Laman

Minggu, 01 November 2020

DIA YANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKA SASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (2)


 Catatan atas Novel 9 Karya A. Syauqi Sumbawi

(Bagian 2 dari 3 Tulisan)

Oleh S. Jai

 

Moralitas Ideal, Kesederhanaan dan Pemberontakan

Lebih dari itu, apabila kita mencermati karnaval struktur dan struktur karnaval teks novel ini, baik penanda di kedua ujung buhul (pada sampul dan akhir novel) yang sama, juga utamanya perihal tema, tokoh, plot cerita yang tanpa struktur konflik atau klimak, maka inilah kiranya salah satu novel yang disebut Kuntowijoyo duapuluh tahun sebelum dirinya memaklumatkan sastra profetik.

Yaitu sastra tipologis, atau sastra dengan tradisi tipologisme. Artinya, tokoh-tokoh dalam sastra yang tidak mempunyai perwatakan yang merdeka, tetapi merupakan tokoh yang sudah ditertibkan (oleh pengarang).12)

Pokok-pokok pikirannya kuranglebih demikian;

Tradisi tipologisme, personalitas yang mapan, terbentuk sejak kemunculannya. Nyaris tidak ada konflik psikis, sebab semuanya sudah ajeg didudukkan dalam garis, rangka bangun personalitas para tokohnya. Logika perkembangan pribadi pelaku tidak menuruti pertumbuhan kejiwaan yang penuh dengan krisis yang membentuknya, tetapi menurut kemauan pembentukan sebuah kerangka keseluruhan kejadian. Di sini kejadian sebagai akibat dari hubungan antar manusia menjadi lebih penting daripada perkembangan kejiwaan pelaku-pelaku tunggalnya.

Kejadian-kejadian tidak pernah mempengaruhi personalitas. Mengapa? Karena sosiokultur otoritarian; pikiran-pikiran kolektif lebih penting daripada pikiran individual dan kesadaran kolektif lebih diutamakan ketimbang kesadaran perorangan.

Dalam kerangka sosial patrimonial tidak lahir tokoh-tokoh literer dengan personalitas individual, tetapi selalu personalitas kolektif. 138

Sastra di sini bertindak sebagai simbol dari pikiran kolektif tanpa memberi kemerdekaan bagi perkembangan personalitas tokoh-tokohnya. Perwatakan tokoh-tokoh itu menurut pola sebuah karakter sosial, dan bukan karakter-karakter individual, Dengan perkataan lain, pikiran kolektif secara apriori telah menentukan sejumlah tipe ideal bagi tokoh-tokoh cerita, sebagaimana Nampak dalam karakterisasi tokoh-tokoh pewayangan.

 

Inilah sastra filsafat dan sastra sosial. Bukan sastra psikologis.

Pengarang sebagai pewaris budaya kolektif ia tidak bisa melepaskan diri dari simbolisme bersama….usahanya yang keras untuk menegakkan sendiri norma elitism baru; sementara itu ia terjerat ke dalam etika otoritarian, dan melihat dirinya sendiri sebagai kelompok atas yang mempunyai misi untuk menangani pikiran kolektif., memaksakannya dari atas.

Seperti dalam wayang, tokoh cerita sebenarnya bukan person tunggal, tetapi wakil dari person kolektif, bahkan tokoh dari karya sastra yang paling alienated pun ialah wakil dari kesadaran pengarangnya yang dengan semena mena dilakonkan karena ia tidak mempunya integrasi persoalitas tersendiri. Ia wakil dari pengarangnya yang paling setia, tidak bertanggungjawab kepada kualitas inhern dalam dirinya, tetapi kepada rencana skenario pengarangnya.

Sastra Sosial. Bersifat Dialektis. Komit pada cita-cita sosial. Destruktif; individu memberontak kepada masyarakat dan menjadi korban dari kekejaman masyarakat. Konstruktif; masyarakat benar.

Memang perihal psikologis, cukup debatable, perihal ada tidaknya, cukup atau kurangnya bisa disebut mengandung konflik, terlebih konflik batin pun atau konflik dengan dirinya sendiri turut dipertimbangkan dalam kajian sastra. Namun demikian begitu banyaknya moralitas yang diidealkan, atau idealitas yang menjadi moral tokoh-tokoh dalam novel ini, adanya tipologi itu beralasan.

Berbeda misalnya dengan spiritualitas yang menjadi moral tokoh Mizoguchi dalam novel Kuil Kencana (Pustaka Jaya, 1978). Mizoguchi melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap dirinya sendiri, tepatnya sesuatu paham yang menguasai dirinya sendiri. Sejumlah analisa menyebut sesuatu itu paham keindahan menurut hukum Zen, masyarakat Jepang memiliki konsep estetik yang berakar dari Zen, yaitu wabi-sabi. Sebuah konsep perihal kesederhanaan hidup, kehormatan, dengan menekankan ketenangan dan kekosongan. Kekaguman akan keindahan dan kebesaran daya pukau pada sebuah kuil, berakhir tindakan anarkis pembakaran terhadapnya.

Salah satu potensi yang serupa—perlawanan dan pemberontakan—dalam novel 9 adalah paham kesederhanaan dalam laku ziarah yang berbeda dengan ‘sistem/konvensi’ masyarakat pada umumnya. Tepatnya tak sekadar mengalami perbedaan, melainkan juga pergeseran. Pergeseran oleh banyak sekali kepentingan di sebaliknya. Pendek kata sesuatu yang pada akhirnya sesungguhnya (setidaknya) benih dari perlawanan oleh karena perbedaan dari paradigma dan wacana. Katakan terkait dengan wisata religi. Kendati demikian setiap wacana akan menghasilkan pemberontakannya sendiri, termasuk pemberontakan atas paham kesederhanaan dalam laku ziarah yang menjadi spirit utama pengarang novel ini.

Berikut ini sejumlah moralitas ideal yang sudah barangtentu mengandung banyak potensi konflik, kekacauan (setidaknya secara psikologis) namun demikian sebagai ‘sastra sosial’ dan ‘bersifat dialektis,’—bisa dipersoalkan, ibaratnya pemantik individu untuk melakukan pemberontakan; ada konstruksi kebenaran umum di dalamnya. Baik kebenaran dalam pengertian tekstual-ideologis, maupun kebenaran dalam pengalaman sosiologis-pengetahuan.


Tidak hanya terpilih sebagai utusan Tuhan, keduanya juga merupakan sosok penting dalam sejarah umat manusia. Revolusioner sejati. Sederhananya,.. jika risalah Nabi Muhammad secara umum menunjuk pada perubahan masyarakat dari kondisinya yang “jahiliyah” menjadi masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Islam secara universal, yakni rahmatan lil alamin, terutama karena keberadaannya sebagai penutup para nabi dan rasul, maka sosok Nabi Ibrahim lebih tampak mengarah pada perjuangan pribadi manusia mencapai kemerdekaan hakiki sesuai dengan fitrahnya, (Fragmen 1)


semua agama pun menjadikan pendidikan sebagai sarana pokok dalam sosialisasi dan intensifikasi seluruh ajarannya, agar pemeluknya menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa. (Fragmen 3)

salah satu cara yang paling efektif untuk mendidik masyarakat adalah keteladanan.(Fragmen 4)


Dari situlah, maka diperlukan nilai-nilai teologis yang sakral, terutama nilai-nilai aqidah—tauhid—untuk dijadikan sebagai pondasi. (Fragmen 6)


Humanisme, demikian kira-kira pemahaman Ib terkait dakwah Islam yang dilakukan oleh Kakek Bantal, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw., baik ajarannya maupun cara penyampaiannya. (Fragmen 9)


Dari apa yang diketahuinya tentang Pak Bakrun, Ib mengagumi kesederhanaan sikapnya. Begitu juga arah pembicaraannya yang selalu menampilkan hikmah. Hal inilah yang mengingatkan Ib pada Mbah Mad, kakeknya. Dan yang tak pernah disangka oleh Ib, bahwa Pak Bakrun menjalankan puasa ndaud, yaitu seperti puasanya Nabi Daud, dimana sehari puasa dan sehari berbuka. (Fragmen 10)


Lantas, jawaban apa yang dipilih oleh Nabi Saw?! Intinya, beliau ingin menjadi seorang Nabi yang sehari kenyang dan sehari lapar. Dalam kenyang, seseorang bisa bersyukur kepada Tuhan. Sementara dalam lapar, seseorang bisa merasakan penderitaan orang lain yang kelaparan. Kira-kira, inilah makna yang menurut Ib menjadi ketersambungan antara kisah tersebut dengan riyadlah yang dilakukan oleh Pak Bakrun, yaitu selalu bersyukur kepada-Nya dan berbagi dengan sesama umat manusia. (Fragmen 10)


Bahwa yang namanya hidup, ada puasa juga ada lebaran. Dijalani saja dengan baik.

Ib tahu, kendati terdengar biasa dan sederhana, perkataan sopir berpeci itu sungguh bijak. Yah, ada sabar dan ada syukur. Dan itu semuanya harus dijalani dengan baik, terutama sebagai manifestasi rasa cinta kepada-Nya. (Fragmen 11)


Laut juga yang mengikat kasih sayang dan tanggungjawabnya sebagai guru kepada murid-muridnya yang tersebar di pulau-pulau Nusantara. (Fragmen 14)


Ib hanya ingin perjalanannya kali ini seperti air yang mengalir. Sesuai dengan kata hatinya.(Fragmen 15)


Karena dia pernah mengalami peristiwa spiritual lain yang berhubungan dengan Nabi Saw. Pengalaman yang menjadikannya tidak pernah meragukan keberadaan beliau sebagai utusan-Nya. (Fragmen 16)


Yah, memang tampak sederhana. Akan tetapi, Ib tahu bahwa pesan itu menjangkau seluruh aspek kemanusiaan pada diri manusia, baik yang bersifat religius-filosofis, material-ekonomis, moral-spiritual, maupun sosio-psikologis. Dari kesemuanya, pesan itu mengarahkan agar setiap manusia memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi serta menjaga fitrah kemanusiaan, baik diri sendiri maupun orang lain. (Fragmen 17)


Pada level ini, ketakwaan tidak dapat dipisahkan dari cinta. Bahkan cinta merupakan dasar bagi ketakwaan manusia kepada Tuhan, yang termanifestasikan dalam penunaian perintah dan menjauhi larangan-Nya. (Fragmen 18)


Bahwa ziarah adalah pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah ziarah, yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. (Fragmen 19)


“Makanya, kewajiban menuntut ilmu itu sampai ke liang lahat.” (Fragmen 21)


…hal-hal kecil seperti inilah yang tampaknya menjadikan murid-murid segan dan hormat kepada Pak Bakrun, sekaligus menegaskan kepribadiannya yang asah, asih, dan asuh….

Pak Bakrun ingin menampilkan aspek positif atau gambar ideal yang ada pada murid-muridnya, dimana pada tataran kesadaran tertentu, hal tersebut dapat menjadi arah dalam pembentukan karakternya. (Fragmen 26)


“Bersama kata-kata kehidupan bergerak. Dan dakwah, tidak lain adalah pelibatan diri dalam historisitas manusia. Karena itu, menulislah!” kata Kang Badri. (Fragmen 33)

 

Karnaval Wacana, Teks, Ideologi, Kekuasaan

Potensi perlawanan itu bagaikan api dalam sekam, yang oleh penulis tidak dikelola, oleh karena api yang lain berkobar dengan merajalela dalam pelbagai titik. Itulah ideologi. Itulah wacana yang bekerja tidak saja dalam narasi-narasi yang dicoba disadarinya, melainkan juga telah menjadi ‘roh’ menjadi bangunan mental pikiran-perasaan semua orang, penulis, pembaca juga sebagian besar konteks yang menghidupi situasi kepenulisan sang pengarang.

Di sebalik ikhtiar pengarang menuliskan karyanya ini, ada yang menguasai ada yang dikuasai ada kekuasaan itu sendiri. Pengarang, juga tokoh-tokoh yang dituliskannya dalam novel 9 adalah representasi dari itu semua. Dengan kata lain, ada teknologi penciptaan; baik sebagai pencipta maupun ciptaannya. Maka jelas, sampai di sini teks adalah problem, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, yang kasar maupun yang halus, yang masif maupun yang emansipatif, yang demokratis maupun yang revolusioner.

Pentingnya mengutip konsep kekuasaan Michel Foucault tak lain adalah guna menyakinkan bahwa narasi, wicara, wacana, mitos, ideologi yang bekerja tidak hadir begitu saja secara alami, ada fabrikasi kuasanya. Kita perlu tahu, menyadari dan mengungkapkannya. Sejarah, katanya; bukan sekadar kajian cermat tentang berbagai peristiwa, melainkan juga suatu silsilah, nalar, kebenaran dan pengetahuan barat. Foucault memperkenalkan suatu pengertian yang mampu memperhitungkan berbagai perubahan dan tranformasi budaya. Itulah yang disebut pengertian episteme, yaitu himpunan berbagai kaidah yang melandasi dan mengatur produksi wacana pada suatu masa tertentu.13)

Kekuasaan menurut konsep Foucault tak mesti berlaku kasar, represif, melainkan juga secara mulus-halus. Inilah wacana; menyebar dan hadir dimana-mana, dalam bentuk apa saja, dimiliki oleh siapa saja. Bukan manusia yang sepenuhnya menentukan wacana—cara manusia membicarakan kenyataan. Bukan pula sepenuhnya menentukan, episteme—cara manusia menangkap, memandang dan memahami kenyataan. Sebaliknya, justru sejarah pengetahuan manusia ditentukan keduanya. Keduanya, adalah pembentuk manusia yang patuh. Keduanya, adalah kuasa kontrol perilaku manusia.

Pada perilaku manusia kekuasaan bisa dikenali dari akibat-akibatnya, salah satunya yaitu perlawanan terhadap kuasa tersebut. Dalam bukunya Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Foucault menyebutkan bahwa di mana pun ada kekuasaan, pasti terdapat perlawanan di dalamnya. Dalam terminologi Foucault kekuasaan merupakan hasil dari hubungan hubungan strategis yang tidak stabil, dimana ketidakstabilan ini merupakan dampak dari adanya perlawanan dalam suatu relasi kuasa. Adanya perlawanan juga merupakan suatu petunjuk bahwa ada hubungan kuasa yang terjalin. Kekuasaan dalam terminologi Foucault ini tidak hadir secara fisik, namun dapat dikenali dari akibat-akibatnya, salah satunya yaitu perlawanan terhadap kuasa tersebut.

Berikut ini, sederet kutipan yang tentu saja bisa ditelisik lebih mendalam bagaimana pengaruh wacana terhadap perilaku tokoh, berikut kemungkinan perlawanan terhadapnya dalam novel 9 untuk mempertontonkan bagaimana karnaval wacana sebagai teks ideologi dan kekuasaan bekerja. Sederet kutipan ini memungkinkan pula untuk menjawab perihal; ragam hubungan kekuatan, permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh, memutarbaliknya; berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan dan kontradiksi yang saling mengucilkan; juga strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak.

Basri secara tidak sengaja menemukan nama Mustafa Ibrahim. Waktu itu, dia baru saja selesai membaca beberapa buku tentang sejarah dan revolusi. Tidak hanya terpilih sebagai utusan Tuhan, keduanya juga merupakan sosok penting dalam sejarah umat manusia. Revolusioner sejati.

“Revolusi Dua Arah dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.” (Fragmen 1)


…Kisah Adam ketika hidup di taman surga. Sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an.

Kisah Qabil dan Habil. Kedua putra Adam yang diceritakan oleh al-Qur’an.

Maka ketika anak pertamanya lahir dan berkelamin laki-laki, dia pun diberi nama Mustafa Ibrahim.

hasil pembacaanku terhadap sejarah Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. (Fragmen 2)


Dari semuanya, salah satu cara yang paling efektif untuk mendidik masyarakat adalah keteladanan. Itulah yang dapat kita lihat dari perjuangan Nabi Muhammad. (Fragmen 4)


Berada di Makam R. Rachmattulloh (Fragmen Sunan Ampel),

Kisah Ali Rahmatullah, yang merupakan keponakan Dewi Dewi Dwarawati, salah satu istri Raja Brawijaya. Secara historis, revolusi dari masyarakat “jahiliyah” menuju masyarakat Islam seperti yang dapat dilihat pada periode Madinah, tidak terjadi secara tiba-tiba,

Dari komunitas Ampeldenta ini kemudian lahir kader- kader, seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Fatah, dan sebagainya, yang tidak hanya dikenal memiliki akhlak mulia, tetapi juga berpengaruh besar dalam penyebaran Islam dan transformasi masyarakat, terutama di Pulau Jawa dan Nusantara pada umumnya. (Fragmen 6)


Delapan belas tahunan yang lalu, ketika hamil muda, Hanifah, istrinya memiliki sebuah permintaan khusus. Ngidam, demikian orang jawa menyebutnya. Bukan dia, tetapi jabang bayi dalam rahimnya itu yang menginginkannya. Dan permintaan khusus itu adalah air dari sumur peninggalan Sunan Ampel. (Fragmen 7)


Air mengalir bersama cerita dan sejarahnya, sehingga memiliki makna khusus, dimana kekuasaan Tuhan terlibat di dalamnya. Misalnya, kisah munculnya air zamzam, yang dalam tradisi Islam dipercaya sebagai jawaban Tuhan atas doa dan usaha Hajar, istri Nabi Ibrahim, ketika mencari air untuk putranya, Ismail. Maka, tidak heran jika setiap kali umat Islam di Indonesia pergi haji atau umrah, mereka selalu membawanya sebagai oleh-oleh. Zam- zam, demikian sebutan khusus dan terdengar istimewa, lantaran kisah dan sejarah yang menyertainya.

Dia tahu tujuan perjalanan berikutnya, yaitu lokasi makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. (Fragmen 8)


Kisah, sejarah, dakwah Sunan Maulana Malik Ibrahim atau kakek bantal

Akan tetapi, hanya satu yang mereka inginkan, yaitu hujan. Dua orang gadis telah dikorbankan untuk itu. Namun, hujan belum juga turun. Isyaratnya pun tidak terlihat. Dan gadis yang tercekal di atas altar itu rencananya akan dijadikan korban yang ketiga.

“Hujan akan turun setelah pengorbanan dilakukan tiga kali!” teriak pemimpin ritual itu. (Fragmen 9)


Ib pernah membaca, bahwa fenomena ritual pengorbanan semacam itu bukan hanya terjadi dalam kehidupan masyarakat di pulau Jawa pada zaman dulu, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat lain di belahan bumi. Bahkan, Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah Nabi Saw., diceritakan pernah akan dikorbankan untuk memenuhi nadzar ayahnya. Akan tetapi, hal itu kemudian diganti dengan menyembelih seratus ekor unta. (Fragmen 9)


(Fragmen Mengenang Pak Bakrun—guru di sekolah pesantrennya) Kisah Qorun. Yah, sebagaimana diketahui, pada mulanya Qarun adalah seorang miskin yang taat beribadah dan berdoa kepada Tuhannya. Dia terus bersabar dengan kemiskinan. Akan tetapi, lama-kelamaan dia pun tergoda untuk mendapatkan hidup yang lebih berkecukupan harta. Perlahan kemiskinan menggerus kesabarannya. (Fragmen 10)


Dan yang tak pernah disangka oleh Ib, bahwa Pak Bakrun menjalankan puasa ndaud, yaitu seperti puasanya Nabi Daud, dimana sehari puasa dan sehari berbuka.

Demikianlah, pada suatu hari Nabi Saw., pernah ditanya, apakah beliau ingin menjadi Nabi seperti Ayyub yang miskin dan sakit, atau Nabi seperti Sulaiman yang gagah dan kaya raya?! Barangkali, banyak di antara kita akan memilih seperti Nabi Sulaiman. Dan kalaupun ada, hanya sebagian kecil saja yang bisa menerima seperti Nabi Ayyub.

Lantas, jawaban apa yang dipilih oleh Nabi Saw?! Intinya, beliau ingin menjadi seorang Nabi yang sehari kenyang dan sehari lapar. Dalam kenyang, seseorang bisa bersyukur kepada Tuhan. Sementara dalam lapar, seseorang bisa merasakan penderitaan orang lain yang kelaparan. (Fragmen 10)


Kehidupan dunia hanya sementara. Ibaratnya, hanya mampir untuk minum. Kita harus mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya. Karena perjalanan berikutnya adalah pasti. Kemudian dengan bekal itulah, yakni amal shalih, tempat manusia ditentukan. (Fragmen 12)


Syi’ir tanpa waton,

Pribumisasi Islam menurut Gus Dur

Barangkali di bawah pondasi masjid ini dan makamnya, warna tanahnya sama dengan tanah pemberian Syekh Maulana Ishaq, ayahnya. Ketika mengunjunginya di Pasai, dilanjutkan dengan belajar selama tiga tahun di sana, akhirnya Sunan Giri disuruh kembali ke Gresik.

“Kelak, jika waktunya telah tiba, carilah tanah yang sama dengan tanah dalam bungkusan ini. Kemudian, dirikanlah sebuah pesantren di situ,” demikian pesan ayahnya. (Fragmen 13)


Analisis spekulatif dari komparasi historis antara Mahapatih Gajahmada dengan Sunan Giri terkait Nusantara.

Yah, jika ikatan Nusantara-nya Mahapatih Gajahmada terbentuk melalui kekuatan politik dan militer, maka Nusantara-nya Sunan Giri dibangun melalui hubungan pendidikan dan keagamaan, intelektual-religius, dengan para santrinya yang berasal dari pulau-pulau di wilayah Nusantara.

Membaca kisah hidupnya, Ib tahu bahwa laut adalah kehidupannya. Dewi Sekardadu, ibunya, yang juga putri raja Blambangan, telah menitipkan dia kepada laut untuk mengasuhnya. Kemudian laut membawanya ke hadapan Nyai Ageng Pinanti, yang memberinya nama Joko Samudro. (Fragmen 14)


“Dalam kehidupan manusia, ada tempat yang paling indah untuk bertamasya. Apakah kalian tahu?”

Menurut Pak Bahrun: Sidratu al-muntaha, demikian nama tempat itu. Dua kata yang tidak hanya membuka kesadaran lain yang besar, tetapi juga mengingatkan Ib tentang peristiwa Isra’ mi’raj Nabi Saw. Perjalanan yang dimulai dari masjid ke masjid, yang kemudian dilanjutkan melintasi langit kebesaran-Nya. Puncak perjalanan spiritual manusia, dimana tabir antara Tuhan dengan hamba-Nya terbuka.

Bahkan saking indahnya, Nabi Saw., pun mengungkapkan perjalanan spiritual itu kepada penduduk Makkah, baik muslim maupun kafir. Yah, percaya atau tidak, inilah ujian keimanan. (Fragmen 16)


Menehono teken marang wong kang wuto Menehono mangan marang wong kang luwe Menehono busono marang wong kang mudo Menehono ngiyub marang wong kang kudanan

Demikian pesan itu tertulis. Ib memahami, bahwa pesan itu memiliki jangkauan makna yang luas, sekaligus menjadi tanda atas perjuangan dakwah Sunan Drajat yang menitikberatkan pada kepedulian sosial yang tinggi, di samping kesalehan individual.

…pesan itu menjangkau seluruh aspek kemanusiaan pada diri manusia, baik yang bersifat religius-filosofis, material-ekonomis, moral-spiritual, maupun sosio-psikologis. Dari kesemuanya, pesan itu mengarahkan agar setiap manusia memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi serta menjaga fitrah kemanusiaan, baik diri sendiri maupun orang lain. (Fragmen 17)


Yah, ‘Lelaki yang datang dari laut’, demikian kesimpulan Ib mengenai kehadiran Sunan Drajat di daerah ini, sebagaimana yang tergambar dari cerita rakyat itu.

Diceritakan, suatu hari Raden Qasim diperintahkan oleh Sunan Ampel, ayahnya, untuk pergi sekaligus mencari tempat tinggal di daerah antara Gresik dan Tuban. Dari pelabuhan Gresik, beliau memulai perjalanannya dengan menumpang perahu yang bertolak ke barat. Dalam perjalanan, tiba-tiba ombak besar menghantam dan menggiring perahu itu hingga terhempas menabrak bongkahan karang. Perahu itu menjadi kepingan-kepingan pecah. Cerita rakyat menyebutkan bahwa seekor ikan talang yang cukup besar kemudian menghampirinya. Dengan menaikkan di atas punggungnya, ikan itu mengantar Raden Qasim tiba di pantai dengan selamat. (Fragmen 19)


Larut dalam suasana, tak terasa Ib melantunkan tembang “Tombo Ati” itu.

Menyelesaikannya, dia tersenyum. Seperti merasakan damai di hatinya.

Sekilas tergambar dalam pikirannya, Sunan Bonang sedang memainkan seperangkat alat musik gamelan ciptaannya, yaitu bonang, yang kemudian dijadikan sebagai nama julukannya.

Makdum Ibrahim, demikian nama Sunan Bonang. Oleh ayahnya, yaitu Sunan Ampel, beliau diperintahkan untuk berdakwah di daerah Tuban dan sekitarnya. Akan tetapi, berbeda dengan ayah dan saudaranya, yaitu Sunan Drajat yang menetap dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap melakukan perjalanan dakwah secara berkeliling.

Pada kisah yang pernah dibacanya, Ib tahu, bahwa dalam perjalanan berkeliling ini juga, Sunan Bonang bertemu dengan Brandal Lokajaya. Si “perampok budiman” yang kemudian insyaf dan menjadi salah satu murid utama beliau dalam ilmu hakikat. Brandal Lokajaya yang kemudian berubah menjadi Sunan Kalijaga. (Fragmen 20)


Ib terbangun seketika. Kisah yang pernah dibacanya itu mencuat dalam ingatan. Babad Tanah Jawi menjelaskan kisah seperti yang tergambar dalam mimpinya. Dua laki-laki, guru dan murid itu adalah Sunan Bonang dan Kalijaga. Sedangkan laki-laki yang menjelma dari cacing itu, tidak lain yaitu Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar. (Fragmen 21)


Dalam pandangan Kang Badri, kisah hidup Sunan Bonang adalah potret perjalanan cinta. Pada satu titik, hal tersebut mengingatkannya tentang kisah sufi perempuan, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep mahabbah. Bahwa cinta yang dimilikinya telah habis untuk Tuhan saja. Maka, maklumlah jika kabar menyebutkan bahwa keduanya tidak menikah. Tidak berkeluarga dan beranak-pinak. Kendati tak tersisa lagi, cinta kepada Tuhan tersebut dalam kehidupan sehari-hari termanifestasikan dengan kasih-sayang kepada seluruh makhluk-Nya di dunia. Termasuk rerumputan.

Hal terpenting dari kisah hidup Sunan Bonang dan Rabi’ah al-Adawiyah, bahwa kehidupan di dunia adalah perjalanan cinta kepada-Nya. Segala peristiwa yang terjadi dan dialami, tidak lain merupakan ruang-ruang manifestasi cinta kepada Tuhan. (Fragmen 22)


Berbeda dengan kisah para walisongo sebelumnya, wilayah dakwah Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus adalah sebuah kota, dimana aktivitas perdagangan, kesibukan hidup, heterogenitas dalam masyarakat, menjadi gambaran khas. Hal inilah yang tampaknya mendasari filosofi hidup yang dikembangkan di masyarakat, yaitu gusjigang, singkatan dari bagus, ngaji, dan dagang. (Fragmen 23)


Konon, suatu hari Sunan Kudus pernah membeli sapi dari India yang dibawa oleh para pedagang asing dengan kapal besar. Di halaman rumah dekat masjid, sapi yang diberi nama Kebo Gumarang itu kemudian ditambatkan.

“Saudara-saudara, segenap sanak-kadang yang saya hormati dan cintai. Bersama ini, saya sampaikan kepada saudara semua untuk tidak menyakiti, apalagi menyembelih sapi,” ujar Sunan Kudus. “Karena dulu, saat masih kecil saya hampir mati kehausan. Lalu seekor sapi datang menyusui saya.” (Fragmen 24)


Yah, barangkali memang demikian. Sebagaimana Nabi Saw yang melarang umatnya memanggil orang lain dengan panggilan dan julukan yang buruk. Dan sebaliknya. Begitu juga nama-nama yang baik untuk anak dan cucu. Ib berpikir, bahwa hal itu tidak lain, agar umat manusia melihat cermin diri sendiri yang penuh dengan kebaikan. (Fragmen 26)


Dalam diam menatap bayangan malam, Ib tahu bahwa Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga. Seperti ayahnya, beliau berdakwah dengan cara yang lembut. Dengan hikmah dan tutur kata yang baik. Ngemong, istilah dalam bahasa Jawa, yang berarti melindungi dan membina. (Fragmen 27)


Memikirkan kisah tersebut, Ib teringat satu hadits yang pernah dijelaskan Pak Bakrun di kelas. Rasulullah Saw., bersabda: “Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Pertama, waspadalah kalian terhadap sifat sombong, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam. Kedua, waspadalah kalian terhadap sifat rakus, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Yang ketiga, jagalah dirimu dari sifat dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.”

Kisah-kisah terdahulu menyebutkan, bahwa para penguasa dan orang- orang yang sombong lainnya dibinasakan, seperti kisah raja Namrud, raja Fir’aun, Qarun dan sebagainya. (Fragmen 27)


Pada periode sebelumnya, tidak sedikit di antara para elite kerajaan yang “terusir”, mulai membangun pusat kekuasaan baru di wilayah hutan dan pegunungan. Raden Wijaya dengan kerajaan Majapahit di kawasan hutan Tarik. Begitu juga dengan Panembahan Senopati. Bermula dari tanah perdikan yang diberikan oleh Sultan Hadiwijaya dari Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan, ayahnya, Panembahan Senopati merubah alas Mentaok menjadi pusat kekuasaan baru di tanah Jawa, yaitu kerajaan Mataram. (Fragmen 28)


Menurut Ib, apa yang dilakukan oleh Sunan Muria di gunung dan hutan tersebut, yaitu untuk melengkapi perjuangan Sunan Kalijaga, ayahnya, yang setelah pengembaraannya, hidup di ibukota kerajaan Demak, yaitu sebagai konseptor budaya Islam-Jawa. (Fragmen 29)


Jika inti pesan wahyu pertama adalah perintah untuk membaca, yang mana di dalamnya mengarah pada pemahaman dan kesadaran yang melibatkan dimensi spiritualitas dan intelektualitas, maka pesan utama wahyu kedua adalah bergerak dalam proses perubahan di masyarakat.

Memang, umumnya kalangan umat Islam memahami bahwa surat al- Mudatsir ayat satu sampai tujuh tersebut berisi tentang perintah untuk berdakwah. Akan tetapi menurut Pak Bakrun, ayat-ayat di atas lebih menunjuk pada dasar spiritualitas-etik yang harus dipegang oleh seseorang yang berdakwah. Karena itu, penekanan atas keberadaan Nabi Saw dalam kehidupan umatnya adalah uswatun hasanah. Teladan yang baik. Bukan sekadar mauidhah hasanah atau ceramah agama. (Fragmen 32)

 

Catatan:

12). Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, 137-142

13). Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Gramedia 2000, hal. xii

 

(Bersambung)

DIAYANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKA SASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (3)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar