Kerusakan
lingkungan hidup merupakan masalah krusial secara global yang dihadapi oleh
umat manusia kontemporer. Permasalahan ini tidak hanya ditandai dengan berbagai
fenomena alam, seperti tanah longsor, banjir, global warming, climate
change, krisis air bersih, dan sebagainya, tetapi juga menunjuk pada penurunan
kualitas sumberdayanya.
Rusaknya
lingkungan hidup, tidak dipungkiri, telah menjadi perhatian umat manusia pada
beberapa dekade terakhir. Beberapa Earth Summits tentang lingkungan
hidup, pembangunan berdaya lanjut, perubahan iklim dan sebagainya yang digelar
sejak tahun 1970-an, serta berusaha membangkitkan keprihatinan mondial dan
menjadikannya sebagai isu global, tampaknya cukup berhasil dengan berbagai
kampanye dan kegiatan konservasi lingkungan hidup. Kendati demikian,
usaha-usaha tersebut belum memadai, bahkan menjadi dilema sendiri, karena harus
bersaing dengan tuntutan perkembangan kehidupan manusia. Selain itu, perkembangan
kajian ekologi yang secara faktual didasarkan pada konstruksi ilmu pengetahuan
modern yang sekularistik dan antroposentris, menjadikannya kering dengan
nilai-nilai spiritualitas serta menjauhkan manusia dari hakikatnya sendiri.
Secara
teologis, lingkungan hidup merupakan ciptaan Tuhan. Meskipun manusia diberi
kebebasan dalam pemanfaatan sumberdayanya untuk kesejahteraan, namun hal itu
tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi yang terkandung, yaitu tanggungjawab
dalam konservasinya. Karena itu, demi menjaga kelangsungan hidup dan eksistensi
manusia secara utuh, keberadaan nilai-nilai spiritualitas menjadi urgen dalam permasalahan
lingkungan hidup secara keseluruhan, terutama untuk meminimalisir terjadinya
bencana alam.
Fungsi
dan peran agama dalam konteks konservasi lingkungan hidup, paling tidak, mengarah
pada tiga tipologi, yaitu pertama, sebagai dasar; kedua, sebagai
tujuan; dan ketiga, sebagai motivator, di mana kesemuanya sangat penting
dalam peningkatan kualitas religiositas pemeluknya.
Nilai-nilai Agama Sebagai Dasar
Keberadaan
agama sebagai dasar konservasi lingkungan hidup mengandung konsekuensi bahwa seluruh
aktivitas ekologis manusia merupakan perintah Tuhan. Keyakinan bahwa Tuhan
sebagai pencipta dan pemilik lingkungan hidup, menegaskan kewajiban manusia
untuk menyesuaikan aktivitas-aktivitas tersebut dengan kehendak-Nya. Di samping
itu, nilai-nilai agama menempatkan manusia pada posisi vital, dimana dengan seluruh
potensi kemanusiaannya, baik fisik, rasional, maupun spiritual, manusia
merupakan makhluk yang paling potensial dalam pengelolaan dan konservasi
lingkungan hidup.
Memahami
uraian di atas, maka pengelolaan lingkungan hidup tidak boleh mengurangi, atau
bahkan, menghilangkan hakikat kemanusiaan sebagaimana yang dimaksudkan di atas.
Pengelolaan lingkungan hidup harus pula menyentuh dimensi kehidupan manusia,
baik material maupun spiritual, serta diarahkan sebagai ibadah dan penghambaan
kepada Tuhan. Karena itu, berbagai kampanye dan upaya konservasi lingkungan
harus didasarkan, digerakkan, dan diarahkan oleh keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan. Nilai-nilai agama juga memberikan pedoman bahwa pengelolaan dan konservasi
lingkungan hidup bukan saja bertujuan untuk meminimalisir terjadinya bencana
alam an sich, tetapi juga harus bermanfaat bagi kemanusiaan secara luas,
serta diarahkan pada peningkatan harkat dan martabat, serta kualitas
religiositas manusia.
Berdasarkan
uraian di atas, maka keterkaitan antara nilai-nilai agama dengan konservasi
lingkungan hidup menunjuk pada formulasi, yaitu keberadaan nilai-nilai agama sebagai
dasar, sedangkan konservasi lingkungan hidup merupakan implementasinya.
Nilai-nilai Agama Sebagai Tujuan
Konservasi
lingkungan hidup perspektif agama, tentunya berbeda dengan konsep yang dibangun
berdasarkan moralitas. Pada aspek tujuan, konservasi lingkungan hidup dalam
sifatnya yang sekularistik menjadikan manusia sebagai satu-satunya arah dan tujuan
dari seluruh aktivitas tersebut.
Secara
umum, kajian ekologi modern yang didasarkan pada nilai-nilai sekuler dapat
melahirkan prinsip bertanggungjawab bagi manusia dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Akan tetapi, nilai-nilai moralitas sekuler tersebut tampaknya tidak
cukup memadai. Realitas menunjukkan bahwa dalih peningkatan kesejahteraan
kehidupan manusia lebih kuat daripada komitmen terhadap konservasi lingkungan
hidup. Akibatnya, masyarakat modern kerapkali mengabaikannya demi memenuhi
berbagai kebutuhannya yang kian bertambah.
Menilik
fenomena di atas, maka keberadaan nilai-nilai spiritual menjadi kebutuhan
mendesak dewasa ini. Urgensitas nilai-nilai tersebut tidak hanya memposisikan
manusia secara utuh, tetapi juga menegaskan bahwa konservasi lingkungan hidup
merupakan sarana, sekaligus bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan.
Nilai-nilai Agama Sebagai Motivator
Perpaduan
antara sebagai dasar, sekaligus tujuan yang terdapat pada nilai-nilai agama,
menyiratkan sebuah keberlangsungan, yakni sebuah proses yang mengantarkan nilai-nilai
agama dari posisinya sebagai dasar, menuju posisinya sebagai tujuan. Karena
prosesnya terjadi di “dalam” nilai-nilai agama, maka proses tersebut tidak lain
adalah “proses” keberagamaan atau religiositas. Maksudnya, nilai-nilai agama
itu sendiri yang melahirkan proses tersebut. Pada tataran ini, dapat dikatakan
bahwa nilai-nilai agama tidak hanya merupakan dasar dan tujuan, tetapi juga
sebagai motivator dalam konservasi lingkungan hidup.
Pada
posisinya sebagai dasar, motivator, dan tujuan, nilai-nilai agama tidak
dipisahkan dari subjeknya secara keseluruhan, yaitu manusia pemeluknya, yang
mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu,
konservasi lingkungan hidup sebagai implementasi nilai-nilai agama merupakan
kewajiban seluruh umat beragama yang bersifat sakral, serta menjadi idealitas
dari keberagamaan manusia.
Urgensi
motivasi keagamaan menjadi masalah serius terkait kondisi lingkungan hidup
dewasa ini. Hal ini mengingat permasalahan tersebut tidak lain merupakan krisis
kemanusiaan itu sendiri. Karena itu, intensifikasi pemahaman dan kesadaran
holisme-integralistik yang dilandasi, digerakkan, serta diarahkan oleh
nilai-nilai spiritual, terkait hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup merupakan
entry point dalam permasalahan di atas. Pada titik inilah peran
agama dan para pemeluknya menemukan relevansinya. Dalam skenario ideal, hal
tersebut tidak hanya diharapkan dapat meminimalisir terjadinya bencana alam,
tetapi juga untuk meningkatkan kualitas religiositas umat beragama, serta
menjadikannya sebagai masyarakat terdepan dalam berbagai kegiatan konservasi
lingkungan hidup. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar