Oleh Taufiq Wr. Hidayat *
Judul : 9—sebuah novel—
Penulis : A. Syauqi Sumbawi
ISBN : 978-623-7731-23-8
Tebal Buku : 292 Halaman
Penerbit : Rumah Semesta Hikmahdan CV. Pustaka Ilalang
Cetakan : Pertama, April 2020
Kesederhanaan—konon, dapat menyepuh jiwa. Kesederhanaan—entah
apa, bukan sesuatu yang tidak rumit dan muskil. Sesungguhnya kesederhanaan
itulah kepelikan yang muskil bagaikan air hujan. Tetapi kepelikan dan
kemuskilan yang telah meraih kearifan. Kearifan yang tak sering diucapkan dalam
polemik dan perdebatan. Sebab menurut orang bijak entah siapa, kearifan dapat
membuat orang diam. Atau berdebat dengan tak mengagungkan dirinya, dengan tak
perlu mengeluarkan semua senjata berat seperti granat atau hulu ledak nuklir
cuma untuk membunuh seekor lalat.
Di dalam kesederhanaan itulah seseorang menempuh perjalanan.
Kemurnian kehendak—dalam khasanah Islam, yang membuat sesuatu menjadi suci.
Bukan lantai atau bangunan yang suci. Bukan benda. Benda-benda dan ilmu menjadi
suci lantaran disepuh oleh niat baik dan gerak hidup seseorang di dalam
merawat, menjaga, atau menggunakan benda atau ilmunya. Bukan benda atau ilmu
yang keramat, melainkan hati manusia yang menjaga dan mengambil nilai dari
benda atau ilmu tersebut yang sejatinya keramat. Ia memetik hikmat—bukan
“berhikmat” dengan pengertian arti kata dan istilah belaka yang diributkan
segelintir orang perihal sikap terhadap sains—dan nilai dari suatu benda,
peristiwa, ilmu dengan sikap jiwa yang “rendah hati”. Rendah hati dalam
pengertian tertentu di kalangan pesantren, tak lain ketundukan atau
keberhikmatan dan nilai, pun penempaan diri di dalam realitas untuk tak
bertahta di atas apa saja. Melainkan bersamanya, mengarifi, melewati realitas
itu dengan harapan.
Kesederhanaan dan kesunyian dalam ziarah itulah yang dikisahkan
dengan asik dalam novel karya A. Syauqi Sumbawi ini. Saya rasa, perjalanan
ziarah ke makam 9 Wali di Jawa, tak lazim dituliskan dalam bentuk novel.
Kebanyakan kita memperoleh keterangan perihal ziarah ke makam wali 9 di Jawa
dari buku panduan wisata atau catatan perjalanan. Tentu saja tak dapat
mengobati kehausan siapa saja yang ingin lebih mendalam mengerti perihal kenapa
9 makam itu harus diziarahi. Tetapi lewat novel dengan narasi yang mengalir indah
ini, Sumbawi cukup berhasil membawa nilai-nilai Islam yang cair yang telah
membumi dalam tradisi orang-orang pesantren. Ketakjuban kepada Tuhan selalu
saja tergambar pada setiap peristiwa yang ditempuh dalam perjalanan ziarah yang
tak lazim itu. Sesuatu yang seringkali dilupakan para pemeluk keimanan.
Ketakjuban yang menghilang dalam tumpukan rutinitas hidup yang berulang-ulang,
kepintaran yang dilekati status pendidikan, posisi sosial, pencapaian ekonomi
yang aman sentosa, dan entah apa lagi. Hilanglah yang transendental. Tinggal
kepenatan dan kegagapan menjalin komunikasi yang cair dan berdaya. Satu sisi,
ketakjuban tanpa penghayatan pada kenyataan, justru membuat orang merasa harus
“men-tuhankan” segalanya. Misalnya ia meyakini virus diperintah Tuhan, matahari
terbit atas kehendak Tuhan, dan seterusnya. Meski keyakinan itu tak salah,
namun ia cukup ampuh memforsir jiwa sehingga kering kerontang dari nilai
keimanan yang seyogianya dapat melihat kenyataan sebagai bentangan ilmu dan
hikmat yang berpeluang bagi seseorang menemukan ketakjuban terhadap kehidupan,
yang membawa pada kesadaran pribadi yang berpijak akal-pikiran pada kenyataan
semesta, bahwa pada hakikatnya segalanya hanya ulah Tuhan belaka.
Novel ini kaya dengan uraian nilai-nilai tasawuf. Pengertian
tasawuf yang rumit menjadi begitu sederhana, mudah dipahami, dan mengalir
melalui pengalaman perjalanan tokohnya yang bernama lengkap Mustafa
Ibrahim—kemudian karib dipanggil Ib, tanpa kalimat-kalimat yang menggurui. Ia
hanya bercerita. Sesekali menyusupkan teks-teks agama seolah tanpa disengaja.
Barangkali mirip permulaan kisah “Rafilus” atau jejak fakta dalam “Olenka”-nya
Budi Darma. Meski tentu Sumbawi tak berfokus pada perihal tersebut. Dalam novel
ini, dengan telaten Sumbawi melanskapkan sejarah dan kisah-kisah tutur yang
sangat asik dan menakjubkan dengan narasi yang segar mengalir di setiap tempat
ziarah yang didatangi tokoh novelnya. Novel ini bagai ensiklopedia Wali Songgo
yang mashur di Jawa secara dalam dan mengesankan, lantaran ia berbentuk cerita
panjang. Secara ringan, pelan-pelan orang merasa ada sesuatu yang menyadarkan
dirinya, pelan-pelan dimasuki hikmat dan ilmu yang telah disepuh dalam
perjalanan dan kerendahatian ala pesantren tatkala membaca kisah novel ini.
Novel ini bagai potret kenusantaraan, bukan keislaman. Meski ia dibangun dari
ritus ziarah yang lazim dalam khasanah Islam. Agaknya Sumbawi berhasil keluar
dari kurungan primordial suatu agama dengan cerdik seperti Abu Nawas yang lolos
secara jenaka dari jebakan kekuasaan. Narasinya yang ringan dan mengalir segar
membuat siapa saja yang memiliki minat pada nilai-nilai Islam—atau lebih
tepatnya watak kenusantaraan yang harmonis itu, yang cair dan unik tak akan
berhenti membaca sampai akhir perjalanan tokoh utamanya yang selalu bersikap
sebagai pendengar sebagaimana lazim orang timur. Watak pribumisasi Islam
sebagaimana yang dikemukakan mendiang Gus Dur—dalam novel tipis ini, amat
kental dan penuh kemesraan dan toleransi. Siapa pun yang punya kehendak
mengerti apa maksud dan pengertian dari pikiran Gus Dur yang termashur, yang
disebut “pribumisasi Islam” atau nilai kenusantaraan itu, dengan cara yang
lebih karib, akan menemukan jawaban dan suguhan yang khas tak mengecewakan
dalam novel ini. Misalnya tatkala tokoh Ib mendengar kisah dibuatnya “Asta
Sanghika Marga” oleh Sunan Kudus, segera tergambarlah di situ kearifan
pribumisasi Islam dan watak lokal yang ramah dan bijaksana tersebut. Nama yang
dipakai tidak perlu diambil dari kata berbahasa Arab, sebab wilayahnya bukan
wilayah Arab, tapi memakai bahasa Jawa dan dengan istilah bahasa dari agama
setempat. Itu sama sekali tak mengurangi nilai Tauhid dalam Islam yang luas dan
humanis. Sifat “ngopeni” (merawat) dikerjakan secara alamiah. Dikerjakan dengan
tanpa “mengislamkan” siapa pun. Di sini watak Islam yang menghargai perbedaan
agama dan menghormati perpindahan atau pilihan agama (hifdzu al-dien) begitu
nyata dalam perilaku para pendahulu, dan Sumbawi dengan piawai merangkainya
dalam narasi yang memikat. Membaca novel “9” ini, saya agaknya disadarkan bahwa
barangki Wali 9 itu sejatinya memang tidak pernah “mengislamkan Jawa”. Mereka
hanya para perantau yang menjaga tradisi dan nilai kemanusiaan di dalam tradisi
setempat. Lantaran istilah “mengislamkan tanah Jawa” tak lain “bahasa politik kekuasaan”
belaka untuk mengontrol masyarakat, mungkin sejak Demak sampai periode Orde
Baru dengan “cendekiawan muslim”-nya atau “menjelis ulama”-nya.
Novel Sumbawi itu membentangkan nilai kearifan yang diraih para
pendahulu untuk membumikan ajaran agama tanpa mengusik unifikasi lokal, atau
tanpa “meng-agamakan” yang kultural, dan yang partikular. Ajaran Islam yang
murni justru terletak pada “daya tafsir” yang jujur terhadap ruang dan
waktu—yang dituangkan dengan adagium “al-islamu shalihu likulli zaman wal-makan”,
sikap pribadi yang “membersihkan diri” dengan pengentasan penderitaan,
“menegakkan nilai kemanusiaan” dalam sikap hidup sehari-hari, dan kesadaran
atas nama-nama-Nya yang maha luhur. Pengertian menarik ini meniscayakan
pencapaian akal-pikiran dengan ilmu, nilai-nilai, dan keteladanan.
Membaca novel ini seolah membaca kembali “Orang Jawa Naik Haji”
karya Danarto. Pengalaman keagamaan, mistik, dan ketakjuban berjalin dinamis
dalam tradisi yang dibawa orang Jawa sejak lahir (gawan bayi). Barangkali lirisme
Sumbawi bagai Juan Ramon Jimenez yang tak berfilsafat dengan metafora yang
rumit dalam narasinya “Platero and I” (1917), diterjemah bahasa Inggris oleh
Eloise Roach. Ada sebentuk keprihatinan terhadap pahit penderitaan suatu
bangsa. Persoalan sosial: kemiskinan dan penindasan di jalanan. Itu semua
integral dalam penderitaan itu sendiri. Pada titik paling mematikan dari
kemiskinan, filsafat dan agama tak lebih cuma bualan dan omong kosong, bahkan
kematian tak lagi menyeramkan. Jimenez melakukan perjalanan dengan keledainya,
Platero. Ia melewati jalanan negeri Andalusia yang didera derita kemanusiaan.
Ia menjadi bagian di dalamnya.
Agaknya Sumbawi—dengan novel “9”-nya, mencoba pula memasuki
persoalan sosial negeri ini. Ketimpangan dan ketidakadilan. Namun semua itu
dihadapi dengan wajah yang sabar. Nyaris tanpa perlawanan yang menggedor-gedor.
Namun bukan tanpa kesadaran dan solidaritas. Ada suara perlawanan yang halus
dengan sindiran di situ. Ia melihat solidaritas sosial. Tokoh Ib merasakan
ketakjuban dari solidaritas dan sejumlah ketimpangan—yang seringkali atasnama
agama, dalam tiap perjalanan ziarahnya. Ia menggambarkan, bahwa seyogianya tiap
perjalanan mampu mempertalikan diri dengan segala yang dilewati. Tujuan
perjalanan hanya satu alasan suatu perjalanan ditempuh. Bagaimana tujuan itu
dicapai, bukan belaka apa yang menjadi tujuan. Itulah barangkali tafsir humanis
dari kata “ziarah” dalam tradisi Islam di Jawa yang sering disalahpahami tidak
hanya bagi “orang lain”, tapi juga bagi pemeluk Islam itu sendiri. Meski
terlihat novel ini sering memberikan informasi dan penuturan berupa
nasehat-nasehat, namun narasinya masih terjaga dengan baik. Di samping itu,
rupanya Sumbawi masih enggan memberikan “kritik ke dalam” tradisi Islam di
Jawa. Kalau pun kritik itu ada, kritik tersebut begitu halus, nyaris tak
terdengar. Barangkali lantaran ia dibentuk kultur pesantren yang tak boleh
berkasar-kasar. Sumbawi tak membangun narasi kehidupan keberagamaan sebagaimana
narasi Djamil Suherman atau A. A. Navis umpama. Atau benturan antara agama dan
kemajuan yang dilewati dengan segala keteguhan, suka-duka, dan perasaan yang
mendalam serta kepahitan sebagaimana Chaim Potok atau Naguib Mahfouz. Narasi
Sumbawi seirama A. Mustofa Bisri, gaya tutur orang pesantren yang tak asing
dengan bahasa Arab terasa lezat. Namun narasi Sumbawi dalam novel ini, cukup
penting memasuki pengertian perihal betapa sesungguhnya agama
nusantara—terutama di Jawa, sangat humanis, mengayomi dan menghargai segala
perbedaan, dan penuh daya untuk membebaskan. Pembebasan yang bertitik pijak
pada nilai-nilai spiritual.
Dalam sebuah film Prancis garapan Ismael Feroukhi, “Le Grand
Voyage” (2004), dikisahkan perihal perjalanan. Seorang bapak melakukan
perjalanan dari Prancis ke Arab untuk menunaikan haji. Tatkala para “pangeran
minyak” datang ke Prancis guna berpesta pora dan meniduri perempuan-perempuan,
justru seorang emigran yang tinggal di Prancis datang ke tempat para “pangeran
minyak” itu menunaikan panggilan spiritual: ibadah haji. Uniknya, perjalanan agung
tersebut tak dilakukan dengan pesawat. Melainkan ditempuh dengan mobil pribadi.
Sang bapak diantar anak laki-lakinya yang terbiasa hidup hura-hura ala Eropa.
Sang anak selalu berseberangan dengan pendapat dan sikap bapaknya yang
religius. Namun dengan telaten, sang bapak tak pernah menyesalinya. Banyak
dialog menarik dalam film ini. Sang anak jengkel, kenapa bapak tak berangkat
haji pakai pesawat? Kenapa harus pakai mobil, sehingga memakan banyak waktu dan
tenaga? Sang bapak menjawab dengan bahasa Arab yang indah, bahwa semua itu tak
lain demi kemurnian niat, bagai air lautan yang asin diuapkan ke langit, lalu
turun lagi menjadi hujan yang tak asin, murni sebagai air yang segar. Tokoh
Ibrahim dalam novel Sumbawi ini, bagai menggambarkan “perjalanan suci” itu. Ia
tak mengendarai bis rombongan sebagaimana sering dilakukan orang untuk
berziarah ke makam 9 wali. Melainkan Ib melakukan perjalanan dengan
keyakinannya, ia misalnya memulai perjalanannya dengan menumpang truk
pengangkut aspal. Dengan bekal seadanya. Kenapa Ib tidak naik rombongan bis?
Barangkali Sumbawi hendak menggambarkan, bahwa ajaran agama sejatinya adalah
kesunyian, yakni ruang personal yang takzim dan hikmat. Berziarah adalah laku
jiwa. Seseorang harus mencoba atau belajar menanggalkan semua materi dan status
yang melekat berat pada pundaknya, agar perjalanannya ringan dan membawa
harapan. Tanpa begitu, ziarah hanya wisata dan gaya hidup belaka. Seperti juga
ibadah haji yang terkesan “ramai” dan menyimbolkan status sosial. Tentu saja
hal itu demi mendekat sedekat mungkin pada ikhlas yang akan membawa seseorang
dalam “maqam” kedekatan kepada-Nya. Sehingga semangat pembebasan terhadap diri
dan penderitaan sesama menjadi panggilan religius yang selalu aktual. Ali
Syariati misalnya, menahbiskan integralitas Islam dengan sejarah. Berbalik dari
pandangan Karl Marx dan Weber, Ali Syariati menegaskan kesadaran dirilah yang
membentuk masyarakat. Sehingga nilai ideologis menempati ruang kokoh dalam
pikiran dan keyakinan sebagai pedoman untuk kehidupan yang layak bagi para
pengikutnya. Pandangan ini mensahihkan penegasan Gramsci; ideologi bukan semata
sistem ide. Syariati memahami Tauhid (ajaran keesaan dalam Islam) adalah jalan
pembebasan. Membebaskan manusia dari pembodohan, derita, bahkan doktrin yang diberhalakan.
Tauhid ialah sebuah pandangan yang memosisikan fakta sebagai realitas holistik,
universal, integral, dan utuh. Ia “memudahkan” manusia melakukan pembebasan dan
mengembangkan kebebasannya. Sehingga tiap orang bertanggungjawab penuh terhadap
apa yang diperbuatnya. Berbeda dengan Sartre yang mengharuskan manusia
bertanggungjawab pada dirinya sendiri.
Kemurnian niat dalam segala perbuatan (amal) baik, terlebih
diniatkan sebagai pengabdian kemanusiaan (ibadah), setidaknya dapat dicapai
dengan kesadaran manusia terhadap diri dan kehidupan sekelilingnya.
Mempertahankan nilai luhur dengan mengolahnya dalam dinamika dan dialektika
ruang-waktu, dalam metode Fiqh atau yurisprudensi Islam lazim disebut
“al-muhafadzatu ‘ala qadimis shalih wal-akhdzu bil jadidil ashlah”. Betapa
penting kemurnian hati dan niat. Ia bagai serumpun bunga di padang rumputan,
mata air di tengah gersangnya peradaban insan. Mungkin benar yang disabdakan
Rasul: “Innamal a’malu bin-niyat”. Segala perbuatan semestinya didasarkan pada
kemurnian niat di dalam hati: keluhuran kemanusiaan.
Dan novel berjudul “9” karya A. Syauqi Sumbawi ini membawa kita
pada pengertian penting dalam Islam tersebut. Pengertian dan sikap kemanusiaan
yang seringkali diabaikan orang pada hari ini.
Selamat membaca.
Sobo, Banyuwangi, 2020
_________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab.
Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh
pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah
terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala”
[PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari
Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam,
Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat
Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan”
(PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di
Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar