Catatan atas Novel 9 Karya A. Syauqi Sumbawi
(Bagian
2 dari 3 Tulisan)
Oleh S. Jai
Moralitas Ideal,
Kesederhanaan dan Pemberontakan
Lebih dari itu, apabila kita mencermati
karnaval struktur dan struktur karnaval teks novel ini, baik penanda di kedua
ujung buhul (pada sampul dan akhir novel) yang sama, juga utamanya perihal
tema, tokoh, plot cerita yang tanpa struktur konflik atau klimak, maka inilah
kiranya salah satu novel yang disebut Kuntowijoyo duapuluh tahun sebelum
dirinya memaklumatkan sastra profetik.
Yaitu sastra tipologis, atau sastra
dengan tradisi tipologisme. Artinya, tokoh-tokoh dalam sastra yang tidak
mempunyai perwatakan yang merdeka, tetapi merupakan tokoh yang sudah
ditertibkan (oleh pengarang).12)
Pokok-pokok pikirannya kuranglebih
demikian;
Tradisi tipologisme, personalitas yang
mapan, terbentuk sejak kemunculannya. Nyaris tidak ada konflik psikis, sebab
semuanya sudah ajeg didudukkan dalam garis, rangka bangun personalitas para
tokohnya. Logika perkembangan pribadi pelaku tidak menuruti pertumbuhan
kejiwaan yang penuh dengan krisis yang membentuknya, tetapi menurut kemauan
pembentukan sebuah kerangka keseluruhan kejadian. Di sini kejadian sebagai
akibat dari hubungan antar manusia menjadi lebih penting daripada perkembangan
kejiwaan pelaku-pelaku tunggalnya.
Kejadian-kejadian tidak pernah
mempengaruhi personalitas. Mengapa? Karena sosiokultur otoritarian;
pikiran-pikiran kolektif lebih penting daripada pikiran individual dan
kesadaran kolektif lebih diutamakan ketimbang kesadaran perorangan.
Dalam kerangka sosial patrimonial tidak
lahir tokoh-tokoh literer dengan personalitas individual, tetapi selalu
personalitas kolektif. 138
Sastra di sini bertindak sebagai simbol
dari pikiran kolektif tanpa memberi kemerdekaan bagi perkembangan personalitas
tokoh-tokohnya. Perwatakan tokoh-tokoh itu menurut pola sebuah karakter sosial,
dan bukan karakter-karakter individual, Dengan perkataan lain, pikiran kolektif
secara apriori telah menentukan sejumlah tipe ideal bagi tokoh-tokoh cerita,
sebagaimana Nampak dalam karakterisasi tokoh-tokoh pewayangan.
Inilah sastra
filsafat dan sastra sosial. Bukan sastra psikologis.
Pengarang sebagai pewaris budaya
kolektif ia tidak bisa melepaskan diri dari simbolisme bersama….usahanya yang
keras untuk menegakkan sendiri norma elitism baru; sementara itu ia terjerat ke
dalam etika otoritarian, dan melihat dirinya sendiri sebagai kelompok atas yang
mempunyai misi untuk menangani pikiran kolektif., memaksakannya dari atas.
Seperti dalam wayang, tokoh cerita
sebenarnya bukan person tunggal, tetapi wakil dari person kolektif, bahkan
tokoh dari karya sastra yang paling alienated pun ialah wakil dari kesadaran
pengarangnya yang dengan semena mena dilakonkan karena ia tidak mempunya
integrasi persoalitas tersendiri. Ia wakil dari pengarangnya yang paling setia,
tidak bertanggungjawab kepada kualitas inhern dalam dirinya, tetapi kepada
rencana skenario pengarangnya.
Sastra Sosial. Bersifat Dialektis.
Komit pada cita-cita sosial. Destruktif; individu memberontak kepada masyarakat
dan menjadi korban dari kekejaman masyarakat. Konstruktif; masyarakat benar.
Memang perihal psikologis, cukup
debatable, perihal ada tidaknya, cukup atau kurangnya bisa disebut mengandung
konflik, terlebih konflik batin pun atau konflik dengan dirinya sendiri turut
dipertimbangkan dalam kajian sastra. Namun demikian begitu banyaknya moralitas
yang diidealkan, atau idealitas yang menjadi moral tokoh-tokoh dalam novel ini,
adanya tipologi itu beralasan.
Berbeda misalnya dengan spiritualitas
yang menjadi moral tokoh Mizoguchi dalam novel Kuil Kencana (Pustaka Jaya, 1978). Mizoguchi melakukan perlawanan
dan pemberontakan terhadap dirinya sendiri, tepatnya sesuatu paham yang
menguasai dirinya sendiri. Sejumlah analisa menyebut sesuatu itu paham
keindahan menurut hukum Zen, masyarakat Jepang memiliki konsep estetik yang
berakar dari Zen, yaitu wabi-sabi. Sebuah konsep perihal kesederhanaan hidup,
kehormatan, dengan menekankan ketenangan dan kekosongan. Kekaguman akan
keindahan dan kebesaran daya pukau pada sebuah kuil, berakhir tindakan anarkis
pembakaran terhadapnya.
Salah satu potensi yang serupa—perlawanan
dan pemberontakan—dalam novel 9 adalah paham kesederhanaan dalam laku ziarah
yang berbeda dengan ‘sistem/konvensi’ masyarakat pada umumnya. Tepatnya tak
sekadar mengalami perbedaan, melainkan juga pergeseran. Pergeseran oleh banyak
sekali kepentingan di sebaliknya. Pendek kata sesuatu yang pada akhirnya
sesungguhnya (setidaknya) benih dari perlawanan oleh karena perbedaan dari
paradigma dan wacana. Katakan terkait dengan wisata religi. Kendati demikian
setiap wacana akan menghasilkan pemberontakannya sendiri, termasuk
pemberontakan atas paham kesederhanaan dalam laku ziarah yang menjadi spirit
utama pengarang novel ini.
Berikut ini sejumlah moralitas ideal
yang sudah barangtentu mengandung banyak potensi konflik, kekacauan (setidaknya
secara psikologis) namun demikian sebagai ‘sastra sosial’ dan ‘bersifat
dialektis,’—bisa dipersoalkan, ibaratnya pemantik individu untuk melakukan
pemberontakan; ada konstruksi kebenaran umum di dalamnya. Baik kebenaran dalam
pengertian tekstual-ideologis, maupun kebenaran dalam pengalaman
sosiologis-pengetahuan.
Tidak hanya terpilih
sebagai utusan Tuhan, keduanya juga merupakan sosok penting dalam sejarah umat
manusia. Revolusioner sejati. Sederhananya,.. jika risalah Nabi Muhammad secara
umum menunjuk pada perubahan masyarakat dari kondisinya yang “jahiliyah”
menjadi masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Islam secara universal, yakni
rahmatan lil alamin, terutama karena keberadaannya sebagai penutup para nabi
dan rasul, maka sosok Nabi Ibrahim lebih tampak mengarah pada perjuangan
pribadi manusia mencapai kemerdekaan hakiki sesuai dengan fitrahnya, (Fragmen 1)
semua agama pun
menjadikan pendidikan sebagai sarana pokok dalam sosialisasi dan intensifikasi
seluruh ajarannya, agar pemeluknya menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa. (Fragmen 3)
salah satu cara yang
paling efektif untuk mendidik masyarakat adalah keteladanan.(Fragmen 4)
Dari situlah, maka
diperlukan nilai-nilai teologis yang sakral, terutama nilai-nilai
aqidah—tauhid—untuk dijadikan sebagai pondasi. (Fragmen
6)
Humanisme, demikian
kira-kira pemahaman Ib terkait dakwah Islam yang dilakukan oleh Kakek Bantal,
sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw., baik ajarannya maupun cara
penyampaiannya. (Fragmen 9)
Dari apa yang
diketahuinya tentang Pak Bakrun, Ib mengagumi kesederhanaan sikapnya. Begitu
juga arah pembicaraannya yang selalu menampilkan hikmah. Hal inilah yang
mengingatkan Ib pada Mbah Mad, kakeknya. Dan yang tak pernah disangka oleh Ib,
bahwa Pak Bakrun menjalankan puasa ndaud, yaitu seperti puasanya Nabi Daud,
dimana sehari puasa dan sehari berbuka. (Fragmen
10)
Lantas, jawaban apa
yang dipilih oleh Nabi Saw?! Intinya, beliau ingin menjadi seorang Nabi yang
sehari kenyang dan sehari lapar. Dalam kenyang, seseorang bisa bersyukur kepada
Tuhan. Sementara dalam lapar, seseorang bisa merasakan penderitaan orang lain yang
kelaparan. Kira-kira, inilah makna yang menurut Ib menjadi ketersambungan
antara kisah tersebut dengan riyadlah yang dilakukan oleh Pak Bakrun, yaitu
selalu bersyukur kepada-Nya dan berbagi dengan sesama umat manusia. (Fragmen 10)
Bahwa yang namanya
hidup, ada puasa juga ada lebaran. Dijalani saja dengan baik.
Ib tahu, kendati
terdengar biasa dan sederhana, perkataan sopir berpeci itu sungguh bijak. Yah,
ada sabar dan ada syukur. Dan itu semuanya harus dijalani dengan baik, terutama
sebagai manifestasi rasa cinta kepada-Nya. (Fragmen
11)
Laut juga yang
mengikat kasih sayang dan tanggungjawabnya sebagai guru kepada murid-muridnya
yang tersebar di pulau-pulau Nusantara. (Fragmen
14)
Ib hanya ingin
perjalanannya kali ini seperti air yang mengalir. Sesuai dengan kata hatinya.(Fragmen 15)
Karena dia pernah
mengalami peristiwa spiritual lain yang berhubungan dengan Nabi Saw. Pengalaman
yang menjadikannya tidak pernah meragukan keberadaan beliau sebagai utusan-Nya.
(Fragmen 16)
Yah, memang tampak
sederhana. Akan tetapi, Ib tahu bahwa pesan itu menjangkau seluruh aspek
kemanusiaan pada diri manusia, baik yang bersifat religius-filosofis,
material-ekonomis, moral-spiritual, maupun sosio-psikologis. Dari kesemuanya,
pesan itu mengarahkan agar setiap manusia memiliki kepedulian dan jiwa sosial
yang tinggi serta menjaga fitrah kemanusiaan, baik diri sendiri maupun orang
lain. (Fragmen 17)
Pada level ini,
ketakwaan tidak dapat dipisahkan dari cinta. Bahkan cinta merupakan dasar bagi
ketakwaan manusia kepada Tuhan, yang termanifestasikan dalam penunaian perintah
dan menjauhi larangan-Nya. (Fragmen 18)
Bahwa ziarah adalah
pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena itu,
untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah ziarah,
yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. (Fragmen 19)
“Makanya, kewajiban
menuntut ilmu itu sampai ke liang lahat.” (Fragmen
21)
…hal-hal kecil
seperti inilah yang tampaknya menjadikan murid-murid segan dan hormat kepada
Pak Bakrun, sekaligus menegaskan kepribadiannya yang asah, asih, dan asuh….
Pak Bakrun ingin
menampilkan aspek positif atau gambar ideal yang ada pada murid-muridnya,
dimana pada tataran kesadaran tertentu, hal tersebut dapat menjadi arah dalam
pembentukan karakternya. (Fragmen 26)
“Bersama kata-kata
kehidupan bergerak. Dan dakwah, tidak lain adalah pelibatan diri dalam
historisitas manusia. Karena itu, menulislah!” kata Kang Badri. (Fragmen 33)
Karnaval Wacana,
Teks, Ideologi, Kekuasaan
Potensi perlawanan itu bagaikan api dalam
sekam, yang oleh penulis tidak dikelola, oleh karena api yang lain berkobar
dengan merajalela dalam pelbagai titik. Itulah ideologi. Itulah wacana yang
bekerja tidak saja dalam narasi-narasi yang dicoba disadarinya, melainkan juga
telah menjadi ‘roh’ menjadi bangunan mental pikiran-perasaan semua orang,
penulis, pembaca juga sebagian besar konteks yang menghidupi situasi
kepenulisan sang pengarang.
Di sebalik ikhtiar pengarang menuliskan
karyanya ini, ada yang menguasai ada yang dikuasai ada kekuasaan itu sendiri.
Pengarang, juga tokoh-tokoh yang dituliskannya dalam novel 9 adalah
representasi dari itu semua. Dengan kata lain, ada teknologi penciptaan; baik
sebagai pencipta maupun ciptaannya. Maka jelas, sampai di sini teks adalah
problem, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, yang kasar maupun yang
halus, yang masif maupun yang emansipatif, yang demokratis maupun yang
revolusioner.
Pentingnya mengutip konsep kekuasaan
Michel Foucault tak lain adalah guna menyakinkan bahwa narasi, wicara, wacana,
mitos, ideologi yang bekerja tidak hadir begitu saja secara alami, ada
fabrikasi kuasanya. Kita perlu tahu, menyadari dan mengungkapkannya. Sejarah,
katanya; bukan sekadar kajian cermat tentang berbagai peristiwa, melainkan juga
suatu silsilah, nalar, kebenaran dan pengetahuan barat. Foucault memperkenalkan
suatu pengertian yang mampu memperhitungkan berbagai perubahan dan tranformasi
budaya. Itulah yang disebut pengertian episteme, yaitu himpunan berbagai kaidah
yang melandasi dan mengatur produksi wacana pada suatu masa tertentu.13)
Kekuasaan menurut konsep Foucault tak
mesti berlaku kasar, represif, melainkan juga secara mulus-halus. Inilah
wacana; menyebar dan hadir dimana-mana, dalam bentuk apa saja, dimiliki oleh
siapa saja. Bukan manusia yang sepenuhnya menentukan wacana—cara manusia
membicarakan kenyataan. Bukan pula sepenuhnya menentukan, episteme—cara manusia
menangkap, memandang dan memahami kenyataan. Sebaliknya, justru sejarah
pengetahuan manusia ditentukan keduanya. Keduanya, adalah pembentuk manusia
yang patuh. Keduanya, adalah kuasa kontrol perilaku manusia.
Pada perilaku manusia kekuasaan bisa
dikenali dari akibat-akibatnya, salah satunya yaitu perlawanan terhadap kuasa
tersebut. Dalam bukunya Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Foucault
menyebutkan bahwa di mana pun ada kekuasaan, pasti terdapat perlawanan di
dalamnya. Dalam terminologi Foucault kekuasaan merupakan hasil dari hubungan
hubungan strategis yang tidak stabil, dimana ketidakstabilan ini merupakan
dampak dari adanya perlawanan dalam suatu relasi kuasa. Adanya perlawanan juga
merupakan suatu petunjuk bahwa ada hubungan kuasa yang terjalin. Kekuasaan
dalam terminologi Foucault ini tidak hadir secara fisik, namun dapat dikenali
dari akibat-akibatnya, salah satunya yaitu perlawanan terhadap kuasa tersebut.
Berikut ini, sederet kutipan yang tentu
saja bisa ditelisik lebih mendalam bagaimana pengaruh wacana terhadap perilaku
tokoh, berikut kemungkinan perlawanan terhadapnya dalam novel 9 untuk
mempertontonkan bagaimana karnaval wacana sebagai teks ideologi dan kekuasaan
bekerja. Sederet kutipan ini memungkinkan pula untuk menjawab perihal; ragam
hubungan kekuatan, permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa
henti mengubah, memperkokoh, memutarbaliknya; berbagai hubungan kekuatan yang
saling mendukung sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya,
kesenjangan dan kontradiksi yang saling mengucilkan; juga strategi tempat
hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak.
Basri secara tidak
sengaja menemukan nama Mustafa Ibrahim. Waktu itu, dia baru saja selesai
membaca beberapa buku tentang sejarah dan revolusi. Tidak hanya terpilih
sebagai utusan Tuhan, keduanya juga merupakan sosok penting dalam sejarah umat
manusia. Revolusioner sejati.
“Revolusi Dua Arah
dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi Muhammad dan Nabi
Ibrahim.” (Fragmen 1)
…Kisah Adam ketika
hidup di taman surga. Sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an.
Kisah Qabil dan
Habil. Kedua putra Adam yang diceritakan oleh al-Qur’an.
Maka ketika anak
pertamanya lahir dan berkelamin laki-laki, dia pun diberi nama Mustafa Ibrahim.
hasil pembacaanku
terhadap sejarah Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. (Fragmen 2)
Dari semuanya, salah
satu cara yang paling efektif untuk mendidik masyarakat adalah keteladanan.
Itulah yang dapat kita lihat dari perjuangan Nabi Muhammad. (Fragmen 4)
Berada di Makam R.
Rachmattulloh (Fragmen Sunan Ampel),
Kisah Ali
Rahmatullah, yang merupakan keponakan Dewi Dewi Dwarawati, salah satu istri
Raja Brawijaya. Secara historis, revolusi dari masyarakat “jahiliyah” menuju
masyarakat Islam seperti yang dapat dilihat pada periode Madinah, tidak terjadi
secara tiba-tiba,
Dari komunitas
Ampeldenta ini kemudian lahir kader- kader, seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Giri, Raden Fatah, dan sebagainya, yang tidak hanya dikenal memiliki
akhlak mulia, tetapi juga berpengaruh besar dalam penyebaran Islam dan
transformasi masyarakat, terutama di Pulau Jawa dan Nusantara pada umumnya. (Fragmen 6)
Delapan belas tahunan
yang lalu, ketika hamil muda, Hanifah, istrinya memiliki sebuah permintaan
khusus. Ngidam, demikian orang jawa menyebutnya. Bukan dia, tetapi jabang bayi
dalam rahimnya itu yang menginginkannya. Dan permintaan khusus itu adalah air
dari sumur peninggalan Sunan Ampel. (Fragmen
7)
Air mengalir bersama
cerita dan sejarahnya, sehingga memiliki makna khusus, dimana kekuasaan Tuhan
terlibat di dalamnya. Misalnya, kisah munculnya air zamzam, yang dalam tradisi
Islam dipercaya sebagai jawaban Tuhan atas doa dan usaha Hajar, istri Nabi
Ibrahim, ketika mencari air untuk putranya, Ismail. Maka, tidak heran jika
setiap kali umat Islam di Indonesia pergi haji atau umrah, mereka selalu
membawanya sebagai oleh-oleh. Zam- zam, demikian sebutan khusus dan terdengar
istimewa, lantaran kisah dan sejarah yang menyertainya.
Dia tahu tujuan
perjalanan berikutnya, yaitu lokasi makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. (Fragmen 8)
Kisah, sejarah,
dakwah Sunan Maulana Malik Ibrahim atau kakek bantal
Akan tetapi, hanya
satu yang mereka inginkan, yaitu hujan. Dua orang gadis telah dikorbankan untuk
itu. Namun, hujan belum juga turun. Isyaratnya pun tidak terlihat. Dan gadis
yang tercekal di atas altar itu rencananya akan dijadikan korban yang ketiga.
“Hujan akan turun
setelah pengorbanan dilakukan tiga kali!” teriak pemimpin ritual itu. (Fragmen 9)
Ib pernah membaca,
bahwa fenomena ritual pengorbanan semacam itu bukan hanya terjadi dalam
kehidupan masyarakat di pulau Jawa pada zaman dulu, tetapi juga dilakukan oleh
masyarakat lain di belahan bumi. Bahkan, Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah
Nabi Saw., diceritakan pernah akan dikorbankan untuk memenuhi nadzar ayahnya.
Akan tetapi, hal itu kemudian diganti dengan menyembelih seratus ekor unta. (Fragmen 9)
(Fragmen Mengenang
Pak Bakrun—guru di sekolah pesantrennya) Kisah Qorun. Yah, sebagaimana
diketahui, pada mulanya Qarun adalah seorang miskin yang taat beribadah dan
berdoa kepada Tuhannya. Dia terus bersabar dengan kemiskinan. Akan tetapi,
lama-kelamaan dia pun tergoda untuk mendapatkan hidup yang lebih berkecukupan
harta. Perlahan kemiskinan menggerus kesabarannya. (Fragmen 10)
Dan yang tak pernah
disangka oleh Ib, bahwa Pak Bakrun menjalankan puasa ndaud, yaitu seperti
puasanya Nabi Daud, dimana sehari puasa dan sehari berbuka.
Demikianlah, pada
suatu hari Nabi Saw., pernah ditanya, apakah beliau ingin menjadi Nabi seperti
Ayyub yang miskin dan sakit, atau Nabi seperti Sulaiman yang gagah dan kaya
raya?! Barangkali, banyak di antara kita akan memilih seperti Nabi Sulaiman.
Dan kalaupun ada, hanya sebagian kecil saja yang bisa menerima seperti Nabi
Ayyub.
Lantas, jawaban apa
yang dipilih oleh Nabi Saw?! Intinya, beliau ingin menjadi seorang Nabi yang
sehari kenyang dan sehari lapar. Dalam kenyang, seseorang bisa bersyukur kepada
Tuhan. Sementara dalam lapar, seseorang bisa merasakan penderitaan orang lain
yang kelaparan. (Fragmen 10)
Kehidupan dunia hanya
sementara. Ibaratnya, hanya mampir untuk minum. Kita harus mempersiapkan bekal
sebanyak-banyaknya, dan sebaik-baiknya. Karena perjalanan berikutnya adalah
pasti. Kemudian dengan bekal itulah, yakni amal shalih, tempat manusia
ditentukan. (Fragmen 12)
Syi’ir tanpa waton,
Pribumisasi Islam
menurut Gus Dur
Barangkali di bawah
pondasi masjid ini dan makamnya, warna tanahnya sama dengan tanah pemberian
Syekh Maulana Ishaq, ayahnya. Ketika mengunjunginya di Pasai, dilanjutkan
dengan belajar selama tiga tahun di sana, akhirnya Sunan Giri disuruh kembali
ke Gresik.
“Kelak, jika waktunya
telah tiba, carilah tanah yang sama dengan tanah dalam bungkusan ini. Kemudian,
dirikanlah sebuah pesantren di situ,” demikian pesan ayahnya. (Fragmen 13)
Analisis spekulatif
dari komparasi historis antara Mahapatih Gajahmada dengan Sunan Giri terkait
Nusantara.
Yah, jika ikatan
Nusantara-nya Mahapatih Gajahmada terbentuk melalui kekuatan politik dan
militer, maka Nusantara-nya Sunan Giri dibangun melalui hubungan pendidikan dan
keagamaan, intelektual-religius, dengan para santrinya yang berasal dari
pulau-pulau di wilayah Nusantara.
Membaca kisah
hidupnya, Ib tahu bahwa laut adalah kehidupannya. Dewi Sekardadu, ibunya, yang
juga putri raja Blambangan, telah menitipkan dia kepada laut untuk mengasuhnya.
Kemudian laut membawanya ke hadapan Nyai Ageng Pinanti, yang memberinya nama
Joko Samudro. (Fragmen 14)
“Dalam kehidupan
manusia, ada tempat yang paling indah untuk bertamasya. Apakah kalian tahu?”
Menurut Pak Bahrun:
Sidratu al-muntaha, demikian nama tempat itu. Dua kata yang tidak hanya membuka
kesadaran lain yang besar, tetapi juga mengingatkan Ib tentang peristiwa Isra’
mi’raj Nabi Saw. Perjalanan yang dimulai dari masjid ke masjid, yang kemudian
dilanjutkan melintasi langit kebesaran-Nya. Puncak perjalanan spiritual
manusia, dimana tabir antara Tuhan dengan hamba-Nya terbuka.
Bahkan saking
indahnya, Nabi Saw., pun mengungkapkan perjalanan spiritual itu kepada penduduk
Makkah, baik muslim maupun kafir. Yah, percaya atau tidak, inilah ujian
keimanan. (Fragmen 16)
Menehono teken marang
wong kang wuto Menehono mangan marang wong kang luwe Menehono busono marang
wong kang mudo Menehono ngiyub marang wong kang kudanan
Demikian pesan itu
tertulis. Ib memahami, bahwa pesan itu memiliki jangkauan makna yang luas,
sekaligus menjadi tanda atas perjuangan dakwah Sunan Drajat yang
menitikberatkan pada kepedulian sosial yang tinggi, di samping kesalehan
individual.
…pesan itu menjangkau
seluruh aspek kemanusiaan pada diri manusia, baik yang bersifat
religius-filosofis, material-ekonomis, moral-spiritual, maupun
sosio-psikologis. Dari kesemuanya, pesan itu mengarahkan agar setiap manusia
memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi serta menjaga fitrah
kemanusiaan, baik diri sendiri maupun orang lain. (Fragmen 17)
Yah, ‘Lelaki yang
datang dari laut’, demikian kesimpulan Ib mengenai kehadiran Sunan Drajat di
daerah ini, sebagaimana yang tergambar dari cerita rakyat itu.
Diceritakan, suatu
hari Raden Qasim diperintahkan oleh Sunan Ampel, ayahnya, untuk pergi sekaligus
mencari tempat tinggal di daerah antara Gresik dan Tuban. Dari pelabuhan
Gresik, beliau memulai perjalanannya dengan menumpang perahu yang bertolak ke
barat. Dalam perjalanan, tiba-tiba ombak besar menghantam dan menggiring perahu
itu hingga terhempas menabrak bongkahan karang. Perahu itu menjadi
kepingan-kepingan pecah. Cerita rakyat menyebutkan bahwa seekor ikan talang
yang cukup besar kemudian menghampirinya. Dengan menaikkan di atas punggungnya,
ikan itu mengantar Raden Qasim tiba di pantai dengan selamat. (Fragmen 19)
Larut dalam suasana,
tak terasa Ib melantunkan tembang “Tombo Ati” itu.
Menyelesaikannya, dia
tersenyum. Seperti merasakan damai di hatinya.
Sekilas tergambar
dalam pikirannya, Sunan Bonang sedang memainkan seperangkat alat musik gamelan
ciptaannya, yaitu bonang, yang kemudian dijadikan sebagai nama julukannya.
Makdum Ibrahim,
demikian nama Sunan Bonang. Oleh ayahnya, yaitu Sunan Ampel, beliau diperintahkan
untuk berdakwah di daerah Tuban dan sekitarnya. Akan tetapi, berbeda dengan
ayah dan saudaranya, yaitu Sunan Drajat yang menetap dalam berdakwah, Sunan
Bonang kerap melakukan perjalanan dakwah secara berkeliling.
Pada kisah yang
pernah dibacanya, Ib tahu, bahwa dalam perjalanan berkeliling ini juga, Sunan
Bonang bertemu dengan Brandal Lokajaya. Si “perampok budiman” yang kemudian
insyaf dan menjadi salah satu murid utama beliau dalam ilmu hakikat. Brandal
Lokajaya yang kemudian berubah menjadi Sunan Kalijaga. (Fragmen 20)
Ib terbangun
seketika. Kisah yang pernah dibacanya itu mencuat dalam ingatan. Babad Tanah
Jawi menjelaskan kisah seperti yang tergambar dalam mimpinya. Dua laki-laki,
guru dan murid itu adalah Sunan Bonang dan Kalijaga. Sedangkan laki-laki yang
menjelma dari cacing itu, tidak lain yaitu Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti
Jenar. (Fragmen 21)
Dalam pandangan Kang
Badri, kisah hidup Sunan Bonang adalah potret perjalanan cinta. Pada satu
titik, hal tersebut mengingatkannya tentang kisah sufi perempuan, yaitu Rabi’ah
al-Adawiyah, dengan konsep mahabbah. Bahwa cinta yang dimilikinya telah habis
untuk Tuhan saja. Maka, maklumlah jika kabar menyebutkan bahwa keduanya tidak
menikah. Tidak berkeluarga dan beranak-pinak. Kendati tak tersisa lagi, cinta
kepada Tuhan tersebut dalam kehidupan sehari-hari termanifestasikan dengan
kasih-sayang kepada seluruh makhluk-Nya di dunia. Termasuk rerumputan.
Hal terpenting dari
kisah hidup Sunan Bonang dan Rabi’ah al-Adawiyah, bahwa kehidupan di dunia adalah
perjalanan cinta kepada-Nya. Segala peristiwa yang terjadi dan dialami, tidak
lain merupakan ruang-ruang manifestasi cinta kepada Tuhan. (Fragmen 22)
Berbeda dengan kisah
para walisongo sebelumnya, wilayah dakwah Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus adalah
sebuah kota, dimana aktivitas perdagangan, kesibukan hidup, heterogenitas dalam
masyarakat, menjadi gambaran khas. Hal inilah yang tampaknya mendasari filosofi
hidup yang dikembangkan di masyarakat, yaitu gusjigang, singkatan dari bagus,
ngaji, dan dagang. (Fragmen 23)
Konon, suatu hari
Sunan Kudus pernah membeli sapi dari India yang dibawa oleh para pedagang asing
dengan kapal besar. Di halaman rumah dekat masjid, sapi yang diberi nama Kebo
Gumarang itu kemudian ditambatkan.
“Saudara-saudara,
segenap sanak-kadang yang saya hormati dan cintai. Bersama ini, saya sampaikan
kepada saudara semua untuk tidak menyakiti, apalagi menyembelih sapi,” ujar
Sunan Kudus. “Karena dulu, saat masih kecil saya hampir mati kehausan. Lalu
seekor sapi datang menyusui saya.” (Fragmen
24)
Yah, barangkali
memang demikian. Sebagaimana Nabi Saw yang melarang umatnya memanggil orang
lain dengan panggilan dan julukan yang buruk. Dan sebaliknya. Begitu juga
nama-nama yang baik untuk anak dan cucu. Ib berpikir, bahwa hal itu tidak lain,
agar umat manusia melihat cermin diri sendiri yang penuh dengan kebaikan. (Fragmen 26)
Dalam diam menatap
bayangan malam, Ib tahu bahwa Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga.
Seperti ayahnya, beliau berdakwah dengan cara yang lembut. Dengan hikmah dan
tutur kata yang baik. Ngemong, istilah dalam bahasa Jawa, yang berarti
melindungi dan membina. (Fragmen 27)
Memikirkan kisah
tersebut, Ib teringat satu hadits yang pernah dijelaskan Pak Bakrun di kelas.
Rasulullah Saw., bersabda: “Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah
dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Pertama, waspadalah kalian terhadap
sifat sombong, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada
Adam. Kedua, waspadalah kalian terhadap sifat rakus, sebab kerakusan telah
menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Yang ketiga, jagalah dirimu
dari sifat dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam
membunuh saudaranya.”
Kisah-kisah terdahulu
menyebutkan, bahwa para penguasa dan orang- orang yang sombong lainnya
dibinasakan, seperti kisah raja Namrud, raja Fir’aun, Qarun dan sebagainya. (Fragmen 27)
Pada periode
sebelumnya, tidak sedikit di antara para elite kerajaan yang “terusir”, mulai
membangun pusat kekuasaan baru di wilayah hutan dan pegunungan. Raden Wijaya
dengan kerajaan Majapahit di kawasan hutan Tarik. Begitu juga dengan Panembahan
Senopati. Bermula dari tanah perdikan yang diberikan oleh Sultan Hadiwijaya
dari Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan, ayahnya, Panembahan Senopati merubah
alas Mentaok menjadi pusat kekuasaan baru di tanah Jawa, yaitu kerajaan
Mataram. (Fragmen 28)
Menurut Ib, apa yang
dilakukan oleh Sunan Muria di gunung dan hutan tersebut, yaitu untuk melengkapi
perjuangan Sunan Kalijaga, ayahnya, yang setelah pengembaraannya, hidup di
ibukota kerajaan Demak, yaitu sebagai konseptor budaya Islam-Jawa. (Fragmen 29)
Jika inti pesan wahyu
pertama adalah perintah untuk membaca, yang mana di dalamnya mengarah pada
pemahaman dan kesadaran yang melibatkan dimensi spiritualitas dan
intelektualitas, maka pesan utama wahyu kedua adalah bergerak dalam proses
perubahan di masyarakat.
Memang, umumnya
kalangan umat Islam memahami bahwa surat al- Mudatsir ayat satu sampai tujuh
tersebut berisi tentang perintah untuk berdakwah. Akan tetapi menurut Pak
Bakrun, ayat-ayat di atas lebih menunjuk pada dasar spiritualitas-etik yang
harus dipegang oleh seseorang yang berdakwah. Karena itu, penekanan atas
keberadaan Nabi Saw dalam kehidupan umatnya adalah uswatun hasanah. Teladan
yang baik. Bukan sekadar mauidhah hasanah atau ceramah agama. (Fragmen 32)
Catatan:
12).
Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, 137-142
13).
Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Gramedia 2000, hal.
xii
(Bersambung)
DIAYANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKA SASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar