Oleh A. Syauqi Sumbawi
Matahari terus merambat ke barat. Dalam bayangan senja yang memanjang, Abdun duduk di atas bendungan. Menikmati udara yang mendingin. Rumput-rumput kering di sepanjang bantaran kali dan bongkah tanah persawahan, seperti mewartakan parau kemarau. Juga, pada keping-keping tanah di dasar sungai.
Bendungan itu, orang-orang menyebutnya
dam. Sebuah istilah yang mengingatkan pada sejarah kolonialisasi Belanda di
tanah ini. Tentang peristiwa pengerukan kekayaan, mobilisasi tenaga secara
paksa, serta dehumanisasi. Dari seluruhnya, yang tergambar adalah
manusia-manusia yang sengsara, yang memberontak, yang berjuang untuk merdeka.
Bersama harkat dan martabat sebagai manusia, sekaligus sebagai bangsa yang
sejajar dalam relasi dan kerjasama dengan bangsa-bangsa lain, untuk mewujudkan
kemajuan dan perdamaian dunia.
Itulah yang pernah dijelaskan guru
sejarahnya. Abdun ingat, bukan hanya istilah dam, tetapi juga istilah lain.
Misalnya, kantoor untuk kantor. Spoor untuk kereta api atau sepor.
Dalam diam, Abdun menatap retakan di
sudut dam yang menggaris vertikal. Kegelapannya seperti nganga luka yang
menyimpan kenangan pedih. Juga, dendam sejarah. Perlahan Abdun teringat
neneknya. Matanya selalu berkaca-kaca ketika bercerita masa-masa itu. Cerita
yang terus diulang-ulang di setiap peringatan agustus-an. Dan setiap kali
menyimaknya, siratan kepedihan—dan dendam—itu selalu saja membayang di benak
Abdun.
Tidak hanya Abdun dan neneknya. Semua
anak bangsa ini pasti menyimpan sejarah dan kenangan itu, yang sewaktu-waktu
muncul dalam pikiran sadarnya. Terlebih bagi seorang yang sedang berada di
negeri dari sebuah bangsa yang pernah datang menjajah. Seorang Indonesia yang
berada di ibukota negara Belanda. Dan inilah yang agaknya menjadi gambaran dari
puisi “Refrein di Sudut Dam” karya D. Zawawi Imron, dalam buku Refrein di Sudut Dam (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2003) hlm. 25, diungkapkan sebagai berikut:
REFREIN
DI SUDUT DAM
Amsterdam
bagiku
memang
sebuah terminal
dengan
detik-detik yang terasa mahal
Masa
silam dan masa depan
di
sini bergumpal
menyesali
titik-titik gagal
Matahari
yang juga mata waktu
mendesakku
menjadi kaca menggala
Untuk
menerjemahkan cahayanya
menjadi
api dan nyala
Di
udara menari kapak, senapan, sapu,
biola,
gendang dan sejenis debu
Menyanyi
buku-buku, kertas arsip
hendak
turut memutar tasbihku
Jangan
dulu! Di sini Amsterdam
Akan
kukubur dendam sejarah
Sia-sia
memberhalakan derita
Ibu
dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi
terasa berbatas tabir saja
Segenap
keasingan akan lebur
dengan
menyemai cinta ke hati salju
Terbayang
pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku
jangan sembunyi
Olle
ollang
darahku
makin gelombang
------
Istilah refrain, tampaknya menjadi kata kunci pada judul puisi ini. Dalam musik, refrain biasanya menunjuk pada komposisi dalam sebuah lagu yang iramanya dimainkan secara berulang. Di sisi lain, refrain juga biasa dipahami dengan arti “menahan diri”. Atau kondisi untuk menjauhkan diri dari dorongan hati untuk mengatakan atau melakukan sesuatu.
Pada puisi di atas, dendam sejarah
itulah yang agaknya sedang dihadapi oleh si aku lirik. Di sini, Amsterdam bukan
sekadar persinggahan (terminal),
melainkan lebih sebagai ruang dan waktu yang sarat dengan kenangan masa lalu,
serta pertemuannya dengan masa depan. Ungkapan… di sini bergumpal/ menyesali titik-titik gagal//, terasa sangat
emosional, lantaran ingatan tentang sejarah kolonialisasi di Indonesia.
Memang, Belanda pernah berkuasa di
wilayah Indonesia. Akan tetapi secara internal, sekaligus sebagai otokritik,
proses kolonialisasi itu lebih disebabkan oleh kondisi anak bangsa yang rentan
dan mudah dipecah-belah. Antara pangeran satu dengan pangeran lainnya, kaum
adat dengan kaum agamawan, serta hadirnya berbagai kepentingan lain dari
kalangan elit pribumi, yang pada gilirannya turut melestarikan pemerintahan
kolonial. Dari keseluruhannya, hal tersebut tidak hanya menyiratkan kegagalan
sebuah bangsa, tetapi juga kegagalan sebagai manusia.
Tentunya, pemahaman dan kesadaran
mengenai hal tersebut sangat penting. Barangkali ibarat… Matahari yang juga mata waktu/, untuk menunjukkan semangat (api) perjuangan serta identitas dan
jatidiri (nyala) sebuah bangsa yang
merdeka. Bahkan, di hadapan bangsa kolonial. Dan sungguh, “jas merah” atau
“jangan sekali-kali melupakan sejarah!”, sebagaimana dikemukakan pemimpin
bangsa ini, agar kita tidak mudah melupakan sejarah bersama segala muatannya,
baik dalam simbol …kapak, senapan, sapu/
biola, gendang, dan sejenis debu/…buku-buku, kertas arsip/, maupun yang
lainnya. Dari keseluruhannya, ibrah tampaknya menjadi hal terpenting dari aspek
aksiologisnya.
Dari sejarah, seseorang bisa belajar,
terutama untuk meneguhkan jatidiri dan cita-citanya secara dinamis. Juga
melepaskan segala hal dari masa lalu yang membelenggu, seperti diungkapkan,
yaitu… Di sini Amsterdam/ Akan kukubur
dendam sejarah/ Sia-sia memberhalakan derita//.
Yah, inilah gambaran ibrah itu, yang pada gilirannya akan memunculkan kearifan pada diri seseorang. Hingga …Segenap keasingan akan lebur/ dengan menyemai cinta ke hati salju//. Tampaknya, semua itu hanya bisa terwujud dalam rasa kemanusiaan, bersama kata menyapa dan jabat tangan sesama manusia. Tanpa rasa rendah diri. Juga, belenggu primordial lainnya.
Barangkali ada benarnya, bahwa yang berbahaya dari segala pemikiran dan pandangan hidup adalah fanatisme. Di sini, ungkapan… Olle ollang/ darahku makin gelombang//, seperti menjelaskan, baik kesukuan maupun kebangsaan misalnya, tidak lain adalah gelombang kemanusiaan itu sendiri. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar