Laman

Sabtu, 07 November 2020

IDEOLOGI PROGRESIF SOEKARNO DAN TRANSFORMASI AGAMA


 







Telaah Buku: “Posisi Agama dalam Ideologi Negara: Studi Gagasan NASAKOM Soekarno”

Karya Ahmad Atho’ Lukman Hakim

 

Oleh Ahmad Syauqi Sumbawi

 

Pada awal tahun 1960, Presiden Soekarno melontarkan gagasan politiknya tentang NASAKOM, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Lahirnya gagasan yang diarahkan untuk mempersatukan ketiga hal tersebut dalam sebuah pemerintahan dilatarbelakangi oleh kekhawatiran beliau atas ancaman disintegrasi bangsa jika pertentangan ideologis di antara ketiganya tidak diselesaikan, baik pada dewan Konstituante—hasil Pemilu 1955— maupun dalam politik praktis.

Sebagaimana diketahui, ada tiga rancangan mengenai dasar negara yang diajukan pada sidang dewan Konstituante—sekaligus mewakili ketiganya—, yaitu Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi. Karena yang terakhir hanya mendapat dukungan sedikit, maka perdebatan kemudian lebih terfokus pada ideologi antara Islam dan Pancasila.

Beberapa permasalahan krusial yang muncul dalam sidang tersebut, baik content maupun prosesnya, yaitu pertama, sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipandang oleh golongan Islam masih sekuler dan “kabur”. Di sini, golongan Islam yang didominasi oleh Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) secara resmi menolak UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara, serta menyerukan sebuah negara Islam. Akibat penolakan tersebut, dewan Konstituante terancam gagal menubuhkan NKRI, karena hanya didukung oleh 52% suara. Sedangkan persyaratan resminya adalah lebih dari 2/3 suara anggota dewan Konstituante atau minimal 67% suara.

Kedua, konflik yang mengarah pada upaya saling menjatuhkan antar ideologi. Hal ini bisa dilihat pada konflik golongan Islam dan Komunis. Golongan Islam menganggap golongan Komunis hanya setengah hati menerima Pancasila, lantaran sebelumnya mengajukan Sosial Ekonomi, sebagai dasar negara. Di samping itu, PKI sebagai lembaga resmi komunis di Indonesia dinilai belum mampu melepaskan anti-nasionalisme dan atheisme yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat Pancasila yang berlandaskan paham “Ketuhanan”.

Krisis konstitusional akibat “kebuntuan” dan “kegaduhan” dewan Konstituante, akhirnya direspon dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Selain pembubaran dewan Konstituante, dekrit ini juga menyatakan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negara.

Dari peristiwa di atas, setidaknya ada dua hal yang harus digarisbawahi, yaitu pertama, perdebatan terkait sila pertama Pancasila kembali “tertunda” dan belum menghasilkan titik temu. Kedua, dengan pembubaran dewan Konstituante, konflik ideologis kemudian berlanjut di tingkat bawah. Hal ini bisa dilihat dari agitasi golongan Komunis (PKI) ketika mendukung serangkaian budaya yang jelas-jelas melecehkan agama dan peranannya dalam kehidupan masyarakat.

Untuk melerai konflik ideologi yang terus berkembang di atas, Presiden Soekarno kemudian mencetuskan gagasan NASAKOM-nya, sebagai tafsir atas Pancasila, terutama aspek ideologi. Dengan gagasan tersebut, Soekarno berharap adanya persatuan dari seluruh komponen kekuatan di Indonesia untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai. Hal ini dapat disadari, mengingat beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya, seperti pemberontakan PRRI-Permesta (1958), perpecahan di kalangan militer, ketegangan hubungan antara pusat dan daerah, serta upaya-upaya percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Pada spektrum yang lebih luas, gagasan NASAKOM juga diarahkan secara dinamis untuk “membentengi” bangsa dari pengaruh Perang Dingin yang terjadi antara Blok Barat dan Blok Timur.

Lebih dari itu, barangkali dapat dikatakan bahwa NASAKOM merupakan finalisasi dari pemikiran politik Soekarno yang dinamis sejak tahun 1920-an, sebagai cita-cita untuk menyatukan kekuatan ideologis yang ada di Indonesia. Pada titik ini, satu syarat yang diharapkan oleh Soekarno, yaitu adanya progresivitas pada ketiga ideologi tersebut, baik nasionalisme, agama (Islam), maupun komunisme.

 

Konstruksi Buku dan Signifikansinya

Dalam konstruksinya, buku karya Ahmad Atho’ Lukman Hakim ini merupakan hasil kolaborasi antara studi pemikiran tokoh dan studi historis. Karena itu, metodologi-nya didasarkan pada penelitian kepustakaan, dimana penelusuran terhadap sumber-sumber data, baik primer maupun sekunder, dijabarkan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial.

Menggarisbawahi signifikansi buku ini, setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan karya ini penting dalam konteks ke-Indonesiaan, yaitu, pertama, NASAKOM merupakan gagasan politik yang fenomenal—karena ingin menyatukan tiga ideologi besar yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme—, sekaligus kontroversial—karena melahirkan pro-kontra di kalangan masyarakat Indonesia—.

Kedua, reaksi pemerintah Orde Baru yang melarang gagasan NASAKOM dan praktik-praktik de-Soekarnoisasi. Sebagai tafsir atas Pancasila, pemerintah Orde Baru kemudian mencetuskan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ketiga, ketokohan Soekarno, yang tidak hanya masih berpengaruh besar dalam perpolitikan Indonesia hingga sekarang, tetapi juga menjadi bahan kajian penting bagi para intelektual, baik nasional maupun internasional.

Secara umum, buku ini berusaha mengungkapkan permasalahan terkait posisi agama dalam ideologi negara, khususnya gagasan NASAKOM Soekarno dan relevansinya terhadap wajah politik Indonesia dewasa ini. Pembahasan dalam buku ini dibuka dengan memberikan gambaran umum tentang perdebatan ideologis antara nasionalisme, agama (Islam), dan komunisme yang dimulai sejak fase pergerakan kebangkitan nasional, fase konstruksi Indonesia, hingga proses finalisasi yang terhenti oleh keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pembahasan kemudian berlanjut pada setting sosial yang dihadapi oleh Soekarno, yang mana dimaksudkan sebagai uraian mengenai biografi dan aktifitas politiknya. Berikutnya, pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Soekarno dalam konstruksi ke-Indonesia-an, antara lain nasionalisme, demokrasi, revolusi, hubungan antar ideologi—nasionalisme, Islam, dan marxisme—, Pancasila, dan ajaran Islam. Dapat dikatakan, pokok-pokok pemikiran ini merupakan embrio dari gagasan Soekarno tentang NASAKOM.

 

NASAKOM dalam konteks ke-Indonesiaan

Gagasan NASAKOM Soekarno dalam konteks ke-Indonesia-an menurut penulis, dapat dijelaskan, yaitu pertama, sebagai tafsir atas Pancasila dalam bidang ideologi. Dalam hal ini, NASAKOM tidak hanya merupakan realitas ideologi yang hidup di Indonesia, tetapi juga “wajah lain” dari Trisila yang pernah diungkapkan oleh Soekarno sebagai perasan dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Kedua, sebagai federasi ideologi, yang menyatukan ideologi besar yang ada di dunia. Di sini, tampak bahwa NASAKOM sebagai tafsir Pancasila, tidak hanya diharapkan menjadi ideologi yang dapat diterima dalam skala nasional, tetapi juga menjadi ideologi besar di dunia Internasional.

Ketiga, sebagai usaha konsolidasi nasional, terutama dalam perlawanan menghadapi kapitalisme global. Menurut Soekarno, NASAKOM tidak lain adalah rekonstruksi makna nasionalisme untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang bersatu dan berdaulat dalam suatu negara yang merdeka, serta bebas dari koloni politik maupun ekonomi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat NASAKOM bagi Soekarno adalah tenaga-tenaga revolusioner yang niscaya bagi perjalanan revolusi di Indonesia.

 

Sekularisasi Soekarno dan Agama Progresif

Posisi agama dalam ideologi NASAKOM, yang merupakan hasil penelitian buku ini dijelaskan sebagai berikut, yaitu pertama, melalui NASAKOM, Soekarno melakukan sekularisasi dengan membedakan fungsi agama dan fungsi negara. Lebih lanjut, fungsi agama lebih mengarah untuk menyalakan “api” agama dalam diri umat beragama, sedangkan fungsi negara adalah sebagai alat perjuangan untuk seluruh warga negara. Kedua, dalam NASAKOM, agama diposisikan sebagai salah satu kekuatan revolusioner. Dengan syarat, agama tersebut tidak kolot dan konservatif, melainkan agama yang progresif dan toleran. Ketiga, unsur agama dalam NASAKOM adalah agama yang toleran terhadap keyakinan agama maupun keyakinan ideologi lainnya, dengan mengedepankan prinsip persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan. Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa Soekarno secara tidak langsung terlibat dalam transformasi pemikiran keagamaan dari agama yang eksklusif dan fanatik menuju agama yang inklusif dan toleran.

 

Analisis Konsep NASAKOM dan Peta Politiknya

Dalam analisanya terhadap konsep NASAKOM Soekarno, penulis menjelaskan bahwa gagasan ini muncul dari transformasi budaya yang selanjutnya mempengaruhi pembentukan orientasi dan politik. Mengambil tipologi Clifford Geertz, tiga sub-budaya, yaitu santri, abangan, dan priyayi, menurut penulis, pada gilirannya membentuk peta ideologi politik sebagai berikut, yaitu nasionalisme mayoritas dari priyayi, agama dari kalangan santri, dan komunisme dari kalangan abangan. Dari ketiganya, faktor budaya yang mempengaruhi lahirnya NASAKOM adalah spiritualitas Jawa yang berkarakter menyatukan seluruh unsur kebenaran.

Orientasi politik di antara ketiganya, dalam relasinya ternyata tidak harmonis. Perbedaan interpretasi ajaran agama melahirkan ekspresi politik yang berlainan di kalangan santri. Di sini, santri modernis cenderung lebih bermusuhan dengan kalangan priyayi dan abangan, sedangkan santri tradisionalis sebaliknya. Sementara priyayi dan abangan cenderung tidak konflik. Karena itu dapat dipahami, jika NASAKOM lebih diterima oleh kalangan priyayi, abangan, dan santri tradisionalis, dimana ketiganya memiliki kedekatan budaya di antara ketiganya. Dalam konflik aliran politik ini, Soekarno menurut penulis, berada di antara ketiga sub-kultur tersebut.

Perkembangan politik kala itu, baik nasional maupun global, juga turut mempengaruhi lahirnya gagasan NASAKOM. Berbagai pemberontakan yang terjadi di daerah, tidak dipungkiri, menyebabkan posisi Angkatan Darat (AD) semakin kuat dalam perpolitikan nasional. Demi stabilitas pemerintahan, mau tidak mau Seokarno harus bergandengan tangan dengan AD. Kemudian untuk mengimbangi kekuatan AD inilah, Seokarno merangkul PKI yang sejak peristiwa Madiun bermusuhan dengan militer, khususnya AD yang dikenal memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat. Sementara itu, kondisi politik di tingkat global tengah berada di bawah dominasi politik negara kapitalis dan mulai merambah ke Indonesia. Karenanya, Soekarno memainkan peran PKI untuk mengeliminasi pengaruh negara kapitalis tersebut.

 

NASAKOM dan Relevansinya dengan Kondisi Politik Indonesia Mutakhir

Relevansi gagasan NASAKOM dengan wajah perpolitikan Indonesia dewasa ini, dijelaskan oleh penulis, bahwa gagasan Soekarno tersebut mempunyai semangat kebebasan ideologi, sepanjang ideologi tersebut progresif dan mendukung cita-cita negara. Kemudian untuk membangun nasionalisme Indonesia, hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu [1] nation building harus disertai dengan society building guna menemukan kepribadian bangsa. Karena itu, slogan-slogan persatuan harus disertai dengan aksi nyata; [2] untuk mewujudkan cita-cita negara Indonesia di bidang politik, maka nasionalisme hendaknya diarahkan pada kesejahteraan rakyat, bukan mendukung kepentingan asing yang merugikan rakyat. Di bidang ekonomi, nasionalisme diarahkan pada terwujudnya kemandirian ekonomi, setidaknya memperkecil ketergantungan terhadap negara lain. Sementara di bidang budaya, nasionalisme diarahkan pada lahirnya pribadi-pribadi berkarakter kuat yang berakar dari kebudayaan nasional.

Terlepas dari keterbatasannya, buku ini merupakan kontribusi penting, baik dalam kajian sejarah tokoh maupun pemikiran politik di Indonesia, terutama mengenai posisi agama dalam ideologi NASAKOM. Satu hal yang barangkali dapat diambil dari semangat gagasan Soekarno tersebut, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku ini untuk direnungkan bersama, bahwa tidak ada ideologi yang berbahaya, yang berbahaya adalah fanatisme dalam ber-ideologi. Karena itu, progresivitas dalam ideologi merupakan syarat mutlak bagi lahirnya persatuan bangsa, untuk diarahkan pada upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. [*]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar