Laman

Minggu, 24 Januari 2021

BERITA KERAMAIAN

 

Ruas jalan yang memanjang di antara dua pertigaan itu ditutup portal. Lalu-lintas kendaraan dialihkan. Digantikan orang-orang yang berlalu-lalang, orang-orang yang berkerumun kecil-kecil di pinggir jalan. Tak lupa, para pedagang kaki lima dan pedagang gelar lapak yang mencari untung. Menyempurnakan keramaian.

Yah, bukan keramaian kalau tidak ada para pedagang itu. Dan bukan mereka, jika tak mengendus informasi adanya keramaian. Mungkin hanya wartawan dan detektif yang bisa menyaingi. Akan tetapi, berbeda dengan kerja kedua profesi itu yang mencari informasi fakta setelah kejadian, para pedagang itu bahkan telah mendapatkannya sebelum kejadian. Bayangkan, linuwih, bukan?!

Yo ora ngono, toh yo! Lha wong beritanya itu sengaja disebar-sebarkan kok. Biar orang-orang datang. Biar tontonan dangdut koplo, wayang kulit plus campursari, electun-dut, dan sebagainya, ramai dan sukses. Bayangkan kalau tontonan-tontonan itu tidak ramai, sepi penonton. Salah-salah dikira ngaji kitab.

Lumrahnya ‘kan seperti itu. Tontonan ramai, ngaji sepi. Itu namanya tes tes tes pantes. Kalau kebalikannya. Tontonan sepi, ngaji ramai, disebut durung kedaden alias entah kapan. Selain itu, mana ada penonton koplo ngantuk saat goyang ngudeg-ngudeg atau ngulek-ngulek?! Kalau ada, barangkali seorang wartawan perlu menulisnya. Bukankah, itu aneh dan langka, di luar adat kebiasaannya.

Konon, ada sebuah pameo tentang berita. Kalau manusia digigit anjing, itu biasa. Tapi, jika manusia menggigit anjing, nah itu, baru berita.

Mosok yo ngono?! Guyonane seperti itu. Artinya, apa yang disebut berita itu punya syarat dan kriteria. Misalnya, menarik perhatian orang banyak, luar biasa dan penting, aktual serta dibangun oleh fakta dan data. Karena itu, setiap informasi dalam berita itu harus dipastikan terlebih dulu, terutama kebenarannya, sebelum ditransfer melalui media massa. Jangan sampai berita itu hoaks. Atau hanya jadi kabar burung. Yah, kalau burungnya ada, bisa dikonfirmasi. Kalau kabur, entah kemana, masak ya menunggu kembali. Tentu, keburu basi.

Memangnya, burung manusia yang makan nasi.

Wee, gimana, toh?! Maksudnya, kerja jurnalistik itu tidak sederhana. Karena berhubungan dengan masyarakat, harus pula bijaksana dalam menyampaikan kebenaran suatu fakta. Mencari, menulis, dan menyampaikan—media massa—itulah inti dari kerja jurnalistik.

Tentu berbeda dengan para pedagang kaki lima dan para detektif. Misalnya, Sherlock Holmes, detektif Ji, dan detiktif Conan. Meskipun hanya tokoh cerita fiksi, film thriller dan komik, mereka bekerja menyingkap yang tersembunyi di balik selimut tetangga. Eh, nganu, maksudnya selimut rahasia. Mengungkap kebenaran suatu kejadian atau perkara. Menyibak kebohongan, alibi, serta siasat jahat yang ditutup-tutupi. Istilahnya, The X Files, yang juga menjadi judul sebuah serial tv dan film. Dan biasanya, misteri-misteri itu baru diungkapkan di depan pengadilan.

Nah, baik wartawan maupun detektif, berbeda dengan para pedagang kaki lima atau pedagang gelar lapak. Apalagi bagi seseorang yang tersesat dan tak malu bertanya sambil jalan. Kalau wartawan dan detektif bekerja usai kejadian—atau kecurigaan—, maka para pedagang sudah mendapatkan informasi sebelum acara. Mulai bekerja sebelum hingga selesainya keramaian.

Wah, ngawur.. Jangan meng-gathuk-gathuk-an yang belum tentu bisa gathuk. Ini namanya peng-gathuk-an yang dipaksakan.

Ya tidak begitu. Karena ini umumnya seperti itu. Memang, dalam junalistik ada konferensi pers, di mana sebelum digelar, wartawan sudah datang. Atau ketika mendapat kabar tentang publik figur akan datang di suatu tempat. Kabar tentang jadwal sidang para koruptor atau artis yang kesandung kasus asusila dan sebagainya.

Umum, umum.

Bahwa sesungguhnya para pedagang kaki lima dan pedagang gelar lapak tidak pernah datang setelah keramaian berakhir. Untuk mendapatkan hasil keuntungan yang maksimal, maka harus standby sebelum hingga sesudah keramaian.

Sekarep wis. Opo jare.

 

***

Di sebuah warung kopi sudut pertigaan jalan yang dipasang portal, Abdun tersenyum sendiri. Menertawakan pikirannya yang meloncat-loncat. Tentang para pedagang yang berderet di depannya. Bekerja menghadap rombong-rombong bertuliskan: soto ayam, bakso beranak-pinak, tahu campur aselole, mie ayam monyor-monyor, dan sebagainya.

Ehm, semuanya membuktikan, bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya. Makhluk yang kreatif. Kebutuhannya hanya makan, tapi entah berapa banyak menu makanan yang telah diciptakan. Enak-enak lagi. Maknyos.

Barangkali, itulah salah satu kelebihan manusia dari makhluk lainnya terkait makan dan makanan. Kelebihan yang harus disyukuri.

Sementara di sebuah buk yang menjadi batas trotoar, dilihatnya orang-orang berwajah lesu. Mungkin, sebab lama menunggu. Sejak pagi-pagi. Dan kini, matahari hampir di puncak.

Mereka adalah para pengantar. Mungkin saudara, keponakan, atau bahkan tetangga yang turut berbahagia atas seseorang yang hendak ditahbiskan di halaman luas berterop tak jauh di sebelah selatan sana. Tempat sebuah acara digelar.

“Ramai-ramai acara apa, Mas?” kata seorang laki-laki yang baru datang.

“Wisuda,” jawab Abdun. Berharap dia bukan seorang detektif kriminal. [*]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar