Maka patut diduga, jangan-jangan bukan sebab kopinya, melainkan lebih karena suasananya, yaitu warung kopi dini hari. Hingga menjadi kebiasaannya ketika dalam perjalanan pulang usai mengaji di rumah Mbah Mad. Syukurlah, hanya sekali dalam satu minggu. Kalau setiap malam lanjut dini hari, tentu akan menjadi perkara dalam rumah tangganya.
Menunggu kopi
menguapkan hangat, Abdun teringat kisah seorang kiai yang tadi diceritakan oleh
Mbah Mad. Mungkin kenalan atau teman sewaktu dulu nyantri di pesantren. Akan
tetapi, kiai itu bukanlah kiai pada umumnya. Tak seperti para penceramah pada
pengajian umum di atas panggung dan podium peringatan hari besar. Dia tidak
pernah mau berdiri memegang tongkat dan berbicara di mimbar jum’at. Apalagi
muncul di televisi dan channel youtube. Sekali pun tidak. Blas gadas. Dia juga tidak seperti kiai yang men-tasharuf-kan hidupnya ngopeni para
santri di pesantren.
Tak ada
bangunan pesantren di sekitar rumahnya. Andaikan bisa disebut pesantren, maka
itu hanya bangunan mushala panggung untuk menemani anak-anak kecil belajar
mengeja huruf-huruf hijaiyah di sore hari. Juga untuk berjamaah shalat lima
waktu bersama tetangga. Dan kalaupun dikatakan banyak yang sowan kepadanya,
maka umumnya mereka datang untuk mengudar masalah. Termasuk anak-anak kecil
itu, yang tak mau mengaji lagi ke TPQ lantaran malu. Tidak juga-juga bisa
membaca rangkaian huruf hijaiyah. Malu, karena terlalu sering dilewati
anak-anak yang lebih kecil. Juga mogok berangkat, sebab acapkali kena marah ketika
kehadirannya kerap dianggap sebagai biang masalah.
Yah, masalah.
Barangkali. hal yang akrab dengan “pesantren”-nya. Hingga menjadikan keberadaan
kiai itu sangat dibutuhkan, terutama untuk mengisi ruang kosong yang penuh
dengan beragam masalah dan pertanyaan. Abdun tahu, di setiap masyarakat
tinggal, hampir selalu ada orang-orang yang memainkan peran ini. Namun,
sepertinya kiai itu berbeda. Tidak hanya menguasai kitab-kitab kuning, dia juga
diceritakan memiliki pengetahuan yang luas mengenai sejarah dan filsafat, baik
Barat maupun Timur. Juga agama-agama besar dunia. Dia paham sastra, penikmat
seni, serta penyuka film yang baik. Entah, apa pentingnya semua itu.
Barangkali,
tidak penting bagi mereka yang datang. Namun bagi kiai itu, semuanya sangat penting.
Terutama untuk memahami sisi terdalam diri manusia yang memancar dan merembes
pada kehidupan, berikut masalahnya. Termasuk pemahaman yang mendalam luas
mengenai kaitan antara teks dan konteks, yang menjadi ruang tumbuhnya berbagai
nilai serta lahirnya hikmah dan kebijaksanaan. Ringkasnya, semua itu penting,
terutama untuk menyapa kemanusiaan pada diri seseorang yang datang ke rumahnya.
Dari seluruh
yang tergambar pada sosoknya, Abdun tak menemukan kesamaan antara dirinya
dengan kiai itu, kecuali sama-sama sebagai penikmat kopi. Namun berbeda dengan
kiai itu yang suka kopi pahit, Abdun suka kopi yang dioplos dengan gula.
Perlahan Abdun
menyeruput kopinya. Berusaha menikmatinya sececap demi sececap. Sejenak terasa
mata dan pikirannya terbuka lebih lebar. Menariknya kembali pada sosok kiai
itu. Semakin dekat kepadanya, Abdun seperti mendapatkan sesuatu, semacam wasiat
untuk belajar dan terus belajar. Berguru kepada siapa saja. Tidak lain, untuk
menjadi manusia, dengan indentitas yang khas dalam persona.
Yah, belajar
menjadi manusia, kepada siapa saja, itulah yang agaknya tergambar dari puisi
karya Abdul Hadi WM berjudul “Barat dan Timur” dalam buku Pembawa Matahari (Yogyakarta: Bentang Pustaka: 2002), hlm. 35.
Secara lengkap diungkapkan sebagai berikut:
BARAT DAN TIMUR
Barat dan Timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Buddha
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Laotze
Sidharta, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Namun hanya pada Muhammad Rasulullah
Dan di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai dimana-mana
---------
Kemudian,
ungkapan… Muslim, Hindu, Kristen, Buddha/
Pengikut Zen atau Tao/ Semua adalah guruku/, menggambarkan pergeseran dalam
prosesnya. Dari tataran nilai-nilai bergeser pada tataran nilai dan
ajaran—agama—yang hidup dalam kehidupan manusia bersama iman melalui
keteladanan, yaitu… dari semua orang
saleh dan pemberani/, tentang …Rahasia
cinta, rahasia bara menjadi api menyala/. Dan tikar sembahyang sebagai pelana
menuju arasy-Nya/. Tentang iman yang membuahkan (rasa) cinta, yang
melahirkan semangat keterlibatan diri dalam historisitas kemanusiaan. Juga,
ketundukan dan penyerahan diri (tikar
sembahyang) kepada-Nya serta transendensi hidup sehari-hari.
Semua
keteladanan terkait iman adalah guru bagi aku lirik. Barangkali juga bagi kita.
Pada ungkapan berikutnya, keteladanan tersebut bergeser pada sosok tokoh-tokoh
yang hidup dalam sejarah, seperti… Ibrahim,
Musa, Daud, Laotze/ Sidharta, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih/. Di sini,
nama-nama tersebut tidak hanya diidentifikasi sebagai pembawa risalah tentang
iman—agama—tetapi juga sosok teladan, terutama bagi para pengikut dan muridnya.
Keteladanan yang mengisyaratkan kebenaran, yang di muka bumi, wujudnya tak lain
adalah kemanusiaan itu sendiri. Ibarat mata air, tidak dipungkiri semuanya
berkontribusi memberikan airnya, menjaga pohon kemanusiaan.
Kemudian
terkait pelembagaan keyakinan dalam kehidupan masyarakat, seseorang berhak dan
butuh menegaskan identitas. Hal ini dikemukakan aku lirik, yaitu… Namun hanya pada Muhammad Rasulullah/ Dan di
masjid aku berkhidmat/, yang menegaskan dirinya sebagai pemeluk agama
Islam. Yang bersaksi atas-Nya, bersaksi atas Muhammad sebagai nabi dan
rasul-Nya. Rumah ibadah yang terlembaga dalam masjid, meskipun pengalaman
spiritual menunjukkan… jejak-Nya/
Kujumpai dimana-mana//.
Ungkapan yang
barangkali terinspirasi dari kitab suci, yaitu “wa lillahi al-masyriqu wa al-maghribu, fa’ainama tuwallu fatsamma
wajhullah. Innallaha waasi’un aliim.—Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka kemana saja kamu menghadap di situlah wajhullah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi maha mengetahui—. (QS. Al-Baqarah [2]: 115)
***
Masih di
warung kopi dini hari. Perlahan Abdun menyeruput kopinya. Menikmati yang
tersisa, bersama kumandang adzan awal dan solah-solah—keduanya
adalah seruan untuk qiyamul lail—yang bergetar di udara. Menandai waktu untuk
segera melanjutkan perjalanan. Seperti biasanya. Sementara di rumahnya,
perempuan yang biasa membukakan pintu untuk Abdun itu sedang khusyuk di tikar
sembahyang. Dalam tunduk dan berserah diri. [*]
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.