Catatan
Kesan atas Novel “Ngrong” Karya S. Jai
Bagian
2 (Habis)
Oleh
A. Syauqi Sumbawi
Spiritualitas dan
Manusia sebagai Peristiwa
Kebebasan, itulah yang dijalani ketika
Randu menjadi orong-orong. Hal yang sama juga ketika dia mencebur (kembali)
dalam relasi dan kegiatan seni budaya di Surabaya. Berhenti sejenak di sini,
kehadiran novel “Ngrong” ini cukup penting menjadi catatan mengenai proses
berkesenian di kota tersebut, baik pengarang sendiri maupun para seniman
lainnya—dengan nama tercantum— di bidang sastra, rupa, musik, teater dan
sebagainya. Terutama bagi kalangan di luar kota. Dan tentu saja catatan
tersebut dari sisi pengalaman S. Jai sendiri.
Kemudian pada suatu malam acara
pembacaan puisi di sebuah kafe dekat makam Peneleh dalam rangka peringatan
menjelang empatpuluh hari kematian seorang penyair, Randu dan Ratih bertemu
secara tak sengaja. Pertemuan dengan latar narasi tentang kematian dan puisi,
diungkapkan sebagai berikut:
Kematian kukira tak pernah bisa
didekati sungguh atau dijauhi, sekalipun aku bersandar di pagar makam Peneleh.
Pun kematian juga tak dapat ditangkap dengan tangan masa lalu atau masa depan.
Barangkali memang kuakui dan kurasakan berada di makam Peneleh ini, aku seperti
melancongi kematian di masa silam. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar
penting bagiku, kini? Bukankah ini sekadar perihal sejarah?
Lantas tentang puisi,
nyatalah benar aku tersedot energi puisi. Hanya saja aku tak secerdas puisi itu
sendiri menyingkap sebagai suatu alasan keberadaan. Aku tak bisa menguraikan,
terlebih perihal misteri kerinduanku pada suatu perjumpaan—entah dengan apa dan
siapa, yang fatalnya baru terbit sejak kejumudan menguasai diriku belakangan
ini. (hlm. 217-218)
Kematian dan sejarah yang menyiratkan
kenangan yang tak berubah, puisi dan kerinduan yang kental dengan daya
spiritualitas, serta dorongan dalam diri yang sulit dijelaskan—semacam
keyakinan pada takdir yang kerap terabaikan—, dimana kesemuanya seperti
menghadirkan jawaban atas keberadaan. Dan itu adalah Ratih Keswari.
Sejak malam itu, kerinduan yang
menggumpal selama duapuluhtiga tahun perlahan mencair. Membasahi dua jiwa yang
kering, dimana keduanya terikat dalam ikatan pernikahan tanpa dasar cinta.
Bersama Ratih, Randu seperti menemukan cinta sejatinya. Tak lagi melihat
dirinya seperti orong-orong, melainkan seekor burung jantan yang terkurung
dalam sangkar. Dia gembira karena ada seekor burung betina menclok dan
menemaninya.
Mengetahui sepasang burung saling bersahut
kicauan di halaman rumah, si istri lantas membuka pintu sangkar. Membebaskan
Randu dari ikatan pernikahan dengannya.
Akan tetapi, Ratih bukanlah seekor
burung. Dia adalah belantara yang penuh misteri. Dalam lingkaran
spiritualitas—majlis dzikir yang diikutinya—Ratih ibarat belantara yang belajar
berdamai dengan diri sendiri, untuk menjadi yang semestinya. Belantara yang
merindukan kicau burung. Tidak hanya Randu, tapi untuk semua, yang menandakan
keberadaannya yang damai.
Yah, inilah gambaran imajiner saya
mengenai apa yang terjadi pada Randu dan Ratih setelah pertemuan kembali itu.
Gambaran ini sengaja saya kemukakan mengingat sub-bahasan salah satunya
mengenai spiritualitas, dimana burung kerap menjadi simbol. Tapi, burung ini
bukan burung yang itu. Ups! He7x.
Ah, hanya bercanda. Maklumlah, saya
perlu bercanda ketika menuliskan bagian ini. Menyesuaikan dengan muatan
psikologis “si burung” Randu yang mlelek, biaya’an, dan pencolat-pencolot
ketika bersama Ratih. Keadaan dan suasana seperti ini hanya terjadi ketika
bersama Ratih. Selain dari itu adalah kemurungan, ngelangut, ndleming, seperti
suasana yang terasa dari bunyi vokal (u) dari panggilan namanya “Randu”. Dari
sebuah buku, itu yang pernah saya baca mengenai pembahasan suasana dalam puisi.
Maklumlah, banyak juga puisi bertebaran di bagian ini. Kalau tidak percaya,
silahkan anda tuntaskan membaca novel ini. Bahkan, Ratih pun adalah puisi.
Randu mengungkapkannya dalam dialog, misalnya sebagai berikut:
“Karena kau bukan
seperti Dewi Mus. Juga bukan Dewi Mus. Kau bukan penyair. Tapi bagiku kau
adalah puisi itu sendiri.”
“Sembarang.”
“Hehehe… gampang.” (hlm. 242)
“Aku mencintaimu
bukan karena sosokmu, Ratih. Aku mencintaimu sebagaimana puisi. Kau adalah
puisi. Sebagaimana pada sejarah aku tak menyukai tokoh, namun aku mengagumi
peristiwa, keadaan, dan suasananya.” (hlm.
247)
“Apa maksudmu karena
kita sama-sama telah punya keluarga?”
“Oh, bukan. Itu bukan
masalah. Itu takdir yang lain, Randu.”
“Lalu? Apa?” desakku.
“Coba tengok masa
lalumu, tak jauh dari hari ini.”
“Oalah. Jangan kau
permalukan aku, ah. Ini artinya aku berubah karena telah tumbuh benih baru
dalam perjalanan hidupku, karena menemukanmu, Ratih.”
“Masak? Apa
sebetulnya ini bukan karena kita telah menemukan diri sendiri?”
“Hmmm… Sembaranglah.
Suka-suka.”
“Oh iya, aku lupa.
Bilang saja kamu telah menemukan puisi!”
(hlm. 256-267)
Ratih adalah puisi. Randu tersedot
energi Ratih, yang saat itu berada dalam lingkaran spiritualitas. Dan ungkapan
‘Apa sebetulnya ini bukan karena kita telah menemukan diri sendiri?”
mengingatkan kita pada sebuah hadits yang masyhur dalam dunia tasawuf, ‘man
arofa nafsahu faqod arofa rabbahu’—barangsiapa mengenal dirinya, maka dia
(bisa) mengenal Tuhannya—.
Pada episode kebersamaan Randu dan
Ratih berikutnya, terutama setelah saling bertukar cerita, narasi tentang dunia
tasawuf kemudian mengalir dalam novel ini. Kisah para nabi, para wali, dan para
sufi diungkapkan, baik dalam bentuk cerita rakyat (wali di Jawa-Madura) maupun
tentang pencarian menuju Dzat wajibul wujud. Beberapa tokoh sufi periode
klasik, misalnya Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Al-Ghazali, hadir dalam
narasinya.
Semua itu merupakan inisiatif Ratih.
Dia melihat bahwa keterasingan dan kondisi kering spiritual yang dialami oleh
Randu, disebabkan oleh pemahaman agama yang tidak seimbang antara yang lahir
dengan yang batin. Hal ini disebabkan sejak kecil selalu dikenalkan dengan visi
agama yang hitam-putih. Antara dosa dan pahala. Surga dan neraka. Sebagaimana
kecenderungan dalam masyarakat. Dan kini, apa yang diupayakan itu telah
berproses. Randu mulai mendekat pada spiritualitas. Juga hikmah.
Itulah yang diharapkan oleh Ratih
setelah pertemuan kembali itu. Bukan menjadi kekasih yang diikat dalam
pernikahan, sebagaimana harapan Randu. Karena kehadiran Ratih hanya untuk
menjelaskan cintanya, yang membuatnya sulit berdamai dengan diri sendiri. Dia
tak ingin menjadi apa-apa dalam hidup Randu. Hanya semacam puisi.
Usai semua yang terjadi, termasuk
lepasnya hubungan dengan yang lain, Randu pun merasa bebas. Merdeka bersama
cintanya. Dia tak peduli dengan nilai dan identitas yang diberikan orang lain.
Tak akan mencari lagi memaknai keberadaannya. Hal tersebut diungkapkan pada
bagian akhir (epilog) novel ini, yaitu:
Setelah hampir 10
tahun, aku memutuskan keluar dari rong. Aku pindah dari rumah indekos tempatku
selama itu menepi dan menyepi. Aku belum berpikir hendak menuju ke mana. Namun
aku tidak pernah takut menjadi gelandangan, bahkan dengan mbambung menjadi
gedibal. Terlebih Ratih telah menyediakan segenap dirinya rumah bagiku. Ketika
meninggalkan gang dan tempat persembunyianku selama ini, aku tak lagi
sepenuhnya merasa diri selaku sosok manusia. Mungkin semacam lelaki. Barangkali
semacam puisi yang berdiri di tepi gang. Bukan milikku, tapi milik Ratih. Kami
boleh jadi telah lebur… (hlm. 387)
Randu telah lebur. Begitu juga Ratih.
Bukan lagi sebagai eksistensi. Bukan lagi keadaan-keadaan atau suasana-suasana.
Tapi ketahuilah, sebelum manusia terlibat dalam ilmu pengetahuan, filsafat,
cipta puisi dan sebagainya, mereka lebih dulu curiga, yakni peristiwa.
Kauniyah.
“Ngrong” dan
Referensi (Karya) Sastra
Secara umum, novel ini menghadirkan
manusia dalam upaya perjuangan meraih dan memaknai eksistensi dirinya. Kondisi
kering spiritual dan aburditas hidup menjadi buhul dari keterasingan yang
dialaminya. Pelarian diri adalah cara termudah, hingga memilih orong-orong
sebagai esensi dari keberadaannya, sekaligus jalan pengasingan. Bersama
kebebasan orong-orong, dia siap menyongsong masa depannya, yang tak lain adalah
kepunahan. Akan tetapi, kehadiran seseorang menghidupkan kenangan dan benih
cinta pada dirinya. Benih cinta yang belum sempat terjelaskan di masa lalu.
Cinta yang menariknya pada energi puisi dan spiritualitas.
Kehadiran novel ini agaknya dimaksudkan
S. Jai sebagai kritik terhadap filsafat eksistensialisme dan absurdisme, yang
barangkali dilihatnya sebagai pemikiran yang belum selesai. Melalui tokoh
Randu, dia seperti menunjukkan kepada kita bahwa fase terakhir dari perjalanan
kesadaran manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Iqbal, yaitu
mistik, ketika sumber-sumber terakhir dari hukum di kedalaman hati nuraninya
“menggerakkan” pendewasaan manusia.
Hal lain yang menarik dalam novel ini
adalah diungkapkannya karya-karya sastra lain dengan muatan tema yang
katakanlah serumpun, yakni perjuangan hidup manusia. Keterasingan, kebebasan,
dan sebagainya. Di antaranya adalah novel/ roman Belenggu karya Armijn Pane, Metamorphosis
karya Franz Kafka, Arus Balik karya
Pramudya Ananta Toer, Kitab Lupa dan
Gelak Tawa karya Milan Kundera. Khotbah di Atas Bukit karya Koentowijoyo,
dan banyak lagi. Selain bisa menjadi referensi (bagi pembaca), agaknya beberapa
karya tersebut dimaksudkan oleh S. Jai semacam tinjauan pustaka, atau
penelitian-penelitian terdahulu, sebagaimana karya ilmiah, semisal skripsi,
tesis, atau disertasi. Saya menduga, hal tersebut dilakukan agar pembaca bisa
tahu di mana posisi novel “Ngrong” di antara novel-novel tersebut.
Lepas dari keberadaannya sebagai karya
utuh, inilah catatan pembacaan saya. Dan sebelum perbedaan pendapat mengenai
novel ini terjadi di antara pembaca—termasuk saya—, baiknya hal tersebut
didahului dengan membaca novel ini hingga tuntas. Mumpung masih hangat. Setelah
itu kita bisa saling bersetuju. Bisa sependapat dengan catatan ini. Bahkan,
bisa berbeda pendapat. Tidak masalah. Karena berbeda, bukan suatu dosa. Bahkan,
perbedaan adalah rahmat. Tidak lain, agar di antara kita tumbuh semacam kasih
sayang. Bukan begitu, puan dan tuan?! [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar