Oleh A. Syauqi Sumbawi
Bencana merupakan salah satu peristiwa penting yang
selalu mengiringi kehidupan manusia. Di masa lampau, berbagai kisah bencana
dapat kita temukan pada peristiwa, seperti banjir besar pada masa Nabi Nuh dan
sebagainya.
Sementara di Indonesia, berbagai bencana dalam beberapa
tahun terakhir dapat dilihat dari peristiwa gempa bumi dan tsunami di wilayah
Aceh. Gempa bumi di wilayah Jogjakarta, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Pulau
Nias, Palu, dan wilayah lainnya. Erupsi gunung Merapi, gunung Raung, gunung
Kelud, gunung Sinabung, gunung Gamalama, dan sebagainya.
Kebakaran hutan dan asap yang kerap melanda wilayah Riau
dan sekitarnya. Banjir bandang dan tanah longsor di Pacet Mojokerto, Jember,
dan sebagainya. Begitu pula banjir yang hampir setiap tahunnya melanda kota
Jakarta dan kota-kota lainnya.
Bencana:
Peristiwa Kemanusiaan
Secara umum, penyebab bencana dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu proses alam dan ulah tangan manusia, di mana keseluruhannya
memengaruhi kehidupan manusia. Di sini, berbagai bencana yang terjadi tidak
bisa dimaknai sebagai keberadaan yang mengancam nyawa serta merenggut harta dan
benda semata, tetapi juga menjadi sesuatu yang menggerakkan kehidupan manusia
secara dinamis.
Ekspresi terkait hal tersebut dapat kita jumpai pada
berbagai aktivitas manusia dalam upaya penanggulangan dan pencegahan. Program
penanaman pohon di lahan-lahan gundul. Aktivitas pelestarian lingkungan dan
solidaritas sosial masyarakat dalam membantu dan memulihkan kondisi korban,
baik material maupun psikologis. Juga ekspresi spiritualitas manusia, seperti
doa dan ritual keagamaan dalam upaya meringankan beban bencana dan
sebagainya.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa bencana adalah
peristiwa kemanusiaan. Dalam arti, bencana selalu menyertai kehidupan manusia
dalam waktu dan tempat di mana pun berada, serta tidak bisa dilepaskan dari
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, agama, budaya, maupun
politik.
Kendati demikian, hal yang perlu kita lakukan adalah
mengantisipasi kondisi terburuk dari apa yang diakibatkan oleh bencana
tersebut.
Kapal
Nuh dan Mitigasi Bencana
Kisah Nabi Nuh dan pembuatan kapal barangkali menjadi hal
penting untuk dikemukakan pada tulisan ini. Umumnya, dalam mengungkapkan kisah
tersebut, tradisi keagamaan lebih menitikberatkan pada makna kemanusiaan yang
ditampilkannya, terutama nilai-nilai spiritual dan religiositas terkait
bencana.
Akan tetapi, dalam pembacaan lain, kita pun sebenarnya
mendapatkan pelajaran dari kisah di atas, yaitu sebuah strategi dalam
menghadapi bencana, baik pra-bencana, tanggap darurat, maupun pasca bencana.
Sebagaimana diketahui, proses pembuatan kapal Nuh
dilakukan jauh-jauh hari sebelum banjir terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa
informasi tentang bencana itu sebenarnya telah diberitahukan sebelumnya. Jika
Nabi Nuh mendapatkan informasi tersebut melalui wahyu, maka umat manusia dapat
mengetahuinya dengan membaca kondisi alam sekitar—kauniyah—.
Secara teknis, informasi dan prediksi pun bisa kita
peroleh melalui perangkat-perangkat teknologi dan ilmu pengetahuan, seperti
yang telah dilakukan oleh BMKG. Karena itu, informasi bencana dan peringatan
dini harus tersosialisasikan secara maksimal kepada masyarakat, terutama yang
tinggal di daerah rawan bencana.
Episode kapal Nuh pada saat banjir menggambarkan tanggap
darurat bencana. Di sini, “kapal” merupakan simbol dari kondisi darurat, yaitu
bukan tempat tinggal manusia yang sebenarnya, melainkan tempat dan upaya
manusia untuk menyelamatkan diri. Hal yang perlu digarisbawahi dari episode
ini, yaitu adanya rencana yang efektif dan persiapan yang matang dalam
menghadapi kondisi darurat.
Karena itu, pada tanggap darurat, idealnya tempat tinggal
darurat telah siap untuk menampung para korban bencana. Untuk mengantisipasi
jatuhnya korban jiwa manusia, maka sosialisasi terkait teknis penyelamatan diri
perlu dilakukan sebelumnya secara maksimal kepada masyarakat. Begitu juga
optimalisasi kegiatan search dan rescue (SAR)
dan bantuan darurat lainnya.
Berikutnya, episode kapal Nuh setelah banjir, yang
mendarat di tempat yang aman di muka bumi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
batasan tertentu, relokasi perlu dilakukan kepada masyarakat di daerah rawan
bencana. Selain itu, episode tersebut juga dapat dimaknai sebagai upaya
perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali
sarana dan prasarana seperti kondisi semula.
Di sini, rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan
harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta harus menyentuh aspek
kemanusiaan, baik rehabilitasi fisik maupun psikis. Kemudian yang terpenting
dari kesemuanya adalah program pencegahan bencana secara berkelanjutan.
Menilik keberadaan bencana sebagai peristiwa kemanusiaan
dan kisah Kapal Nuh di atas, maka proses pencegahan dan mitigasi sebagaimana
digambarkan pada tahap pra bencana harus menjadi prioritas, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Kemudian sebagai syarat mutlak untuk dapat hidup
berdampingan dengan bencana, maka pengenalan terhadap alam sekitar dan
kesadaran yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan harus terus dikembangkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan komitmen dan upaya bersama, tentunya hal di atas
akan menjadi arah positif agar Indonesia tidak menjadi “negeri bencana”. Biar
tidak berdampak lebih merana.[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar