Oleh A. Syauqi Sumbawi
Nurcholish Madjid (1939 - 2005)—yang kemudian disebut Cak Nur—, merupakan salah satu intelektual muslim yang concern dalam rekonstruksi keberagamaan (baca: Islam) yang rahmatan lil alamin di Indonesia. Konstruksi pemikirannya yang merupakan kombinasi tiga tema besar, yaitu keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, tidak hanya memproyeksikan kondisi yang lebih baik terkait hubungan negara dan agama yang acapkali “kurang harmonis”, tetapi juga menyim-pan potensi besar dalam membangun peradaban. Dalam hal ini, keislaman universal yang mengarah proses pelepasan dari partikularisme-eksklusif berpadu dengan pengalaman pluralitas masyarakat Indonesia, tidak dipungkiri merupakan modal penting dalam mem-bangun corak keberagamaan inklusif serta menguatkan kesadaran humanisme, dimana dalam proses dan dinamika peradaban digerakkan oleh kemodernan. Barangkali karena sikap rendah hati saja yang menjadi-kan Cak Nur tidak sampai mengatakan, atau mungkin hanya sedikit kalangan yang jeli dan mengakui, bahwa kombinasi pemikiran tersebut merupakan formulasi konseptual untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban Islam kontemporer.
Keislaman: Universalisasi dan Kontekstualisasi Ajaran-ajaran
Islam
Universalisme
merupakan keniscayaan bagi Islam untuk dapat diterima, bahkan “menumbuhkan”,
baik pada setiap locus budaya maupun dalam mengiringi perubahan zaman secara
dinamis. Karena itu, pemaknaan Islam tidak bisa dipahami secara partikular dan
eksklusif, tetapi mengayomi eksistensi kemanusiaan seluruhnya. Di samping itu,
universalisme Islam juga meniscayakan adanya pengakuan dan penerimaan atas
kebenaran dan keyakinan pihak lain.
Konsep
universalisme Islam sebagai poin pertama dalam pemikiran Cak Nur, berpijak pada
pemaknaan terhadap term al-Islam itu sendiri, yang menurutnya memiliki makna
umum dan makna khusus. Dalam kandungannya secara umum, term al-Islam bermakna
sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap ini merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya,
yang juga melibatkan hubungan dengan alam kemanusiaan.
Sebagaimana
diketahui, alam kemanusiaan merupakan keberadaan yang sangat penting karena
universalitasnya, sehingga tidak akan terpengaruh oleh locus budaya dan
perubahan zaman. Karena tidak bisa dipisahkan dengan alam kemanusiaan, maka
Islam senantiasa hadir dalam kehidupan manusia, tanpa batasan ruang dan waktu
serta hambatan kualitas lahiriah manusia, baik asal-usul rasial maupun
kebahasaan. Maka dapat dikatakan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan
fitrah manusia, yang menunjuk pada keberadaan agama. Dalam hal ini, agama atau
ad-Din yang secara harfiah berarti ketundukan, kepatuhan atau ketaatan, tidak
lain merupakan sikap pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Tentunya, hal ini selaras
dengan salah satu prinsip Islam, yaitu tidak ada agama (ad-Din) yang benar
tanpa kepasrahan kepada Tuhan (al-Islam), dimana prinsip ini diperkuat
penjelasan al-Qur’an, yakni “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah
hanyalah Islam (al-Islam)”.
Dalam
pemaknaan secara khusus, term al-Islam dikenal sebagai nama agama tertentu,
yakni agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi
Muhammad. Akan tetapi bukan sekadar nama, term al-Islam mengarah pada hakikat
dan inti agama (ad-Din), yaitu kepasrahan kepada Tuhan, serta keberadaan
ajaran-ajarannya yang bernilai universal, dimana hal tersebut berkaitan erat
dengan fungsi al-Qur’an, al-Hadits, dan realitas historis yang melingkupinya.
Menurut Cak
Nur, al-Qur’an tidak berfungsi sebagai petunjuk absolut dan tunggal yang
mengatur secara detail segala permasalahan kehidupan manusia, melain-kan
sebagai wahyu yang memberikan pengetahuan tentang cita-cita dan prinsip Tuhan.
Sedangkan al-Hadits, tidak lain merupakan pemahaman Nabi Saw. atas kandungan
al-Qur’an, yang berfungsi sebagai media transformasi agar cita-cita dan prinsip
Tuhan tersebut dapat diterima dengan baik oleh umat manusia. Kemudian mengenai
Sunnah, kendati al-Qur’an memuatnya dalam konteks ruang dan waktu yang secara
khusus dialami oleh Nabi Saw., namun hal tersebut mengandung pesan moral yang
bersifat dinamis dan memungkinkan untuk digeneralisir, sehingga ditemukan
nilai-nilai Islam yang universal.
Berdasarkan
pemahaman di atas, Cak Nur nampaknya lebih menekankan pada dinamisasi Islam
sebagai entry point dalam menerjemahkan berbagai permasalahan praktis yang
dihadapi masyarakat dimana al-Qur’an diturunkan dengan konteks sosio-kultural
masyarakat lain, mengingat keberadaannya sebagai agama umat manusia. Dalam
pengertian lain, kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam merupakan keniscayaan
untuk menyapa seluruh locus budaya serta perubahan zaman, seperti keindonesiaan
maupun kemodernan.
Keindonesiaan: Islam Inklusif serta Harmonisasi Agama dan Negara
Dalam
pandangan Islam, pluralitas masyarakat merupakan “fitrah sosial” kemanusiaan,
dimana pada tataran realitas dapat dilihat pada kehidupan masya-rakat Indonesia
yang heterogen, meliputi suku, agama, budaya, dan sebagainya. Tentunya,
realitas tersebut tidak dapat dipandang sebagai karakteristik Indonesia yang
unik an sich, tetapi harus juga diposisikan sebagai permasalahan tersendiri,
mengingat stigma bahwa heterogenitas masyarakat menyimpan potensi konflik
horizontal yang tinggi, baik antar masyarakat maupun dalam relasi antara negara
dan agama.
Menurut Cak
Nur, Indonesia dengan karakteristik-nya di atas, memiliki posisi strategis
dalam upaya membangun titik temu antar agama. Keberadaan semua agama besar,
pergumulan yang panjang antar pemeluk agama dan sejarah keberagamaan—tanpa
menafikan pasang surut hubungan yang terjadi—, merupakan modal sosial yang
melahirkan optimisme bahwa suasana hidup beragama yang toleran dan terbuka
(inklusif) bisa diwujudkan di Indonesia. Pada titik ini, paradigma teologis
yang inklusif dan toleran merupa-kan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
setiap pemeluk agama dalam kehidupan sosial.
Sebagaimana
pandangannya tentang universal-isme Islam, Cak Nur menjadikan term al-Islam
sebagai entry point dalam pemikirannya tentang inklusivisme Islam. Menurutnya,
term al-Islam tidak selalu harus dimaknai sebagai organized religion atau agama
yang telah terlembaga. Akan tetapi, bisa pula diartikan secara lebih umum,
yakni setiap agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan. Sederhananya,
inklusivisme Islam meniscayakan adanya pengakuan dan penerima-an atas kebenaran
dan keyakinan pihak lain.
Paradigma
teologi inklusif inilah, yang idealnya dikembangkan dalam keberagamaan umat
Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas. Secara sosiologis, urgensi hal
tersebut mengarah agar Islam (organized religion) tidak diposisikan sebagai
kebenaran mutlak dan tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi
seperti juga agama dan keyakinan lain, yaitu sebagai salah satu warna dari
pluralitas masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hubungan sosial antar umat
beragama dapat terjalin secara konstrukstif. Di sisi lain secara politis,
paradigma teologis ini juga penting supaya permasalahan agama tidak diarahkan pada
berbagai kepentingan politik yang tendensius dan sempit, sebagaimana yang dapat
dilihat dari fenomena politisasi dan pendangkalan agama serta sikap eksklusif
di kalangan umat Islam. Hal ini yang tampaknya dapat dipahami dari penegasan
Cak Nur, yaitu slogan “Islam Yes, Partai Islam No!”
Penegasan di
atas merupakan otokritik terhadap umat Islam Indonesia sendiri terkait relasi
antara negara dan agama. Fakta sejarah menunjukkan bahwa gerakan ideologisasi
Islam, baik tuntutan mendirikan negara Islam, desakan formalisasi syariat Islam
melalui legalisasi Piagam Jakarta, dan sebagainya, tidak dipungkiri menjadi
masalah sosio-politik yang mengiringi historisitas negara Indonesia hingga
dewasa ini. Bahkan, agaknya akan terus berkepanjangan mengingat keterlibatan
pandangan ideologis berbagai kelompok, khususnya umat Islam sendiri.
Munculnya
gagasan negara Islam atau Islam sebagai negara, menurut Cak Nur, merupakan
suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Dalam hal ini,
negara merupakan aspek kehi-dupan duniawi yang berdimensi rasional dan
kolektif, yang tentunya berbeda agama yang berdimensi spiritual dan individual.
Karena itu, Cak Nur menolak Islam dinilai sebagai ideologi, yang hanya akan
merendahkan dan mendiskreditkan agama sebagai keberadaan yang setara dengan
ideologi di dunia. Pada titik inilah, Pancasila merupakan jalan tengah bagi
penyelesaian perdebatan ideologis terkait negara dan agama, sekaligus untuk
menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Melalui
penelaahan yang lebih dalam, Cak Nur kemudian sampai pada kesimpulan bahwa,
meskipun tidak ada simbol-simbol Islam di dalamnya, Pancasila merupakan
ideologi yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal.
Kedudukan dan fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia dapat
dipandang sama dengan kedudukan dan fungsi Piagam Madinah pada periode awal
kehidupan umat Islam di Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. Karena
itu, umat Islam Indonesia harus meman-dang Pancasila sebagai salah satu
instrumen penting dari “Islam Peradaban”, yang tidak hanya menjadi titik temu
dan pengikat kemajemukan bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai landasan
filosofis bersama (common philosophical ground) dari sebuah masyarakat plural
yang modern.
Kemodernan; Dinamisasi
Islam sebagai Agama Kemanusiaan dan Peradaban
Masyarakat
inklusif dan modern merupakan model ideal yang diyakini Cak Nur tentang
keberadaan umat Islam dunia, terutama di Indonesia, dimana idealitas tersebut
adalah kelanjutan dari pandangannya tentang Islam sebagai agama kemanusiaan dan
peradaban. Dalam kesimpulan Cak Nur, kemodernan atau moderni-tas merupakan
gerak sejarah yang tidak terelakkan, sekaligus keharusan dalam sejarah
(historical necessary). Karena lebih mengarah pada dinamika yang menyapa
sejarah kemanusiaan seluruhnya, maka kemodernan bukan monopoli suatu tempat
atau kelompak manusia tertentu.
Terkait hal di
atas, pandangan historis Cak Nur menyebutkan bahwa Islam periode klasik
ternyata “sangat modern”. Kondisi inilah yang menjadikan umat Islam mampu
mendonasikan ilmu pengetahuan—sekaligus menjadi awal kehancuran kejayaan Islam
sebagai akibat rasa superioritas—. Penyebutan “sangat modern” tersebut, menurut
Cak Nur, justru disebabkan oleh universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam
sendiri. Dalam istilah lain, nilai-nilai inilah yang meng-inspirasi dan
mendorong umat Islam untuk merespons perkembangan zaman, bahkan menjadi
“agen-agen” yang menggerakkan sejarah kemanusiaan secara konstrukstif dan
positif.
Syarat utama
dalam kemodernan, yakni keberadaan pola pikir dan tata kerja baru dan dinamis,
terutama diarahkan untuk memperoleh daya guna yang maksimal bagi kemanusiaan
dalam setiap zamannya. Pada titik inilah, Cak Nur merumuskan modernisasi
sebagai rasionisasi atau rasionalisasi sebagai hal yang identik dalam
pemahamannya. Sederhananya, sesuatu dapat disebut modern, jika bersifat
rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam
kemanusiaan.
Melihat
kenyataan adanya nilai-nilai keislaman yang relevan dengan kemodernan di atas,
Cak Nur pun optimis bahwa umat Islam tidak saja dapat menyertai modernitas,
tetapi juga memberikan konstribusi positif yang menjadi tanda zaman bagi
kemanusiaan abad mutakhir ini. Di sini, respons dan partisipasi umat Islam bisa
atau bahkan harus bersifat “genius”, dimana kesemuanya bukan merupakan konsesi
ad hoc atas desakan-desakan dari luar, melainkan berasal dari alam dinamika
Islam sendiri.
Terkait asumsi
mengenai dampak modernitas dan modernisme yang dikhawatirkan dapat menggerus
atau bahkan menghilang keimanan umat Islam yang aktif dan menceburkan diri ke
dalamnya, Cak Nur menegas-kan bahwa keimanan yang murni dan kemampuan
menghayati simpul-simpul keagamaan merupakan jawa-ban, sekaligus penangkal
dampak negatif kehidupan modern. Karena itu, umat Islam harus membuka diri dan
mau belajar dari keberhasilan bangsa Barat dan bangsa lainnya yang telah
berhasil dalam pembangun-an dan modernisasi. Menurutnya, bangsa-bangsa tersebut
maju karena mengembangkan etos kerja yang dilandasi etika dan spirit keagamaan
yang mendukung modernitas dan kemajuan.
Melihat
kondisi bangsa Indonesia sebagai bangsa Muslim yang masih tertinggal oleh
bangsa non-muslim, Cak Nur tetap optimis bahwa bangsa Indonesia akan mampu
mengejar ketertinggalan tersebut. Karena itu, Cak Nur senantiasa mendorong umat
Islam agar serius dan tidak ragu untuk menceburkan diri dalam modernitas dengan
bekal nilai-nilai keimanan dan etika sosial yang tinggi. Hal yang harus
disadari, bahwa maju mundurnya Indonesia terletak di tangan umat Islam yang
merupakan kelompok mayoritas. Kemajuan bangsa Indonesia akan berdampak “kredit”,
dan sebaliknya, ke-munduran akan berdampak “diskredit” bagi umat Islam
Indonesia. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam yang identik dengan
rakyat, kecuali berpartisipasi dan mendukung modernitas, dimana dalam konteks
keindonesiaan, yakni pembangunan nasional.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa upaya pengembangan pemikiran dan
pemahaman agama yang kreatif, resourcefull dan “menjaman” merupakan syarat
mutlak agar umat Islam Indonesia memiliki kesadaran partisipatif yang tinggi.
Di samping itu, yakni pengenalan secara “empirik” pengalaman, pemikiran dan
pemahaman keislaman di masa lalu, yang akan memperkaya visi dan wawasan umat
Islam Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Nurcholish Madjid: Indonesia sebagai “Gerak” Peradaban Islam
Penyerasian
ketiga tema besar yang cukup sofistikatif di atas, yaitu keislaman,
keindonesiaan, dan kemodernan,—diakui atau tidak—memproyeksikan visi besar Cak
Nur tentang keberadaan Indonesia sebagai “gerak” peradaban Islam dunia melalui
partisipasi tinggi umat Islam yang menjadi kelompok mayoritas. Pada tatarannya
sebagai pemikiran konseptual, tentunya hal tersebut belum cukup tanpa upaya
pengembangan secara praksis. Di sinilah, keberadaan lembaga-lembaga yang telah
didirikannya, Yayasan Wakaf Paramadina dan unit-unitnya yang lain misalnya,
dapat dikatakan sebagai konkritisasi dari pemikiran-pemikiran di atas. Melalui
pengembangan lembaga dan proses pendidikan yang dilakukannya, nampak
konsistensi Cak Nur dalam menjadikan historisitas Islam klasik sebagai
inspirasi dalam pemikiran dan perjuangannya.
Sebagaimana
diketahui, revolusi dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam—periode
Madinah—, tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali oleh perubahan positif
dalam kehidupan keluarga, yang kemudian berlanjut pada pembinaan komunitas
kecil. Di sinilah, intensifikasi dan spiritualisasi nilai-nilai Islam menjadi
episode penting untuk membentuk generasi Islam yang tangguh, dimana secara
jangka panjang diproyeksikan sebagai kader-kader terdepan dalam transformasi
masyarakat. Dari keseluruhannya, tampak bahwa pendidikan Islam menjadi elemen
vital, sekaligus strategis.
Pendidikan
Islam dalam keluarga Nabi Saw., menghasilkan tokoh-tokoh, seperti Ali bin Abi Thalib,
Fatimah dan putra-putri beliau lainnya, serta Zaid bin Haritsah—anak angkat—,
yang merupakan murid-murid pertama dalam Islam. Dalam cakupan yang lebih luas,
yaitu keberadaan dar al-arqam, yang menjadi pusat penggemblengan kader-kader
Islam dalam komunitas kecil Islam pada periode Mekkah.
Sebagai
penutup, Cak Nur “sang Guru Bangsa” telah mewariskan pemikiran dan
perjuangannya kepada bangsa Indonesia, sekaligus menjadi tanda zaman atas
keberagamaan Islam di negeri ini. Sebagai pribadi yang berpandangan optimistis,
penulis yakin bahwa sampai akhir hidupnya, Cak Nur tetap optimis bahwa melalui
pendidikan yang berkualitas, perjuangannya akan menjadi arus besar yang
menggerakkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang inklusif dan modern,
sekaligus menjadi “gerak” peradaban Islam dunia. [*]
diambil dari naskah buku
FRAGMEN ISLAM DI INDONESIA: Historisitas, Kebangsaan, dan Kebudayaan
@ Ahmad Syauqi Sumbawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar