Catatan atas Novel 9 Karya A.
Syauqi Sumbawi
(Bagian 1 dari 3 Tulisan)
Oleh S. Jai
Menoeroet
system karangan zaman sekarang, kalaoe jang ditjeriterakan itoe manoesia, mesti
tampaklah disana thabi’at manoesia itoe, perdjoeangannja, bathinnja,
perangainya. Dia tidak djahat semata2, karena dia boekan Iblis, dia tidak bisa
terbang ke langit, dia tidak soeni dari dosa, karena dia boekan Nabi. Tetapi
mentang2 si pemboeat hikajat itoe mentjeriterakan orang jang dihikajatannya
itoe berdosa, boekanlah berarti pengarang itoe sendiri jang memboeat dosa itoe.
Hamka
SUATU ketika
pengarang Hamka, yang juga seorang kiai, menerima surat dari seorang ahli
bahasa dan roman Balai Poestaka. Tidak disebutkan siapa orang yang dimaksud,
sebagaimana dipaparkan si penerima surat; Hamka. Isi surat tersebut menyatakan
tanggapan atas cerita-cerita yang ditulis Hamka. Katanya, “njata sekali djiwa keislamannya, tetapi haloes maknanja.”1)
Salah sebuah
novel Hamka yang dimaksud, yang kemudian terbit pada 1938 adalah Di Bawah Lindoengan Ka’bah, dan setahun
kemudian terbit Tenggelamnja Kapal van
der Wijck. Hamka sendiri cukup bangga dengan karyanya karena Hamka tahu
Kantoor Balai Poestaka “tidak soeka menjiarkan tjerita jang terlaloe berbaoe
agama.”
Sementara di
satu pihak visi mengarang Hamka sebagai kiai memiliki “maksoed dan toejoean jang tentoe;…mentjari ketinggian boedi pekerti,
mengeritik perboeatan atau kedjadian yang pintjang di pemandangan masjarakat
dan agama.” Tersebab itulah secara sungguh-sungguh Hamka mengarang dengan
menempuh jalan apa yang disebutnya sebagai “kita
beroesaha memboeat tjerita yang bagoes, kita beroesaha memilih jalan yang salah.”
Ulrich Kratz
yang menelusuri Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX menegaskan
novel karya Hamka memenuhi syarat-syarat Balai Pustaka, karena tidak dapat
dikategorikan sebagai propaganda2) …..dan
tidak tergolong gerbong dalam tradisi sastra ‘liar’ yang dianggap picisan.
Tidak dijelaskan secara detil perihal propaganda yang dimaksud, hanya saja
hampir bisa diduga hal ini terkait dengan politik kekuasaan kolonial yang
diterangkan mesti “selaras dengan politik Belanda dan adakah bahasa itu bahasa Melaju
Riau atau tidak.3) Bisa diduga pula mengapa propaganda, dan mengapa
agama--Islam? Bahkan sekadar memasukkan kosa kata daerah sekalipun telah lazim
amat sulit. Dan hampir bisa diduga, demikian halnya terhadap kosa kata bahasa
Arab, suatu misalnya.
Catatan Abdul
Hadi WM, pada masanya, sebagaimana di Hindia Belanda (jajahan Belanda), juga
India (jajahan Inggris), munculnya gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia
mendapat “perhatian” khusus pemerintah kolonial. Para pemimpin tarekat, para
pemikir seperti Muhammad Iqbal dari Pakistan (1873-1938) disebut-sebut paling
berpengaruh dengan gagasan tentang khudi (pribadi, diri) dan ‘isyq (cinta
Ilahi).4) Gagasannya dipicu oleh perkembangan filsafat, sains, sastra, dan seni
secara keseluruhan dan menyebutnya sebagai pendekatan intelektual, serta
keimanan dan cinta.5)
Hamka sukses
menyelundupkan jiwa Islam dalam novelnya, sebagai salah sebuah lokomotif novel
modern. Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya
bahasa yang sederhana. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar beranggapan
bahwa ini mungkin terjadi karena Hamka mengikuti gaya penulisan yang diwajibkan
Balai Pustaka. Sementara ahli dokumentasi sastra Indonesia, H.B. Jassin
mencatat bahwa Hamka memiliki gaya bahasa yang "sederhana, tapi
berjiwa.”6) Bahkan, seperti diakui Hamka sendiri, novelnya yang lain
Tenggelamnja Kapal van der Wijck, oleh sebagian pembaca/kritikus disebut-sebut
sebagai novel “Ketjabulan.”
Kutipan dan
beberapa fakta di atas memperlihatkan bagaimana kepelikan, silang sengkarut,
yang masih menarik ditelisik dan dipersoalkan perihal kaitan sastra dan agama
dalam sejarah sastra kita. Pendek kata inilah dialektika. Sebuah kosa kata yang
di dalamnya inhern adanya kontradiksi, dilemma, paradoks, yang dalam sejarah
pemikiran terhitung paling tua sejak Zeno, Socrates, Plato meski tetap aktual
dan masih sering dikonfrontasikan dengan demonstrasi itu. Dahulu kala, dahulu
sekali konon dialektika dituduh sebagai biang dari memamerkan dosa kesombongan
manusia. Yakni, seni yang tidak mengizinkan seseorang—siapapun,
pembaca—membiarkan sesuatu hal tidak dipersoalkan. Dalam bahasa kesusastraan;
seni untuk mengajukan pertanyaan, menggugat, menyoal, memparodikan, bahkan
bermain-main terhadap sesuatu hal kenyataan. Prinsipnya seni untuk menjadikan
sesuatu pengetahuan; menjadi masalah. Apapun itu, kita bisa bersetuju dengan
Plato bahwa dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan atau untuk
menghasilkan pengetahuan tertinggi.
Mari kita
mempersoalkan apa yang ada di hadapan kita (karya sastra), yang boleh jadi bagi
sebagian orang sesungguhnya bukanlah persoalan. Meski demikian, apapun pendapat
mereka kata kuncinya jelas; hal ini adalah problem metafisika.
Karnaval
Struktur dan Struktur Karnaval Teks
Atas dasar
pikiran di atas, maka terang, dan bisa dibayangkan, Novel 9 (Penerbit: Rumah
Semesta Hikmah dan Pustaka Ilalang, April 2020, 300 hal.) karya A. Syauqi
Sumbawi, andai diajukan ke Balai Poestaka pada masanya, tentu akan ditolak
untuk terbit. Alasannya adalah Islam dan propaganda. Perihal Islam telah
diketahui pasti. Namun soal propaganda, meski seringkali dimaknai secara khusus
terkait politik dan ideologi, namun secara umum sebagaimana dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) propaganda berarti penerangan (paham, pendapat, dan
sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan
orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu: --
biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk. Dalam konteks karya sastra
dengan demikian, hal ini cukup melengkapi untuk sementara tidak memastikan
perihal kebenaran atau kesalahan, akan tetapi terkait dengan gaya, cara,
teknik, dan sudah barangtentu dalam wacana, mitos, episteme, ideologi dan
sejenisnya.
Novel 9 karya
A. Syauqi Sumbawi dibuka dengan kisah Basri, ketua BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa) yang tak sengaja menemukan nama Mustafa Ibrahim, seusai membaca
beberapa buku tentang sejarah dan revolusi. Nama itu kemudian digunakan sebagai
nama penanya, saat menulis artikel di majalah kampus. Judul artikel tersebut,
“Revolusi Dua Arah dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi
Muhammad dan Nabi Ibrahim.”
Hanifah,
kekasihnya turut membacanya dan kepadanya disampaikannya, Basri berencana
menyematkan nama itu untuk (kelak) pada putranya jika Tuhan menghendaki.
Sejumlah kisah terungkap dalam lembar-lembar buku ini; kisah Adam ketika hidup
di taman surga, kisah Qabil dan Habil, putra Adam yang diceritakan oleh
Al-Qur’an.
Maka ketika
anak pertamanya lahir dan berkelamin laki-laki, dia pun diberi nama Mustafa
Ibrahim. Tak lain, sebagai hasil pembacaan terhadap sejarah Nabi Muhammad dan
Nabi Ibrahim.” Mustafa Ibrahim remaja, Ib, putra Basri, ketika remaja menerima
harta warisan almarhum ibunya, dari kakeknya. Ib pergi ke pesantren, tempat dia
memiliki kedekatan dengan Mila, putrid Abah Dullah, kyai pengasuh pesantren
itu.
Cerita
selanjutnya tentang mula Mustafa pergi ziarah walisongo menumpang truk
pengangkut aspal yang dikemudikan Lik Kusnan—anak tunggal dari?. Tujuan ziarah
pertama di Makam R. Rachmattulloh alias Sunan Ampel, yang berdasarkan kisahnya
merupakan keponakan Dewi Dewi Dwarawati, salah satu istri Raja Brawijaya.
Ampeldenta adalah tempat lahir kader- kader, seperti Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Giri, Raden Fatah, dan sebagainya.
Di tempat ini
pula Mustafa berjumpa Basri—ayahnya seorang doktor lulusan Amerika yang
mengungkap bagaimana Hanifah, istrinya, nyidam air dari sumur peninggalan sunan
Ampel ketika hamil bayi Mustafa. Yaitu air, sebagaimana zam-zam di tanah Mekah,
mengalir air mengalir bersama cerita dan sejarah. Tepatnya sejarah istri Nabi
Ibrahim. Sebagaimana setiap yang berhaji atau umroh mereka selalu membawanya
sebagai oleh-oleh.
Perjalanan
ziarah Mustafa berikutnya, ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim alias Kakek
Bantal. Dikisahkan bagaimana Sunan menghadapi para pelaku ritual minta hujan
yang mengorbankan gadis-gadis. Situasi yang serupa dialami Abdullah bin Abdul
Muththalib, yang bernazar hendak mengorbankan putranya, Nabi Muhammad Saw, dan kemudian
diganti dengan menyembelih seratus ekor unta.
Di tempat ini,
Mustafa mengenang Pak Bakrun—guru di sekolah pesantrennya dengan kisah-kisah
Qorun, puasa ndaud, puasanya Nabi Daud. Juga kisah Sang Rosul yang tak hendak
memilih miskin seperti Ayyub atau kaya sebagai Sulaiman. Nabi hanya ingin yang
sehari kenyang dan sehari lapar. Pak Bakrunlah, dalam kenangan Mustafa, yang
menyingkap isyarat revolusi kenabian Ibrahim dan Muhammad di sebalik nama
Mustafa Ibrahim. Tak lain pelajaran tentang sabar dan syukur.
Ziarah Mustafa
di bukit makam Sunan Giri, Gresik dilatari Syi’ir tanpa waton, yang meski
sebenarnya bukan dilantunkan Gus Dur, nyatanya cerita bergerak ke arah usah
menelisik pikiran pribumisasi Islam khas Gus Dur. Di sebalik kisah-kisah
perjalanan Sunan Giri termasuk pesan sang ayah, Syekh Maulana Ishaq, wawasan
tentang laut adalah spirit dari Nusantara. Dalam cerita rakyat, Dewi Sekardadu,
ibunya, yang juga putri raja Blambangan, telah menitipkan dia kepada laut untuk
mengasuhnya. Kemudian laut membawanya ke hadapan Nyai Ageng Pinanti, yang
memberinya nama Joko Samudro.
Dalam kenangan
Pak Bahrun pula, Mustafa jadi tahu bahwa tempat yang paling indah untuk
bertamasya; Sidratu al-muntaha. Yang tak lain, ingatan tentang peristiwa Isra’
mi’raj. Sebuah perjalanan Nabi Besar dari masjid ke masjid, yang kemudian
dilanjutkan melintasi langit kebesaran-Nya. Yakni suatu puncak perjalanan
spiritual manusia.
Ketika tiba di
area makam Sunan Drajat, Mustafa langsung diingatkan pesan Menehono teken
marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe Menehono busono
marang wong kang mudo Menehono ngiyub marang wong kang kudanan sebagai suatu
tanda perjuangan dakwah Sunan Drajat yang menitikberatkan pada kepedulian
sosial yang tinggi, di samping kesalehan individual.
Di tempat ini,
perjumpaan Mustafa dengan Mila, mengalirkan jiwa Mustafa untuk mengulik perihal
cinta. Teologi cinta sebagai anugerah Tuhan, Sang Maha Cinta, Pemilik Cinta,
dan cinta-Nya tidak pernah berhenti tercurah kepada makhluk-makhluk-Nya, terutama
manusia. Cinta Tuhan kepada manusia, dapat dipahami dari keberadaan manusia di
muka bumi yang istimewa daripada makhluk-makhluk lain. Dengan berbagai potensi
(fitrah), baik fisik maupun spiritual yang sempurna, manusia ditahbiskan
sebagai khalifah fi al-ardl Tuhan di muka bumi.
Di tempat ini
pula, diungkap sebuah cerita rakyat tentang Raden Qasim, yang diperintah Sunan
Ampel untuk melakukan perjalanan kea rah barat melalui laut, namun perahunya
menabrak bongkahan karang, lalu diselamatkan seekor ikan talang. Ketakjuban
Mustafa pada Sunan Drajat dan Sunan Ampel, menguatkan spiritnya dalam mencari
ilmu, belajar dari hidup dan kehidupan, melakukan perjalanan, pengembaraan
sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Sunan Bonang, yakni perjalanan
kesejatian.
Lalu
berturut-turut dikisahkan tentang Makdum Ibrahim, alias Sunan Bonang yang
seperti saudaranya Raden Qasim diperintah ayahnya, yaitu Sunan Ampel, untuk
berdakwah. Juga kisah tentang pertemuannya dengan Brandal Lokajaya, si
“perampok budiman” yang kemudian insyaf dan menjadi salah satu murid utama
beliau dalam ilmu hakikat. Brandal Lokajaya kelak kemudian hari dikenal sebagai
Sunan Kalijaga. Tak terkecuali kisah laki-laki yang menjelma dari cacing itu,
tidak lain yaitu Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.
Dikisahkan
potret perjalanan cinta Sunan Bonang mengingatkannya tentang kisah sufi
perempuan, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah, yang menghabiskan cintanya untuk Tuhan
semata. Meski tanpa keluarga, cinta kepada Tuhan termanifestasikan dengan
kasih-sayang kepada seluruh makhluk-Nya di dunia.
Di tempat
inilah, Mustafa menegaskan diri bahwa ziarahnya bukanlah ziarah biasa, tetapi
sebuah proses yang menjadi bagian dari perjalanan hidup, menjadikan segala yang
dijumpainya, sebagai pelajaran untuk lebih mengenali diri sendiri. Begitulah,
ziarah selanjutnya makam Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus yang dikenal penggagas
gusjigang, bagus, ngaji, dan dagang. Berturut-turut dikisahkan muasal larangan
berkorban dengan binatang sapi lantaran masa kecilnya telah disusui sapi. Kisah
sapi memberinya pelajaran toleransi, sebagaimana cita-cita Piagam Madinan di
zaman nabi. Di tempat ini pula kekaguman Mustafa tak mengarah pada nabi, wali,
tapi juga guru ngaji. Pada kepribadian Pak Bakrun yang asah, asih, dan asuh
cerminan nilai-nilai atas konsep diri yang tak lain diajarkan nabi.
Saat berada di
makam Sunan Muria, pencipta tembang sinom dan kinanthi, ditelisiklah cerita
rakyat pernikahan beliau dengan Dewi Roroyono, putri Sunan Ngerang. Di tempat
ini, menguatkan keyakinan bahwa perjalanan ziarah walisongo sebagai latihan
sebelum melakukan perjalanan ibadah haji. Sebagai latihan. Tidak hanya fisik,
tetapi juga mental-spiritual. Di bagian ini, Mustafa mengungkapkan diri
kesukaan pada sastra, puisi, novel maupun cerpen.
Utamanya pada
sejarah sastra dan kebudayaan Arab. Sejarah menyebutkan bahwa konteks masa
turunnya al-Quran berlangsung ketika syair atau sastra menjadi puncak
kebudayaan dan para penyair menduduki posisi tinggi dalam budaya dan kehidupan
masyarakat Arab. Selain juga member penegasan bagaimana Sunan Kalijaga, merebut
simpati dengan memanfaatkan sebesar-besarnya instrumen kesenian seperti
gamelan, tembang- tembang, dan wayang, sebagai alat dakwah. Begitu juga upacara
tradisi, misalnya perayaan sekaten, grebeg maulud, dan sebagainya.
Meninggalkan
lokasi makam Sunan Kalijaga, sambil mengingat kisah perjalanan Raden Patah
bersama adiknya Raden Kusen dari Palembang menuju pulau Jawa dan berguru kepada
Sunan Ampel. Ziarah pamungkas yang dikisahkan di novel ini adalah ke makam Syarif
Hidayatullah, Sultan Cirebon II. Seperti biasa dengan menelisik sejarah, kisah,
dakwah Mustafa kemudian memetik hikmah. Meneguhkan diri pada sebuah ingatan;
“Bersama kata-kata kehidupan bergerak. Dan dakwah, tidak lain adalah pelibatan
diri dalam historisitas manusia. Karena itu, menulislah!.”
Sastra, Cinta, Ziarah dan Dakwah
Cerita ditutup
dengan semacam pengungkapan diri—yang sekaligus menjadi sasmita dan kemudian
dibeber paling terkemuka di sampul buku ini yang menjadikan kedua buhul novel
ini sama persis; sembilan adalah ilmu, untuk hidup dengan mendengar, melihat,
bersama kata-kata jika perintah pertama, bacalah! maka berikutnya, tulislah!
aku ingin menulisnya dalam cinta.
Demi melihat
novel 9 lebih dialektik, terkait antara Sastra, Agama dan Religiusitas, mari
kita tengok kembali visi sastra Hamka yang dalam “kredo” mengarang romannya
demikian benderang, namun Goenawan Mohamad pada tahun 1960an menyebut genre
“sastra keagamaan” menempatkan agama sekadar sebagai latarbelakang dan bukan
pemecah persoalan. Utamanya, disebutnya termasuk “Tenggelamnja Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya
Hamka.7)
Tenggelamnja
Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka dengan visi
estetik yang dalam tangkapan sejumlah pakar sekadar sederhana (bahasa lain dari
sepele), kompromis, dan bukan kapak pemecah persoalan, nyatanya berhasil
terbit. Sama-sama berjiwa Islam, katakanlah novel 9 adalah problem solves,
propagandis, visi estetis novel ini pun tak kalah terangnya, baik bagi
rekonstruksi (dekonstruksi) subjek penulis maupun pembaca. Sebagaimana
terungkap di Fragmen 30 dengan mendasari diri QS. Asy-Syu’ara [26] ayat
224-227.
Sejarah
menyebutkan bahwa konteks masa turunnya al-Quran berlangsung ketika syair atau
sastra menjadi puncak kebudayaan dan para penyair menduduki posisi tinggi dalam
budaya dan kehidupan masyarakat Arab….
…, bisa
dipahami bahwa kedudukan penyair pada masyarakat Arab pra-Islam mirip seperti
“ulama”. Kata-katanya ibarat “fatwa”….
Dalam
perspektif budaya, dapat dijelaskan bahwa hadirnya Islam bersama al-Qur’an
adalah untuk memberikan dasar spiritualitas—tauhid—dan menyempunakan kebudayaan
masyarakat bersama nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang ada di
dalamnya….
Keberadaan
al-Qur’an dan hadist yang bernilai sastrawi tinggi, konstruksi bacaan shalawat,
diba’iyah, nadzam- nadzam, manaqib, pujen, dan sebagainya yang liris dan
puitis, serta kitab kuning (terutama akhlaq) yang sarat dengan syair,
mengkonfirmasi hal tersebut. Karena itu, bersastra atau berpuisi bagi santri
adalah bagian dari khittah budayanya... (Fragmen 30)
Dari halaman
buku paling ujung tentang pengarang novel ini terungkap, penulis adalah jebolan
pesantren Al-Ma’ruf Kranggan Lamongan dan pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Pendek kata penulis adalah santri. Penulis adalah pegelola Rumah
Semesta Hikmah, yang berkonsep rumah baca dan belajar serta kajian agama dan
budaya.
Novel ini
sunyi sekali dari perbuatan dosa, bahkan dalam kata pun, hampir tiada.
Sebaliknya novel ini penuh pembicaraan perihal cinta. Satu-satunya kosa kata
‘dosa’ sepanjang novel yang lebih dari 50 ribu kata, 350 ribu karakter ini
adalah pernyataan tokoh Kang Badri sang senior dari protagonis saat di
pesantren. “Bagi seorang kekasih, lupa adalah dosa,” katanya. Sebuah kata yang
tak lain sebenarnya demi mengungkap suatu cinta. Potret perjalanan cinta
mahabbah dari kisah hidup Sunan Bonang yang mengingatkan pada Rabi’ah
al-Adawiyah, sebagaimana kutipan berikut ini;
Bahwa cinta
yang dimilikinya telah habis untuk Tuhan saja. Maka, maklumlah jika kabar
menyebutkan bahwa keduanya tidak menikah. Tidak berkeluarga dan beranak-pinak.
Kendati tak tersisa lagi, cinta kepada Tuhan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari termanifestasikan dengan kasih-sayang kepada seluruh makhluk-Nya di
dunia. Termasuk rerumputan.
Hal terpenting
dari kisah hidup Sunan Bonang dan Rabi’ah al-Adawiyah, bahwa kehidupan di dunia
adalah perjalanan cinta kepada-Nya. Segala peristiwa yang terjadi dan dialami,
tidak lain merupakan ruang-ruang manifestasi cinta kepada Tuhan. (Fragmen 22)
Dapat dikatakan ikhtiar mendedahkan daya tarik, keunikan gagasan secara keseluruhan adalah perihal cinta dalam pengertian teologis. Pilihan pemikiran padanya sebagai bentuk kebaruan dari ide-idenya tersebut jatuh pada konsep ziarah, dengan membangun apa yang disebut strategi cerita perjalanan—sebagai tempat pesan, watak, ideologi, pandangan hidup, filosofi penulis berhumbalang di dalamnya.
Secara
teologis, cinta merupakan anugerah Tuhan. Hanya Dia-lah yang Maha Cinta,
Pemilik Cinta, dan cinta-Nya tidak pernah berhenti tercurah kepada
makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia. Cinta Tuhan kepada manusia, dapat
dipahami dari keberadaan manusia—meliputi posisi dan perannya—di muka bumi yang
istimewa daripada makhluk-makhluk lain. (Fragmen 18)
Bahwa ziarah
adalah pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena
itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah
ziarah, yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. (Fragmen 19)
“….harus
disadari bahwa ziarah yang akan kaulakukan ini bukan perjalanan ziarah biasa,
tetapi sebuah proses yang menjadi bagian dari perjalanan hidupmu. Semua yang
kautemui, jadikan sebagai pelajaran untuk lebih mengenali diri sendiri….” (Fragmen 22)
…bahwa
perjalanan ziarah walisongo sebagai latihan sebelum melakukan perjalanan ibadah
haji.. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental- spiritual, pikirnya. (Fragmen 28)
Pada titik ini
terang bahwa cerita perjalanan yang dimaksudkan sebagai suatu visi sastra bagi
penulis novel ini bukanlah sastra pariwisata, bukan pula sejenis jurnalisme
sastrawi. Pengertian jurnalisme sastrawi amat membingungkan karena di dalamnya
terkandung contradictio in terminis—peristilahan yang saling bertentangan.
Sedangkan dalam sastra Pariwisata tak lain sebetulnya sebagai salah satu
alternatif pengembangan pariwisata yang memiliki kemungkinan dikembangkan dalam
berbagai produk industri kreatif.8)
Sebagaimana
kutipan berikut, memperlihatkan salah sebuah keterangan visi sastra sang
pengarang;
Belum waktunya
bagi dia berperan dalam kehidupan masyarakat secara luas. Akan tetapi masih
dalam episode mencari ilmu. Belajar, terutama dari hidup dan kehidupan itu
sendiri. Yah, dia harus melanjutkan perjalanannya. Pengembaraannya, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh kisah Sunan Bonang, yakni perjalanan kesejatian. (Fragmen 19)
Bahwa ziarah
adalah pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena
itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah
ziarah, yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. [Fragmen 19]
Sebagaimana Hamka bagi Goenawan Mohamad, pertanyaan
yang kita coba telisik dan cari jawabannya; adakah terdapat suatu masalah
antara visi, gagasan, ide, konsep estetik yang semula diwacanakan pengarang,
mengalami kendala, benturan, kompromis, bahkan kehilangan bentuknya yang kuat
sebagai sebuah sastra keagamaan? Ataukah jikapun sebagai suatu ‘pemecah
masalah’ pada pengarang novel 9 ini lantas melakukan rekonstruksi/
dekonstruksi, terhadap sastra pada umumnya?
Apapun, novel ini diniatkan sebagai revolusi.
Sebagaimana risalah segala kenabian, juga kewalian. Persis judul sebuah artikel
yang ditulis tokoh Basri; “Revolusi Dua
Arah dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi Muhammad dan
Nabi Ibrahim” (Fragmen 1) Lalu
berikrar pada dakwah sebagai manifestonya. Dengan kata lain, novel ini
sekaligus memberi peluang mengajak berdebat kembali perihal sastra, agama,
religiusitas sejak dari zaman ke zaman.
…jika risalah
Nabi Muhammad secara umum menunjuk pada perubahan masyarakat dari kondisinya
yang “jahiliyah” menjadi masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Islam secara
universal,…maka sosok Nabi Ibrahim lebih tampak mengarah pada perjuangan
pribadi manusia mencapai kemerdekaan hakiki sesuai dengan fitrahnya,… (Fragmen 1)
“Bersama
kata-kata kehidupan bergerak. Dan dakwah, tidak lain adalah pelibatan diri
dalam historisitas manusia. Karena itu, menulislah!.” (Fragmen 33)
Identitas, Religiusitas
Selain
Tenggelamnja Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah, membaca novel 9
karya Syauqi ini mengingatkan sederet novel dan penulis; Hubbu (Mashuri),
Genijora, Mataraisa (Abidah El Khalieqy) Kuil Kencana (Yukio Mishima), The Name
of The Rose (Umberto Eco). Terlepas dari sekadar ‘latar belakang’ sastra
keagamaan ataukah lebih dari itu, sebagaimana disinyalir Goenawan Mohamad,
ternyata ‘latar belakang’ yang dimaksud adalah; pencarian identitas dan motif
di luar kesusastraan; penggolongan, rivalitas antar golongan di dalam
masyarakat.9)
Dalam
catatannya, sebuah pencarian identitas mengandung pengertian belum membicarakan
hal serius. Pun, jika suatu hal pengkhususan pada penulisan lingkungan
(keagamaan) adalah suatu kekeliruan. Identitas, katanya, bersumber pada
kepribadian seorang pengarang, dan sikap keluar dari kepribadian ini berupa
sikap-hidup, sehingga identitas seorang pengarang tidak hanya ditentukan kepada
“apa” yang (sering) dikisahkannya, tetapi ditentukan”apa dan bagaimana”
mengatakannya.
Sedangkan
motif di luar sastra, menurutnya tak lain; kehidupan beragama yang terlibat dan
memusatkan dirinya dalam rivalitas politik, yang kehilangan sumber-sumber
rohaniahnja, juga hilangnya vitalitas kesusastraan karena diletakkan sekadar
alat propaganda, termasuk adanya konflik kepentingan.
Lantas apakah
itu selepas sastra keagamaan sebagai pemecah persoalan?
Dalam buku
Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX yang cetakan pertamanya terbit
tahun 2000, tidak mencatatkan nama Kuntowijoyo yang dalam tiga dekade
produktivitasnya sangat menakjubkan baik sebagai pengarang maupun pemikir.
Dengan kata lain tidak ada pemikiran terpilihnya dalam sejarah sastra.
Sejarawan dan sastrawan itu, meski aktif menulis sejak tahun 1970-an dengan
magnum opus-nya Khotbah di Atas Bukit, baru mengumumkan Maklumat Sastra
Profetik, dalam Majalah Horison, Edisi No. 5 Tahun 2005, sebagai semacam pesan
kreatif di penghujung usianya.
Pertanyaannya,
apa sebetulnya yang mengejutkan dari laku kreatif Hamka? Apa pula yang baru
dari pemikiran sastra keagamaan yang telah ada sebelumnya? Lantas bagaimana
kemudian pada diri Kuntowijoyo?
Ternyata
simpul dari pemikiran Kuntowijoya ada pada sufisme dan paradigma pikiran Muhammad
Iqbal. Sebagaimana pernyataannya;
Etika itu
disebut “profetik” karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang Prophet.
Asal-usulnya begini, Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam
Islam mengutip ungkapan seorang sufi yang mengagumi Nabi dalam peristiwa
Isra’-Mi’raj. Meskipun Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi
dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas
kerasulannya.10)
Kuntowijoya
membeber keinginan dalam maklumatnya tersebut dalam “sastra ibadah” dan sastra
murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih. Sastra yang
memiliki kaidah; epistemology strukturalisme transendental, sebagai ibadah dan
keterkaitan antar kesadaran. Penjelasannya kuranglebih; sastra yang berdasar kitab
suci (Al-Quran) dan diperuntukkan bagi orang beriman. Sastra yang kaffah-utuh
diniatkan sebagai ibadah. Sastra yang memiliki keterkaitan hubungan kesadaran
ketuhanan dengan kesadaran kemanusiaan.
Cukup terang
sudah, berkat kata kunci “semangat kenabian” “jiwa transendental” “sufistik”
maka ada baiknya mengutip perbincangan Romo Mangunwijaya perihal agama dan
religiusitas yang juga bukan kebetulan bilamana menukil Rabi’ah al-Adawiyah
serta Muhammad Iqbal di dalamnya.
Menurutnya, bahwa
agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada
“Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan
hokum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang
melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sementara religiusitas lebih melihat aspek
yang “di dalam lubuk hati,” riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal
yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa,
“du Coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk
rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu pada
dasarnya religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih
intim.11)
Sebagaimana dikatakan Mohammad Iqbal: Bahwa di atas fase penghayatan religious dalam arti pemahaman (thought) masihlah ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni yang sering disebut mistik. …pendewasaan yang lebih menuju ke dalam. “pencapaian kepribadian yang merdeka, bukan karena pelepasan diri dari ikatan hukum (agama), melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum di dalam kedalaman hati nuraninya.”
(Bersambung) ke
DIA YANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKASASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (1)
Catatan:
1). Kutipan dan pengakuan Hamka ini diambila dari
tulisannya Mengarang Roman, dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra
Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 68 dan 70.
2). E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra
Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer gramedia, 2000 hal. Xxvi
3). Nur St. Sukandar, mantan karyawan Balai Poestaka,
dalam tulisannya Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia
dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX,
Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 7-8 menerangkan “Gubernenen Hindia
Belanda menghendaki supaja buku-buku batjaan jang akan dikeluarkan Balai
Pustaka harus mempergunakan bahasa Melaju Riau, bahasa sekolah jang telah
ditetapkan dalam tahun 1901.”
4). Lihat Abdul Hadi WM, Cakrawala Budaya Islam,
IRCISod, hal. 139.
5). Lihat Abdul Hadi WM, Cakrawala Budaya Islam, IRCISod
hal. 147. Dalam penjelasan lain, di buku ini dengan didasari dari buku karya
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Abdul Hadi mencatat pentingnya
pengalaman dan kesadaran sejarah, disamping eksplorasi pengalaman empiris dan
rasional. Lihat hal. 149
6). Pendapat HB. Jassin ini termaktup dalam
"Hamka, Pengarang Di Bawah Lindungan Ka’bah". Kesusastraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Gramedia, 1985 hlm. 46–53, sedangkan
tanggapan Bakri Siregar, dalam Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi
Sastera dan Bahasa (1964) yang juga dikutip situs wikiepedia dalam membincang
novel tersebut. https://id.wikipedia.org/.../Di_Bawah_Lindungan_Ka%27bah...
7). Lihat tulisan Goenawan Mohamad, Posisi Sastra
Keagamaan Kita Dewasa Ini, dalam dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah
Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 549
8). Lihat Novi Anoegrajekti, Djoko Saryono, I Nyoman
Darma Putra, Sastra Pariwisata, Penerbit PT Kanisius, 2020 hal. Vii
9). Lihat tulisan Goenawan Mohamad, Posisi Sastra
Keagamaan Kita Dewasa Ini, dalam dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah
Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 550
10). Lihat Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik,
Diva Press 2019 hal 9; Lihat pula Dr. Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran
Agama dalam Islam, Tintamas 1982, hal. 123
11). YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas,
Penerbit Kanisisus, 1992 hal. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar