Oleh
A. Syauqi Sumbawi
Pada umumnya, berbagai budaya lokal yang hidup dan
berkembang di masyarakat mengarah pada konstruksinya sebagai budaya spiritual.
Maksudnya, budaya tersebut selalu berkaitan dengan aspek kepercayaan
masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan Dzat yang Menguasai
Kehidupan.
Dalam hal ini, harmonisasi hubungan antara manusia dengan
Tuhan menjadi arah dari berbagai budaya tersebut. Salah satu contoh dari budaya
spiritual tersebut adalah tradisi ruwat bumi yang berkembang di masyarakat
Jawa.
Istilah ruwat bumi terdiri dari dua
kata, ruwat dan bumi. Kata ruwat merupakan term dalam bahasa
Jawa Kuno yang berarti lebur, melebur, atau membuang. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, term ruwat memiliki dua arti, yaitu pulih kembali sebagai keadaan
semula dan terlepas dari nasib buruk yang akan menimpa.
Menurut keyakinan masyarakat Jawa, ruwat atau ruwatan
merupakan salah satu cara untuk melepaskan diri dari dominasi energi negatif
yang disebut sengkala dan sukerta. Sementara istilah bumi menunjuk pada
pengertian bumi itu sendiri, di mana apabila dikaitkan dengan lokalitas budaya
berarti lingkungan hidup atau ekologi setempat.
Tradisi ruwat bumi dapat dikatakan sebagai upaya
rekonsiliasi antara manusia dengan lingkungan hidup, di mana Tuhan menjadi
pusat dari relasi tersebut. Karena itu, tidak heran jika keseluruhan ritus dan
berbagai simbol yang dimunculkan dalam tradisi tersebut pada umumnya merupakan
manifestasi dari rasa syukur terhadap Tuhan atas segala yang telah
diberikan-Nya melalui lingkungan hidup, serta doa kepada Tuhan agar dihindarkan
dari berbagai macam bahaya yang ditimbulkannya.
Pada titik ini, tradisi ruwat bumi merupakan salah satu
proyeksi dan manifestasi dari kesadaran spiritual atas keberadaan manusia
sebagai makhluk lingkungan.
Dalam posisinya sebagai makhluk lingkungan, eksistensi
manusia dalam seluruh aktivitas hidupnya, baik fisik maupun non-fisik,
dipengaruhi dan memengaruhi lingkungan yang menjadi manifestasinya tersebut.
Apabila pengaruh lingkungan cenderung pasif, maka pengaruh manusia lebih
bersifat pasif. Pada konteks ini, dapat dikatakan bahwa segala perilaku ekologis
manusia memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan baik positif maupun
negatif.
Berkaitan dengan hal di atas, salah satu masalah krusial
dan global yang dihadapi oleh manusia adalah kerusakan lingkungan hidup.
Permasalahan ini tidak hanya ditandai dengan berbagai fenomena alam, seperti
tanah longsor, banjir, global warming, perubahan iklim (climate change), krisis
air bersih, dan sebagainya, tetapi juga menunjuk pada penurunan kualitas sumber
dayanya.
Permasalahan makin kompleks seiring perkembangan
kehidupan manusia yang multi-dimensional. Proses dan tujuan pembangunan yang
hanya bertumpu pada kemajuan teknologi dan pencapaian kesejahteraan manusia,
terutama ekonomi, pada kenyataannya membawa kehidupan manusia pada kondisi yang
timpang.
Di samping sasaran dan tujuan yang tidak tercapai secara
maksimal, pembangunan tersebut malah mengakibatkan rusaknya sendi-sendi
keberlanjutan sumber daya lingkungan hidup. Bahkan, proses pembangunan
menampilkan kegagalannya sendiri, yakni keberadaan lingkungan hidup yang makin
tidak ramah bagi kehidupan manusia.
Kompleksitas permasalahan di atas, tidak dipungkiri,
dipicu pula oleh pemahaman manusia yang instan dalam merespons fenomena alam.
Misalnya, penggunaan hasil-hasil teknologi seperti AC (air conditioner) dan
kulkas, sebagai “jawaban” manusia modern atas meningginya temperatur
udara.
Memang, modernisasi merupakan proses yang tidak
terhindarkan dalam historisitas umat manusia, tetapi hal tersebut tentunya
tidak boleh membunuh kearifan dalam memandang lingkungan hidup.
Pada konteks ini, harmonisasi antara dimensi ilmiah—ilmu
pengetahuan dan teknologi—dengan dimensi alamiah merupakan konstruksi penting
dari keberadaan manusia sebagai makhluk lingkungan dalam menyertai gerak
kehidupannya yang dinamis. Hal ini mengandung arti bahwa seiring pesatnya laju
modernisasi, idealnya diimbangi pula dengan tanggung jawab dan kepedulian yang
besar terhadap pelestarian lingkungan.
Seiring dengan perkembangan wacana kearifan lokal sebagai
pendekatan dalam penyelesaian berbagai masalah sosial dewasa ini, maka
eksplorasi nilai-nilai budaya terkait permasalahan lingkungan hidup di atas
menjadi keberadaan yang cukup signifikan. Pada konteks ini, kearifan lokal
sebagaimana yang terkandung dalam budaya ruwat bumi menemukan relevansinya
sebagai tawaran solutif bagi upaya konservasi lingkungan hidup.
Dalam konstruksinya sebagai kearifan lokal, tentunya
interpretasi budaya ruwat bumi tidak terbatas pada tradisi dan upacara adat
dalam sifatnya yang spiritual dan temporal an sich, tetapi juga
harus diposisikan secara utuh sebagai nilai-nilai budaya yang harus
terintegrasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Maksudnya, rekonstruksi ruwat bumi harus merupakan
sinergitas antara budaya spiritual dan budaya praksis di masyarakat. Dengan
demikian, tradisi ruwat bumi menjadi konstruksi budaya yang utuh, serta
mendorong masyarakatnya untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
konservasi lingkungan hidup sebagai salah satu upaya untuk melepaskan diri
sengkala atau sukerta secara praksis.[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar