Duduk di ruang
tamu, Abdun termangu. Entah, berapa lama matanya menerawang ke arah pintu.
Meninggalkan huruf-huruf dan kata-kata yang tercetak hitam di halaman buku yang
sedang dibacanya. Huruf-huruf dan kata-kata, yang juga mengantarnya masuk di
alam pikiran. Sementara di luar, langit malam memperlihatkan bayang-bayang
samar. Malam di musim penghujan.
Halaman buku
yang masih terbuka itu menyebutkan tentang pertemuan dan dialog antara Musa dan
Adam. Pada satu riwayat dijelaskan bahwa Musa berkata: “Wahai Adam, engkau
adalah bapak kami. Tetapi engkau telah mengecewakan kami, karena telah
menyebabkan kami keluar dari surga.”
Adam pun
menjawab: “Wahai Musa, engkau telah dipilih dan dimuliakan-Nya. Dengan
kehendak-Nya, engkau dapat bercakap-cakap dengan-Nya. Apakah engkau mencelaku
karena urusan yang telah ditakdirkan atasku sejak empatpuluh tahun sebelum aku
diciptakan-Nya?!” –-(lihat, HR. Bukhari, no. 3407 dan HR. Muslim, no. 2652)—
Yah, keluarnya
Adam dari surga, bukanlah suatu hal yang biasa, jika tidak dikehendaki-Nya.
Karena boleh saja, Dia memberikan ampunan dan membiarkan Adam tetap di surga.
Tidak mengeluarkannya. Atau boleh jadi, Adam dihukum dengan hukuman lain, bukan
dengan menurunkannya di bumi.
Namun, itulah
kehendak-Nya. Itulah hikmah-Nya yang nanti akan dikenali. Nasib manusia yang
susah payah dalam kehidupan di dunia.
Abdun kembali
dari pikirannya. Perlahan mengarahkan matanya ke ruang tengah. Dilihatnya si
nyonya telah berdiri dengan mukena. Mungkin itulah, gambaran nasib manusia yang
ditanggung setiap orang. Juga, hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sendiri
dan sepi.
Gambaran nasib
dan keberadaan manusia, yang agaknya juga dikemukakan dalam puisi berjudul “Prologue” karya Sapardi Djoko Damono.
Pada buku berjudul “dukaMu Abadi,
Sajak-sajak 1967 – 1968” (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet.II, 1975), secara
lengkap dituliskan sebagai berikut:
Prologue
masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga
****
Istilah
prologue— yang juga menjadi judul puisi—, berarti pembukaan, pendahuluan, Dari
semua yang ada di sana, yang (terdengar)
adalah sebuah kisah tentang suatu peristiwa. Sebuah kisah yang lampau, yang
disampaikan berulang-ulang dari generasi ke generasi. Kisah yang teramat
penting dan selalu menjadi kaitan dari kehidupan umat manusia, Sebuah kisah
pembukaan (Prologue) dari perjalanan
hidup di muka bumi. Kisah yang menggambarkan historisitas universal manusia.
Dan kisah itu adalah kisah Adam dan Hawa.
Tradisi agama
samawi—Yahudi, Nasrani, dan Islam—menyebutkan, bahwa keduanya “jatuh” karena
melanggar larangan Tuhan. Melampaui batas dan berbuat dosa, sekaligus
menggambarkan keberadaan manusia yang disebut mahallu al-khatha’ wa an-nisyan. Tempatnya salah dan lupa. Tak ada
satu pun manusia yang terbebas dari keduanya. Salah dan lupa yang menjadi tanda
dari dosa-dosa. Barangkali, inilah nasib manusia, yang dikemukakan oleh penyair
dalam ungkapan… (duka-Mu abadi).
Akan tetapi,
tidak ada keburukan mutlak dari dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia. Memang,
sebuah dosa bisa mendorong manusia pada kerusakan dan kehancuran. Namun, sebuah
dosa juga merupakan sesuatu yang membuka pintu kesadaran manusia. Seperti Adam
dan Hawa yang “turun” ke dunia, yang kemudian bersusah payah dalam penyucian
diri (tazkiyaun nafs). Untuk kembali
pada fitrahnya dengan penuh kesadaran.
Kira-kira
inilah kisah itu, yang… masih terdengar
sampai di sini/ dukaMu abadi. (…)/. Lantas, ketika seseorang merenungkan
kodrat dan nasib manusia, nasib diri sendiri bersama kisah itu, mungkin dia
akan menemukan dirinya berada dalam keheningan. Seperti mengalami dan merasakan
suasana,…(…) Malam pun sesaat terhenti/
sewaktu dingin pun terdiam, (…)/. Juga merasakan dan mengenali keberadaan (di luar) dirinya, yaitu tentang
kekuasaan-Nya, yang terbentang bersama... langit
yang membayang samar//.
Langit, bumi,
dan semua yang ada di antara keduanya, adalah ayat-ayat, yang selalu
mengarahkan manusia kepada-Nya. Barangkali sebab itu, maka,… kueja setia, semua pun yang sempat tiba/,
seperti menjelaskan bahwa dengan menyakini keberadaan-Nya, aku lirik atau
seseorang akan berusaha untuk menerjemahkan satu demi satu (kueja) takdir yang diberikan, bersama
keimanan.
Terlebih
setelah memahami dan menyadari kisah tentang Qabil (Qain) yang tidak rela, yang benci dan hasud kepada saudaranya.
Tentang kisah Isa al-Masih yang rela kepada-Nya, yang cinta kasih kepada sesama
di (bukit Golgota). Hal ini
diungkapkan yaitu,…sehabis menempuh
ladang Qain dan bukit Golgota/. Juga,… sehabis
menyekap beribu kata, di sini/ di rongga-rongga yang mengecil ini//.
Setelah berusaha mencegah dari segala hal yang bisa menjadikan seseorang tidak
mau menerima takdir. Dan itu adalah (beribu
kata) semacam dalih keegoisan yang terus-menerus bergolak di dalam jiwa.
Kemudian pada
bait terakhir, diungkapkan… kusapa dukaMu
jua, yang dahulu/ yang meniupkan zarah ruang dan waktu/. Bersama keimanan,
aku lirik atau seseorang berusaha menyambut takdir dari-Nya dengan ridla dan
penerimaan. Takdir yang menjadi pandangan umum, telah dituliskan sejak
(dahulu), bersama ditiupkannya ruh ke dalam jasad (zarah ruang dan waktu).
Yakni sebagai
manusia,… yang capai menyusun Huruf. (…)/,
yang pasti akan susah payah dalam kehidupan yang penuh masalah di dunia.
Terutama untuk menemukan dan mengarah kembali kepada-Nya, Dari semuanya,
barangkali inilah yang kemudian dipahami, yaitu …(Dan terbaca:)/ sepi manusia, jelaga//.
Sebuah
pemahaman sekaligus wacana tentang keberadaan manusia yang sepi dengan
takdirnya sendiri-sendiri. Kesepian manusia dalam menerjemahkan dirinya, yang
ber-Tuhan, yang keberadaannya tak lain hanyalah seperti (jelaga). Ibarat butiran arang halus dan lunak, yang terjadi dari
asap lampu. Hitam bersama bayang-bayang. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar