Catatan Kesan atas Novel “Ngrong” Karya S. Jai
(bagian 1 dari 2 tulisan)
Oleh A. Syauqi Sumbawi
Adalah sebuah keanehan,
bahwa dalam upaya memahami diri sendiri, manusia malah menemukan keberadaannya
sebagai misteri. Namun itulah realita hidup manusia di dunia, sebagaimana
dikemukakan Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown; bahwa manusia adalah keberadaan
yang sukar dipahami.
Memang, tidak sedikit para
ahli—terutama yang concern dalam kajian filsafat manusia—telah menawarkan
varian konsepsi mengenai manusia dari berbagai perspektif. Akan tetapi hal
tersebut tampaknya belum memadai serta bukan merupakan proyeksi manusia yang sebenarnya.
Pemahaman konseptual seperti homo socius, homo faber, homo economicus, homo
homini lupus dan sebagainya, lebih menunjuk pada ragam posisi dan peran—serta
tabiat—manusia yang multidimensional. Tersepai-sepai dan tidak mencerminkan
manusia secara utuh.
Kesulitan dalam memahami
manusia, secara umum disebabkan oleh permasalahan hidupnya yang kompleks. Tidak
hanya mengenai diri sendiri, kompleksitas tersebut juga lahir dari
keterkaitannya dengan sesama, lingkungan, serta keberadaan Dzat yang dikenal
sebagai Tuhan. Begitu juga keberadaan dan hidupnya yang notabene adalah
kauniyah, dimana kesemuanya menempatkan posisi manusia dalam upaya memahami
diri sendiri, yaitu subjek sekaligus objek, secara bersamaan.
Kompleksitas dalam diri
manusia inilah yang agaknya juga menjadi fokus dari novel Ngrong karya S. Jai.
Berangkat dari jalinan peristiwa yang hadir bersama cerita-cerita dan gambaran
keadaan yang lantas mengemuka, permasalahan manusia—terkait hidup, mati, cinta,
derita, dan bahagia—diungkapkan melalui tokoh Randu dalam upaya memahami diri
sendiri. Termasuk jalan pengasingan yang ditempuh serta pelepasan segala
hubungan terkait keberadaannya.
“Ngrong”: Antara Sastra dan Filsafat
Hadirnya novel ini, selain
menambah referensi pemikiran tentang manusia, juga memperkuat persepsi tentang
kedekatan hubungan antara sastra dan filsafat. Pada titik ini, jika disiplin
filsafat lebih mengarah pada wacana konseptual, umumnya narasi-narasi dalam
karya sastra lebih menyoroti perjuangan hidup manusia yang diyakininya, sebagaimana
terlihat pada karya-karya sastrawan, seperti Albert Camus, Jean-Paul Sartre,
Milan Kundera, Iwan Simatupang, dan sebagainya.
Kedekatan antara sastra dan
filsafat, agaknya juga diamini oleh Camus. Suatu kali dia pernah menuliskan,
“Jika anda ingin menjadi filosof, maka tulislah sebuah roman.” Yah, sebuah
roman atau novel, dengan karakter tokoh utama yang misterius, yang tidak peduli
dengan nilai dan norma sosial. Layaknya seorang asing, bahkan pada diri
sendiri. Dan inilah yang terbaca pada tokoh Mersault dalam novel L’Etrange
(Orang Asing) serta dalam karya lainnya seperti Le mythe de Sisyphe, Caligula,
dan La Peste (Sampar). Begitu juga karya Jean-Paul Sartre, misalnya Le Mur
(Dinding) dan La Nausea (Muak).
Pentingnya novel sebagai
ruang pemikiran filsafat, barangkali dapat dijelaskan bahwa melalui novel
(roman), pemikiran filsafat —kendati tidak eksplisit menunjuk filsafat
tertentu, misalnya eksistensialisme atau absurdisme— akan satu langkah lebih
jauh memasuki pikiran dan emosi pembaca dibanding disiplin filsafat pada
umumnya. Menggerakkan dan melibatkan dalam kelindan pikiran dan muatan
psikologis yang terbangun pada novel tersebut, yang barangkali beberapa
jejaknya memiliki kemiripan dengan apa yang dialami oleh pembaca. Dari
keduanya, apa yang dihadirkan adalah sama, yaitu sebuah pengaruh yang
terpancar.
Lantas, adakah
keterpengaruhan novel ini dengan filsafat eksistensialisme dan absurdisme?!
Atau dengan karya-karya Albert Camus dan Jean-Paul Sartre?! Tentu perlu kajian
lebih jauh untuk menjelaskannya. Akan tetapi, dua tokoh yang dikenal sebagai
sastrawan-filosof itulah yang muncul dalam pikiran saya ketika membaca novel
“Ngrong” ini. Permasalahan eksistensi manusia, absurditas, dan keterasingan
sangat kental dalam narasi-narasi yang terbangun di dalamnya. Begitu juga
romantisme dan kebebasan.
Pada novel dengan tebal
xiv+388 halaman ini, berbagai permasalahan di atas merembes dari hubungan
pernikahan, yang tak lebih dari sebuah kompromi si tokoh atas kehidupan seorang
dewasa pada umumnya, seperti yang juga diharapkan oleh masyarakat. Akan tetapi,
kehidupan yang terlembaga dalam pernikahan dan keluarga—juga ajaran agama—,
bersama status sebagai suami, ayah, dan tetangga, malah mengantarkannya pada
keterasingan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
…Dan ini berjalan belasan
tahun lamanya, dan aku bertahan hanya karena aku bisa melepaskan diriku untuk
menerima keadaan yang demikian. Aneh rasanya. Tetapi beginilah aku hidup. Aku
tidak menjadi diriku sendiri dengan segenap cintaku, melainkan aku berusaha
melihat diriku dengan bahasa, kata-kata, kalimat yang disampaikan terutama oleh
istriku padaku, disamping juga tak jarang dengan gerakan tangan, sorot mata
pandang, tangisan, dan yang paling sering dengan amarahnya padaku.
Lalu siapa sebenarnya
diriku, bagaimana keadaanku? Entahlah. Keadaanku pada suatu waktu seperti batu.
Pada kesempatan lain seperti layang-layang yang hilang benang. Berikutnya
bagaikan binatang atau pernah juga sih aku memang seperti seorang laki-laki,
seorang suami, seorang ayah dari anak-anakku yang agak benar. Bila keadaannya
seperti yang kusebutkan paling belakangan ini justru aku merasa seperti
tenggelam, atau sedang menghilang lenyap dari permukaan bumi ini. (hlm. 7)
Keterasingan
dan Pelarian diri dalam “Ngrong”
Kondisi terasing yang
dialami oleh tokoh aku—Randu—, sebagaimana narasi di atas, muncul ketika
berhadapan dengan gambar diri, penilaian, dan tuntutan yang berasal dari luar
dirinya. Di sini, keterasingan tak lain adalah kondisi dimana seseorang tak
bisa menentukan hidupnya sendiri, melainkan ditentukan oleh orang lain.
Terutama si istri yang kerap mengikatkan penilaian pada benar dan salah. Karena
itu, tokoh Randu hanya bertahan. Merasakan keterasingan, baik dalam keadaan
seperti batu, layang-layang putus, maupun yang lain.
Keterasingan sebagai tema
filsafat eksistensialisme pada narasi di atas juga disebabkan oleh keberadaan
manusia dalam keadaan “terpecah” bersama statusnya terkait sebuah keluarga.
Terlebih status ayah yang menyiratkan pertalian kuat (hubungan darah) antara dirinya
dengan yang lain (anak-anak). Dan sebelum mencapai batas yang paling mematikan
bagi eksistensinya, maka tokoh Randu meminggirkan diri ke jalan pelarian.
Ah, benarkah ungkapan di
atas menyiratkan pandangan eksistensialisme Sartre, bahwa “neraka adalah orang
lain”?! Namun, itulah yang muncul di kepala saya. Terlebih ketika berhadapan
dengan narasi berikut:
Aku lepaskan diriku sebagai suami dari istriku, ayah dari
anak-anakku, orang lain bagi tetangga-tetanggaku. Dalam keadaan demikian, aku
sering dan lebih tenang apabila merasa diriku bagai sebongkah batu. Setidaknya
berhati batu, kepala batu,… (hlm. 7)
Acuh tak acuh dan sak
karepe dewe, barangkali menjadi stereotipe yang dipahami umum, sekaligus
menjadi cara pelarian diri sementara—secara internal—dari keadaan yang membuat
tokoh Randu terasing. Dengan latar belakang profesi pengarang (sastra), jalan
pelarian diri berikutnya yang ditempuh Randu adalah menyuntukkan diri dengan
berkarya sastra. Tentunya, karya yang sarat dengan motivasi terkait keberadaannya,
sebagaimana diungkapkan berikut ini:
Maka tiada lain jalan
selain menjadikan diriku dan diriku yang lain—tepatnya suasana-suasana diriku
dan diriku yang lainlah—tokoh dalam adegan-adegan ini sebagai suatu
percobaan-percobaan. Percobaan sebagai apa? Percobaan untuk membebaskan diri.
Membebaskan diri dari apa? Dari kuasa keadaan. Karena keadaanlah sesungguhnya
tokoh utama drama yang kulakoni. Bukan hanya untukku melainkan juga bagi setiap
yang dikuasai oleh keadaan…
Ya, aku
menyediakan diriku untuk begitu banyak orang lain. Aku menjadi pusat perhatian.
Tepatnya aku menjadi pusat perhatian ketika aku menguraikan keadaan-keadaanku
akibat kuasa dari keadaan di luar diriku. Demikianlah aku menjadi pusat
perhatian juga oleh diriku sendiri, sebagaimana seorang lelaki atau perempuan,
seorang atau segerombolan orang yang khusyuk mempelajari diriku, mengukur aku,
mendiagnosa, mendekati, membaca, menganalisa, mengevaluasi, mengkritisi,
menilai diriku. (hlm.
14-15)
Sebagai pelarian lain,
Randu berusaha melepaskan diri dari ikatan hukum dan nilai yang pernah
ditentukan oleh manusia dan masyarakat. Memuntahkan semua yang terekam dalam
dirinya. Hingga benar-benar kosong esensi, dimana
…Yang
tersedia cuma keadaan-keadaan, suasana-suasana. (hlm. ix).
Ternyata, upaya tersebut
agaknya mustahil, seperti diungkapkan berikut ini:
…Entahlah, rasanya belum dan mustahil aku bisa mengeluarkan isi
kepalaku, otakku, kesendirianku, kesunyianku. Terlebih lagi, semakin aku
kosongkan diriku makin meyakiniku ruang-ruang kosong selanjutnya akan terisi
oleh sesuatu yang lain, setidaknya bunyi, gaung, sunyi, dan tentu saja bahasa
yang bergema-gema untuk bersuara mengharap makna (hlm. xii-xiii)
Yah, inilah ironi manusia.
Tak mampu benar-benar lepas dari keberadaan dirinya yang “menyejarah” bersama
waktu. Bagi tokoh aku, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kesadaran atas
eksistensinya, yaitu pengasingan diri. Atau keluar dari keadaan-keadaan yang
menyeretnya pada ikatan esensi yang diberikan oleh orang lain, terutama si
istri dan anak-anaknya. Dan tempat itu adalah sebuah kamar indekost di kawasan
Gubeng Kertajaya, Surabaya.
Romantisme
dan Kebebasan dalam “Ngrong”
Keniscayaan hidup bahwa
manusia tidak bisa hidup sendiri. Pengasingan diri Randu pun tidak benar-benar
asing. Bukan saja kenangan lama yang kembali terbuka—di kota yang dulu pernah
dia tinggal—, tetapi juga miripnya suasana rumah indekost yang mengingatkannya
tentang penyebab dia memilih jalan pengasingan diri, yaitu rumah dengan istri
dan anak-anaknya. Pada titik ini, hubungan dan ruang sosial agaknya selalu
tidak bisa lepas dari nilai dan identitas yang diberikan orang lain. Randu
menyaksikan hal tersebut dalam hubungan Mbak Yanik (ibu indekos) dengan nenek
tua (ibu angkatnya), yang penuh dengan suasana adu mulut dan kekacauan.
Terkait keduanya,
barangkali bisa dijelaskan bahwa menjadi tua dan tidak berdaya adalah salah
satu absurditas yang dihadapi oleh manusia. Terutama bagi seorang renta yang
terikat kuat pada kenangan di masa muda. Tidak seperti Randu yang menempuh
jalan pengasingan diri, satu-satunya jalan yang tersedia bagi nenek tua itu
hanya pada kata-kata yang disampaikan dalam adu mulut. Mungkin semacam pledoi
atas ketergantungan hidup, sekaligus menjadi hal yang dimaklumi secara umum
terkait hidup seorang yang renta. Atau berupa rentetan nilai atas diri seorang
anak terhadap orang tua—yang lebih tua—. Sementara melalui kata-katanya, mbak
Yanik berusaha membebaskan diri dari belenggu sebagai anak. Juga dari perasaan
malu karena tidak berlaku sesuai pandangan umum mengenai keberadaan yang
dipahaminya tersebut.
Pada bagian akhir episode
keduanya, dikemukakan sebagai berikut:
…dalam
beberapa bulan terakhir ini tampaknya sudah lepas kendali memuntahkan kata-kata
pada nenek tua yang kini cuma bisa berbaring di kasur itu. Perempuan tua yang
bahkan berak dan pipis pun hanya bisa dilakukannya di kamar itu menjadi sasaran
pembebasannya.
…Sempurna
sudah adu mulut dan kekacauan antara perempuan tua ibu angkatnya dengan Mbak
Yanik itu. Keduanya sudah betul-betul leluasa. Perempuannya anak angkatnya itu
telah bisa membebaskan dari belenggunya. Yaitu perasaan malunya terhadap
diriku… (hlm.
384)
Hadirnya nilai dan
identitas dari luar, juga dialami Randu ketika mendapatkan tawaran kerja
sementara pada sebuah LSM dari Bintarti. Perempuan teman lama yang membawanya
pada keadaan dan suasana untuk menghadirkan kenangan semasa menjadi mahasiswa
di jurusan bahasa dan sastra Universitas Airlangga. Namun kenyataan bahwa
Bintarti telah berubah—menjadi atasan di kantor—membuatnya merasa aneh.
Kemudian yang dipahaminya adalah:
…Aku
memerlukan panggung sandiwara itu untuk sejenak melarikan diri dari dunia
nyata.
Kuanggap
perjumpaanku kembali dengan Bintarti adalah sandiwara. Karena telah lebih
sepuluh tahun lamanya tak berjumpa. Aku harus menempatkannya sebagai perempuan
di panggung itu. Sementara aku tetap berdiri di sebuah dunia nyata, milikku
sendiri. Lalu aku mengenalinya kembali, menafsirkannya sebagai perempuan yang
sama sekali baru dan bukan perempuan sebagaimana dalam kenanganku… (hlm. 88)
Yah, keanehan itu adalah
kuasa waktu. Terbentang jarak yang cukup lebar antara kenangan dan kenyataan,
yang mengantarkan seseorang pada kondisi absurd. Meskipun demikian, satu hal
yang agaknya membuat Randu tidak melarikan diri, yaitu baik lingkungan indekos
maupun lingkungan kerja, keduanya tidak mengusik kesadaran dengan merampas
potensi kebebasan terkait pilihan hidup, juga dalam menentukan nilai-nilai dan
identitas dirinya. Termasuk pilihan menjadi orong-orong—yang tentu saja
bermakna simbolis—, bersama muatan esensi atas eksistensinya. Muatan esensi
yang bebas dari keterpengaruhan yang lain.
Akulah, seekor orong-orong yang benar-benar lebih sial takdirnya
ketimbang seekor kecoa bernama Gregor Samsa. Aku tak punya ideologi masa depan.
Aku tak cuma terancam sapuan air bah, banjir, longsor, atau serbuan binatang
(…) dan manusia yang menganggap diriku hama. Satu-satunya masa depan bagiku
adalah kepunahannya, dan masa kiniku adalah makan, makan, makan…
Aku, seekor orong-orong yang bisa merambat dengan cepat, terkadang
terbang, bukan berarti aku bisa menaklukkan waktu. Aku, seperti orong-orong
lainnya kawin mawin dengan pasangan-pasangannya, lalu berbiak tidaklah
bermaksud agar kehidupanku lebih baik kelak dengan menjadi kera, manusia atau
malaikat. Justru sebaliknya, oleh karena aku seekor orong-orong ini sadar diri
hanyalah persembahan alam semesta.(hlm. 195)
Membaca narasi di atas,
terutama pada tokoh Gregor Samsa, saya pun teringat pada karya Franz Kafka
berjudul Metamorphosis. Juga diingatkan oleh S. Jai melalui novel ini pada bab
15: Saat Terbangun dari Tidur Sudah Mendapati diriku Menjadi Orong-Orong. Tidak
pelak, saya pun membandingkan antara “si kecoa” Gregor Samsa dan “si
orong-orong” Randu Alam Agung. Berbeda dengan kisah si kecoa yang menggambarkan
perjuangan hidup manusia di tengah ketidakberdayaan dan keputusasaan, agaknya
si orong-orong mengarah pada perjuangan meraih eksistensi dirinya melalui jalan
pengasingan. Atau cenderung pada kondisi kesendirian. Kemudian, jika si kecoa
hadir dengan cita-cita moralitas dalam kehidupan yang materialistik, si
orong-orong hadir dengan cerita rakyat, yang mengaitkannya dengan Walisongo,
yang sarat dengan spiritualitas dan hikmah.
Barangkali, inilah karakter
orang Timur—apalagi bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa—, bahwa sebebas
apapun seseorang dalam kehidupannya, dia tidak bisa lepas dari kehidupan
masyarakat yang sarat dengan muatan spiritualitas, baik yang terlembaga melalui
ritual maupun dalam budaya.
Pada episode berikutnya,
spiritualitas itu semakin mengental bersama kehadiran tokoh Ratih dalam
kehidupan “si orong-orong” Randu. Tidak hanya menghidupkan kembali cinta dan
harapan terkait hidup, Ratih juga membuka tabir dan kenangan di masa lalu,
yaitu sepasang kekasih.
Bersambung ke
KESADARAN EKSISTENSI DAN MANUSIA SEBAGAI PERISTIWA (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar