Laman

Minggu, 01 November 2020

DIA YANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKA SASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (1)

Catatan atas Novel 9 Karya A. Syauqi Sumbawi

(Bagian 1 dari 3 Tulisan)

Oleh S. Jai

 

Menoeroet system karangan zaman sekarang, kalaoe jang ditjeriterakan itoe manoesia, mesti tampaklah disana thabi’at manoesia itoe, perdjoeangannja, bathinnja, perangainya. Dia tidak djahat semata2, karena dia boekan Iblis, dia tidak bisa terbang ke langit, dia tidak soeni dari dosa, karena dia boekan Nabi. Tetapi mentang2 si pemboeat hikajat itoe mentjeriterakan orang jang dihikajatannya itoe berdosa, boekanlah berarti pengarang itoe sendiri jang memboeat dosa itoe.

Hamka

 

SUATU ketika pengarang Hamka, yang juga seorang kiai, menerima surat dari seorang ahli bahasa dan roman Balai Poestaka. Tidak disebutkan siapa orang yang dimaksud, sebagaimana dipaparkan si penerima surat; Hamka. Isi surat tersebut menyatakan tanggapan atas cerita-cerita yang ditulis Hamka. Katanya, “njata sekali djiwa keislamannya, tetapi haloes maknanja.”1)

Salah sebuah novel Hamka yang dimaksud, yang kemudian terbit pada 1938 adalah Di Bawah Lindoengan Ka’bah, dan setahun kemudian terbit Tenggelamnja Kapal van der Wijck. Hamka sendiri cukup bangga dengan karyanya karena Hamka tahu Kantoor Balai Poestaka “tidak soeka menjiarkan tjerita jang terlaloe berbaoe agama.”

Sementara di satu pihak visi mengarang Hamka sebagai kiai memiliki “maksoed dan toejoean jang tentoe;…mentjari ketinggian boedi pekerti, mengeritik perboeatan atau kedjadian yang pintjang di pemandangan masjarakat dan agama.” Tersebab itulah secara sungguh-sungguh Hamka mengarang dengan menempuh jalan apa yang disebutnya sebagai “kita beroesaha memboeat tjerita yang bagoes, kita beroesaha memilih jalan yang salah.”

Ulrich Kratz yang menelusuri Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX menegaskan novel karya Hamka memenuhi syarat-syarat Balai Pustaka, karena tidak dapat dikategorikan sebagai propaganda2) …..dan tidak tergolong gerbong dalam tradisi sastra ‘liar’ yang dianggap picisan. Tidak dijelaskan secara detil perihal propaganda yang dimaksud, hanya saja hampir bisa diduga hal ini terkait dengan politik kekuasaan kolonial yang diterangkan mesti “selaras dengan politik Belanda dan adakah bahasa itu bahasa Melaju Riau atau tidak.3) Bisa diduga pula mengapa propaganda, dan mengapa agama--Islam? Bahkan sekadar memasukkan kosa kata daerah sekalipun telah lazim amat sulit. Dan hampir bisa diduga, demikian halnya terhadap kosa kata bahasa Arab, suatu misalnya.

Catatan Abdul Hadi WM, pada masanya, sebagaimana di Hindia Belanda (jajahan Belanda), juga India (jajahan Inggris), munculnya gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia mendapat “perhatian” khusus pemerintah kolonial. Para pemimpin tarekat, para pemikir seperti Muhammad Iqbal dari Pakistan (1873-1938) disebut-sebut paling berpengaruh dengan gagasan tentang khudi (pribadi, diri) dan ‘isyq (cinta Ilahi).4) Gagasannya dipicu oleh perkembangan filsafat, sains, sastra, dan seni secara keseluruhan dan menyebutnya sebagai pendekatan intelektual, serta keimanan dan cinta.5)

Hamka sukses menyelundupkan jiwa Islam dalam novelnya, sebagai salah sebuah lokomotif novel modern. Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang sederhana. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar beranggapan bahwa ini mungkin terjadi karena Hamka mengikuti gaya penulisan yang diwajibkan Balai Pustaka. Sementara ahli dokumentasi sastra Indonesia, H.B. Jassin mencatat bahwa Hamka memiliki gaya bahasa yang "sederhana, tapi berjiwa.”6) Bahkan, seperti diakui Hamka sendiri, novelnya yang lain Tenggelamnja Kapal van der Wijck, oleh sebagian pembaca/kritikus disebut-sebut sebagai novel “Ketjabulan.”

Kutipan dan beberapa fakta di atas memperlihatkan bagaimana kepelikan, silang sengkarut, yang masih menarik ditelisik dan dipersoalkan perihal kaitan sastra dan agama dalam sejarah sastra kita. Pendek kata inilah dialektika. Sebuah kosa kata yang di dalamnya inhern adanya kontradiksi, dilemma, paradoks, yang dalam sejarah pemikiran terhitung paling tua sejak Zeno, Socrates, Plato meski tetap aktual dan masih sering dikonfrontasikan dengan demonstrasi itu. Dahulu kala, dahulu sekali konon dialektika dituduh sebagai biang dari memamerkan dosa kesombongan manusia. Yakni, seni yang tidak mengizinkan seseorang—siapapun, pembaca—membiarkan sesuatu hal tidak dipersoalkan. Dalam bahasa kesusastraan; seni untuk mengajukan pertanyaan, menggugat, menyoal, memparodikan, bahkan bermain-main terhadap sesuatu hal kenyataan. Prinsipnya seni untuk menjadikan sesuatu pengetahuan; menjadi masalah. Apapun itu, kita bisa bersetuju dengan Plato bahwa dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan atau untuk menghasilkan pengetahuan tertinggi.

Mari kita mempersoalkan apa yang ada di hadapan kita (karya sastra), yang boleh jadi bagi sebagian orang sesungguhnya bukanlah persoalan. Meski demikian, apapun pendapat mereka kata kuncinya jelas; hal ini adalah problem metafisika.

Karnaval Struktur dan Struktur Karnaval Teks

Atas dasar pikiran di atas, maka terang, dan bisa dibayangkan, Novel 9 (Penerbit: Rumah Semesta Hikmah dan Pustaka Ilalang, April 2020, 300 hal.) karya A. Syauqi Sumbawi, andai diajukan ke Balai Poestaka pada masanya, tentu akan ditolak untuk terbit. Alasannya adalah Islam dan propaganda. Perihal Islam telah diketahui pasti. Namun soal propaganda, meski seringkali dimaknai secara khusus terkait politik dan ideologi, namun secara umum sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) propaganda berarti penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu: -- biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk. Dalam konteks karya sastra dengan demikian, hal ini cukup melengkapi untuk sementara tidak memastikan perihal kebenaran atau kesalahan, akan tetapi terkait dengan gaya, cara, teknik, dan sudah barangtentu dalam wacana, mitos, episteme, ideologi dan sejenisnya.

Novel 9 karya A. Syauqi Sumbawi dibuka dengan kisah Basri, ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang tak sengaja menemukan nama Mustafa Ibrahim, seusai membaca beberapa buku tentang sejarah dan revolusi. Nama itu kemudian digunakan sebagai nama penanya, saat menulis artikel di majalah kampus. Judul artikel tersebut, “Revolusi Dua Arah dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.”

Hanifah, kekasihnya turut membacanya dan kepadanya disampaikannya, Basri berencana menyematkan nama itu untuk (kelak) pada putranya jika Tuhan menghendaki. Sejumlah kisah terungkap dalam lembar-lembar buku ini; kisah Adam ketika hidup di taman surga, kisah Qabil dan Habil, putra Adam yang diceritakan oleh Al-Qur’an.

Maka ketika anak pertamanya lahir dan berkelamin laki-laki, dia pun diberi nama Mustafa Ibrahim. Tak lain, sebagai hasil pembacaan terhadap sejarah Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.” Mustafa Ibrahim remaja, Ib, putra Basri, ketika remaja menerima harta warisan almarhum ibunya, dari kakeknya. Ib pergi ke pesantren, tempat dia memiliki kedekatan dengan Mila, putrid Abah Dullah, kyai pengasuh pesantren itu.

Cerita selanjutnya tentang mula Mustafa pergi ziarah walisongo menumpang truk pengangkut aspal yang dikemudikan Lik Kusnan—anak tunggal dari?. Tujuan ziarah pertama di Makam R. Rachmattulloh alias Sunan Ampel, yang berdasarkan kisahnya merupakan keponakan Dewi Dewi Dwarawati, salah satu istri Raja Brawijaya. Ampeldenta adalah tempat lahir kader- kader, seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Fatah, dan sebagainya.

Di tempat ini pula Mustafa berjumpa Basri—ayahnya seorang doktor lulusan Amerika yang mengungkap bagaimana Hanifah, istrinya, nyidam air dari sumur peninggalan sunan Ampel ketika hamil bayi Mustafa. Yaitu air, sebagaimana zam-zam di tanah Mekah, mengalir air mengalir bersama cerita dan sejarah. Tepatnya sejarah istri Nabi Ibrahim. Sebagaimana setiap yang berhaji atau umroh mereka selalu membawanya sebagai oleh-oleh.

Perjalanan ziarah Mustafa berikutnya, ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim alias Kakek Bantal. Dikisahkan bagaimana Sunan menghadapi para pelaku ritual minta hujan yang mengorbankan gadis-gadis. Situasi yang serupa dialami Abdullah bin Abdul Muththalib, yang bernazar hendak mengorbankan putranya, Nabi Muhammad Saw, dan kemudian diganti dengan menyembelih seratus ekor unta.

Di tempat ini, Mustafa mengenang Pak Bakrun—guru di sekolah pesantrennya dengan kisah-kisah Qorun, puasa ndaud, puasanya Nabi Daud. Juga kisah Sang Rosul yang tak hendak memilih miskin seperti Ayyub atau kaya sebagai Sulaiman. Nabi hanya ingin yang sehari kenyang dan sehari lapar. Pak Bakrunlah, dalam kenangan Mustafa, yang menyingkap isyarat revolusi kenabian Ibrahim dan Muhammad di sebalik nama Mustafa Ibrahim. Tak lain pelajaran tentang sabar dan syukur.

Ziarah Mustafa di bukit makam Sunan Giri, Gresik dilatari Syi’ir tanpa waton, yang meski sebenarnya bukan dilantunkan Gus Dur, nyatanya cerita bergerak ke arah usah menelisik pikiran pribumisasi Islam khas Gus Dur. Di sebalik kisah-kisah perjalanan Sunan Giri termasuk pesan sang ayah, Syekh Maulana Ishaq, wawasan tentang laut adalah spirit dari Nusantara. Dalam cerita rakyat, Dewi Sekardadu, ibunya, yang juga putri raja Blambangan, telah menitipkan dia kepada laut untuk mengasuhnya. Kemudian laut membawanya ke hadapan Nyai Ageng Pinanti, yang memberinya nama Joko Samudro.

Dalam kenangan Pak Bahrun pula, Mustafa jadi tahu bahwa tempat yang paling indah untuk bertamasya; Sidratu al-muntaha. Yang tak lain, ingatan tentang peristiwa Isra’ mi’raj. Sebuah perjalanan Nabi Besar dari masjid ke masjid, yang kemudian dilanjutkan melintasi langit kebesaran-Nya. Yakni suatu puncak perjalanan spiritual manusia.

Ketika tiba di area makam Sunan Drajat, Mustafa langsung diingatkan pesan Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe Menehono busono marang wong kang mudo Menehono ngiyub marang wong kang kudanan sebagai suatu tanda perjuangan dakwah Sunan Drajat yang menitikberatkan pada kepedulian sosial yang tinggi, di samping kesalehan individual.

Di tempat ini, perjumpaan Mustafa dengan Mila, mengalirkan jiwa Mustafa untuk mengulik perihal cinta. Teologi cinta sebagai anugerah Tuhan, Sang Maha Cinta, Pemilik Cinta, dan cinta-Nya tidak pernah berhenti tercurah kepada makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia. Cinta Tuhan kepada manusia, dapat dipahami dari keberadaan manusia di muka bumi yang istimewa daripada makhluk-makhluk lain. Dengan berbagai potensi (fitrah), baik fisik maupun spiritual yang sempurna, manusia ditahbiskan sebagai khalifah fi al-ardl Tuhan di muka bumi.

Di tempat ini pula, diungkap sebuah cerita rakyat tentang Raden Qasim, yang diperintah Sunan Ampel untuk melakukan perjalanan kea rah barat melalui laut, namun perahunya menabrak bongkahan karang, lalu diselamatkan seekor ikan talang. Ketakjuban Mustafa pada Sunan Drajat dan Sunan Ampel, menguatkan spiritnya dalam mencari ilmu, belajar dari hidup dan kehidupan, melakukan perjalanan, pengembaraan sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Sunan Bonang, yakni perjalanan kesejatian.

Lalu berturut-turut dikisahkan tentang Makdum Ibrahim, alias Sunan Bonang yang seperti saudaranya Raden Qasim diperintah ayahnya, yaitu Sunan Ampel, untuk berdakwah. Juga kisah tentang pertemuannya dengan Brandal Lokajaya, si “perampok budiman” yang kemudian insyaf dan menjadi salah satu murid utama beliau dalam ilmu hakikat. Brandal Lokajaya kelak kemudian hari dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Tak terkecuali kisah laki-laki yang menjelma dari cacing itu, tidak lain yaitu Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.

Dikisahkan potret perjalanan cinta Sunan Bonang mengingatkannya tentang kisah sufi perempuan, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah, yang menghabiskan cintanya untuk Tuhan semata. Meski tanpa keluarga, cinta kepada Tuhan termanifestasikan dengan kasih-sayang kepada seluruh makhluk-Nya di dunia.

Di tempat inilah, Mustafa menegaskan diri bahwa ziarahnya bukanlah ziarah biasa, tetapi sebuah proses yang menjadi bagian dari perjalanan hidup, menjadikan segala yang dijumpainya, sebagai pelajaran untuk lebih mengenali diri sendiri. Begitulah, ziarah selanjutnya makam Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus yang dikenal penggagas gusjigang, bagus, ngaji, dan dagang. Berturut-turut dikisahkan muasal larangan berkorban dengan binatang sapi lantaran masa kecilnya telah disusui sapi. Kisah sapi memberinya pelajaran toleransi, sebagaimana cita-cita Piagam Madinan di zaman nabi. Di tempat ini pula kekaguman Mustafa tak mengarah pada nabi, wali, tapi juga guru ngaji. Pada kepribadian Pak Bakrun yang asah, asih, dan asuh cerminan nilai-nilai atas konsep diri yang tak lain diajarkan nabi.

Saat berada di makam Sunan Muria, pencipta tembang sinom dan kinanthi, ditelisiklah cerita rakyat pernikahan beliau dengan Dewi Roroyono, putri Sunan Ngerang. Di tempat ini, menguatkan keyakinan bahwa perjalanan ziarah walisongo sebagai latihan sebelum melakukan perjalanan ibadah haji. Sebagai latihan. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental-spiritual. Di bagian ini, Mustafa mengungkapkan diri kesukaan pada sastra, puisi, novel maupun cerpen.

Utamanya pada sejarah sastra dan kebudayaan Arab. Sejarah menyebutkan bahwa konteks masa turunnya al-Quran berlangsung ketika syair atau sastra menjadi puncak kebudayaan dan para penyair menduduki posisi tinggi dalam budaya dan kehidupan masyarakat Arab. Selain juga member penegasan bagaimana Sunan Kalijaga, merebut simpati dengan memanfaatkan sebesar-besarnya instrumen kesenian seperti gamelan, tembang- tembang, dan wayang, sebagai alat dakwah. Begitu juga upacara tradisi, misalnya perayaan sekaten, grebeg maulud, dan sebagainya.

Meninggalkan lokasi makam Sunan Kalijaga, sambil mengingat kisah perjalanan Raden Patah bersama adiknya Raden Kusen dari Palembang menuju pulau Jawa dan berguru kepada Sunan Ampel. Ziarah pamungkas yang dikisahkan di novel ini adalah ke makam Syarif Hidayatullah, Sultan Cirebon II. Seperti biasa dengan menelisik sejarah, kisah, dakwah Mustafa kemudian memetik hikmah. Meneguhkan diri pada sebuah ingatan; “Bersama kata-kata kehidupan bergerak. Dan dakwah, tidak lain adalah pelibatan diri dalam historisitas manusia. Karena itu, menulislah!.”

 

Sastra, Cinta, Ziarah dan Dakwah

Cerita ditutup dengan semacam pengungkapan diri—yang sekaligus menjadi sasmita dan kemudian dibeber paling terkemuka di sampul buku ini yang menjadikan kedua buhul novel ini sama persis; sembilan adalah ilmu, untuk hidup dengan mendengar, melihat, bersama kata-kata jika perintah pertama, bacalah! maka berikutnya, tulislah! aku ingin menulisnya dalam cinta.

Demi melihat novel 9 lebih dialektik, terkait antara Sastra, Agama dan Religiusitas, mari kita tengok kembali visi sastra Hamka yang dalam “kredo” mengarang romannya demikian benderang, namun Goenawan Mohamad pada tahun 1960an menyebut genre “sastra keagamaan” menempatkan agama sekadar sebagai latarbelakang dan bukan pemecah persoalan. Utamanya, disebutnya termasuk “Tenggelamnja Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka.7)

Tenggelamnja Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka dengan visi estetik yang dalam tangkapan sejumlah pakar sekadar sederhana (bahasa lain dari sepele), kompromis, dan bukan kapak pemecah persoalan, nyatanya berhasil terbit. Sama-sama berjiwa Islam, katakanlah novel 9 adalah problem solves, propagandis, visi estetis novel ini pun tak kalah terangnya, baik bagi rekonstruksi (dekonstruksi) subjek penulis maupun pembaca. Sebagaimana terungkap di Fragmen 30 dengan mendasari diri QS. Asy-Syu’ara [26] ayat 224-227.

 

Sejarah menyebutkan bahwa konteks masa turunnya al-Quran berlangsung ketika syair atau sastra menjadi puncak kebudayaan dan para penyair menduduki posisi tinggi dalam budaya dan kehidupan masyarakat Arab….

…, bisa dipahami bahwa kedudukan penyair pada masyarakat Arab pra-Islam mirip seperti “ulama”. Kata-katanya ibarat “fatwa”….

Dalam perspektif budaya, dapat dijelaskan bahwa hadirnya Islam bersama al-Qur’an adalah untuk memberikan dasar spiritualitas—tauhid—dan menyempunakan kebudayaan masyarakat bersama nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang ada di dalamnya….

Keberadaan al-Qur’an dan hadist yang bernilai sastrawi tinggi, konstruksi bacaan shalawat, diba’iyah, nadzam- nadzam, manaqib, pujen, dan sebagainya yang liris dan puitis, serta kitab kuning (terutama akhlaq) yang sarat dengan syair, mengkonfirmasi hal tersebut. Karena itu, bersastra atau berpuisi bagi santri adalah bagian dari khittah budayanya... (Fragmen 30)

 

Dari halaman buku paling ujung tentang pengarang novel ini terungkap, penulis adalah jebolan pesantren Al-Ma’ruf Kranggan Lamongan dan pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pendek kata penulis adalah santri. Penulis adalah pegelola Rumah Semesta Hikmah, yang berkonsep rumah baca dan belajar serta kajian agama dan budaya.

Novel ini sunyi sekali dari perbuatan dosa, bahkan dalam kata pun, hampir tiada. Sebaliknya novel ini penuh pembicaraan perihal cinta. Satu-satunya kosa kata ‘dosa’ sepanjang novel yang lebih dari 50 ribu kata, 350 ribu karakter ini adalah pernyataan tokoh Kang Badri sang senior dari protagonis saat di pesantren. “Bagi seorang kekasih, lupa adalah dosa,” katanya. Sebuah kata yang tak lain sebenarnya demi mengungkap suatu cinta. Potret perjalanan cinta mahabbah dari kisah hidup Sunan Bonang yang mengingatkan pada Rabi’ah al-Adawiyah, sebagaimana kutipan berikut ini;


Bahwa cinta yang dimilikinya telah habis untuk Tuhan saja. Maka, maklumlah jika kabar menyebutkan bahwa keduanya tidak menikah. Tidak berkeluarga dan beranak-pinak. Kendati tak tersisa lagi, cinta kepada Tuhan tersebut dalam kehidupan sehari-hari termanifestasikan dengan kasih-sayang kepada seluruh makhluk-Nya di dunia. Termasuk rerumputan.

Hal terpenting dari kisah hidup Sunan Bonang dan Rabi’ah al-Adawiyah, bahwa kehidupan di dunia adalah perjalanan cinta kepada-Nya. Segala peristiwa yang terjadi dan dialami, tidak lain merupakan ruang-ruang manifestasi cinta kepada Tuhan. (Fragmen 22)

 

Dapat dikatakan ikhtiar mendedahkan daya tarik, keunikan gagasan secara keseluruhan adalah perihal cinta dalam pengertian teologis. Pilihan pemikiran padanya sebagai bentuk kebaruan dari ide-idenya tersebut jatuh pada konsep ziarah, dengan membangun apa yang disebut strategi cerita perjalanan—sebagai tempat pesan, watak, ideologi, pandangan hidup, filosofi penulis berhumbalang di dalamnya.


Secara teologis, cinta merupakan anugerah Tuhan. Hanya Dia-lah yang Maha Cinta, Pemilik Cinta, dan cinta-Nya tidak pernah berhenti tercurah kepada makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia. Cinta Tuhan kepada manusia, dapat dipahami dari keberadaan manusia—meliputi posisi dan perannya—di muka bumi yang istimewa daripada makhluk-makhluk lain. (Fragmen 18)

 

Bahwa ziarah adalah pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah ziarah, yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. (Fragmen 19)

 

“….harus disadari bahwa ziarah yang akan kaulakukan ini bukan perjalanan ziarah biasa, tetapi sebuah proses yang menjadi bagian dari perjalanan hidupmu. Semua yang kautemui, jadikan sebagai pelajaran untuk lebih mengenali diri sendiri….” (Fragmen 22)

…bahwa perjalanan ziarah walisongo sebagai latihan sebelum melakukan perjalanan ibadah haji.. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental- spiritual, pikirnya. (Fragmen 28)

 

Pada titik ini terang bahwa cerita perjalanan yang dimaksudkan sebagai suatu visi sastra bagi penulis novel ini bukanlah sastra pariwisata, bukan pula sejenis jurnalisme sastrawi. Pengertian jurnalisme sastrawi amat membingungkan karena di dalamnya terkandung contradictio in terminis—peristilahan yang saling bertentangan. Sedangkan dalam sastra Pariwisata tak lain sebetulnya sebagai salah satu alternatif pengembangan pariwisata yang memiliki kemungkinan dikembangkan dalam berbagai produk industri kreatif.8)

Sebagaimana kutipan berikut, memperlihatkan salah sebuah keterangan visi sastra sang pengarang;

Belum waktunya bagi dia berperan dalam kehidupan masyarakat secara luas. Akan tetapi masih dalam episode mencari ilmu. Belajar, terutama dari hidup dan kehidupan itu sendiri. Yah, dia harus melanjutkan perjalanannya. Pengembaraannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Sunan Bonang, yakni perjalanan kesejatian. (Fragmen 19)

 

Bahwa ziarah adalah pertemuan waktu dalam diri seseorang, baik dulu, kini, dan nanti. Karena itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, salah satu proses pentingnya adalah ziarah, yang tidak lain adalah pertemuan dengan diri sendiri. [Fragmen 19]

 

Sebagaimana Hamka bagi Goenawan Mohamad, pertanyaan yang kita coba telisik dan cari jawabannya; adakah terdapat suatu masalah antara visi, gagasan, ide, konsep estetik yang semula diwacanakan pengarang, mengalami kendala, benturan, kompromis, bahkan kehilangan bentuknya yang kuat sebagai sebuah sastra keagamaan? Ataukah jikapun sebagai suatu ‘pemecah masalah’ pada pengarang novel 9 ini lantas melakukan rekonstruksi/ dekonstruksi, terhadap sastra pada umumnya?

Apapun, novel ini diniatkan sebagai revolusi. Sebagaimana risalah segala kenabian, juga kewalian. Persis judul sebuah artikel yang ditulis tokoh Basri; “Revolusi Dua Arah dalam Sejarah: Pembacaan atas Kehidupan dan Perjuangan Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim” (Fragmen 1) Lalu berikrar pada dakwah sebagai manifestonya. Dengan kata lain, novel ini sekaligus memberi peluang mengajak berdebat kembali perihal sastra, agama, religiusitas sejak dari zaman ke zaman.

 

…jika risalah Nabi Muhammad secara umum menunjuk pada perubahan masyarakat dari kondisinya yang “jahiliyah” menjadi masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Islam secara universal,…maka sosok Nabi Ibrahim lebih tampak mengarah pada perjuangan pribadi manusia mencapai kemerdekaan hakiki sesuai dengan fitrahnya,… (Fragmen 1)

“Bersama kata-kata kehidupan bergerak. Dan dakwah, tidak lain adalah pelibatan diri dalam historisitas manusia. Karena itu, menulislah!.” (Fragmen 33)

 

Identitas, Religiusitas

Selain Tenggelamnja Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah, membaca novel 9 karya Syauqi ini mengingatkan sederet novel dan penulis; Hubbu (Mashuri), Genijora, Mataraisa (Abidah El Khalieqy) Kuil Kencana (Yukio Mishima), The Name of The Rose (Umberto Eco). Terlepas dari sekadar ‘latar belakang’ sastra keagamaan ataukah lebih dari itu, sebagaimana disinyalir Goenawan Mohamad, ternyata ‘latar belakang’ yang dimaksud adalah; pencarian identitas dan motif di luar kesusastraan; penggolongan, rivalitas antar golongan di dalam masyarakat.9)

Dalam catatannya, sebuah pencarian identitas mengandung pengertian belum membicarakan hal serius. Pun, jika suatu hal pengkhususan pada penulisan lingkungan (keagamaan) adalah suatu kekeliruan. Identitas, katanya, bersumber pada kepribadian seorang pengarang, dan sikap keluar dari kepribadian ini berupa sikap-hidup, sehingga identitas seorang pengarang tidak hanya ditentukan kepada “apa” yang (sering) dikisahkannya, tetapi ditentukan”apa dan bagaimana” mengatakannya.

Sedangkan motif di luar sastra, menurutnya tak lain; kehidupan beragama yang terlibat dan memusatkan dirinya dalam rivalitas politik, yang kehilangan sumber-sumber rohaniahnja, juga hilangnya vitalitas kesusastraan karena diletakkan sekadar alat propaganda, termasuk adanya konflik kepentingan.

Lantas apakah itu selepas sastra keagamaan sebagai pemecah persoalan?

Dalam buku Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX yang cetakan pertamanya terbit tahun 2000, tidak mencatatkan nama Kuntowijoyo yang dalam tiga dekade produktivitasnya sangat menakjubkan baik sebagai pengarang maupun pemikir. Dengan kata lain tidak ada pemikiran terpilihnya dalam sejarah sastra. Sejarawan dan sastrawan itu, meski aktif menulis sejak tahun 1970-an dengan magnum opus-nya Khotbah di Atas Bukit, baru mengumumkan Maklumat Sastra Profetik, dalam Majalah Horison, Edisi No. 5 Tahun 2005, sebagai semacam pesan kreatif di penghujung usianya.

Pertanyaannya, apa sebetulnya yang mengejutkan dari laku kreatif Hamka? Apa pula yang baru dari pemikiran sastra keagamaan yang telah ada sebelumnya? Lantas bagaimana kemudian pada diri Kuntowijoyo?

Ternyata simpul dari pemikiran Kuntowijoya ada pada sufisme dan paradigma pikiran Muhammad Iqbal. Sebagaimana pernyataannya;

Etika itu disebut “profetik” karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang Prophet. Asal-usulnya begini, Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam mengutip ungkapan seorang sufi yang mengagumi Nabi dalam peristiwa Isra’-Mi’raj. Meskipun Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.10)

Kuntowijoya membeber keinginan dalam maklumatnya tersebut dalam “sastra ibadah” dan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih. Sastra yang memiliki kaidah; epistemology strukturalisme transendental, sebagai ibadah dan keterkaitan antar kesadaran. Penjelasannya kuranglebih; sastra yang berdasar kitab suci (Al-Quran) dan diperuntukkan bagi orang beriman. Sastra yang kaffah-utuh diniatkan sebagai ibadah. Sastra yang memiliki keterkaitan hubungan kesadaran ketuhanan dengan kesadaran kemanusiaan.

Cukup terang sudah, berkat kata kunci “semangat kenabian” “jiwa transendental” “sufistik” maka ada baiknya mengutip perbincangan Romo Mangunwijaya perihal agama dan religiusitas yang juga bukan kebetulan bilamana menukil Rabi’ah al-Adawiyah serta Muhammad Iqbal di dalamnya.

Menurutnya, bahwa agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hokum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sementara religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati,” riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, “du Coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu pada dasarnya religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim.11)

Sebagaimana dikatakan Mohammad Iqbal: Bahwa di atas fase penghayatan religious dalam arti pemahaman (thought) masihlah ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni yang sering disebut mistik. …pendewasaan yang lebih menuju ke dalam. “pencapaian kepribadian yang merdeka, bukan karena pelepasan diri dari ikatan hukum (agama), melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum di dalam kedalaman hati nuraninya.”

  

(Bersambung) ke

DIA YANG SUNYI DARI DOSA: DIALEKTIKASASTRA, AGAMA, RELIGIUSITAS (1)

 

Catatan:

1). Kutipan dan pengakuan Hamka ini diambila dari tulisannya Mengarang Roman, dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 68 dan 70.

2). E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer gramedia, 2000 hal. Xxvi

3). Nur St. Sukandar, mantan karyawan Balai Poestaka, dalam tulisannya Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 7-8 menerangkan “Gubernenen Hindia Belanda menghendaki supaja buku-buku batjaan jang akan dikeluarkan Balai Pustaka harus mempergunakan bahasa Melaju Riau, bahasa sekolah jang telah ditetapkan dalam tahun 1901.”

4). Lihat Abdul Hadi WM, Cakrawala Budaya Islam, IRCISod, hal. 139.

5). Lihat Abdul Hadi WM, Cakrawala Budaya Islam, IRCISod hal. 147. Dalam penjelasan lain, di buku ini dengan didasari dari buku karya Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Abdul Hadi mencatat pentingnya pengalaman dan kesadaran sejarah, disamping eksplorasi pengalaman empiris dan rasional. Lihat hal. 149

6). Pendapat HB. Jassin ini termaktup dalam "Hamka, Pengarang Di Bawah Lindungan Ka’bah". Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Gramedia, 1985 hlm. 46–53, sedangkan tanggapan Bakri Siregar, dalam Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa (1964) yang juga dikutip situs wikiepedia dalam membincang novel tersebut. https://id.wikipedia.org/.../Di_Bawah_Lindungan_Ka%27bah...

7). Lihat tulisan Goenawan Mohamad, Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini, dalam dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 549

8). Lihat Novi Anoegrajekti, Djoko Saryono, I Nyoman Darma Putra, Sastra Pariwisata, Penerbit PT Kanisius, 2020 hal. Vii

9). Lihat tulisan Goenawan Mohamad, Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini, dalam dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000 hal. 550

10). Lihat Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, Diva Press 2019 hal 9; Lihat pula Dr. Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Tintamas 1982, hal. 123

11). YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas, Penerbit Kanisisus, 1992 hal. 12

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar