Oleh A. Syauqi Sumbawi
Malam terus menanjak. Kira-kira dua jam waktu berlalu sejak Abdun berangkat ke rumah tetangga, persis selepas Isya’. Menghadiri undangan kenduri. Maklumlah, kehidupan masyarakat pedesaan selalu menjadi ruang budaya yang kental dengan kenduri dan slametan lainnya. Ruang budaya yang kerap menghadirkan pertemuan bersama tetangga dalam kerjasama dan kebiasaan saling berbagi. Dalam ramah-tamah saling memandang wajah di antara sesama manusia. Wajah-wajah yang tak pernah kekurangan senyum dan makanan. Tak sekadarnya, melainkan berkat. Makanan yang terberkati dengan doa dan shalawat.
Membuka pintu
rumah, senyum anak dan istrinya terbayang di pikiran Abdun. Menyambut
kepulangannya. Seperti malam-malam yang telah lalu, selepas menghadiri undangan
kenduri, dilanjutkan dengan menikmati makan berkat bersama.
“Kok lama?!”
kata Istrinya menerima berkat dari Abdun.
“Ya. Tadi ada
pengajian... walimatul aqiqah.”
“Ooo…”
“Mad, Mamad...
lho… !” kata Abdun.
“Barusan
tidur. Dari tadi bertanya terus; Bapak kok belum pulang?!”
Sejenak
dilihatnya bocah delapan tahunan itu tidur di ruang tengah membersamai adiknya.
Pada wajahnya, dia seperti melihat siratan lelah. Barangkali, karena lelah
menunggu. Abdun tahu, Mamad paling suka menyantap nasi berkat. Juga istrinya.
Mungkin nanti juga, si Izza— adiknya Mamad—, yang kini masih berusia enam bulan
itu.
“Ayo, mas.
Makan lagi!” ajak istrinya. “Tak usah dibangunkan. Mamad biar jajannya saja.”
Abdun tahu.
Kalau makan bersama menunggu besok pagi, ketika Mamad sudah bangun, tentu nasi
akan keburu basi. Maka, Abdun menemani istrinya makan. Hanya se-puluk-an saja.
Hanya sebagai syarat untuk makan bersama. Karena di acara kenduri, dia telah
makan dengan para tetangga dan undangan lainnya.
Membersamai
istrinya, Abdun melihat kedua anaknya yang sedang tidur itu. Terutama pada si
Izza, yang wajahnya tampak tersenyum. Mengingatkan Abdun pada materi pengajian
tadi. Bahwa setiap anak manusia dilahirkan dengan fitrah—kullu mauludin yuladu
alal fitrah...—, dimana peran dan tanggung jawab orang tua sangat penting dalam
kehidupan anak-anaknya.
Yah, fitrah.
Tidak hanya menggambarkan kondisi bayi yang suci dan murni, tetapi juga sesuatu
yang diharapkan oleh manusia dewasa dalam hidupnya. Sebagaimana yang
diungkapkan para penceramah pada setiap moment ‘idul fitri, yaitu kembali
kepada fitrah.
Keberadaan
fitrah inilah yang agaknya dikemukakan oleh Anis Ceha melalui puisi berjudul
“Jeda Waktu”, dalam buku Sebab Tuhan Selalu Terjaga untuk Kita: Sehimpun Puisi
(Lamongan: Penerbit Nun, 2018) hlm. 64, diungkapkan sebagai berikut:
JEDA WAKTU
Bayi-bayi yang tanpa dosa
Aku ingin menjelma menjadi ia kembali
Dan memperbaiki segala coreng-moreng di jiwaku
Menambal lubang-lubang di hatiku
Memilin rindu ayat-ayat suci yang sesekali tercecer
di jeda waktuku
Merangkai rakaat-rakaat yang berlari-lari pada
waktu-waktu tercekat
:Aku sok sibuk
Tuhan, izinkan aku menjelma manusia suci kembali
Menjadi bayi-bayi yang lembarannya putih bersih
160409
----------------
Kerinduan pada
fitrah menjadi kesan paling kentara pada puisi di atas. Fitrah yang secara umum
kerap ditampilkan pada kondisi… Bayi-bayi
yang tanpa dosa/, sekaligus menjadi kondisi yang diharapkan, sebagaimana
ungkapan… Aku ingin menjelma menjadi ia
kembali/. Tentunya, hal ini bukan tiba-tiba, tetapi disebabkan oleh
pemahaman terhadap sesuatu. Ada sebuah jarak yang terbentang antara idealitas
dan realitas dalam diri manusia. Jarak yang kian jauh dari jatidiri
kemanusiaan, yang membuatnya terasing, di mana pada batas tertentu,
mengingatkan untuk kembali.
Yah, kembali
pada jalur kemanusiaannya. Dan inilah yang ingin dilakukan, yaitu dengan… memperbaiki segala coreng-moreng di jiwaku/
Menambal lubang-lubang di hatiku/ Memilin rindu ayat-ayat suci yang sesekali
tercecer di jeda waktuku/ Merangkai rakaat-rakaat yang berlari-lari pada
waktu-waktu tercekat//. Di sini, keterasingan jiwa perlu diperbaiki,
kekosongan hati harus diisi, terutama dengan menghadirkan-Nya dalam setiap
langkah.
Tampaknya,
kesadaran ini lahir dari kondisi manusia yang tak seimbang, dimana hidupnya
terfokus pada hal-hal yang profan, hingga mengabaikan spiritualitas dalam
dirinya. Ungkapan,…; Aku sok sibuk//adalah
simpulannya, sekaligus menunjukkan kekerdilan manusia.
Pengenalan dan
kesadaran diri, agaknya menjadi orientasi atas hidup yang baru. Bersama fitrah
kemanusiannya. Tentu, bukan seperti bayi yang baru dilahirkan, yang …lembarannya putih bersih//. Melainkan
dengan fitrah yang telah disepuhkan oleh kesadaran, sebagaimana kehidupan Adam
di dunia yang diawali dengan kesadaran atas dosa. Barangkali, di sinilah makna
hidup baru itu. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar