Usai hujan sepanjang malam, pagi tergelar juga di luar pintu. Selain dingin, Abdun mendapati jejaknya di udara. Entah, berapa liter air menguap dan merendah sebagai kabut. Meskipun jangkauan mata menciut, namun hal itu bukan masalah bagi Abdun. Tak perlu baginya mencari dan menyalakan lampu kabut. Karena dia tahu, itu hanya akan sia-sia. Lantaran barang itu belum pernah ada tersimpan di rumahnya.
Tak perlu juga
menyalakan mesin sepedamotor butut. Lantas mengendarainya dengan tarikan
kuat-kuat pada gas. Menembus dingin di permukaan aspal jalan yang menggigil. Ke
kota hanya untuk membeli kacamata kabut. Tak perlu. Selain tak pernah terekam
dalam daftar pengeluaran tak terduga—yang biasanya ditambal dengan menjual
kambing—, pasar dan toko-toko di kota umumnya masih belum buka. Namun yang
terpenting dari semuanya, Abdun merasa kedua matanya sehat dan baik-baik saja.
Yah, tak ada
yang rumit dalam kabut. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan secara keterlaluan
dari semua kejadian. Sederhana saja. Proporsional, demikian istilah populernya.
Karena itu, Abdun pun menikmatinya.
Kabut yang
jarang-jarang tergelar di hadapannya. Menyamarkan pepohonan, pematang sawah,
dan segala yang setiap hari dilihatnya. Kini, semua itu muncul dalam
ingatannya. Melompat-lompat, menjangkau sebuah kalimat. Mengingatkan pada ungkapan
Mbah Mad, gurunya, yang kerap diulang-ulang.
“Kalam Tuhan
tak pernah berhenti. Maka pandanglah semuanya sebagai ayat.”
Lantas, untuk
siapakah semua ayat ini?! Apa hakikat dan tujuannya?!
Pertanyaan dan
wacana di atas inilah yang agaknya dikemukan dalam puisi “Kabut” karya Goenawan Mohamad, sebagaimana termaktub pada buku “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”,
Jakarta: Metafor Publishing, 2001. Secara lengkap dituliskan sebagai berikut:
Kabut
Siapakah yang tegak di kabut ini.
Atau Tuhan, atau kelam:
Bisik-bisik lembut yang sesekali
Mengusap wajahnya tertahan-tahan
Kepada siapakah kabut ini
Telah turun perlahan-lahan:
Kepada pak tua, atau kami
Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan
1963
***
Istilah kabut,
umumnya menunjuk pada uap air dekat permukaan tanah, yang berkondensasi menjadi
mirip awan. Terjadinya kabut disebabkan hawa dingin dan kadar kelembaban yang
tinggi. Di sini, kabut menjadi sebuah fenomena alam yang acapkali hadir dan
terasa melampaui kemampuan manusia. Maka, lumrah jika kita pun bertanya-tanya
tentang keberadaannya. Sebagaimana dinyatakan pada larik pertama yaitu, ...Siapakah yang tegak di kabut ini/.
Ungkapan di
atas tidak lain merupakan gambaran umum dari berbagai pertanyaan awal yang
pernah muncul pada diri manusia. Sebuah pertanyaan ontologis yang sederhana
sekaligus rumit, lantaran menjangkau lapis-lapis pengetahuan. Tentang realitas
yang mengejawantah bersama kabut. Realitas yang terlihat secara kasat mata atau
(kabut) itu sendiri. Atau realitas
tunggal yang merupakan hakikat dari segala keberadaan (Tuhan). Atau kesan yang tertangkap dari realitas (kelam).
Ketiga dimensi
inilah yang biasa tergelar di hadapan manusia. Juga menyapa manusia dalam… Bisik-bisik lembut yang sesekali/ Mengusap
wajahnya tertahan-tahan//. Barangkali, dahi seseorang akan berkerut-kerut
dan kepalanya menjadi hangat lantaran memikirkannya.
Berpikir,
itulah. Tidak lain merupakan perintah untuk manusia ketika berhadapan dengan
ayat-ayat, baik tersurat maupun tersirat. Tidak hanya melibatkan potensi
intelektualitas, tetapi juga spiritualitas. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab
suci, yaitu iqra’ bismirabbika.
Proses berpikir yang umum dinyatakan dalam ungkapan seperti afala tatafakkarun, afala ta’qilun, afala
ta’lamun, dan lainnya.
Sebagai
petunjuk bagi manusia yang berpikir, umumnya ayat-ayat hadir dalam realitas
yang terlihat atau memungkinkan untuk diidentifikasi. Namun, tidak cukup
berhenti pada yang terlihat secara kasat mata. Proses berpikir manusia perlu
diarahkan untuk menembus kabut. Hingga pada dimensi hakikat, yang merupakan
poin terpenting dari keberadaannya. Pada titik ini, yang kemudian dituntut dari
manusia adalah penyaksian atas-Nya.
Berbeda dengan
bait pertama yang mengarah pada wacana realitas—hakikat—, bait kedua puisi
menunjukkan pada wacana gerak atau proses dinamis. Di sini, ungkapan,… Kepada siapakah kabut ini/ Telah turun
perlahan-lahan:/ menghadirkan gerak waktu bersama (kabut) rahasianya yang menyimpan realitas di masa depan. Tentang
harapan yang mungkin menjadi nyata. Baik yang disebut gagal ataupun sukses,
yang terpenting dari semuanya adalah gerak atau proses.
Kemudian
ungkapan… Kepada pak tua, atau kami/,
agaknya mengarah pada kandungan waktu atau usia manusia dalam dua kategori,
yaitu tua dan muda. Terkait waktu, konon dikatakan bahwa yang dimiliki (pak tua) orang yang berusia lanjut
adalah masa lalu dan pengalaman. Sementara yang dimiliki oleh (kami) anak muda—kalangan usia penyair
kala itu— adalah masa depan dan cita-cita. Maka tidak heran, jika kakek atau
nenek seseorang, misalnya, akan berusaha memanfaatkan waktu untuk menceritakan
masa lalunya. Tentang kenangan yang bahagia, kesuksesan, dan sebagainya, yang
barangkali bisa diambil sebagai pelajaran oleh generasi berikutnya.
Pada baris
terakhir, ungkapan… Kepada kerja atau
sawah sepi ditinggalkan// menjadi pilihan dari luas kesempatan yang
dimiliki oleh seseorang. Memanfaatkan waktu untuk (kerja) gerak kreativitas dan hal-hal produktif, atau membiarkan (sawah sepi ditinggalkan) dengan
meringkuk dalam kemalasan yang dingin.
Dalam setiap
masyarakat dan setiap bangsa, tidak dipungkiri, generasi muda selalu diharapkan
dalam perubahan. Selalu penting dalam gerak perubahan masyarakat. Bahkan, untuk
menggoncang dunia. Demikian yang pernah diungkapkan Bung Karno.
Yah, gerak
dinamis itulah poinnya. Untuk menjadi sesuatu. Entah, apa. Dari semua yang
bernilai, barangkali adalah menjadi manusia, dalam kemanusiaan.
***
Perlahan kabut
mengudar. Tak jauh dari arah depan, Abdun melihat Mbah Saleh dan istrinya
tengah berjalan menyusuri pematang sawah. Entah, apa tujuan sepasang
kakek-nenek berusia tujuhpuluh tahun plus itu. Setiap hari selalu pergi ke
sawah. Pagi-pagi selalu. Berjibaku dengan lumpur. Juga, dengan bongkah.
Abdun tahu.
Semua anak dari keduanya telah menjadi “orang” di luar kota. Setiap lebaran,
mereka pulang dengan mobil sendiri-sendiri. Setiap bulan, tak lupa mengirim
uang untuk kedua orang tua. Bahkan, tak jarang mereka ber-infaq untuk biaya
pembangunan masjid dan mushala di kampung halaman.
Ah, mungkin
bagi keduanya, bekerja di sawah adalah gerak dan penyaksian dalam hidupnya.
Terlebih di sepuh usia. Demikian, gumam Abdun. Terdiam dengan pikiran yang
masih menduga-duga [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar