Judul : Dalil Kiai Sutara
—sehimpun
fiksi dan esai—
Penulis : Taufiq Wr. Hidayat
Penerbit : Pusat Studi Budaya
Banyuwangi
Cetakan : Pertama, Juli 2020
ISBN : 978-602-53521-33
Ukuran : 14x21 cm, iii +
309 Halaman
Rehat membaca ulang buku “Dalil Kiai
Sutara” karya Taufiq Wr. Hidayat, tiba-tiba saya teringat pada tajug. Bangunan
atap berbentuk piramidal, seperti yang ada pada Menara Kudus dan Masjid Agung
Demak. Seperti diketahui, bentuk tajug umum menjadi bagian atap dari kontruksi
masjid-masjid di pulau ini, selain kubah pada perkembangan berikutnya. Tentu,
fungsinya bukan sekadar atap yang melindungi terik dan hujan. Lebih dari itu,
tajug adalah simbol kemanusiaan, yang menggambarkan pluralitas—empat sisi
bidang dari empat arah— dan transendensi—satu titik pusat di atas—.
Kemudian dalam diam, saya pun curiga.
Jangan-jangan, “Pancasila” juga terinspirasi dari bentuk tajug, dimana satu
nilai Ketuhanan (Yang Maha Esa) dan empat nilai kemanusiaan—universal dan
partikular dalam konteks ke-Indonesia-an—, tergambar di sana. Bukankah
“Pancasila” dikatakan sebagai hasil dari kristalisasi dari kehidupan masyarakat
yang telah berlangsung sejak zaman dulu di wilayah kepulauan ini?! Pada
keberadaannya sebagai nilai-nilai, Pancasila berproses dalam “bhinneka tunggal
ika” kehidupan masyarakat yang kental dengan religiusitas. Dan tampaknya,
kebudayaan masyarakat pun berkembang pada kerangka spiritualitas.
Entahlah. Akan tetapi pada desain
tersebut, tajug seperti menegaskan bahwa hanya dengan kesadaran tentang
kemanusiaan dan menjadi manusia, seseorang akan sampai pada Tuhan.
Yah, kemanusiaan sebagai pendakian
menuju Tuhan inilah yang menjadi pesan utama dalam buku “Dalil Kiai Sutara”.
Melalui tokoh Kiai Sutara, dalil-dalil kemanusiaan—tafsir humanis—, dihadirkan
untuk menjawab pelbagai permasalahan, keanehan, dan juga penderitaan manusia,
sebagaimana dikemukakan tokoh aku—si santri dengkul— ketika sowan kepadanya.
Lantas, siapakah Kiai Sutara?!
Kabarnya, dia tinggal di Banyuwangi. Sebuah kabupaten di ujung timur pulau
Jawa, yang juga menjadi wilayah domilisi penulis. Di sebuah desa yang entah, di
rumah yang sederhana. Hidup dalam kesederhanaan, yang konon, dapat menyepuh
jiwa. Kesederhanaan yang tidak simpel. Bahkan, kepelikan yang rumit dan muskil.
Namun menyiratkan kearifan. Kesederhanaan yang mengingatkan saya pada ungkapan
“gitu saja kok repot” dari mendiang Gus Dur, yang menggambarkan kondisi manusia
yang tidak bisa lepas dari kebergantungannya kepada Tuhan.
Kiai Sutara bukanlah kiai pada umumnya.
Bukan penceramah pengajian umum yang biasanya digelar pada peringatan hari-hari
besar. Dia juga tak seperti kiai pengasuh pesantren. Tak ada bangunan pesantren
di sekitar rumahnya, kecuali mushala tempat anak-anak membaca al-Qur’an dan
mengaji kitab-kitab elementer, seperti “sullam safinah”. Juga shalat berjamaah
dengan tetangga. Meskipun tak pernah terlihat memegang tongkat khatib dan
menjadi imam shalat jum’at, tidak ada yang meragukan kedalaman ilmu, luas
wawasan, dan kearifan pandangannya.
Konon, Kiai Sutara hafal al-Qur’an.
Hafal kitab Ihya ulumuddin, karangan al-Ghazali yang kental dengan perpaduan
antara fiqh dan tasawuf, syariat dan hakikat. Dan yang membuatnya tampak
berbeda dengan kyai lainnya, selain menguasai kitab-kitab kuning, Kiai Sutara
adalah penggemar musik klasik, semisal karya Beethoven. Penggemar musik
dangdut, keroncong, dan wayang kulit. Ringkasnya, dia adalah seorang penikmat
seni serta pembaca sastra, filsafat, dan sejarah. Sebuah kegemaran yang
lagi-lagi mengingatkan saya pada sosok Gus Dur.
Entah, apa pentingnya?! Mungkin tidak
penting bagi kebanyakan orang. Namun, semua itu tampaknya sangat penting bagi
seseorang seperti Kiai Sutara. Terutama untuk menyapa kemanusiaan pada diri
orang lain yang dijumpainya, baik di warung kopi, di pasar, maupun yang datang
ke rumahnya.
Hal yang menarik dan tak bisa diabaikan
dari esai-esai dalam buku ini adalah hubungan dan dialog antara Kiai Sutara
dengan santri “dengkul” atau tokoh aku. Di sini, Taufiq Wr Hidayat menghadirkan
narasi-narasi agama dan kemanusiaan dalam bingkai cerita dan dialog yang tak
lazim. Di luar kebiasaan, namun terasa akrab. Gaya bicara Kiai Sutara yang
ceplas-ceplos serta ungkapan sarkastik, misalnya “santri guoblok!”, “raimu
celeng!”, “endasmu atos!”, “dengkulmu ambleg!” dan sebagainya menjadi sesuatu
yang khas dialamatkan pada tokoh aku. Begitu pula kebiasaan tidur dan mendengkur
usai men-jlentreh-kan persoalan.
Perilaku Kiai Sutara yang tidak lazim,
selain potensial, agaknya diarahkan untuk membangunkan daya kritis dan daya
kemanusiaan melalui narasi-narasi yang dihadirkan. Juga sebagai satire bagi
kalangan tokoh agama yang sok suci. Merasa paling benar bersama vonis takfiri
kepada pihak lain yang berbeda. Sebuah fenomena keberagamaan tersendiri dewasa
ini, sebagaimana digambarkan dalam ungkapan “akeh kang apal Qur’an hadise,
seneng ngafirke marang liyane”— banyak yang hafal dalil Qur’an dan hadits, tapi
suka mengkafirkan orang lain—. Demikian suara Gus Dur menjelang waktu adzan,
kerap saya dengarkan dari speaker masjid dan mushala, melantunkan bagian Syi’ir
Tanpo Waton.
Tidak dipungkiri, “merasa sok suci”
adalah godaan terbesar dari kalangan tokoh agama. Godaan yang menjauhkan
keberadaannya sebagai manusia. Yah, hanya manusia. Itulah gambaran yang agaknya
ingin ditampilkan Taufiq Wr Hidayat dari keberadaan Kiai Sutara dengan segala
kualitasnya. Manusia yang merdeka dari segala belenggu nilai yang diberikan
orang lain.
Sementara tokoh aku, si santri dengkul,
hanya cengengesan bersama ungkapan “ampun, kiai!” di sana-sini. Tidak pernah
mutung atas umpatan dan “perilaku kasar” gurunya. Tetap sowan dan menanyakan
segala permasalahan tentang manusia. Barangkali, si tokoh aku menganggap semua
itu adalah cara Kiai Sutara mendoakannya. Konon, ketika seorang kiai sedang
memarahi santrinya, maka di situlah doa-doa dipanjatkan.
Melalui tokoh aku, Taufiq Wr Hidayat
tampaknya ingin memperlihatkan karakter yang perlu dimiliki seorang santri,
yang manusia itu. Selain sikap tawadlu’, kondisi psikologis tidak gampang
mutung, dan karakter yang tahan banting, mengakui kebodohan diri akan mendorong
seseorang untuk terus mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan pada dirinya,
baik intelektual, moral, maupun spiritual. Hal ini penting, terutama untuk
ngaji dan ngopi, sebagaimana adagium santri yang popular, “sik gak ngaji yo
ngopi”.
Bukan sekadar mencari ilmu, ngaji lebih
mengarah pada upaya membuahkan ilmu melalui perilaku lahir dan batin dalam
hidup sehari-hari. Sementara ngopi, menunjuk pada laku kultural untuk menjalin
silaturrahmi serta proses solutif terhadap berbagai permasalahan, terutama
dalam ngopeni—merawat dan membina—masyarakat, yang tak lain adalah kumpulan
manusia. Karena itu, untuk bisa memanusiakan orang lain, seseorang harus tetap
menjadi manusia.
Lantas, bagaimana menjadi manusia itu,
Kiai?!
“Pertama, gak perlu sok suci ingin
menjadi orang baik. Jadilah orang yang bisa menghargai dirimu sendiri, orang
dekatmu, gurumu, dan sesama manusia. Kedua, gak perlu sok suci untuk tampak
baik. Tapi jadilah manusia yang mengerti tanggungjawabnya sebagai manusia, yang
konsisten pada pilihan hidupnya, yang memegang teguh komitmen kemanusiaannya sekecil
apapun.
---(Dalil Kiai Sutara, hlm. 23) ---
Yah, manusia dan kemanusiaan, itulah
yang menjadi muatan dari kumpulan esai dalam buku ini. Dari kesemuanya,
dalil-dalil kemanusiaan dari ajaran agama dikemukakan oleh Taufiq Wr Hidayat
melalui tokoh Kiai Sutara sebagai jawaban— sekaligus wacana—atas berbagai
persoalan keberagamaan masyarakat. Secara umum, hal tersebut ditengarai muncul
dari kesenjangan antara idealitas ajaran agama dan realitas umat beragama. Juga
permasalahan interpretasi yang acapkali melahirkan klaim kebenaran sendiri dan
kesesatan di pihak lain.
Tapi, bukankah di muka bumi, kebenaran
tidak lain adalah kemanusiaan itu sendiri?! Bukankah agama diperuntukkan bagi
manusia dan visi ajarannya adalah kemanusiaan?! Hal ini diungkapkan al-Qur’an seperti
pada ayat, alladzina yu’minuna bil ghaibi, wa yuqimunas shalata, wa mimma
razaqnaahum yunfiqun. Atau ayat, alladzina amanu wa amilu shalihati, wa
tawashau bil haqqi wa tawashau bis shabr. Dan banyak lagi.
Terkait hal tersebut, maka sungguh
ajaran agama tidak statis. Tetapi menghendaki hidup dalam perilaku—lahir dan
batin—seseorang yang mengaku beragama. Bukan sekadar slogan dan simbol,
melainkan lebih merupakan proses diri dan keterlibatan atas historisitas
kemanusiaan, sekecil apapun, bersama kesadaran dalam ruang transendensi.
Barangkali, inilah yang mengingatkan
saya pada bangunan tajug, yang menjadi bagian puncak atap masjid di desa tempat
tinggal. Keberadaannya seperti menegaskan bahwa kemanusiaan adalah proses dan
jalan menuju Tuhan. Kemanusiaan yang mengingatkan saya pada beranda masjid,
seperti mengisyaratkan bahwa kesalihan ritual belum sempurna tanpa kesalihan
sosial. Beranda, yang tak lain adalah bagian masjid yang terbuka dan tak
terhalang dinding, mengajarkan agar memperhatikan kondisi sekitar. Memiliki
kepedulian dan empati atas kondisi masyarakat. Memang, ibadah ritual dan
ketakwaan umumnya dikaitkan pada hubungan antara hamba dengan Tuhan. Namun, hal
tersebut harus pula memancar pada hubungan di antara sesama manusia. Juga
kepada makhluk-Nya yang lain.
Lepas dari semuanya, tulisan ini
sekadar catatan pembacaan. Juga menjadi “salam-salim” saya kepada Taufiq Wr.
Hidayat. Tentu, sangat jauh berbeda dengan esai-esai seri Kiai Sutara yang
terkumpul dalam buku “Dalil Kiai Sutara” dan beberapa buku, seperti “Serat Kiai
Sutara”, “Agama Para Bajingan”, dan “Kitab Iblis”, yang telah hadir sebelumnya.
[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar