Laman

Sabtu, 07 November 2020

Nurcholish Madjid dan Indonesia Sebagai "Gerak" Peradaban Islam


Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

Nurcholish Madjid (1939 - 2005)—yang kemudian disebut Cak Nur—, merupakan salah satu intelektual muslim yang concern dalam rekonstruksi keberagamaan (baca: Islam) yang rahmatan lil alamin di Indonesia. Konstruksi pemikirannya yang merupakan kombinasi tiga tema besar, yaitu keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, tidak hanya memproyeksikan kondisi yang lebih baik terkait hubungan negara dan agama yang acapkali “kurang harmonis”, tetapi juga menyim-pan potensi besar dalam membangun peradaban. Dalam hal ini, keislaman universal yang mengarah proses pelepasan dari partikularisme-eksklusif berpadu dengan pengalaman pluralitas masyarakat Indonesia, tidak dipungkiri merupakan modal penting dalam mem-bangun corak keberagamaan inklusif serta menguatkan kesadaran humanisme, dimana dalam proses dan dinamika peradaban digerakkan oleh kemodernan. Barangkali karena sikap rendah hati saja yang menjadi-kan Cak Nur tidak sampai mengatakan, atau mungkin hanya sedikit kalangan yang jeli dan mengakui, bahwa kombinasi pemikiran tersebut merupakan formulasi konseptual untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban Islam kontemporer.


Keislaman: Universalisasi dan Kontekstualisasi Ajaran-ajaran Islam

Universalisme merupakan keniscayaan bagi Islam untuk dapat diterima, bahkan “menumbuhkan”, baik pada setiap locus budaya maupun dalam mengiringi perubahan zaman secara dinamis. Karena itu, pemaknaan Islam tidak bisa dipahami secara partikular dan eksklusif, tetapi mengayomi eksistensi kemanusiaan seluruhnya. Di samping itu, universalisme Islam juga meniscayakan adanya pengakuan dan penerimaan atas kebenaran dan keyakinan pihak lain.

Konsep universalisme Islam sebagai poin pertama dalam pemikiran Cak Nur, berpijak pada pemaknaan terhadap term al-Islam itu sendiri, yang menurutnya memiliki makna umum dan makna khusus. Dalam kandungannya secara umum, term al-Islam bermakna sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap ini merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, yang juga melibatkan hubungan dengan alam kemanusiaan.

Sebagaimana diketahui, alam kemanusiaan merupakan keberadaan yang sangat penting karena universalitasnya, sehingga tidak akan terpengaruh oleh locus budaya dan perubahan zaman. Karena tidak bisa dipisahkan dengan alam kemanusiaan, maka Islam senantiasa hadir dalam kehidupan manusia, tanpa batasan ruang dan waktu serta hambatan kualitas lahiriah manusia, baik asal-usul rasial maupun kebahasaan. Maka dapat dikatakan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan fitrah manusia, yang menunjuk pada keberadaan agama. Dalam hal ini, agama atau ad-Din yang secara harfiah berarti ketundukan, kepatuhan atau ketaatan, tidak lain merupakan sikap pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Tentunya, hal ini selaras dengan salah satu prinsip Islam, yaitu tidak ada agama (ad-Din) yang benar tanpa kepasrahan kepada Tuhan (al-Islam), dimana prinsip ini diperkuat penjelasan al-Qur’an, yakni “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah hanyalah Islam (al-Islam)”.

Dalam pemaknaan secara khusus, term al-Islam dikenal sebagai nama agama tertentu, yakni agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad. Akan tetapi bukan sekadar nama, term al-Islam mengarah pada hakikat dan inti agama (ad-Din), yaitu kepasrahan kepada Tuhan, serta keberadaan ajaran-ajarannya yang bernilai universal, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan fungsi al-Qur’an, al-Hadits, dan realitas historis yang melingkupinya.

Menurut Cak Nur, al-Qur’an tidak berfungsi sebagai petunjuk absolut dan tunggal yang mengatur secara detail segala permasalahan kehidupan manusia, melain-kan sebagai wahyu yang memberikan pengetahuan tentang cita-cita dan prinsip Tuhan. Sedangkan al-Hadits, tidak lain merupakan pemahaman Nabi Saw. atas kandungan al-Qur’an, yang berfungsi sebagai media transformasi agar cita-cita dan prinsip Tuhan tersebut dapat diterima dengan baik oleh umat manusia. Kemudian mengenai Sunnah, kendati al-Qur’an memuatnya dalam konteks ruang dan waktu yang secara khusus dialami oleh Nabi Saw., namun hal tersebut mengandung pesan moral yang bersifat dinamis dan memungkinkan untuk digeneralisir, sehingga ditemukan nilai-nilai Islam yang universal.

Berdasarkan pemahaman di atas, Cak Nur nampaknya lebih menekankan pada dinamisasi Islam sebagai entry point dalam menerjemahkan berbagai permasalahan praktis yang dihadapi masyarakat dimana al-Qur’an diturunkan dengan konteks sosio-kultural masyarakat lain, mengingat keberadaannya sebagai agama umat manusia. Dalam pengertian lain, kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam merupakan keniscayaan untuk menyapa seluruh locus budaya serta perubahan zaman, seperti keindonesiaan maupun kemodernan.

 

Keindonesiaan: Islam Inklusif serta Harmonisasi Agama dan Negara

Dalam pandangan Islam, pluralitas masyarakat merupakan “fitrah sosial” kemanusiaan, dimana pada tataran realitas dapat dilihat pada kehidupan masya-rakat Indonesia yang heterogen, meliputi suku, agama, budaya, dan sebagainya. Tentunya, realitas tersebut tidak dapat dipandang sebagai karakteristik Indonesia yang unik an sich, tetapi harus juga diposisikan sebagai permasalahan tersendiri, mengingat stigma bahwa heterogenitas masyarakat menyimpan potensi konflik horizontal yang tinggi, baik antar masyarakat maupun dalam relasi antara negara dan agama.

Menurut Cak Nur, Indonesia dengan karakteristik-nya di atas, memiliki posisi strategis dalam upaya membangun titik temu antar agama. Keberadaan semua agama besar, pergumulan yang panjang antar pemeluk agama dan sejarah keberagamaan—tanpa menafikan pasang surut hubungan yang terjadi—, merupakan modal sosial yang melahirkan optimisme bahwa suasana hidup beragama yang toleran dan terbuka (inklusif) bisa diwujudkan di Indonesia. Pada titik ini, paradigma teologis yang inklusif dan toleran merupa-kan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap pemeluk agama dalam kehidupan sosial.

Sebagaimana pandangannya tentang universal-isme Islam, Cak Nur menjadikan term al-Islam sebagai entry point dalam pemikirannya tentang inklusivisme Islam. Menurutnya, term al-Islam tidak selalu harus dimaknai sebagai organized religion atau agama yang telah terlembaga. Akan tetapi, bisa pula diartikan secara lebih umum, yakni setiap agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan. Sederhananya, inklusivisme Islam meniscayakan adanya pengakuan dan penerima-an atas kebenaran dan keyakinan pihak lain.

Paradigma teologi inklusif inilah, yang idealnya dikembangkan dalam keberagamaan umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas. Secara sosiologis, urgensi hal tersebut mengarah agar Islam (organized religion) tidak diposisikan sebagai kebenaran mutlak dan tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi seperti juga agama dan keyakinan lain, yaitu sebagai salah satu warna dari pluralitas masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hubungan sosial antar umat beragama dapat terjalin secara konstrukstif. Di sisi lain secara politis, paradigma teologis ini juga penting supaya permasalahan agama tidak diarahkan pada berbagai kepentingan politik yang tendensius dan sempit, sebagaimana yang dapat dilihat dari fenomena politisasi dan pendangkalan agama serta sikap eksklusif di kalangan umat Islam. Hal ini yang tampaknya dapat dipahami dari penegasan Cak Nur, yaitu slogan “Islam Yes, Partai Islam No!”

Penegasan di atas merupakan otokritik terhadap umat Islam Indonesia sendiri terkait relasi antara negara dan agama. Fakta sejarah menunjukkan bahwa gerakan ideologisasi Islam, baik tuntutan mendirikan negara Islam, desakan formalisasi syariat Islam melalui legalisasi Piagam Jakarta, dan sebagainya, tidak dipungkiri menjadi masalah sosio-politik yang mengiringi historisitas negara Indonesia hingga dewasa ini. Bahkan, agaknya akan terus berkepanjangan mengingat keterlibatan pandangan ideologis berbagai kelompok, khususnya umat Islam sendiri.

Munculnya gagasan negara Islam atau Islam sebagai negara, menurut Cak Nur, merupakan suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Dalam hal ini, negara merupakan aspek kehi-dupan duniawi yang berdimensi rasional dan kolektif, yang tentunya berbeda agama yang berdimensi spiritual dan individual. Karena itu, Cak Nur menolak Islam dinilai sebagai ideologi, yang hanya akan merendahkan dan mendiskreditkan agama sebagai keberadaan yang setara dengan ideologi di dunia. Pada titik inilah, Pancasila merupakan jalan tengah bagi penyelesaian perdebatan ideologis terkait negara dan agama, sekaligus untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Melalui penelaahan yang lebih dalam, Cak Nur kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, meskipun tidak ada simbol-simbol Islam di dalamnya, Pancasila merupakan ideologi yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal. Kedudukan dan fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia dapat dipandang sama dengan kedudukan dan fungsi Piagam Madinah pada periode awal kehidupan umat Islam di Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. Karena itu, umat Islam Indonesia harus meman-dang Pancasila sebagai salah satu instrumen penting dari “Islam Peradaban”, yang tidak hanya menjadi titik temu dan pengikat kemajemukan bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai landasan filosofis bersama (common philosophical ground) dari sebuah masyarakat plural yang modern.

 

Kemodernan; Dinamisasi Islam sebagai Agama Kemanusiaan dan Peradaban

Masyarakat inklusif dan modern merupakan model ideal yang diyakini Cak Nur tentang keberadaan umat Islam dunia, terutama di Indonesia, dimana idealitas tersebut adalah kelanjutan dari pandangannya tentang Islam sebagai agama kemanusiaan dan peradaban. Dalam kesimpulan Cak Nur, kemodernan atau moderni-tas merupakan gerak sejarah yang tidak terelakkan, sekaligus keharusan dalam sejarah (historical necessary). Karena lebih mengarah pada dinamika yang menyapa sejarah kemanusiaan seluruhnya, maka kemodernan bukan monopoli suatu tempat atau kelompak manusia tertentu.

Terkait hal di atas, pandangan historis Cak Nur menyebutkan bahwa Islam periode klasik ternyata “sangat modern”. Kondisi inilah yang menjadikan umat Islam mampu mendonasikan ilmu pengetahuan—sekaligus menjadi awal kehancuran kejayaan Islam sebagai akibat rasa superioritas—. Penyebutan “sangat modern” tersebut, menurut Cak Nur, justru disebabkan oleh universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam sendiri. Dalam istilah lain, nilai-nilai inilah yang meng-inspirasi dan mendorong umat Islam untuk merespons perkembangan zaman, bahkan menjadi “agen-agen” yang menggerakkan sejarah kemanusiaan secara konstrukstif dan positif.

Syarat utama dalam kemodernan, yakni keberadaan pola pikir dan tata kerja baru dan dinamis, terutama diarahkan untuk memperoleh daya guna yang maksimal bagi kemanusiaan dalam setiap zamannya. Pada titik inilah, Cak Nur merumuskan modernisasi sebagai rasionisasi atau rasionalisasi sebagai hal yang identik dalam pemahamannya. Sederhananya, sesuatu dapat disebut modern, jika bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam kemanusiaan.

Melihat kenyataan adanya nilai-nilai keislaman yang relevan dengan kemodernan di atas, Cak Nur pun optimis bahwa umat Islam tidak saja dapat menyertai modernitas, tetapi juga memberikan konstribusi positif yang menjadi tanda zaman bagi kemanusiaan abad mutakhir ini. Di sini, respons dan partisipasi umat Islam bisa atau bahkan harus bersifat “genius”, dimana kesemuanya bukan merupakan konsesi ad hoc atas desakan-desakan dari luar, melainkan berasal dari alam dinamika Islam sendiri.

Terkait asumsi mengenai dampak modernitas dan modernisme yang dikhawatirkan dapat menggerus atau bahkan menghilang keimanan umat Islam yang aktif dan menceburkan diri ke dalamnya, Cak Nur menegas-kan bahwa keimanan yang murni dan kemampuan menghayati simpul-simpul keagamaan merupakan jawa-ban, sekaligus penangkal dampak negatif kehidupan modern. Karena itu, umat Islam harus membuka diri dan mau belajar dari keberhasilan bangsa Barat dan bangsa lainnya yang telah berhasil dalam pembangun-an dan modernisasi. Menurutnya, bangsa-bangsa tersebut maju karena mengembangkan etos kerja yang dilandasi etika dan spirit keagamaan yang mendukung modernitas dan kemajuan.

Melihat kondisi bangsa Indonesia sebagai bangsa Muslim yang masih tertinggal oleh bangsa non-muslim, Cak Nur tetap optimis bahwa bangsa Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan tersebut. Karena itu, Cak Nur senantiasa mendorong umat Islam agar serius dan tidak ragu untuk menceburkan diri dalam modernitas dengan bekal nilai-nilai keimanan dan etika sosial yang tinggi. Hal yang harus disadari, bahwa maju mundurnya Indonesia terletak di tangan umat Islam yang merupakan kelompok mayoritas. Kemajuan bangsa Indonesia akan berdampak “kredit”, dan sebaliknya, ke-munduran akan berdampak “diskredit” bagi umat Islam Indonesia. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam yang identik dengan rakyat, kecuali berpartisipasi dan mendukung modernitas, dimana dalam konteks keindonesiaan, yakni pembangunan nasional.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa upaya pengembangan pemikiran dan pemahaman agama yang kreatif, resourcefull dan “menjaman” merupakan syarat mutlak agar umat Islam Indonesia memiliki kesadaran partisipatif yang tinggi. Di samping itu, yakni pengenalan secara “empirik” pengalaman, pemikiran dan pemahaman keislaman di masa lalu, yang akan memperkaya visi dan wawasan umat Islam Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang.

 

Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Nurcholish Madjid: Indonesia sebagai “Gerak” Peradaban Islam

Penyerasian ketiga tema besar yang cukup sofistikatif di atas, yaitu keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan,—diakui atau tidak—memproyeksikan visi besar Cak Nur tentang keberadaan Indonesia sebagai “gerak” peradaban Islam dunia melalui partisipasi tinggi umat Islam yang menjadi kelompok mayoritas. Pada tatarannya sebagai pemikiran konseptual, tentunya hal tersebut belum cukup tanpa upaya pengembangan secara praksis. Di sinilah, keberadaan lembaga-lembaga yang telah didirikannya, Yayasan Wakaf Paramadina dan unit-unitnya yang lain misalnya, dapat dikatakan sebagai konkritisasi dari pemikiran-pemikiran di atas. Melalui pengembangan lembaga dan proses pendidikan yang dilakukannya, nampak konsistensi Cak Nur dalam menjadikan historisitas Islam klasik sebagai inspirasi dalam pemikiran dan perjuangannya.

Sebagaimana diketahui, revolusi dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam—periode Madinah—, tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali oleh perubahan positif dalam kehidupan keluarga, yang kemudian berlanjut pada pembinaan komunitas kecil. Di sinilah, intensifikasi dan spiritualisasi nilai-nilai Islam menjadi episode penting untuk membentuk generasi Islam yang tangguh, dimana secara jangka panjang diproyeksikan sebagai kader-kader terdepan dalam transformasi masyarakat. Dari keseluruhannya, tampak bahwa pendidikan Islam menjadi elemen vital, sekaligus strategis.

Pendidikan Islam dalam keluarga Nabi Saw., menghasilkan tokoh-tokoh, seperti Ali bin Abi Thalib, Fatimah dan putra-putri beliau lainnya, serta Zaid bin Haritsah—anak angkat—, yang merupakan murid-murid pertama dalam Islam. Dalam cakupan yang lebih luas, yaitu keberadaan dar al-arqam, yang menjadi pusat penggemblengan kader-kader Islam dalam komunitas kecil Islam pada periode Mekkah.

Sebagai penutup, Cak Nur “sang Guru Bangsa” telah mewariskan pemikiran dan perjuangannya kepada bangsa Indonesia, sekaligus menjadi tanda zaman atas keberagamaan Islam di negeri ini. Sebagai pribadi yang berpandangan optimistis, penulis yakin bahwa sampai akhir hidupnya, Cak Nur tetap optimis bahwa melalui pendidikan yang berkualitas, perjuangannya akan menjadi arus besar yang menggerakkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang inklusif dan modern, sekaligus menjadi “gerak” peradaban Islam dunia. [*]

 

diambil dari naskah buku

FRAGMEN ISLAM DI INDONESIA: Historisitas, Kebangsaan, dan Kebudayaan

@ Ahmad Syauqi Sumbawi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar