Laman

Minggu, 24 Januari 2021

KENANGAN DAN KEYAKINAN PADA PERSINGGAHAN BAYANG-BAYANG

Menikmati esai puisi "Persinggahan Bayang-bayang"
karya Bambang Kempling

Sebuah koridor bagian depan gedung itu mulai ditinggalkan orang-orang. Resepsi wisuda telah usai. Tak ada lagi kerumunan. Hanya perayaan kecil bersama keluarga dengan foto bersama. Juga ucapan selamat yang beredar dalam selang-seling ungkapan kegembiraan lainnya.

Duduk dekat sebuah tiang koridor, Abdun diam mengamati yang tergelar di hadapannya. Membayangkan suatu hari nanti. Menghadiri acara ketika anak-anaknya diwisuda. Entah wisuda apa, yang jelas pendidikan tinggi setelah madrasah aliyah atau SMA. Baik sarjana, magister, maupun doktor. Mungkin juga pengukuhan gelar guru besar atau profesor.

Wah, ngelindur opo maneh iki?! gumamnya. Kemudian tertawa. Seperti menertawakan diri sendiri. Menghentikan panjang angan-angan. Sebelum semuanya jadi tak karu-karuan.

Opo jare wis?! gumamnya lagi. Berusaha menenangkan gejolak diri terkait harapan dan kenyataan atas hidup kedua anaknya kelak.

Abdun mengarahkan matanya pada keluarga Pakde Banjir yang sedang foto bersama. Mbak Mila, putri ragil Pakde Banjir, baru saja diwisuda. Itu berarti, kelima anaknya telah jadi sarjana. Abdun berbahagia untuk itu. Kemudian teringat keluarganya. Terutama kedua anaknya, yang memberikan harapan besar pada dirinya. Teringat pada keberadaannya di sekitar gedung itu, yang tak lain sebagai sopir yang mengantar Pakde Banjir dan keluarganya.

Kembali Abdun mengedarkan matanya. Tak jauh di sampingnya, dia melihat seorang laki-laki dengan pakaian wisuda. Di bawah bayang-bayang remang sebuah tiang, laki-laki itu berdiri menghadap ke arahnya. Menatap ujung koridor yang sepi.

Abdun tak tahu apa yang dipikirkan oleh laki-laki itu. Namun lebih seksama memperhatikan di kedua matanya, dia seperti menemukan serangkaian pengalaman mengendap kuat dalam ingatan. Sebagai kenangan yang tidak mudah dilupakan. Membentuk persona.

Laki-laki itu mengalihkan matanya ke udara terang. Tersenyum saat kedua matanya bersiborok dengan mata Abdun. Tampak kikuk bersama anggukan keramahan, sebelum kemudian melangkah pergi.

***

Kenangan yang kuat mengendap dalam ingatan, terkait harapan dan kenyataan, serta pilihan hidup yang diyakini, agaknya menjadi sasaran dalam puisi “Persinggahan Bayang-Bayang” karya Bambang Kempling. Dalam buku antologi Persinggahan Bayang-Bayang (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2014) hlm. 29, diungkapkan sebagai berikut:

 

PERSINGGAHAN BAYANG-BAYANG

 

sebuah koridor

memanjang di lubuk malam

membawamu terdiam

berhitung dalam detik hentinya

  :sendiri

 

hari-hari yang tergambar,

menyajikan keengganan untuk menunggu

malam di persinggahan

antara pilar-pilar

cengkerama bayang-bayang

memberi kesaksian abadi atas sangsi

 

kini pesta telah usai

lepas bagaikan sketsa angin

dan sebuah koridor itu

tak mampu mengisahkan keheningan

 

***

 

Koridor menjadi diksi kunci puisi ini, dengan berbagai muatan kesan citraan, imaji, kenangan, serta keheningan yang tak terkisahkan. Umumnya, koridor dipahami menunjuk pada lorong dalam rumah, atau lorong yang menghubungkan gedung yang satu dengan yang lain.

Pada bangunan gedung, kesan panjang sebuah lorong lebih tertangkap bersama tiang-tiang atau pilar-pilar yang tegak berdiri. Lebih panjang dan pekat lagi ketika malam hari bersama bayang-bayang yang tercipta dengan bohlam. Suasana yang agaknya tergambar dari bait pertama puisi, …sebuah koridor/ memanjang di lubuk malam/ membawamu terdiam/ berhitung dalam detik hentinya/ :sendiri//.

Koridor yang cenderung menghadirkan kesendirian bagi seseorang. Kesendirian yang terasa begitu dalam, yang membuat seseorang akan mengingat dan merenungkan kembali perjalanan hidup yang terjaring dan terbentang dalam ingatan. Menilai berbagai peristiwa, menerjemahkan diri sendiri. Dalam dimensi waktu, seseorang akan melihat dirinya di masa lalu, juga mengambar keberadaannya di masa yang akan datang. Sendiri, tak ada yang lain.

Dalam kesendirian itu pula, mungkin seseorang akan melihat… hari-hari yang tergambar,/ menyajikan keengganan untuk menunggu/. Menemukan dirinya dalam serangkaian episode hidup yang sangat membekas. Begitu dalam. Bahkan, membuatnya tak ingin mengulang kembali pada... malam di persinggahan/. Tak ingin berlarut-larut dalam balutan rasa—baik suka maupun duka—yang lahir dari episode hidup.

Barangkali, sebab kebosanan dan bayangan kesia-siaan yang kerap dirasakan dari sesuatu keberadaan yang bersifat mungkin,… antara pilar-pilar/ cengkerama bayang-bayang/. Terlebih dalam proses mempertemukan antara harapan dan kenyataan, yang… memberi kesaksian abadi atas sangsi//. Dalam proses menjadi diri, di hadapan keniscayaan hidup manusia yang ragu-ragu, lantaran tak ada kepastian. Keberadaan manusia yang mumkin wujud, yang terus memberikan kesaksian atas apa yang diyakini.

Sebuah keyakinan atas pilihan hidup, yang selalu tumbuh di antara dualitas yang disebut kegagalan dan kesuksesan. Keyakinan, yang barangkali paling berharga bagi seseorang. Meskipun,… kini pesta telah usai/ lepas bagaikan sketsa angin/, dan sebuah koridor itu/ tak mampu mengisahkan keheningan//, kebahagian yang dirasakan selalu penting bagi seseorang. Untuk disimpan dalam ingatan. Sebagai kenangan, yang tak pernah mengisahkan (keheningan) kualitas proses seseorang dalam memelihara keyakinan atas pilihan hidupnya. [*]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar