Laman

Senin, 26 Oktober 2020

BERZIARAH PADA YANG SELALU HIDUP


Oleh Taufiq Wr. Hidayat *

 

Judul : 9—sebuah novel—

Penulis : A. Syauqi Sumbawi

ISBN : 978-623-7731-23-8

Tebal Buku : 292 Halaman

Penerbit : Rumah Semesta Hikmahdan CV. Pustaka Ilalang

Cetakan : Pertama, April 2020

 

Kesederhanaan—konon, dapat menyepuh jiwa. Kesederhanaan—entah apa, bukan sesuatu yang tidak rumit dan muskil. Sesungguhnya kesederhanaan itulah kepelikan yang muskil bagaikan air hujan. Tetapi kepelikan dan kemuskilan yang telah meraih kearifan. Kearifan yang tak sering diucapkan dalam polemik dan perdebatan. Sebab menurut orang bijak entah siapa, kearifan dapat membuat orang diam. Atau berdebat dengan tak mengagungkan dirinya, dengan tak perlu mengeluarkan semua senjata berat seperti granat atau hulu ledak nuklir cuma untuk membunuh seekor lalat.

Di dalam kesederhanaan itulah seseorang menempuh perjalanan. Kemurnian kehendak—dalam khasanah Islam, yang membuat sesuatu menjadi suci. Bukan lantai atau bangunan yang suci. Bukan benda. Benda-benda dan ilmu menjadi suci lantaran disepuh oleh niat baik dan gerak hidup seseorang di dalam merawat, menjaga, atau menggunakan benda atau ilmunya. Bukan benda atau ilmu yang keramat, melainkan hati manusia yang menjaga dan mengambil nilai dari benda atau ilmu tersebut yang sejatinya keramat. Ia memetik hikmat—bukan “berhikmat” dengan pengertian arti kata dan istilah belaka yang diributkan segelintir orang perihal sikap terhadap sains—dan nilai dari suatu benda, peristiwa, ilmu dengan sikap jiwa yang “rendah hati”. Rendah hati dalam pengertian tertentu di kalangan pesantren, tak lain ketundukan atau keberhikmatan dan nilai, pun penempaan diri di dalam realitas untuk tak bertahta di atas apa saja. Melainkan bersamanya, mengarifi, melewati realitas itu dengan harapan.

Kesederhanaan dan kesunyian dalam ziarah itulah yang dikisahkan dengan asik dalam novel karya A. Syauqi Sumbawi ini. Saya rasa, perjalanan ziarah ke makam 9 Wali di Jawa, tak lazim dituliskan dalam bentuk novel. Kebanyakan kita memperoleh keterangan perihal ziarah ke makam wali 9 di Jawa dari buku panduan wisata atau catatan perjalanan. Tentu saja tak dapat mengobati kehausan siapa saja yang ingin lebih mendalam mengerti perihal kenapa 9 makam itu harus diziarahi. Tetapi lewat novel dengan narasi yang mengalir indah ini, Sumbawi cukup berhasil membawa nilai-nilai Islam yang cair yang telah membumi dalam tradisi orang-orang pesantren. Ketakjuban kepada Tuhan selalu saja tergambar pada setiap peristiwa yang ditempuh dalam perjalanan ziarah yang tak lazim itu. Sesuatu yang seringkali dilupakan para pemeluk keimanan. Ketakjuban yang menghilang dalam tumpukan rutinitas hidup yang berulang-ulang, kepintaran yang dilekati status pendidikan, posisi sosial, pencapaian ekonomi yang aman sentosa, dan entah apa lagi. Hilanglah yang transendental. Tinggal kepenatan dan kegagapan menjalin komunikasi yang cair dan berdaya. Satu sisi, ketakjuban tanpa penghayatan pada kenyataan, justru membuat orang merasa harus “men-tuhankan” segalanya. Misalnya ia meyakini virus diperintah Tuhan, matahari terbit atas kehendak Tuhan, dan seterusnya. Meski keyakinan itu tak salah, namun ia cukup ampuh memforsir jiwa sehingga kering kerontang dari nilai keimanan yang seyogianya dapat melihat kenyataan sebagai bentangan ilmu dan hikmat yang berpeluang bagi seseorang menemukan ketakjuban terhadap kehidupan, yang membawa pada kesadaran pribadi yang berpijak akal-pikiran pada kenyataan semesta, bahwa pada hakikatnya segalanya hanya ulah Tuhan belaka.

Novel ini kaya dengan uraian nilai-nilai tasawuf. Pengertian tasawuf yang rumit menjadi begitu sederhana, mudah dipahami, dan mengalir melalui pengalaman perjalanan tokohnya yang bernama lengkap Mustafa Ibrahim—kemudian karib dipanggil Ib, tanpa kalimat-kalimat yang menggurui. Ia hanya bercerita. Sesekali menyusupkan teks-teks agama seolah tanpa disengaja. Barangkali mirip permulaan kisah “Rafilus” atau jejak fakta dalam “Olenka”-nya Budi Darma. Meski tentu Sumbawi tak berfokus pada perihal tersebut. Dalam novel ini, dengan telaten Sumbawi melanskapkan sejarah dan kisah-kisah tutur yang sangat asik dan menakjubkan dengan narasi yang segar mengalir di setiap tempat ziarah yang didatangi tokoh novelnya. Novel ini bagai ensiklopedia Wali Songgo yang mashur di Jawa secara dalam dan mengesankan, lantaran ia berbentuk cerita panjang. Secara ringan, pelan-pelan orang merasa ada sesuatu yang menyadarkan dirinya, pelan-pelan dimasuki hikmat dan ilmu yang telah disepuh dalam perjalanan dan kerendahatian ala pesantren tatkala membaca kisah novel ini. Novel ini bagai potret kenusantaraan, bukan keislaman. Meski ia dibangun dari ritus ziarah yang lazim dalam khasanah Islam. Agaknya Sumbawi berhasil keluar dari kurungan primordial suatu agama dengan cerdik seperti Abu Nawas yang lolos secara jenaka dari jebakan kekuasaan. Narasinya yang ringan dan mengalir segar membuat siapa saja yang memiliki minat pada nilai-nilai Islam—atau lebih tepatnya watak kenusantaraan yang harmonis itu, yang cair dan unik tak akan berhenti membaca sampai akhir perjalanan tokoh utamanya yang selalu bersikap sebagai pendengar sebagaimana lazim orang timur. Watak pribumisasi Islam sebagaimana yang dikemukakan mendiang Gus Dur—dalam novel tipis ini, amat kental dan penuh kemesraan dan toleransi. Siapa pun yang punya kehendak mengerti apa maksud dan pengertian dari pikiran Gus Dur yang termashur, yang disebut “pribumisasi Islam” atau nilai kenusantaraan itu, dengan cara yang lebih karib, akan menemukan jawaban dan suguhan yang khas tak mengecewakan dalam novel ini. Misalnya tatkala tokoh Ib mendengar kisah dibuatnya “Asta Sanghika Marga” oleh Sunan Kudus, segera tergambarlah di situ kearifan pribumisasi Islam dan watak lokal yang ramah dan bijaksana tersebut. Nama yang dipakai tidak perlu diambil dari kata berbahasa Arab, sebab wilayahnya bukan wilayah Arab, tapi memakai bahasa Jawa dan dengan istilah bahasa dari agama setempat. Itu sama sekali tak mengurangi nilai Tauhid dalam Islam yang luas dan humanis. Sifat “ngopeni” (merawat) dikerjakan secara alamiah. Dikerjakan dengan tanpa “mengislamkan” siapa pun. Di sini watak Islam yang menghargai perbedaan agama dan menghormati perpindahan atau pilihan agama (hifdzu al-dien) begitu nyata dalam perilaku para pendahulu, dan Sumbawi dengan piawai merangkainya dalam narasi yang memikat. Membaca novel “9” ini, saya agaknya disadarkan bahwa barangki Wali 9 itu sejatinya memang tidak pernah “mengislamkan Jawa”. Mereka hanya para perantau yang menjaga tradisi dan nilai kemanusiaan di dalam tradisi setempat. Lantaran istilah “mengislamkan tanah Jawa” tak lain “bahasa politik kekuasaan” belaka untuk mengontrol masyarakat, mungkin sejak Demak sampai periode Orde Baru dengan “cendekiawan muslim”-nya atau “menjelis ulama”-nya.

Novel Sumbawi itu membentangkan nilai kearifan yang diraih para pendahulu untuk membumikan ajaran agama tanpa mengusik unifikasi lokal, atau tanpa “meng-agamakan” yang kultural, dan yang partikular. Ajaran Islam yang murni justru terletak pada “daya tafsir” yang jujur terhadap ruang dan waktu—yang dituangkan dengan adagium “al-islamu shalihu likulli zaman wal-makan”, sikap pribadi yang “membersihkan diri” dengan pengentasan penderitaan, “menegakkan nilai kemanusiaan” dalam sikap hidup sehari-hari, dan kesadaran atas nama-nama-Nya yang maha luhur. Pengertian menarik ini meniscayakan pencapaian akal-pikiran dengan ilmu, nilai-nilai, dan keteladanan.

Membaca novel ini seolah membaca kembali “Orang Jawa Naik Haji” karya Danarto. Pengalaman keagamaan, mistik, dan ketakjuban berjalin dinamis dalam tradisi yang dibawa orang Jawa sejak lahir (gawan bayi). Barangkali lirisme Sumbawi bagai Juan Ramon Jimenez yang tak berfilsafat dengan metafora yang rumit dalam narasinya “Platero and I” (1917), diterjemah bahasa Inggris oleh Eloise Roach. Ada sebentuk keprihatinan terhadap pahit penderitaan suatu bangsa. Persoalan sosial: kemiskinan dan penindasan di jalanan. Itu semua integral dalam penderitaan itu sendiri. Pada titik paling mematikan dari kemiskinan, filsafat dan agama tak lebih cuma bualan dan omong kosong, bahkan kematian tak lagi menyeramkan. Jimenez melakukan perjalanan dengan keledainya, Platero. Ia melewati jalanan negeri Andalusia yang didera derita kemanusiaan. Ia menjadi bagian di dalamnya.

Agaknya Sumbawi—dengan novel “9”-nya, mencoba pula memasuki persoalan sosial negeri ini. Ketimpangan dan ketidakadilan. Namun semua itu dihadapi dengan wajah yang sabar. Nyaris tanpa perlawanan yang menggedor-gedor. Namun bukan tanpa kesadaran dan solidaritas. Ada suara perlawanan yang halus dengan sindiran di situ. Ia melihat solidaritas sosial. Tokoh Ib merasakan ketakjuban dari solidaritas dan sejumlah ketimpangan—yang seringkali atasnama agama, dalam tiap perjalanan ziarahnya. Ia menggambarkan, bahwa seyogianya tiap perjalanan mampu mempertalikan diri dengan segala yang dilewati. Tujuan perjalanan hanya satu alasan suatu perjalanan ditempuh. Bagaimana tujuan itu dicapai, bukan belaka apa yang menjadi tujuan. Itulah barangkali tafsir humanis dari kata “ziarah” dalam tradisi Islam di Jawa yang sering disalahpahami tidak hanya bagi “orang lain”, tapi juga bagi pemeluk Islam itu sendiri. Meski terlihat novel ini sering memberikan informasi dan penuturan berupa nasehat-nasehat, namun narasinya masih terjaga dengan baik. Di samping itu, rupanya Sumbawi masih enggan memberikan “kritik ke dalam” tradisi Islam di Jawa. Kalau pun kritik itu ada, kritik tersebut begitu halus, nyaris tak terdengar. Barangkali lantaran ia dibentuk kultur pesantren yang tak boleh berkasar-kasar. Sumbawi tak membangun narasi kehidupan keberagamaan sebagaimana narasi Djamil Suherman atau A. A. Navis umpama. Atau benturan antara agama dan kemajuan yang dilewati dengan segala keteguhan, suka-duka, dan perasaan yang mendalam serta kepahitan sebagaimana Chaim Potok atau Naguib Mahfouz. Narasi Sumbawi seirama A. Mustofa Bisri, gaya tutur orang pesantren yang tak asing dengan bahasa Arab terasa lezat. Namun narasi Sumbawi dalam novel ini, cukup penting memasuki pengertian perihal betapa sesungguhnya agama nusantara—terutama di Jawa, sangat humanis, mengayomi dan menghargai segala perbedaan, dan penuh daya untuk membebaskan. Pembebasan yang bertitik pijak pada nilai-nilai spiritual.

Dalam sebuah film Prancis garapan Ismael Feroukhi, “Le Grand Voyage” (2004), dikisahkan perihal perjalanan. Seorang bapak melakukan perjalanan dari Prancis ke Arab untuk menunaikan haji. Tatkala para “pangeran minyak” datang ke Prancis guna berpesta pora dan meniduri perempuan-perempuan, justru seorang emigran yang tinggal di Prancis datang ke tempat para “pangeran minyak” itu menunaikan panggilan spiritual: ibadah haji. Uniknya, perjalanan agung tersebut tak dilakukan dengan pesawat. Melainkan ditempuh dengan mobil pribadi. Sang bapak diantar anak laki-lakinya yang terbiasa hidup hura-hura ala Eropa. Sang anak selalu berseberangan dengan pendapat dan sikap bapaknya yang religius. Namun dengan telaten, sang bapak tak pernah menyesalinya. Banyak dialog menarik dalam film ini. Sang anak jengkel, kenapa bapak tak berangkat haji pakai pesawat? Kenapa harus pakai mobil, sehingga memakan banyak waktu dan tenaga? Sang bapak menjawab dengan bahasa Arab yang indah, bahwa semua itu tak lain demi kemurnian niat, bagai air lautan yang asin diuapkan ke langit, lalu turun lagi menjadi hujan yang tak asin, murni sebagai air yang segar. Tokoh Ibrahim dalam novel Sumbawi ini, bagai menggambarkan “perjalanan suci” itu. Ia tak mengendarai bis rombongan sebagaimana sering dilakukan orang untuk berziarah ke makam 9 wali. Melainkan Ib melakukan perjalanan dengan keyakinannya, ia misalnya memulai perjalanannya dengan menumpang truk pengangkut aspal. Dengan bekal seadanya. Kenapa Ib tidak naik rombongan bis? Barangkali Sumbawi hendak menggambarkan, bahwa ajaran agama sejatinya adalah kesunyian, yakni ruang personal yang takzim dan hikmat. Berziarah adalah laku jiwa. Seseorang harus mencoba atau belajar menanggalkan semua materi dan status yang melekat berat pada pundaknya, agar perjalanannya ringan dan membawa harapan. Tanpa begitu, ziarah hanya wisata dan gaya hidup belaka. Seperti juga ibadah haji yang terkesan “ramai” dan menyimbolkan status sosial. Tentu saja hal itu demi mendekat sedekat mungkin pada ikhlas yang akan membawa seseorang dalam “maqam” kedekatan kepada-Nya. Sehingga semangat pembebasan terhadap diri dan penderitaan sesama menjadi panggilan religius yang selalu aktual. Ali Syariati misalnya, menahbiskan integralitas Islam dengan sejarah. Berbalik dari pandangan Karl Marx dan Weber, Ali Syariati menegaskan kesadaran dirilah yang membentuk masyarakat. Sehingga nilai ideologis menempati ruang kokoh dalam pikiran dan keyakinan sebagai pedoman untuk kehidupan yang layak bagi para pengikutnya. Pandangan ini mensahihkan penegasan Gramsci; ideologi bukan semata sistem ide. Syariati memahami Tauhid (ajaran keesaan dalam Islam) adalah jalan pembebasan. Membebaskan manusia dari pembodohan, derita, bahkan doktrin yang diberhalakan. Tauhid ialah sebuah pandangan yang memosisikan fakta sebagai realitas holistik, universal, integral, dan utuh. Ia “memudahkan” manusia melakukan pembebasan dan mengembangkan kebebasannya. Sehingga tiap orang bertanggungjawab penuh terhadap apa yang diperbuatnya. Berbeda dengan Sartre yang mengharuskan manusia bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

Kemurnian niat dalam segala perbuatan (amal) baik, terlebih diniatkan sebagai pengabdian kemanusiaan (ibadah), setidaknya dapat dicapai dengan kesadaran manusia terhadap diri dan kehidupan sekelilingnya. Mempertahankan nilai luhur dengan mengolahnya dalam dinamika dan dialektika ruang-waktu, dalam metode Fiqh atau yurisprudensi Islam lazim disebut “al-muhafadzatu ‘ala qadimis shalih wal-akhdzu bil jadidil ashlah”. Betapa penting kemurnian hati dan niat. Ia bagai serumpun bunga di padang rumputan, mata air di tengah gersangnya peradaban insan. Mungkin benar yang disabdakan Rasul: “Innamal a’malu bin-niyat”. Segala perbuatan semestinya didasarkan pada kemurnian niat di dalam hati: keluhuran kemanusiaan.

Dan novel berjudul “9” karya A. Syauqi Sumbawi ini membawa kita pada pengertian penting dalam Islam tersebut. Pengertian dan sikap kemanusiaan yang seringkali diabaikan orang pada hari ini.

Selamat membaca.

 

Sobo, Banyuwangi, 2020

 

_________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar