Laman

Minggu, 01 November 2020

MEMBACA DALIL KEMANUSIAAN KIAI SUTARA


Judul : Dalil Kiai Sutara

—sehimpun fiksi dan esai—

Penulis : Taufiq Wr. Hidayat

Penerbit : Pusat Studi Budaya Banyuwangi

Cetakan : Pertama, Juli 2020

ISBN : 978-602-53521-33

Ukuran : 14x21 cm, iii + 309 Halaman

 

Rehat membaca ulang buku “Dalil Kiai Sutara” karya Taufiq Wr. Hidayat, tiba-tiba saya teringat pada tajug. Bangunan atap berbentuk piramidal, seperti yang ada pada Menara Kudus dan Masjid Agung Demak. Seperti diketahui, bentuk tajug umum menjadi bagian atap dari kontruksi masjid-masjid di pulau ini, selain kubah pada perkembangan berikutnya. Tentu, fungsinya bukan sekadar atap yang melindungi terik dan hujan. Lebih dari itu, tajug adalah simbol kemanusiaan, yang menggambarkan pluralitas—empat sisi bidang dari empat arah— dan transendensi—satu titik pusat di atas—.

Kemudian dalam diam, saya pun curiga. Jangan-jangan, “Pancasila” juga terinspirasi dari bentuk tajug, dimana satu nilai Ketuhanan (Yang Maha Esa) dan empat nilai kemanusiaan—universal dan partikular dalam konteks ke-Indonesia-an—, tergambar di sana. Bukankah “Pancasila” dikatakan sebagai hasil dari kristalisasi dari kehidupan masyarakat yang telah berlangsung sejak zaman dulu di wilayah kepulauan ini?! Pada keberadaannya sebagai nilai-nilai, Pancasila berproses dalam “bhinneka tunggal ika” kehidupan masyarakat yang kental dengan religiusitas. Dan tampaknya, kebudayaan masyarakat pun berkembang pada kerangka spiritualitas.

Entahlah. Akan tetapi pada desain tersebut, tajug seperti menegaskan bahwa hanya dengan kesadaran tentang kemanusiaan dan menjadi manusia, seseorang akan sampai pada Tuhan.

Yah, kemanusiaan sebagai pendakian menuju Tuhan inilah yang menjadi pesan utama dalam buku “Dalil Kiai Sutara”. Melalui tokoh Kiai Sutara, dalil-dalil kemanusiaan—tafsir humanis—, dihadirkan untuk menjawab pelbagai permasalahan, keanehan, dan juga penderitaan manusia, sebagaimana dikemukakan tokoh aku—si santri dengkul— ketika sowan kepadanya.

Lantas, siapakah Kiai Sutara?! Kabarnya, dia tinggal di Banyuwangi. Sebuah kabupaten di ujung timur pulau Jawa, yang juga menjadi wilayah domilisi penulis. Di sebuah desa yang entah, di rumah yang sederhana. Hidup dalam kesederhanaan, yang konon, dapat menyepuh jiwa. Kesederhanaan yang tidak simpel. Bahkan, kepelikan yang rumit dan muskil. Namun menyiratkan kearifan. Kesederhanaan yang mengingatkan saya pada ungkapan “gitu saja kok repot” dari mendiang Gus Dur, yang menggambarkan kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kebergantungannya kepada Tuhan.

Kiai Sutara bukanlah kiai pada umumnya. Bukan penceramah pengajian umum yang biasanya digelar pada peringatan hari-hari besar. Dia juga tak seperti kiai pengasuh pesantren. Tak ada bangunan pesantren di sekitar rumahnya, kecuali mushala tempat anak-anak membaca al-Qur’an dan mengaji kitab-kitab elementer, seperti “sullam safinah”. Juga shalat berjamaah dengan tetangga. Meskipun tak pernah terlihat memegang tongkat khatib dan menjadi imam shalat jum’at, tidak ada yang meragukan kedalaman ilmu, luas wawasan, dan kearifan pandangannya.

Konon, Kiai Sutara hafal al-Qur’an. Hafal kitab Ihya ulumuddin, karangan al-Ghazali yang kental dengan perpaduan antara fiqh dan tasawuf, syariat dan hakikat. Dan yang membuatnya tampak berbeda dengan kyai lainnya, selain menguasai kitab-kitab kuning, Kiai Sutara adalah penggemar musik klasik, semisal karya Beethoven. Penggemar musik dangdut, keroncong, dan wayang kulit. Ringkasnya, dia adalah seorang penikmat seni serta pembaca sastra, filsafat, dan sejarah. Sebuah kegemaran yang lagi-lagi mengingatkan saya pada sosok Gus Dur.

Entah, apa pentingnya?! Mungkin tidak penting bagi kebanyakan orang. Namun, semua itu tampaknya sangat penting bagi seseorang seperti Kiai Sutara. Terutama untuk menyapa kemanusiaan pada diri orang lain yang dijumpainya, baik di warung kopi, di pasar, maupun yang datang ke rumahnya.

Hal yang menarik dan tak bisa diabaikan dari esai-esai dalam buku ini adalah hubungan dan dialog antara Kiai Sutara dengan santri “dengkul” atau tokoh aku. Di sini, Taufiq Wr Hidayat menghadirkan narasi-narasi agama dan kemanusiaan dalam bingkai cerita dan dialog yang tak lazim. Di luar kebiasaan, namun terasa akrab. Gaya bicara Kiai Sutara yang ceplas-ceplos serta ungkapan sarkastik, misalnya “santri guoblok!”, “raimu celeng!”, “endasmu atos!”, “dengkulmu ambleg!” dan sebagainya menjadi sesuatu yang khas dialamatkan pada tokoh aku. Begitu pula kebiasaan tidur dan mendengkur usai men-jlentreh-kan persoalan.

Perilaku Kiai Sutara yang tidak lazim, selain potensial, agaknya diarahkan untuk membangunkan daya kritis dan daya kemanusiaan melalui narasi-narasi yang dihadirkan. Juga sebagai satire bagi kalangan tokoh agama yang sok suci. Merasa paling benar bersama vonis takfiri kepada pihak lain yang berbeda. Sebuah fenomena keberagamaan tersendiri dewasa ini, sebagaimana digambarkan dalam ungkapan “akeh kang apal Qur’an hadise, seneng ngafirke marang liyane”— banyak yang hafal dalil Qur’an dan hadits, tapi suka mengkafirkan orang lain—. Demikian suara Gus Dur menjelang waktu adzan, kerap saya dengarkan dari speaker masjid dan mushala, melantunkan bagian Syi’ir Tanpo Waton.

Tidak dipungkiri, “merasa sok suci” adalah godaan terbesar dari kalangan tokoh agama. Godaan yang menjauhkan keberadaannya sebagai manusia. Yah, hanya manusia. Itulah gambaran yang agaknya ingin ditampilkan Taufiq Wr Hidayat dari keberadaan Kiai Sutara dengan segala kualitasnya. Manusia yang merdeka dari segala belenggu nilai yang diberikan orang lain.

Sementara tokoh aku, si santri dengkul, hanya cengengesan bersama ungkapan “ampun, kiai!” di sana-sini. Tidak pernah mutung atas umpatan dan “perilaku kasar” gurunya. Tetap sowan dan menanyakan segala permasalahan tentang manusia. Barangkali, si tokoh aku menganggap semua itu adalah cara Kiai Sutara mendoakannya. Konon, ketika seorang kiai sedang memarahi santrinya, maka di situlah doa-doa dipanjatkan.

Melalui tokoh aku, Taufiq Wr Hidayat tampaknya ingin memperlihatkan karakter yang perlu dimiliki seorang santri, yang manusia itu. Selain sikap tawadlu’, kondisi psikologis tidak gampang mutung, dan karakter yang tahan banting, mengakui kebodohan diri akan mendorong seseorang untuk terus mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan pada dirinya, baik intelektual, moral, maupun spiritual. Hal ini penting, terutama untuk ngaji dan ngopi, sebagaimana adagium santri yang popular, “sik gak ngaji yo ngopi”.

Bukan sekadar mencari ilmu, ngaji lebih mengarah pada upaya membuahkan ilmu melalui perilaku lahir dan batin dalam hidup sehari-hari. Sementara ngopi, menunjuk pada laku kultural untuk menjalin silaturrahmi serta proses solutif terhadap berbagai permasalahan, terutama dalam ngopeni—merawat dan membina—masyarakat, yang tak lain adalah kumpulan manusia. Karena itu, untuk bisa memanusiakan orang lain, seseorang harus tetap menjadi manusia.

Lantas, bagaimana menjadi manusia itu, Kiai?!

“Pertama, gak perlu sok suci ingin menjadi orang baik. Jadilah orang yang bisa menghargai dirimu sendiri, orang dekatmu, gurumu, dan sesama manusia. Kedua, gak perlu sok suci untuk tampak baik. Tapi jadilah manusia yang mengerti tanggungjawabnya sebagai manusia, yang konsisten pada pilihan hidupnya, yang memegang teguh komitmen kemanusiaannya sekecil apapun.

---(Dalil Kiai Sutara, hlm. 23) ---

Yah, manusia dan kemanusiaan, itulah yang menjadi muatan dari kumpulan esai dalam buku ini. Dari kesemuanya, dalil-dalil kemanusiaan dari ajaran agama dikemukakan oleh Taufiq Wr Hidayat melalui tokoh Kiai Sutara sebagai jawaban— sekaligus wacana—atas berbagai persoalan keberagamaan masyarakat. Secara umum, hal tersebut ditengarai muncul dari kesenjangan antara idealitas ajaran agama dan realitas umat beragama. Juga permasalahan interpretasi yang acapkali melahirkan klaim kebenaran sendiri dan kesesatan di pihak lain.

Tapi, bukankah di muka bumi, kebenaran tidak lain adalah kemanusiaan itu sendiri?! Bukankah agama diperuntukkan bagi manusia dan visi ajarannya adalah kemanusiaan?! Hal ini diungkapkan al-Qur’an seperti pada ayat, alladzina yu’minuna bil ghaibi, wa yuqimunas shalata, wa mimma razaqnaahum yunfiqun. Atau ayat, alladzina amanu wa amilu shalihati, wa tawashau bil haqqi wa tawashau bis shabr. Dan banyak lagi.

Terkait hal tersebut, maka sungguh ajaran agama tidak statis. Tetapi menghendaki hidup dalam perilaku—lahir dan batin—seseorang yang mengaku beragama. Bukan sekadar slogan dan simbol, melainkan lebih merupakan proses diri dan keterlibatan atas historisitas kemanusiaan, sekecil apapun, bersama kesadaran dalam ruang transendensi.

Barangkali, inilah yang mengingatkan saya pada bangunan tajug, yang menjadi bagian puncak atap masjid di desa tempat tinggal. Keberadaannya seperti menegaskan bahwa kemanusiaan adalah proses dan jalan menuju Tuhan. Kemanusiaan yang mengingatkan saya pada beranda masjid, seperti mengisyaratkan bahwa kesalihan ritual belum sempurna tanpa kesalihan sosial. Beranda, yang tak lain adalah bagian masjid yang terbuka dan tak terhalang dinding, mengajarkan agar memperhatikan kondisi sekitar. Memiliki kepedulian dan empati atas kondisi masyarakat. Memang, ibadah ritual dan ketakwaan umumnya dikaitkan pada hubungan antara hamba dengan Tuhan. Namun, hal tersebut harus pula memancar pada hubungan di antara sesama manusia. Juga kepada makhluk-Nya yang lain.

Lepas dari semuanya, tulisan ini sekadar catatan pembacaan. Juga menjadi “salam-salim” saya kepada Taufiq Wr. Hidayat. Tentu, sangat jauh berbeda dengan esai-esai seri Kiai Sutara yang terkumpul dalam buku “Dalil Kiai Sutara” dan beberapa buku, seperti “Serat Kiai Sutara”, “Agama Para Bajingan”, dan “Kitab Iblis”, yang telah hadir sebelumnya. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar