Oleh A. Syauqi Sumbawi
Dini hari berhawa dingin. Mbedhidhing, istilah kondisi udara di
peralihan musim, penghujan menuju kemarau. Biasa di bulan juni-juli seperti
ini, dia ganti kulit—mlungsungi—.
Kulit paling tipis di wajah akan mengering, memutih, dan terkelupas. Ganti yang
baru. Abdun tahu itu. Tapi, bukan masalah besar baginya. Apalagi sampai harus
pergi nyalon. Intensive care setiap
hari.
Ah, tidak. Tidak ada yang perlu
disalahkan. Tidak ada yang perlu dikeluhkan. Tak perlu sambat, mutung, dan
lain-lain. Baginya, hal itu adalah sebuah bukti, bahwa manusia yang tubuh,
tidak bisa lepas dari pengaruh alam dunia.
Yah, begitulah kalau pikirannya lagi murup. Sok bijak, sofistik. Terlebih
jika baru selesai mengaji. Dalam perjalanan pulang seperti ini.
Di pinggir jalan dekat pertigaan
ibukota kecamatan, Abdun menghentikan laju sepeda motor butut-nya. Singgah ke
sebuah warung kopi. Cukup sepi. Selain laki-laki penjual, hanya dua laki-laki
muda di sana. Khusyuk menghadapkan wajah ke gadget.
“Kopi hitam… Biasa.” Abdun menegaskan.
Si penjual tersenyum dengan mimik muka yang karib. Istilahnya, sok kenal.
“Darimana, Mas?!” katanya memperhatikan
Abdun yang bersarung dan berpeci. “Habis belajar ndukun, ya?!”
Abdun terkejut. Tak menyangka datangnya
pertanyaan itu.
“Kenapa?! Pingin tambah laris?!”
“Kok tahu?!"
“Harus banyak, banyak bersyukur,” kata
Abdun tertawa. Kemudian pergi dari hadapan penjual itu dengan membawa jajan
pisang molen.
Dalam duduknya, Abdun teringat apa yang
disampaikan oleh Mbah Mad. Pandang dan bacalah semua yang datang kepadamu
sebagai ayat, demikian katanya.
Semua adalah ayat. Sesederhana itu.
Semuanya. Termasuk kejadian di warung kopi itu. Dugaan si penjual dan
sebagainya. Juga kopi yang baru saja terhidang di atas meja. Untuk
dinikmatinya, bersama waktu yang telah melewati pukul tiga.
Kira-kira, inilah yang ingin
diungkapkan Zehan Zareez dalam puisi “Bertuhan Tanpa Bising” pada buku Tuhan Maha Kopi —versi draft buku Pdf—.
Bahwa segelas kopi yang pekat dan nikmat adalah ayat. Kauniyah. Ayat yang
tersirat. Lengkapnya sebagai berikut:
BERTUHAN TANPA BISING
Aku
berlindung kepadaTuhan
Yang
menghitamkan kopi dengan segenap kepekatannya
Cangkir-cangkir
telah penuh
Dikecup
bibir
Harusnya
ada yang lebih malu,selain;aku
Saat
dzikir-dzikir tak sampai menembus satir
Kopi
hitam bukan lantaran ia berdosa
Ia
justru tegar dengan ketetapan tanpa bantah
Padahal
berdzikir
Kita
saja yang tak cukup tahu
Jangan
kira air mani suci;
Lantaran
ia putih
Dosa
lahir dari sana
Tuhan
Maha Segala,tanpa warna
Penglihatannya
pun, tanpa mata
Yang
tampak dari warna bukanlah nilai
Yang
terlihat oleh mata membuat lalai
****
Dalam keberadaannya sebagai “ayat”,
maka segelas kopi sudah sepantasnya dibaca, tak bisa lepas dari-Nya. Dengan
segala kesempurnaan-Nya. Sebagaimana membaca yang “tersurat”, maka (aku) pun
membaca yang tersirat dengan… berlindung
kepada Tuhan Yang menghitamkan kopi dengan segenap kepekatannya//. Dengan
hikmah yang ada dalam seluruh ciptaan-Nya.
….rabbana
maa khalaqta hadza bathilaa. Demikian ungkapan hamba yang
dikaruniai pengetahuan dan hikmah— ulul albab—, sebagaimana tercantum dalam
al-Qur'an. Bahwa tak ada satupun ciptaan-Nya yang sia-sia.
Begitupun agaknya kopi dalam pandangan
Zareez. Baginya,… Kopi hitam bukan
lantaran ia berdosa/ Ia justru tegar dengan ketetapan tanpa bantah/ Padahal
berdzikir//.
Dengan “membaca” kopi, maka kita—yang
diciptakan sebagai manusia—seharusnya malu. Bukan kopi, yang selalu
“berdzikir”. Melainkan kita yang lupa. Entah, berapa banyak… cangkir-cangkir telah penuh/ Dikecup bibir/…
Tapi tak sekalipun mengingat-Nya. Menikmatinya dengan rasa syukur.
Mungkin, karena kita manusia. Terlalu
sering berbuat salah dan lupa. Merasa lebih mulia dari yang lain. Bahkan,
malaikat pun diperintah “bersujud” kepada Adam.
Tapi, bukankah setelah peristiwa itu,
Adam dan Hawa melakukan dosa?!
Kita
saja yang tak cukup tahu/… bahwa dosa lahir dari kondisi lupa kepada-Nya. Sebagaimana
iblis yang merasa lebih mulia. Melupakan-Nya ketika melihat Adam. Memandang
rendah.
Lalu, bagaimana pandangan manusia
terhadap kopi?! Begitu juga berbagai jenis (warna)— makhluk-Nya yang lain?!
Yah, Tuhan Maha Suci.
Juga dari salah dan keliru yang dituduhkan manusia. Tidak mau menerima
keberadaan sebagai hamba, yang terkadang men-tuhan-kan diri di hadapan-Nya.
Perlahan Abdun menyeruput kopi yang
masih hangat. Pekat lagi nikmat.
Barangkali, perlu juga bertanya kepada
bayi manusia. Kenapa menangis di setiap kelahirannya?! gumam Abdun.
Mengingatkan pada anak perempuannya. Di usia yang belum empat puluh hari di
dunia, mungkin dia masih menggenggam jawabannya.[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar