Catatan Kesan atas buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Oleh A. Syauqi Sumbawi
Konstruksi kesusastraan Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari hadirnya karya-karya dan tokoh-tokoh “yang dianggap penting”
dalam proses historisnya. Kehadiran yang penting ini setidaknya dipengaruhi
oleh beberapa hal, yaitu kualitas karya, peran kritikus, dan apresiasi
masyarakat sastra. Selain itu, hal yang tidak bisa dinafikan, yakni kedekatan
personal di kalangan “elit” kesusastraan itu sendiri.
Di antara sastrawan Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri merupakan
salah satu nama “yang dianggap penting” di atas. Karya-karya puisinya
sebagaimana yang terkumpul dalam antologi O Amuk
Kapak[1] dan lain-lain, juga konsepsinya
tentang kredo puisi,[2] disebut-sebut memperlihatkan
pembaruan dalam puisi Indonesia. Pada konteks ini, Ignas Kleden—kritikus
sastra—memberikan ulasan tentang karya dan kepenyairan Sutardji CB dalam
esainya, Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji
Calzoum Bachri,[3] yang sampai pada kesimpulan bahwa
apa yang disebut Sutardji CB dengan “membebaskan kata” ternyata lebih menunjuk
pada proses dekonstruksi, melalui penerobosan—(baca: menerobos)
makna kata, jenis kata, bentuk kata, dan tata bahasa.
Permasalahan terkait kredo
puisi dan esai Ignas Kleden di atas inilah yang digugat
oleh Nurel Javissyarqi dalam buku Membongkar
Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI).[4] Dalam pembacaannya, Nurel menilai
bahwa Ignas Kleden kurang objektif—masih subjektif—dalam mengulas karya dan
kepenyairan Sutardji CB. Apalagi, ulasan tersebut disampaikan pada acara
penghormatan kepada sang penyair. Lantas, benarkah?!
Tampaknya, subjektivitas menjadi “kecurigaan” terbesar dalam
pikiran Nurel, sekaligus ”pemantik” daya kritis. Subjektivitas yang
dikhawatirkan akan terus berulang-ulang hingga mencapai tarafnya yang akut,
yakni kondisi yang disebutnya dengan “mitos”. Karena itu harus dibongkar. Bukan
hanya kredo puisi Sutardji CB dan
esai Ignas Kleden saja, tetapi juga seluruh subjektivitas yang terdapat dalam
konstruksi dan sejarah kesusastraan Indonesia pada umumnya.
Membongkar Mitos Kesusastraan
Indonesia; Kritik atas Subjektivitas
Sebagaimana judulnya, buku MMKI ini dimaksudkan sebagai kumpulan
esai-kritik sastra. Akan tetapi, bukan esai mainstream seperti
yang biasa kita temukan dalam koran atau majalah. Begitu juga konstruksi dan
gaya penulisan yang digunakan oleh penulisnya. Maka, wajar jika di antara kita
menganggap bahwa buku ini membingungkan. Bahkan meragukan buku ini sebagaimana
keberadaannya di atas. Jika benar demikian, maka salam saya adalah, “selamat
datang di dunia Nurel Javissyarqi!”
Yup, tidak lazim. Unik! Itulah asumsi saya tentang esai-esai yang
terkumpul dalam buku ini. Beberapa hal yang mengisyaratkan keunikannya
tersebut, yaitu [1] Nurel
menulis 408 halaman hanya untuk mengupas enam paragrap pertama dari esai Ignas
Kleden—yang menjadi fokus bahasan. [2] Sebagai
kumpulan esai-kritik sastra, buku ini juga mengungkap pemikiran berbagai
disiplin ilmu, seperti teologi, tafsir, filsafat, sejarah, antropologi,
arkeologi, geografi, dan sebagainya. Bahkan, dengan porsi yang lebih besar
daripada ulasan terhadap fokus bahasan. [3] Keberadaan
dialog imajiner—antara penulis dengan M. Yamin—, yang cukup intens pada bagian
XXIV (hlm. 322-395). [4] Penggunaan
gaya bahasa liris, bahasa jawa yang tidak umum, serta penambahan dan
penggurangan awalan dan akhiran, sehingga menjadikannya tidak mudah untuk
dicerna.
Jika sebuah pertanyaan dilontarkan, apakah MMKI merupakan buku
esai-kritik sastra?! Maka, jawabannya adalah ya, bisa dikatakan demikian.
Karena di dalamnya terdapat ulasan mengenai sastra, terutama kredo puisi dan esai Ignas
Kleden. Dalam pembacaannya terhadap permasalahan tersebut, subjektivitas
menjadi kesan paling kuat yang ditangkap oleh Nurel. Subjektivitas yang
dikhawatirkan akan semakin akut dan berubah menjadi “mitos”. Kritik terhadap
subjektivitas inilah yang tampaknya menjadi pintu masuk atas hadirnya buku ini.
Di antara subjektivitas dalam kesusastraan Indonesia yang digugat Nurel, yaitu
subjektivitas atas karya dan subjektivitas terhadap tokoh—sastrawan dan
kritikus—.
Dalam mengulas subjektivitas atas karya, Nurel melihat bahwa
terkait kualitas karya sastra, masyarakat (pembaca sastra) cenderung lebih
percaya pada “berita” sekaligus “iklan”, baik melalui resensi dan ulasan buku
di media massa, esai para kritikus, maupun dari mulut ke mulut. Juga, penerbit effect. Tidak dipungkiri, hal
tersebut dapat dipandang sebagai “seleksi awal” untuk memilih karya sastra
dalam posisinya sebagai bacaan. Akan tetapi, jangan sampai “berita” itu
menggerus nalar kritis. Menurut Nurel, kualitas sebuah karya sastra tidak
berasal dari berita atau iklan, tetapi ada dalam buku itu sendiri, yang hanya
bisa didapatkan melalui pengalaman diri. Di sini, tampak bahwa membaca adalah
proses intelektualitas.
Terkait subjektivitas terhadap tokoh, Nurel melihat adanya sekat
dikotomi antara senior dan junior di kalangan sastrawan. Nurel tidak menafikan
diferensiasi para sastrawan, baik yang telah lama maupun yang belum lama
berproses sastra. Hal yang dikritik oleh Nurel adalah subjektivitas bahwa apa
yang lahir dari para senior selalu diterima dan berkualitas. Karena itu, nalar
kritis—dan juga nyali— para sastrawan tidak boleh tumpul hanya karena
berhadapan dengan senioritas.
Lepas dari keberadaannya yang dimaksudkan sebagai buku
esai-kritik sastra, saya melihat bahwa MMKI lebih merupakan gambaran dari
lanskap alam pikiran Nurel Javissyarqi. Dalam pandangan imajiner saya, tampak
Nurel sedang berselancar melintasi alam pikirannya. Bergumul dan berlompatan
dengan berbagai pemikiran. Dan MMKI adalah hasilnya. Karena itu, tidak heran
jika konstruksi buku ini didominasi oleh berbagai pemikiran lintas disiplin
ilmu.
Lantas, apa hubungannya dengan kredo
puisi Sutardji CB dan esai Ignas Kleden?! Atas pertanyaan ini,
barangkali tulisan Nurel bisa menjadi jawabannya, bahwa, “esainya Ignas Kleden itu sekedar jalan,
sketsa, jalur rel kereta api yang nantinya menjalar menerus…”.[5] Atau perspektif saya, bahwa kredo puisi dan esai Ignas
Kleden merupakan pintu masuk sekaligus penanda, darimana Nurel berangkat dan
akan kembali ketika berselancar di alam pikirannya.
Kemudian, mengenai ketidaklaziman MMKI sebagaimana diuraikan di
atas, maka saya menduga bahwa hanya pembaca “berdaya besar” saja yang mungkin
akan bertahan untuk menikmati buku MMKI hingga akhir. Dan tampaknya, Nurel pun
telah “mencurigai” bahwa pembaca sastra termasuk jenis pembaca tersebut.
Barangkali, hal ini bisa menjadi salah satu alasan, kenapa buku ini diberi
judul “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.”
Kredo Puisi dan Dekonstruksi; Tampilan Sudut Pandang
Beberapa hal yang menjadi fokus gugatan Nurel Javissyarqi yang
bisa dimasukkan dalam sub pembahasan kredo puisi dan dekonstruksi ini, yaitu pertama, perbedaan pernyataan
antara “membebaskan” dan “menerobos”. Kedua,
pernyataan “Puisi adalah alibi kata-kata”. Ketiga,
ungkapan, “Jadi maka Jadilah!, Jadi, lantas jadilah!, dan Kun Fayakun.
[1] Antara Membebaskan dan Menerobos
Kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri menyebutkan bahwa tugas
kepenyairan adalah “membebaskan kata-kata”.
Sementara dalam esainya, Ignas Kleden menulis, “…menerobos
makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata
bahasa… Menurut Nurel, penggunaan kata “menerobos” oleh Ignas
Kleden—yang berbeda dengan “membebaskan” versi Sutardji CB—, menyiratkan
sikapnya yang ragu-ragu dan berada di wilayah abu-abu, antara mengkritik
(objektif) atau memuja (subjektif). Lantas, benarkah?!
Untuk menjelaskan permasalahan ini, maka pemahaman atas
perspektif menjadi penting. Kata “membebaskan” Sutardji CB menunjukkan
posisinya sebagai penyair. Di sini, kredo
puisi yang tidak lain adalah pemahaman dasar atas proses
kepenyairan menjelaskan tugasnya, yaitu mengembalikan kata pada asalnya. Pada
sisi lain, penggunaan kata “menerobos” menjelaskan posisi Ignas Kleden sebagai
kritikus. Kata ini kemudian mendapatkan penjelasan secara lebih lanjut pada
bagian tengah esainya, baik menerobos makna kata, menerobos jenis kata,
menerobos makna kata, maupun menerobos tata bahasa.
Dalam perspektif antara penyair dan kritikus, tidak hanya kata
“membebaskan” dan “menerobos” saja yang berbeda di antara keduanya. Ignas
Kleden pun berbeda mengenai istilah kredo
puisi. Menurutnya, istilah yang tepat bukan kredo puisi, melainkan kredo penyair, karena hal tersebut
lebih merupakan sebuah bentuk dari licentia poetica.
[2] Puisi adalah Alibi Kata-kata
Dalam esainya, Sutardji Calzoum Bachri menulis, Puisi adalah alibi kata-kata.[6] Di sini, istilah “alibi” menjadi
fokus dari gugatan Nurel, yang dipandangnya mengandung kesan negatif, terutama
dikaitkan dengan kepenyairan. Menurut Nurel, istilah tersebut menggambarkan
sikap penyair yang ingin ales atau
menghindar dari pertanggungjawaban atas karya-karyanya. Sebagaimana kasus
terkait ungkapan “Jadi maka jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!”, yang
dianggapnya sebagai bentuk kecerobohan Sutardji CB dalam menerjemahkan “Kun Fayakun”. Lantas, benarkah?!
Untuk menanggapi permasalahan ini, maka penting bagi kita
melihat konteks di mana ungkapan tersebut muncul. Yakni, ketika kata-kata
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang memenjarakan dalam
makna—yang spesifik—. Kekuatan yang penuh kepalsuan dan hipokrisi, baik
kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya dalam kehidupan manusia. Sebagai
ilustrasi, jika kehidupan manusia dipenuhi pragmatisme, maka puisi menjadi
ruang bagi idealisme untuk terus hidup. Ruang bagi lahirnya kesadaran, dimana manusia
kemudian memperjuangkan idealisme-idealisme kemanusiaannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa ungkapan “Puisi adalah alibi
kata-kata,” perspektif Sutardji CB berada pada wilayah pemikiran. Sedangkan
interpretasi dan gugatan Nurel masuk pada wilayah sikap dan tanggungjawab
kepenyairan.
[3] Antara “Jadi maka Jadilah!”, “Jadi, lantas jadilah!”, dan
“Kun Fayakun”.
Kun Fayakun—dalam al-Qur’an—menjadi referensi Nurel ketika menggugat dua
ungkapan Sutardji Calzoum Bachri di atas. “Jadi
maka Jadilah!” yang termuat dalam “Bukan-Pidato Anugerah
Sastra Dewan Kesenian Riau 2000”, dan “Jadi,
lantas jadilah!” pada “Sambutan Sutardji Calzoum Bachri pada
Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA”. Nurel menilai dua
ungkapan—terjemahan— dari Kun
Fayakun tersebut sebagai kecerobohan.
Di sini muncul sebuah pertanyaan, apakah Kun Fayakun menjadi referensi
dari dua ungkapan Sutardji CB tersebut?! Jangan-jangan, dia tidak menjadikan Kun Fayakun sebagai referensi,
kendati akrab.
Lepas dari pertanyaan di atas, saya melihat bahwa dua ungkapan
tersebut mengandung interpretasi yang berbeda, sebab konteksnya tidak sama.
Dalam ungkapan “Jadi maka Jadilah!”,
konteks dan pemahaman menunjuk tataran hakikat. Sedangkan pada “Jadi, lantas jadilah!“ mengarah
pada tataran proses.
Menggugat “Politik” dalam
Kesusastraan Indonesia; Antara
Label dan Proses
Kesan mengenai adanya “politik” dalam kesusastraan Indonesia
sangat kuat dalam pemikiran Nurel. Pemberian gelar Presiden
Penyair Indonesia—oleh sebagian sastrawan—, yang kemudian diikuti
dengan munculnya gelar Presiden
Penyair Jawa Timur, misalnya, tampak mengganggu pikirannya.
Menurutnya, “pelabelan” seperti ini merupakan bentuk subjektivitas, yang
dikhawatirkan akan melahirkan kondisi yang kontraproduktif bagi perkembangan
kesusastraan Indonesia itu sendiri. Sederhananya, bukan label yang menjadi
ukuran kualitas, tetapi muncul dari proses yang terus-menerus. Karena itu, biar
sejarah yang mengungkapkannya.
Kritik terhadap subjektivitas, yang sebenarnya menjadi concern Nurel. Demikian pula
dengan gugatannya terhadap Deklarasi
“Hari Puisi Indonesia” yang melibatkan “dukungan” para
sastrawan. Pembacaan deklarasi yang diwakilkan kepada Presiden Penyair Indonesia serta
penetapan tanggal 26 Juli sebagai “Hari
Puisi Indonesia”, yang dinisbatkan dari tanggal lahir Chairil
Anwar. Menanggapi persoalan ini, Nurel menggugat. Seperti bertanya, kenapa
penetapan “Hari Puisi Indonesia” tidak menjadikan sejarah sebagai referensi?!
Kenapa tanggal yang dipilih tidak merepresentasikan semua penyair, melainkan
hanya Chairil Anwar dan mereka yang mendukung penetapannya saja?!
Nurel juga mengungkapkan “peta politik” kalangan sastrawan yang
ada “di belakang meja” media massa, baik koran, majalah, maupun media online. Selain itu, kalangan
sastrawan yang seperti “terkotak-kotak” dalam komunitas-komunitas dan identitas
tertentu. Mengenai hal ini, Nurel kembali pada kritiknya terhadap
subjektivitas, yakni jangan sampai “perkoncoan” (penilaian
subjektif) menggerus nalar kritis dan objektivitas.
Penutup
Tulisan ini merupakan catatan kesan penulis atas buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”
karya Nurel Javissyarqi. Buku ini merupakan buku pertama, yang
diharapkan segera disusul buku kedua dan seterusnya. Dalam buku ini, saya
merasakan energi besar, yang perlu dialirkan melalui saluran-saluran yang
benar, secara tepat dan elegan, serta dengan dosis yang tertakar. [*]
[1] Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK
KAPAK; Tiga Kumpulan Sajak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981)
[2] Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachri adalah membebaskan
kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya
adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Tanggal yang tertera pada
penjelasan kredo puisi yaitu 30 Maret 1973. Lihat, Sutardji Calzoum Bacri,
“Kredo Puisi” dalam Isyarat: Kumpulan Esai (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007)
hlm. 3-4. Kredo puisi kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam tulisannya yang
lain, seperti “Bukan-Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-“,
“Sambutan Sutardji Calzoum Bachri pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra
MASTERA”, dan “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998” yang
terkumpul dalam buku Isyarat: Kumpulan Esai.
[3] Rubrik Bentara, “Puisi
dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” dalam Kompas, Sabtu 04
Agustus 2007. Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan
pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di Taman Ismail Marzuki, Jakarta
19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 Tahun.
[4] Judul lengkap buku ini adalah Membongkar Mitos Kesusastraan
Indonesia; Bagian Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan
Indonesia (Lamongan: Pustaka Pujangga bekerjasama dengan Arti Bumi Intaran, Yogyakarta,
2018).
[5] Nurel Javissyarqi, “Bayangan dan Kenyataan Lain Bedah Buku di PDS
H.B. Jassin”, dalam lampiran Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, hlm. 528
[6] “Pidato Penyerahan Anugerah
Sastra Chairil Anwar 1998” dalam Isyarat: Kumpulan Esai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar