Laman

Minggu, 01 November 2020

KESADARAN EKSISTENSI DAN MANUSIA SEBAGAI PERISTIWA (2)

Catatan Kesan atas Novel “Ngrong” Karya S. Jai

Bagian 2 (Habis)

Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

Spiritualitas dan Manusia sebagai Peristiwa

Kebebasan, itulah yang dijalani ketika Randu menjadi orong-orong. Hal yang sama juga ketika dia mencebur (kembali) dalam relasi dan kegiatan seni budaya di Surabaya. Berhenti sejenak di sini, kehadiran novel “Ngrong” ini cukup penting menjadi catatan mengenai proses berkesenian di kota tersebut, baik pengarang sendiri maupun para seniman lainnya—dengan nama tercantum— di bidang sastra, rupa, musik, teater dan sebagainya. Terutama bagi kalangan di luar kota. Dan tentu saja catatan tersebut dari sisi pengalaman S. Jai sendiri.

Kemudian pada suatu malam acara pembacaan puisi di sebuah kafe dekat makam Peneleh dalam rangka peringatan menjelang empatpuluh hari kematian seorang penyair, Randu dan Ratih bertemu secara tak sengaja. Pertemuan dengan latar narasi tentang kematian dan puisi, diungkapkan sebagai berikut:

Kematian kukira tak pernah bisa didekati sungguh atau dijauhi, sekalipun aku bersandar di pagar makam Peneleh. Pun kematian juga tak dapat ditangkap dengan tangan masa lalu atau masa depan. Barangkali memang kuakui dan kurasakan berada di makam Peneleh ini, aku seperti melancongi kematian di masa silam. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar penting bagiku, kini? Bukankah ini sekadar perihal sejarah?

 

Lantas tentang puisi, nyatalah benar aku tersedot energi puisi. Hanya saja aku tak secerdas puisi itu sendiri menyingkap sebagai suatu alasan keberadaan. Aku tak bisa menguraikan, terlebih perihal misteri kerinduanku pada suatu perjumpaan—entah dengan apa dan siapa, yang fatalnya baru terbit sejak kejumudan menguasai diriku belakangan ini. (hlm. 217-218)

 

Kematian dan sejarah yang menyiratkan kenangan yang tak berubah, puisi dan kerinduan yang kental dengan daya spiritualitas, serta dorongan dalam diri yang sulit dijelaskan—semacam keyakinan pada takdir yang kerap terabaikan—, dimana kesemuanya seperti menghadirkan jawaban atas keberadaan. Dan itu adalah Ratih Keswari.

Sejak malam itu, kerinduan yang menggumpal selama duapuluhtiga tahun perlahan mencair. Membasahi dua jiwa yang kering, dimana keduanya terikat dalam ikatan pernikahan tanpa dasar cinta. Bersama Ratih, Randu seperti menemukan cinta sejatinya. Tak lagi melihat dirinya seperti orong-orong, melainkan seekor burung jantan yang terkurung dalam sangkar. Dia gembira karena ada seekor burung betina menclok dan menemaninya.

Mengetahui sepasang burung saling bersahut kicauan di halaman rumah, si istri lantas membuka pintu sangkar. Membebaskan Randu dari ikatan pernikahan dengannya.

Akan tetapi, Ratih bukanlah seekor burung. Dia adalah belantara yang penuh misteri. Dalam lingkaran spiritualitas—majlis dzikir yang diikutinya—Ratih ibarat belantara yang belajar berdamai dengan diri sendiri, untuk menjadi yang semestinya. Belantara yang merindukan kicau burung. Tidak hanya Randu, tapi untuk semua, yang menandakan keberadaannya yang damai.

Yah, inilah gambaran imajiner saya mengenai apa yang terjadi pada Randu dan Ratih setelah pertemuan kembali itu. Gambaran ini sengaja saya kemukakan mengingat sub-bahasan salah satunya mengenai spiritualitas, dimana burung kerap menjadi simbol. Tapi, burung ini bukan burung yang itu. Ups! He7x.

Ah, hanya bercanda. Maklumlah, saya perlu bercanda ketika menuliskan bagian ini. Menyesuaikan dengan muatan psikologis “si burung” Randu yang mlelek, biaya’an, dan pencolat-pencolot ketika bersama Ratih. Keadaan dan suasana seperti ini hanya terjadi ketika bersama Ratih. Selain dari itu adalah kemurungan, ngelangut, ndleming, seperti suasana yang terasa dari bunyi vokal (u) dari panggilan namanya “Randu”. Dari sebuah buku, itu yang pernah saya baca mengenai pembahasan suasana dalam puisi. Maklumlah, banyak juga puisi bertebaran di bagian ini. Kalau tidak percaya, silahkan anda tuntaskan membaca novel ini. Bahkan, Ratih pun adalah puisi. Randu mengungkapkannya dalam dialog, misalnya sebagai berikut:

 

“Karena kau bukan seperti Dewi Mus. Juga bukan Dewi Mus. Kau bukan penyair. Tapi bagiku kau adalah puisi itu sendiri.”

“Sembarang.”

“Hehehe… gampang.” (hlm. 242)

 

“Aku mencintaimu bukan karena sosokmu, Ratih. Aku mencintaimu sebagaimana puisi. Kau adalah puisi. Sebagaimana pada sejarah aku tak menyukai tokoh, namun aku mengagumi peristiwa, keadaan, dan suasananya.” (hlm. 247)

 

“Apa maksudmu karena kita sama-sama telah punya keluarga?”

“Oh, bukan. Itu bukan masalah. Itu takdir yang lain, Randu.”

“Lalu? Apa?” desakku.

“Coba tengok masa lalumu, tak jauh dari hari ini.”

“Oalah. Jangan kau permalukan aku, ah. Ini artinya aku berubah karena telah tumbuh benih baru dalam perjalanan hidupku, karena menemukanmu, Ratih.”

“Masak? Apa sebetulnya ini bukan karena kita telah menemukan diri sendiri?”

“Hmmm… Sembaranglah. Suka-suka.”

“Oh iya, aku lupa. Bilang saja kamu telah menemukan puisi!”

(hlm. 256-267)

 

Ratih adalah puisi. Randu tersedot energi Ratih, yang saat itu berada dalam lingkaran spiritualitas. Dan ungkapan ‘Apa sebetulnya ini bukan karena kita telah menemukan diri sendiri?” mengingatkan kita pada sebuah hadits yang masyhur dalam dunia tasawuf, ‘man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu’—barangsiapa mengenal dirinya, maka dia (bisa) mengenal Tuhannya—.

Pada episode kebersamaan Randu dan Ratih berikutnya, terutama setelah saling bertukar cerita, narasi tentang dunia tasawuf kemudian mengalir dalam novel ini. Kisah para nabi, para wali, dan para sufi diungkapkan, baik dalam bentuk cerita rakyat (wali di Jawa-Madura) maupun tentang pencarian menuju Dzat wajibul wujud. Beberapa tokoh sufi periode klasik, misalnya Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Al-Ghazali, hadir dalam narasinya.

Semua itu merupakan inisiatif Ratih. Dia melihat bahwa keterasingan dan kondisi kering spiritual yang dialami oleh Randu, disebabkan oleh pemahaman agama yang tidak seimbang antara yang lahir dengan yang batin. Hal ini disebabkan sejak kecil selalu dikenalkan dengan visi agama yang hitam-putih. Antara dosa dan pahala. Surga dan neraka. Sebagaimana kecenderungan dalam masyarakat. Dan kini, apa yang diupayakan itu telah berproses. Randu mulai mendekat pada spiritualitas. Juga hikmah.

Itulah yang diharapkan oleh Ratih setelah pertemuan kembali itu. Bukan menjadi kekasih yang diikat dalam pernikahan, sebagaimana harapan Randu. Karena kehadiran Ratih hanya untuk menjelaskan cintanya, yang membuatnya sulit berdamai dengan diri sendiri. Dia tak ingin menjadi apa-apa dalam hidup Randu. Hanya semacam puisi.

Usai semua yang terjadi, termasuk lepasnya hubungan dengan yang lain, Randu pun merasa bebas. Merdeka bersama cintanya. Dia tak peduli dengan nilai dan identitas yang diberikan orang lain. Tak akan mencari lagi memaknai keberadaannya. Hal tersebut diungkapkan pada bagian akhir (epilog) novel ini, yaitu:

Setelah hampir 10 tahun, aku memutuskan keluar dari rong. Aku pindah dari rumah indekos tempatku selama itu menepi dan menyepi. Aku belum berpikir hendak menuju ke mana. Namun aku tidak pernah takut menjadi gelandangan, bahkan dengan mbambung menjadi gedibal. Terlebih Ratih telah menyediakan segenap dirinya rumah bagiku. Ketika meninggalkan gang dan tempat persembunyianku selama ini, aku tak lagi sepenuhnya merasa diri selaku sosok manusia. Mungkin semacam lelaki. Barangkali semacam puisi yang berdiri di tepi gang. Bukan milikku, tapi milik Ratih. Kami boleh jadi telah lebur… (hlm. 387)

 

Randu telah lebur. Begitu juga Ratih. Bukan lagi sebagai eksistensi. Bukan lagi keadaan-keadaan atau suasana-suasana. Tapi ketahuilah, sebelum manusia terlibat dalam ilmu pengetahuan, filsafat, cipta puisi dan sebagainya, mereka lebih dulu curiga, yakni peristiwa. Kauniyah.

 

“Ngrong” dan Referensi (Karya) Sastra

Secara umum, novel ini menghadirkan manusia dalam upaya perjuangan meraih dan memaknai eksistensi dirinya. Kondisi kering spiritual dan aburditas hidup menjadi buhul dari keterasingan yang dialaminya. Pelarian diri adalah cara termudah, hingga memilih orong-orong sebagai esensi dari keberadaannya, sekaligus jalan pengasingan. Bersama kebebasan orong-orong, dia siap menyongsong masa depannya, yang tak lain adalah kepunahan. Akan tetapi, kehadiran seseorang menghidupkan kenangan dan benih cinta pada dirinya. Benih cinta yang belum sempat terjelaskan di masa lalu. Cinta yang menariknya pada energi puisi dan spiritualitas.

Kehadiran novel ini agaknya dimaksudkan S. Jai sebagai kritik terhadap filsafat eksistensialisme dan absurdisme, yang barangkali dilihatnya sebagai pemikiran yang belum selesai. Melalui tokoh Randu, dia seperti menunjukkan kepada kita bahwa fase terakhir dari perjalanan kesadaran manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Iqbal, yaitu mistik, ketika sumber-sumber terakhir dari hukum di kedalaman hati nuraninya “menggerakkan” pendewasaan manusia.

Hal lain yang menarik dalam novel ini adalah diungkapkannya karya-karya sastra lain dengan muatan tema yang katakanlah serumpun, yakni perjuangan hidup manusia. Keterasingan, kebebasan, dan sebagainya. Di antaranya adalah novel/ roman Belenggu karya Armijn Pane, Metamorphosis karya Franz Kafka, Arus Balik karya Pramudya Ananta Toer, Kitab Lupa dan Gelak Tawa karya Milan Kundera. Khotbah di Atas Bukit karya Koentowijoyo, dan banyak lagi. Selain bisa menjadi referensi (bagi pembaca), agaknya beberapa karya tersebut dimaksudkan oleh S. Jai semacam tinjauan pustaka, atau penelitian-penelitian terdahulu, sebagaimana karya ilmiah, semisal skripsi, tesis, atau disertasi. Saya menduga, hal tersebut dilakukan agar pembaca bisa tahu di mana posisi novel “Ngrong” di antara novel-novel tersebut.

Lepas dari keberadaannya sebagai karya utuh, inilah catatan pembacaan saya. Dan sebelum perbedaan pendapat mengenai novel ini terjadi di antara pembaca—termasuk saya—, baiknya hal tersebut didahului dengan membaca novel ini hingga tuntas. Mumpung masih hangat. Setelah itu kita bisa saling bersetuju. Bisa sependapat dengan catatan ini. Bahkan, bisa berbeda pendapat. Tidak masalah. Karena berbeda, bukan suatu dosa. Bahkan, perbedaan adalah rahmat. Tidak lain, agar di antara kita tumbuh semacam kasih sayang. Bukan begitu, puan dan tuan?! [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar