Laman

Sabtu, 07 November 2020

IDEALITAS PERSONAL DAN IDEALITAS SOSIAL DALAM PUISI


Catatan Kesan atas Puisi-Puisi Herry Lamongan

Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

 

Salah satu keunikan manusia adalah upayanya untuk memahami diri sendiri. Kendati para ahli—terutama yang concern dalam kajian filsafat manusia—telah menawarkan berbagai konsep ilmiah yang variatif dari berbagai perspektif, namun hal tersebut tampaknya belum cukup memadai, serta bukan merupakan proyeksi manusia yang sebenarnya. Walhasil, permasalahan manusia tetap menjadi sebuah misteri, dimana seluruh peristiwa yang berkaitan dengannya menjadi kauniyah.

Manusia adalah makhluk puitika, barangkali dapat dikatakan sebagai salah satu konsep mengenai manusia dalam konteks keterlibatannya dengan “dunia puisi”, dimana “moment puitika” merupakan syarat untuk “menjadi”, baik dalam mencipta, membaca, maupun mengapresiasi karya puisi. Dengan moment puitika pula, manusia membuat jarak dari kehidupan sehari-hari. Bukan terpisah, tetapi menjadikannya sebagai “medan makna”, sehingga melahirkan sesuatu yang indah, yakni bermakna untuk kemanusiaan.

Proses di atas, tidak lain merupakan catatan kesan penulis atas beberapa puisi Herry Lamongan, dimana berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari—yang tampaknya biasa—di hadapan penyair berubah menjadi moment puitika. Di sini, pada titik ketersambungan historis antar peristiwa—terutama antara idealitas dan realitas—, potensi makna bermanifestasi dalam bentuknya kali ini, yaitu “Kembali ke Taman”, “Perantaan Saat Senja”, “Kwartin Desember, “Gambarmu Memanggil-manggil”, “Orasi Musim Kampanye”, Ujung Satu Benturan,” danDendang Kecil.”        

Ketersambungan antara idealitas dan realitas merupakan kesan yang paling tampak atas puisi “Kembali Ke Taman”.

 

KEMBALI KE TAMAN

 

Sekian lama berhenti saja

Pentas-pentasmu dalam angan

Engkau berlalu sendiri-sendiri terpisahkan jarak

 

Engkau biar berduka sebuah rabu diam tergantung

Sebuah sore yang terlanjur mapan

Berantakan pudar, lusuh dan berkarat

 

Kembali ke taman

Tersisa murung dinding usia lapuk pelahan

Engkau semakin lelap dalam gigil

Perjalanan harus dimulai dari awal

Dari serpih kenangan yang pernah engkau nyanyikan

Di masa lalu

 

Terjaga di pintu terbuka

Lupakan yang pergi

Catat yang mekar dengan kilau doa

Dengan kibar semangat

 

Secara keseluruhan, puisi ini menyiratkan romantisme dinamis, sekaligus menjadi jembatan yang menghubungkan antara realitas statis menuju idealitas gerak di dalamnya. Idealitas gerak yang memberikan kebahagiaan. Dengan konteks aktivitas dunia kesenian, puisi ini menyapa untuk melanjutkan yang semestinya, seperti pintu terbuka bagi langkah-langkah kita, keluar dari sepi yang rugi. Pada spektrum yang lebih luas, puisi ini juga memproyeksikan dinamika idealitas humanisme universal, baik individu maupun sosial, terkait prinsip dualisme dalam kehidupan itu sendiri, seperti siang dan malam, yang mensyaratkan harmonisasi.

  

PRATAAN SAAT SENJA

 

Memasuki gelombang bukit-bukitmu

Matahari bergulir redup

Lingsir menyuci dedaun jati di Prataan

di sungai rindumu yang berangkat siang tadi

 

Senyummu berkebaran lepas dari jerat tahun

Jerat jam kerja yang rutin berulang-ulang,

Hari senja pada Desember yang senja

Tenda-tenda ditegakkan

Hirup pikuk diungsikan

Kita sewa sepi di jantung Tuban paling dalam

 

 

Pada puisi “Perantaan Saat Senja”, romantisme muncul menjadi semangat untuk menepi dari rutinitas yang dianggap normal. Bukan sekadar mengusir kebosanan atau mencari hiburan, tetapi lebih merupakan sebuah gerak reflektif, yang telah berubah mewah dan langka oleh profanitas keseharian. Gerak reflektif yang disengaja untuk menyentuh idealitas yang sakral.        

Impresi ketersambungan idealitas dan realitas tampak pula pada puisi “Kwartin Desember” yang satiris.

 

 

 

KWARTIN DESEMBER

 

Sepasang kekasih lungguh berhimpitan atas motor

Mematikan mesin, tanpa gupuh berkasih-kasihan

memeluk Desember di tepi zaman. Berdekapan

mesra melagukan alamat palsu ala kadarnya...

 

Dengan konteks percintaan anak muda dan pacaran, puisi ini mengisyaratkan keterhimpitan waktu dan terhentinya gerak idealitas, yang lebih disebabkan oleh adanya pragmatisme-egois yang lahir dari kondisi yang tampak menyenangkan. Realitanya, hidup tidak seperti itu, melainkan siklus dualisme kondisi. Dan setiap akhir waktu menyimpan sejarahnya sendiri.            

Berbeda dengan ketiga puisi di atas yang menyimpan idealitas personal, idealitas dari empat puisi berikut, lebih bersifat sosial dan kekeluargaan. Pada puisi “Gambarmu Memanggil-manggil” dan “Orasi Musim Kampanye”, masa pemilihan umum menjadi konteks yang tegas, terutama aktivitas kampanye. Hal menarik dari dua puisi ini adalah hubungan pesan di antara keduanya yang saling melengkapi, baik terkait bentuk kampanye—melalui visual-tulisan dan lisan, sifat dan bentuk pelanggaran, maupun kausalitas yang terkandung di dalamnya.

 

 

 

GAMBARMU MEMANGGIL-MANGGIL

 

Ke mana pun aku berpaling

Wajahmu hadir berlembar-lembar sepanjang jalan

Aku menempuhmu dari desa sampai kota sebelum

seruanmu diam ditanggalkan pekan hening

 

Ke mana pun kaki menempuh

Gambarmu memanggil-manggil, teriakmu melambai-lambai

sebelum panwas atau pol pp atau lawan-lawan politikmu

mencopoti belitanmu di pohonan di cagak-cagak, mengusir

namamu dari kain bentang yang menjajah angkasa

Karena engkau bukan merah putih kekasih bangsa sejati

yang wajib ada dalam degup jantung bunda pertiwi

 

engkau hanya maksud baik dikemudikan hasrat semusim

maka dekat benar dengan benturan dengan janji-janji kelam

sementara berhenti berduka

Aku mendengar sapaanmu serak dalam gambar

Aku membaca tubuhmu dalam sajak

Terbata-bata lungkrah

 

***

 

ORASI MUSIM KAMPANYE

 

Suaramu lantang. Wajah menyala. Buih semulut

membasuh basah luas lapangan

Engkau lebih tampak memaksa. Mengecam

keras tetangga kiri kanan,

memuji tinggi diri pribadi mendesak pemilih suka

padamu

 

Apa kata yang menarik dari hingar musim kampanye

Kata-kata orasi

Jejak-jejak janji

Jalan perkawanan yang kelak dihapus dari peta

untuk dilupakan

 

Ruang-ruang berduka atau

gembira setelah perhitungan

Tapi langit berkabung

Bahkan tak sedikit memilih suwung

Memilih tidur

Atau pergi memancing pada hari pemilu

Ya, siapa yang mau peduli ?

 

Puisi “Gambarmu Memanggil-manggil” menggambarkan kondisi idealitas-minus, yaitu pelanggaran terhadap peraturan sosial dan pragmatisme untuk kepentingan pribadi. Begitu pula, dengan janji-janji politik yang faktanya, acapkali dikhianati. Karena itu, tidak heran jika skeptisisme dan apatisme menjadi salah satu jawabannya. Sementara pada “Orasi Musim Kampanye”, kondisi idealitas-minus lebih bersifat etis dan mengarah pada pengabaian tanggungjawab moral, bahkan dalam bentuknya yang vulgar.

       

Kondisi idealitas-minus, terutama dalam kepemimpinan nasional diungkapkan dalam puisi “Ujung Satu Benturan”, yang menggambarkan episode berikutnya dari dua puisi sebelumnya.

 

 

UJUNG SATU BENTURAN

Herry Lamongan

 

kursi-kursi melayang di angkasa pengap

berkelepak beku sediam batu

lalu hinggap merah pada kepala

 

siapa dilarikan ke rumah sakit?

ruangan itu bertanya pada waktu

aku tak kuasa menjawabmu kerna luka benturan

mengiris pedih setiap hati

 

negeri hanya hirup-pikuk nama-nama

hanya tumpahan janji meringkuh merah

mambasah dada

 

sungguh kabar bangsaku

cuma debat riuh tanpa makna

entah, mengalir sengit tanpa bismillah

 

Konflik politik dan kepentingan di kalangan elite, merupakan ekspresi yang tak berkesudahan sebagai kelanjutan, sekaligus konsekuensi dari pemilihan umum yang tidak ideal, dimana dampaknya sangat terasa dalam kehidupan rakyat sehari-hari. Anehnya, pertikaian tersebut tampaknya sengaja diciptakan, untuk dijadikan sebagai medan pencitraan kalangan elite. Bahkan, sebagai pengalihan atas tanggungjawab moral terhadap pemenuhan janji-janji politik masa kampanye. Walhasil, inilah sebuah drama politik, dimana rakyat adalah korban dari setiap episodenya. Sebuah proyeksi dari kehidupan yang kehilangan aspek spiritualitasnya. Nilai-nilai—spiritualitas— yang seharusnya dirawat, malah dirusak oleh para penjaganya sendiri, terutama melalui hipokrisi. Puisi ini tampak sebagai otokritik terhadap realitas ke-Indonesia-an kita, dimana seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, idealnya harus dijiwai oleh “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Idealitas yang bersifat kekeluargaan menjadi kesan penting dalam puisi “Dendang Kecil”, terutama peran dan tanggungjawab orang tua terhadap anak-anaknya.

 

DENDANG KECIL

: kepada istri

 

anak-anak tidak balik ke rumah

pada jam-jam pulang sekolah

pada malam-malam usai siang yang tegesa

juga pada saat liburan yang tak seberapa

 

tiada terkata dalam hitungan

sudah berapa lama mereka pergi dewasa, jauh

berguru atau menikah

mereka lepas masa kecil yang bersahaja

meninggalkan dongengmu sebelum pulas

lalu menulis sejarahnya sendiri

di lembar kusut pakeliran masa depan

 

seperti kata Gibran, anak-anak

bisa engkau bikinkan rumah tubuhnya

tetapi tidak bagi jiwanya

 

karena anak-anak pergi dari hangat pelukanmu

membiarkan kita berdua kembali

membasuh umur kian kusam tanpa mereka

 

ya, selusin sajak engkau lahirkan

selusin pula meninggalkan rumah ini

diam termangu digergaji sepi

 

Romantisme menjadi ekspresi umum dalam puisi ini terkait keberadaan seorang anak dalam kehidupan keluarga, dimana proses afeksi, proteksi, edukasi, dan sebagainya berkelindan seiring berlalunya waktu, yang mengantarkan pada tanggungjawab dalam bentuknya yang lain ketika seorang anak telah dewasa. Hal yang patut dicatat, yakni siratan siklus kemanusiaan yang bersifat dinamis dan eksistensi kemanusiaan dalam diri seorang anak. Kemudian, dari kompleksitas kehidupan keluarga, baik suka maupun duka, harmonisasi merupakan keniscayaan yang menjembatani dualisme yang senantiasa mewarnai historisitas kehidupan anak manusia.               

Ulasan di atas, tidak lebih merupakan kesan penulis dari tujuh puisi karya Herry Lamongan. Beberapa varian idealitas, baik personal maupun sosial, diungkapkan secara sederhana. Kesederhanaan yang terkadang mengecoh. Karena acapkali kita mendapati sesuatu yang “besar” yang tersimpan dalam keberadaannya yang tampak sederhana. Barangkali, inilah salah satu karakter dari karya para penyair berpengalaman, yaitu menampilkan nilai dan kualitas dari keseharian yang biasa. (*)

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar