mencela dan memusuhi Muslim.
Al-Qur’an mengatakan pada mereka, yaitu, Ibrahim berdoa memohonkan ampun bagi
ayahnya hanya karena dia pernah berjanji. Dengan kata lain, bahwa dia (Ibrahim)
benar-benar telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya.
Menurut Rahman,
masing-masing ayat ini cocok untuk lingkungan historis Nabi di Makkah dan
Madinah. Ada satu, dua, atau ribuan tradisi semua yang ada dalam al-Qur’an
berkaitan dengan situasi Nabi Muhammad. Kemudian surat Huud (11) ayat 27 sampai
29, di mana Nuh diminta oleh para “pembesar” kaumnya agar melemparkan para
pengikutnya yang berkelas rendah sebelum mereka bergabung dengannya adalah
sesuai dengan situasi Nabi Muhammad pada tahun-tahun terakhir di Makkah. Atau
lihat surat Al-A’raaf (7) ayat 85, di mana Syu’aib diutus kepada kaumnya untuk
menasehati mereka agar jujur dalam berdagang, tentu saja ini juga merupakan
problem yang dihadapi Nabi Muhammad dalam masyarakatnya.
Dalam pandangan
Rahman, dengan melepaskan Al-Qur’an dari sandaran historisnya dalam kehidupan
Muhammad, maka salah satu tugas utama Wansbrough adalah meletakkannya secara
historis di tempat yang lain. Karena keharusan relokasi historis tidak bisa
dikesampingkan oleh penolakan sederhana terhadap historisitas sumber-sumber
awal Islam itu sendiri. Harus diketahui di mana Al-Qur’an berada dan pada
kelompok atau individu mana al-Qur’an diturunkan. Di sini nampak bahwa gagasan
yang menolak sejarah tradisional tanpa perdebatan lebih jauh adalah untuk
melepaskan diri dari semua tanggung jawab historis.
Fazlur Rahman juga
memberikan kritik terhadap tesis Wansbrough bahwa Al-Qur’an merupakan perpaduan
berbagai tradisi yang berbeda. Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya
memahami fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya.
Fenomena ini diakui sendiri oleh Al-Qur’an dan dinamakan naskh yang berarti
substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi substitusi harus ada ayat baru
sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit
dipertahankan bila Al-Qur’an hanya merupakan perpaduan serentak dari berbagai
tradisi. Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang memiliki data-data
historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi dan person-person
yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai tradisi-tradisi tersebut.
Sejumlah persoalan penting dalam Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman, hanya dapat
dipahami dalam terma-terma kronologis yang terbentang dalam suatu dokumen yang
tunggal. Al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur
yang berbeda dan bertentangan. Dengan demikian, tesis Wansbrough yang
didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi dalam Al-Qur’an tidaklah tepat,
karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian
Muhammad dalam tahapan-tahapan kronologisnya.
Berikutnya,
pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa Wansbrough bukanlah orang pertama yang
mempermasalahkan sumber-sumber data Islam yang awal ini pun tidak luput
mendapat dikritik dari Fazlur Rahman. Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan
Yosepht Schacht telah mendahului Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori
pendekatan ini dalam hubungannya dengan kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman,
Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht bersandar pada metode sejarah untuk
menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu muncul setelah hadits lainnya. Oleh karena
itu, lanjut Rahman, tidak jelas logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk
menawarkan metode sejarah Goldziher dan Schacht untuk mendukung analisis sastra
Wansbrough, karena metode yang terakhir bersifat arbitrer.
Mengenai alasan
Rippin tentang adanya beberapa pengkaji yang menekankan latar belakang Arab
Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen, Fazlur Rahman berpendapat bahwa
Wansbrough telah melampau batas-batas yang dapat diterima akal dalam memandang
al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian Yahudi-Kristen sepenuhnya. Pada
faktanya, di Arab sendiri
Terlepas dari
perdebatan di atas, perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis
sastra juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun,
misalnya, sangat menyayangkan jika di kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak
kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu, dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik
filsafat tentang teks-teks suci —yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan
Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide
wahyu— terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun,
metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin
dikembangkannya, di mana intervensi ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework
yang diusulkannya. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode
analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada
pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan
bagi kalangan fundamentalis.
Penolakan kalangan
Muslim terhadap pendekatan kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed
Arkoun, lebih bernuansa politis dan psikologis. Politis karena mekanisme
demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah
mengenai ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut
Mohammed Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya
masyarakat yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak
terpikirkan” karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Berkaitan dengan
apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd— seorang intelektual asal Mesir—,
Mohammed Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid
Abu Zayd tersebut. Padahal metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed
Arkoun, memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu
Zayd berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan
ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis.
Al-Quran adalah teks linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam
tradisi Arab.
Penutup
Berdasarkan uraian
tentang permasalahan metodologi analisis sastra John Wansbrough terhadap
al-Qur’an, tafsir, dan sirah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu
pertama, John Wansbrough berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah
yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan
asal-usul geneologisnya sendiri. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan
oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian untuk
mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti
numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an.
Untuk mengatasi hal tersebut, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra.
Kedua, metode yang
digunakan oleh John Wansbrough adalah kajian kritis terhadap bentuk sastra
(form criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction criticism)
al-Qur’an atau juga disebut dengan metode analisis sastra (method of literary
analysis) al-Qur’an. Metode ini merupakan importasi dari teknik-teknik kritik
Bible (biblical criticsm) yang pada umumnya digunakan para sarjana Yahudi dan
Kristen dalam kajian-kajian modern tentang Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.
Dalam aplikasinya, John Wansbrough mendapatkan temuan bahwa al-Qur’an merupakan
kreasi pasca-kenabian dengan terlihatnya berbagai pengaruh Yahudi (dan Kriten),
juga kemunculan ayat “duplikat” yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, tesis yang
dikemukakan John Wansbrough di atas mengundang pro-kontra di kalangan para
pengkaji yang memiliki otoritas dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan
orientalis sendiri maupun dari kalangan Muslim. Akan tetapi, terlepas dari
perdebatan antara Andrew Rippin (pro) dan Fazlur Rahman (kontra) di atas,
perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah
diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu
Zayd, di mana pandangannya tentang al-Qur’an mendapat reaksi yang bertentangan
di kalangan Muslim. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar