Laman

Minggu, 01 November 2020

DIA YANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKA SASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (3)

 

Catatan atas Novel 9 Karya A. Syauqi Sumbawi

(Bagian 3 – Habis)

Oleh S. Jai

 

Problem Teks, Metafisika, Subjektivitas

Demikianlah, sesungguhnya kesederhanaan itu tidak ada. Dengan demikian pula, mengusung kesederhanaan adalah problem tersendiri. Tepatnya problem teks. Seperti halnya bahasa—atau kata dalam setiap teks cerita mengandung kerumitan tersendiri sekalipun hendak menyingkap kesederhanaan. Ia adalah bahasa, sekaligus pikiran, pengetahuan, emosi, pengalaman batin, nilai-nilai, budaya, juga memuat pergeseran di dalamnya. Seorang pengarang bekerja menyusun dengan tekun pelbagai kemungkinan itu sedemikian rupa sehingga menjadi bagian atau keseluruhan dari apa yang disebut budaya manusia.

Maka dari segala itu jelas berpusar dan berpulang pada manusia---dari keberangkatan, perjalanan, kepulangan. Inilah jihad, kalifah di bumi.

Buhul antara tugas semua khalifah dan bahasa-budaya, apa yang dikatakan filosof Muhammad Iqbal tak terbantahkan; bahwa sumber satu-satunya pengetahuan adalah pengalaman batin. Baru kemudian dua sumber pengetahuan lainnya adalah alam dan sejarah.15) Pun penciptaan dan pemaknaan kembali (hermeneutik/tafsir) selalu terbit atas berbagai perjalanan-peristiwa-situasi terkini dari pengalaman pengarang atas kesadaran maupun bawah kesadarannya. Pertanyaannya kemudian, bertumpu pada ikhwal fase penghayatan religius adalah; adakah selepas pemahaman pikiran (thought) mengalami pendewasaan, pencapaian pribadi yang merdeka, melampaui penghayatan di dalam kedalaman hati nuraninya?

Pendeknya pengalaman batin, penghayatan hati, sesudah pemahaman dunia pikiran, yang surealis pasca realis-konkret, alam metafisis selepas empiris. Singkatnya lagi, melihat aspek “di balik” sesuatu yang sifatnya ontologis empiristis. Di situlah yang konseptual dari yang semula berasal kesadaran akal budi.

Pertanyaan inilah yang perlu disampaikan berulang-ulang, sekalipun dalam setiap tulisan itu sendiri sudah terkandung kemungkinan sifatnya yang multi makna/tafsir/pemahaman. Perihal yang metafisis, yang mistik, yang konseptual, dalam metode dekonstruksi kita mengenalinya dalam apa yang sering disebut metabahasa—‘pemikiran’ paling awal seorang penulis tentang apa yang hendak dituliskannya dalam bentuk-bentuknya. Dalam kosakata yang lebih mudah dipahami adalah pandangan filusuf Henri Bengson yang memandang metafisika “memuat pendekatan intuitif terhadap dunia, yang sanggup mengatasi kecenderungan akal untuk membuat spasialisasi dan menangkap arus perubahan proses temporal.”16)

Maka teranglah, pengarang sebagai sumber pertama konsepsi sebuah karya sastra, tidak saja mempresentasikan bentuk-bentuk makna-makna dari elemen tanda bahasa-semiologi yang sebenarnya (denotasi) melainkan juga kiasan (konotasi), metafora, makna lapis kedua (mitos) bahkan lapis ketiga dan seterusnya (pasca mitos) yang memperkaya kompleksitas-ambiguitas karya ke dalam mana metabahasa makin jauh berjarak dengan kesederhanaan akal pikiran.

Dengan metabahasa bisa dikatakan sebuah karyasastra sebenarnya ada banyak konsep tentang sesuatu. Konsep--pemikiran seseorang--itulah yang dimunculkan oleh pengarang sehingga lahirlah sebuah karya sastra. Ini berarti bahwa konsep tentang sesuatu yang berkaitan dengan maksud dan tujuan si pengarang berkaitan dengan seluruh pengetahuan yang dimilikinya. Singkatnya satu sisi nilai subjektivitas—yaitu pengarang.

Sementara pada sisi yang lain terkandung nilai subjektivitas pagi pembaca. Nilai subjektivitas inilah yang sangat penting bagi pengetahuan, tepatnya pengetahuan diri sebagaimana terpantik pada pemikiran konseptualnya, juga termasuk di dalamnya bagaimana sosiologi pengetahuan—kesadaran kolektif dari ekpresi/ekternalisasi oleh pengarang dan kemudian ditangkap secara beragam oleh masa pembaca. Ada pembaca biasa, ada pembaca kritis. Ada pembaca-penikmat, ada pembaca berwawasan. Ada pembaca yang demokratis, ada pembaca yang individualistis. Ada pembaca yang mencari bentuk mitos, ada yang pengurai distorsi ideologis, ada pembaca yang memafhumi dan melestarikan ambiguitas.

Beberapa petikan novel 9 berikut ini, menimbang nilai subjektivitas (pengarang) yang sebagai sebuah gaya pada tataran pertama bernada propaganda/opini/khotbah. Tentu saja pada tataran berikutnya terkandung metabahasa; konsep-konsep tertentu dari pengarang di sebalik diksi, denotasi, konotasi, metafora, mitos, ideologi, dan wacana dan lain sebagainya yang berhumbalang dalam karnaval teks novel ini. Lengkap dengan kuasa/kekuatannya dalam pelbagai pemikiran, perasaan, emosi, empati, kebebasan, kehendak, ketidakinginan tentang sesuatu.

Karena tanpa nama, sebuah esensi dan eksistensi tidak akan bisa dipahami, terutama dalam hubungan di antara manusia. Pada spektrum yang lebih luas, hal tersebut kemudian melahirkan bahasa dalam kehidupan masyarakat serta menjadi tanda atas keberadaan dan keberlangsungannya….

…Sebuah nama berkaitan dengan pengertian dan pemahaman, dimana pada level yang lebih tinggi mengarah pada kesadaran. (Fragmen 2)

 

Bahkan, semua agama pun menjadikan pendidikan sebagai sarana pokok dalam sosialisasi dan intensifikasi seluruh ajarannya, agar pemeluknya menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa. (Fragmen 3)


Dari semuanya, salah satu cara yang paling efektif untuk mendidik masyarakat adalah keteladanan. Itulah yang dapat kita lihat dari perjuangan Nabi Muhammad. (Fragmen 4)


….Secara historis, revolusi dari masyarakat “jahiliyah” menuju masyarakat Islam seperti yang dapat dilihat pada periode Madinah, tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali oleh perubahan positif dalam kehidupan keluarga, yang kemudian berlanjut pada pembinaan komunitas kecil. Pada proses ini, intensifikasi dan spiritualisasi nilai-nilai Islam menjadi episode penting dalam membentuk generasi Islam yang tangguh, dimana secara jangka panjang diproyeksikan sebagai kader-kader terdepan dalam transformasi masyarakat. (Fragmen 6)


Apa alasan seorang hamba begitu dimulaikan oleh Tuhannya?! Jawabnya, karena takwanya. Lantas, apa yang menyebabkan begitu banyak orang rela mengeluarkan harta, waktu, dan tenaga, untuk berziarah kepada makam orang lain, yang bahkan tidak dikenalnya secara baik, kecuali hanya melalui cerita?! Berdoa untuknya?! Tidak ada yang lain, yaitu karena derajatnya yang mulia, baik di hadapan Tuhan maupun manusia. (Fragmen 7)


Sesungguhnya, tidak ada perbedaan antara air yang satu dengan air yang lain. Semuanya sama, yaitu ciptaan Tuhan. Akan tetapi dalam kehidupan manusia, air mengalir bersama cerita dan sejarahnya, sehingga memiliki makna khusus, dimana kekuasaan Tuhan terlibat di dalamnya. Misalnya, kisah munculnya air zamzam, yang dalam tradisi Islam dipercaya sebagai jawaban Tuhan atas doa dan usaha Hajar, istri Nabi Ibrahim, ketika mencari air untuk putranya, Ismail. (Fragmen 8)


Seluruh ajarannya yang bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya ditujukan sebagai petunjuk manusia dalam kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, antar manusia, dan alam sekitarnya. Spiritual maupun material. Termasuk dalam mencari solusi atas segala permasalahan, baik yang bersifat individual maupun sosial. Hal ini hanya mungkin berhasil jika agama tidak hanya terkungkung dalam permasalahan keshalihan individual an sich, tetapi juga keshalihan sosial, serta diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat, terutama pada peningkatan taraf hidup mereka. (Fragmen 9)


Karena itu, sebelum revolusi dalam masyarakat dilakukan, seseorang harus melakukan revolusi pada dirinya sendiri. Kalau tidak, maka revolusi sosial akan kehilangan makna kemanusiaannya. Hal inilah yang menjadi alasan Pak Bakrun, sebagaimana juga yang ditunjukkan oleh sejarah perjuangan para Nabi dan Rasul. (Fragmen 10)


Bahwa yang namanya hidup, ada puasa juga ada lebaran. Dijalani saja dengan baik.

Ib tahu, kendati terdengar biasa dan sederhana, perkataan sopir berpeci itu sungguh bijak. Yah, ada sabar dan ada syukur. Dan itu semuanya harus dijalani dengan baik, terutama sebagai manifestasi rasa cinta kepada-Nya. (Fragmen 11)


Kehidupan dunia hanya sementara. Ibaratnya, hanya mampir untuk minum. Kita harus mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya. Karena perjalanan berikutnya adalah pasti. Kemudian dengan bekal itulah, yakni amal shalih, tempat manusia ditentukan.

Begitulah kira-kira inti wasiat khutbah Abah Dullah pada jum’at lalu yang masih diingat oleh Ib. Lantas, apakah makna hidup itu?! (Fragmen 12)


Wawasan Nusantara, demikian konsep yang menjadi tumpuan bagi integrasi Indonesia. Dalam hal ini, laut bukanlah pemisah, melainkan pemersatu pulau-pulau yang ada di dalamnya. Juga masyarakatnya yang berbeda-beda, baik ras, agama, suku, budaya, dan sebagainya, namun tetap satu Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan pemersatu bangsa dan negara ini. (Fragmen 14)


“Salah satu tanda kecil keimanan seseorang, yaitu rasa syukur ketika buang hajat. Karena tak jarang di antara manusia yang menganggapnya sebagai penghambat aktivitas. Sesuatu yang mengganggu kesibukannya. Dan sebagainya.” (Fragmen 15)


Berziarah sendiri, tentunya tidak terlalu repot dibandingkan berziarah dengan rombongan. Terutama ruang dan waktu. Seseorang akan lebih mudah untuk mencari tempat bagi dirinya, tanpa memikirkan teman atau rombangannya. Begitu juga seseorang bisa mengatur waktu secara fleksibel. (Fragmen 17)


Khotbah Jum’at yang disimaknya sebentar lalu itu, menarik perhatiannya. “Menuju Takwa”, demikian dia mengarisbawahinya. (Fragmen 19)


Selama ini Ib kerap mendengar pengertian takwa, yang umumnya berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Baru kali ini dia mendapatkan penjelasan makna takwa dalam cakupannya yang lebih luas dan berdimensi batin. Melalui pendekatan kebahasaan, khotib menjabarkan empat huruf hijaiyah yang merangkai kata takwa. Tepatnya taqwa yaitu ta’, qaf, wawu, dan ya’ atau alif bengkok. (Fragmen 19)


….bahwa dalam ziarah itulah, dia mendapatkan sesuatu yang penting dan terus dipegangnya hingga kini. Bahwa ziarah adalah pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah ziarah, yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. (Fragmen 19)


Dari keseluruhannya, Ib menganggap bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan, tidak lain adalah ayat untuk dibaca. Direnungkan untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Dan satu hal yang dapat dipelajari, bahwa ibadah tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah atau batiniah semata, tetapi perpaduan di antara keduanya. (Fragmen 20)


Keberagaman dalam dunia adalah ruang untuk saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling bekerjasama (ta’awun), dan akhirnya menjadi kesatuan (takaful) yang harmonis dan penuh kasih sayang. Bukankah manusia adalah sama. Diciptakan oleh Dzat yang sama.

Memanusiakan manusia, itulah arah proses kesempurnaan. (Fragmen 23)


Pertautan kata santri dengan lembaga pesantren mengidentifikasi keberadaannya sebagai kalangan yang terlibat dalam sosialisasi ajaran-ajaran Islam yang khas, yaitu sub-kultur pesantren. Begitu pula peran dan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, yang tidak bisa dipisahkan dari jaringan keilmuan, laku, dan spiritual para kyai atau ulama sebagai pusat sub- kultur tersebut. (Fragmen 24)


Satu hal yang harus digarisbawahi, bahwa mereka menghadapi dan menyikapi perbedaan itu dengan pandangan hikmah dan penuh kasih sayang. (Fragmen 25)


Pada suatu ketika bersama rombongan, para peziarah akan menghadapi suasana pengalaman jasmani atau inderawi yang sama…. Akan tetapi dalam kebersamaan itu, apakah pengalaman spiritual yang dialami juga sama?! Tentu saja, tidak.

Tidak seperti pengalaman jasmani atau inderawi, diperlukan kesiapan dalam pengungkapan pengalaman spiritual. Baik pendengarnya maupun kondisi tempat dan waktunya. Salah-salah, malah akan melahirkan berbagai dugaan pada diri pendengarnya. Juga keragu-raguan dan kesalahpahaman. (Fragmen 26)


Ketika anak manusia merasa ujub dan sombong dengan kekayaannya, kekuasaannya, kepandaiannya, atau lainnya, hal itu disebabkan dia hanya memandang dua cermin, yaitu cermin diri sendiri dan cermin orang-orang yang tampak lebih kecil darinya. (Fragmen 28)


Untuk merebut simpati, instrumen kesenian seperti gamelan, tembang- tembang, dan wayang, dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Begitu juga upacara tradisi, misalnya perayaan sekaten, grebeg maulud, dan sebagainya. (Fragmen 31)


Dakwah yang dilakukan oleh Walisongo di Jawa dan para penyebar Islam di Nusantara,…. tidak luput dari persoalan tersebut, yang…. pada gilirannya menegaskan bahwa proses Islamisasi, juga merupakan proses rekonstruksi budaya. Di antara para Walisongo, perjuangan dakwah Sunan Kalijaga lebih memperlihatkan proses tersebut. (Fragmen 31)


Dari membaca hidup dan kehidupan manusia, maka seseorang akan memahami, bahwa terbentang jarak yang lebar antara idealitas dan realitas. Antara harapan dan kenyataan. Pada kondisi ini, upaya mendekatkan jarak di antara keduanya harus menjadi kesadaran manusia, baik personal maupun sosial yaitu dengan lahirnya rasa tanggungjawab dan berperan dalam proses perubahan masyarakat. Dakwah istilahnya. (Fragmen 32)


Membela kemanusiaan merupakan prinsip utama dari jihad. Sementara dakwah, tidak lain adalah upaya mengembalikan pada kemanusiaan, yang mana di dalamnya, keteladanan ibarat cermin yang terus memanggil setiap orang untuk mendekat pada kemanusiaannya. (Fragmen 33)

 

Pertanyaan Pamungkas Revolusioner-Pemberontak

Menjadi revolusioner sejati, entah dalam pengertian sebagai pemberontak, ataukah setiap revolusioner pada akhir kemudian menjadi pemberontak, tidaklah sederhana. Tidak pula sesederhana jika semua orang menghendaki menjadi nabi, atau meneladani secara utuh iman, tindak-tanduk, perkataan maupun perbuatan seorang nabi, sebagaimana disampaikan Hamka dalam kutipan paling muka.

Seorang revolusioner-pemberontak sudah terkandung didalamnya absurditas—kontradiksi di dalamnya. Demikian pula absurditas revolusioner sejati, pemberontak, maupun nabi bahwa penderitaan itu padanya bersifat individual, namun saat pemberontakan dimulai , penderitaan dilihat sebagai sesuatu penyelamatan kolektif.17) Absurditas yang tak sederhana lainnya adalah, menjadi pemberontak, maka pertama kali pemberontakan harus ditujukan pada dirinya sendiri, keyakinannya sendiri, berhala penuhanan dalam dirinya sendiri, bahkan terhadap tuhannya sendiri pula.

Pengalaman Nietzsche menunjukkan demikian. Katanya, pemberontak metafisik secara definitive bukanlah seorang atheis, seperti dipikirkan orang selama ini, tetapi tak dapat disangkal bahwa memang ia adalah seorang pengutuk Tuhan. Demikian pula pemberontakan dalam seni (sastra). Camus berujar, seni adalah aktivitas pengagungan dan sekaligus pengingkaran. Sedang Nietzsche berkata, tak ada seniman yang dapat menerima kenyataan.

Sekali lagi ini adalah pemberontakan metafisis. Yang dengan cara berpikir metafisis, idealnya, dibayangkan seseorang dapat memiliki beberapa konsep tentang sesuatu yang mungkin saja diperolehnya melalui pengamatan, kontemplasi atau renungan kritis. Melalui ide atau cara berpikir yang konseptual akan lahir beberapa tulisan atau karya pemikirannya. Pada subjek akan terlihat bahwa subjek memiliki kesadaran diri (self subject) yang dinamis bahkan ambigu. Subjek mampu berpikir kritis, mampu melakukan imaginasi, mampu berpikir dari kesadaran dirinya sendiri hingga ketidaksadaran diri (unconsciousness).

Pertanyaan pamungkasnya adalah; konsep terhadap revolusioer sejati sebagaimana Al-Mustafa dan Ibrahim As. sebagai pembawa nilai-nilai Islam secara universal, dan perjuangan pribadi manusia mencapai kemerdekaan hakiki, demi ketauladanan, inikah juga metafisis ataukah spiritualitas? Pertanyaan yang sama juga atas pernyataan Kuntowijoyo ‘meniru perbuatan nabi, Sang Prophet?

Besar harapannya jawaban pertanyaan tersebut tidak datang dari atas, sebagaimana mestinya Kuntowijoyo tak mencari pernyataan-pernyataan temuannya dalam buku-buku diktat dan karya sastra pendahulunya; Mohammad Iqbal. Demikian halnya semestinya, penjelasan-penjelasan A. Syauqi Sumbawi sebagai pengarang novel 9, tidak menelisiknya dari maklumat dan karya-karya Kuntowijoyo. Kuntowijoyo memiliki jawaban dengan menyatakan secara tegas bahwa karya sastranya bersumber dari kitab suci, sebagai senjata budaya orang beragama.

“Kitab Suci” dan “Senjata orang beragama,” membawa konsekuensi harus menampik tuduhan dirinya telah menyembelih sastra sebagai simbol dengan memakai konsep-konsep, sastra bukan lagi konstruksi imajiner tentang realitas melainkan pemikiran sosial-budaya.19) Kuntowijoyo bersiteguh dengan berjanji mempertahankan karya sastranya diskriptif-naratif.

Sementara ini pada diri A. Syauki Sumbawi, belum dapat disimpulkan secara menyakinkan, apakah sebenarnya dirinya sedang mengkritik sastra profetik, ataukah malah memperlihatkan alternatif lain berangkat dari tuduhan pada Kuntowijoyo, dengan justru mempertajam konsep-konsep sastranya. Bukan hal yang mustahil karena sampai tulisan ini saya buat, sang pengarang belum menyampaikan kredonya atas novel ini. Bukan mustahil penajaman konsep-konsep sastranya atas nama efektivitas, dakwah, ibadah, yang sebelumnya terang diakui Kuntowijoyo sulit diapresiasi publik, sementara tugas sastranya semakin mendesak: memperluas ruang batin, menggugah kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan. Entahlah. Bukan hal yang mustahil.

Yang jelas, bila dicermati dari dua cara bersastra Kuntowijoyo (dari dalam dan dari bawah), pada karya A. Syauqi Sumbawi ini ada pergeseran, pergerakan. Utamanya dalam memperlakukan opini, propaganda, khotbah serta posisi subjek tokoh-tokohnya terkait hubungannya dengan subjek pengarang. Syauqi Sumbawi tampaknya mengacaukannya, tidak berusaha disiplin sebagai subjek pengarang ataukah tokoh-tokohnya.

Peristiwa-peristiwa tidak sepenuhnya dipahaminya sebagaimana tokoh-tokohnya memahami dunianya sendiri. Pengarang sengaja banyak sekali campur tangan, baik dalam imajinernya, pikirannya, perbuatannya maupun dalam mereaksi peristiwa-peristiwanya sendiri. Pengarang tak sepenuhnya menjauh atau terlibat dengan tokoh-tokohnya. Dan satu lagi, boleh jadi Syauqi memulainya menulis novelnya berangkat dari teori atau konsep tertentu baru kemudian mempertimbangkan konsistensi, dalam pelukisan, koherensi dengan plot dan tema. Dengan kata lain, tidak memulai dari peristiwa atau hal kecil yang sederhana. Atau mungkin pula pengarang ini memilih menempuh jalan dua-duanya; memulai hal kecil yang remeh temeh, sekaligus membentenginya dengan konsep atau teori besar, lalu menggerakkan kedua-duanya.

Sudah barangtentu ini masih sekadar dugaan. Tak harus bersetuju. Sebagaimana tak mesti bersepakat bila dikatakan novel ini keras-terang dan gamblang beropini, dibandingkan karya yang lembut, tenang mengambang dalam ambigu.

Meski demikian ada baiknya pula kita bersepakat toh dua-duanya tak lain; suatu ideologi, mitos dan wacana.[]

 

Ngimbang, 18 September 2020

Tabik

S. Jai

Catatan:

14). Lihat Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Gramedia 2000, 117

15). Dr. Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Tintamas 1982, 139-140

16). Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, 2005 hal. 628 ; Lihat pula Roland Barthes, dalam buku Elemen-Elemen Semiologi, Jalasutra 2012, hal 92. Member penjelasan bahwa Metabahasa adalah sistem yang ranah isinya sudah sendirinya merupakan suatu sistem penandaan; atau dikatakan juga semiotika yang menangani semiotika.

17). Albert Camus, Pemberontak, Bentang 2000, hal. 37

18). Albert Camus, Pemberontak, Bentang 2000, hal. 468

19). Lihat Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, Diva Press 2019 hal. 27

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar