Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Narasi Sehari”
Oleh A. Syauqi Sumbawi
Salah satu
rahasia terbesar dalam kehidupan manusia adalah waktu. Dalam eksistensinya yang
universal, tidak ada seorang pun manusia yang mampu mengetahui waktu. Karena manusia
terbatas oleh waktu. Bahkan secara transendental-objektif, harus tunduk pada
kenyataan waktu yang eksistensinya berada di luar kehendak dan kemampuan
manusia.
Di sisi lain, secara
historis-subjektif, waktu dapat dipahami, dimanfaatkan dan diagendakan oleh
manusia. Pada konteks ini, manusia merumuskan hitungan detik, menit, jam, hari,
bulan, tahun, dan seterusnya. Juga menamai pagi, siang, sore, malam dan
sebaganya. Dalam eksistensinya yang partikular ini, kehidupan manusia bersifat
unik, di mana setiap orang memiliki pengalaman, perasaan, serta pemahaman yang
berbeda satu dengan lainnya. Begitu pula dalam melihat dimensi waktu; masa
lalu, masa sekarang, masa depan.
Membaca “Narasi Sehari”
Waktu dan rupa-rupa
—peristiwa— manusia merupakan catatan kesan atas pembacaan penulis terhadap
puisi-puisi yang terbukukan dalam antologi ini. Berbagai pengalaman, perasaan, pemahaman,
dan sikap manusia dalam jalinan dimensi waktu menjadi gambaran umum dari inspirasi
dan kreativitas para penyair. Sebagaimana juga yang tersirat dalam ungkapan puisi
“Narasi Sehari” karya Trira, yang menjadi
judul antologi ini.
Jedahku kemarin
lesap begitu saja/ Lalu hatipun senyap dari pikir dunia/ Aku menyerah/ Alur kita
terlalu rumit tak terarah/ Takkan lagi kita melarung rindu/ Karena aku sudah
jauh melarungkanmu/ bersama laut dan berudu/ Takkan lagi sapaku muncul di
jendela/ Karena jendelaku telah hilang kubuang bersama kata yang fana/
Berhenti dari
segala janji/ Karena telah menanti dan mengerti/ Akhiri seperti ini/ Manis berpahit/
Pahit pasih, maaf aku pamit//. (hlm. 70)
Puisi di atas,
tidak hanya menjelaskan kegagalan yang dialami dalam proses terkait rencana dan
harapan, tetapi juga menampilkan
pemahaman terhadap segala entitas manusia yang fana. Pengalaman (menanti) dan pemahaman (mengerti) ini, pada gilirannya menjadi
dasar sikap untuk merubah arah hidup berikutnya, yaitu …maaf aku pamit//.
Kesan lain dari
puisi di atas, yakni kendati manusia diberi kesempatan untuk menyusun rencana,
merancang visi, dan sebagainya, namun segala yang terjadi dalam prosesnya,
berada di luar dirinya. Tak ada seorang pun manusia yang mampu berkuasa atas
waktu. Bahkan, manusia harus pasrah pada “kehendak” rahasia yang hadir bersamanya.
Identifikasi Waktu dan Manusia
Pengalaman dan pemahaman
mengenai hidup dan kehidupannya, tak pelak akan mengarahkan manusia pada proses
identifikasi atas waktu dan diri sendiri. Beberapa puisi, yaitu Waktu, 24 Jam,
Perihal Waktu, dan Tanda Baca, memproyeksikan persepsi
manusia terkait waktu dan dimensinya serta kehidupan —proses— yang ternamai
bersamanya. Sebagaimana diungkapkan dalam puisi berjudul “Waktu” karya Risky Maulana,
….
Tiap detik berlalu/ Semua yang kita bicarakan
hanya masa depan dan masa lalu/ Yang kita jalani hanya jadi masa lalu/ Semua
hanya masa lalu dan masa depan// (hlm. 110)
Pengalaman
hidup bersama waktu—yang transendental-objektif—, pada gilirannya mendorong manusia
untuk mengenali realitas diri serta mengarahkan hidupnya. Pada bagian akhir
puisi berjudul “Aku adalah Puisi” karya
@ladylina..aa diungkapkan,
……
Aku../ Yang tersusun dari sebuah cinta/
Titipan Sang Pencipta/ Dan menjadi lakon skenario-Nya// (hlm. 9)
Sementara
puisi berjudul “Wahai Aku” karya
Krisna, menegaskan arah dan tujuan hidup manusia.
….
Wahai aku,/ Ingatlah kepada Sang Penciptamu/
untuk terus beribadah dan berdoa/ Kepada Sang Penciptamu//…. (hlm. 108)
Keterlibatan manusia bersama waktu, dalam
prosesnya, menjadikan manusia akrab dengan berbagai permasalahan, harapan,
ketakutan, kegagalan dan sebagainya. Hal ini ditampilkan oleh beberapa puisi
berjudul, yaitu “Hari ini dan Esok”,
“Aduh…”, “Berharap”, “Benih-benih
Cinta”, “Terputus”, “Takdir Bukan Garis!”, “Getah Hati” dan “Takdir
Tuhan”. Dari semuanya, lahir pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak lepas
dari ketentuan-Nya, yang rahasia.
Pada bagian akhir puisi “Takdir Tuhan” karya Nerissa, diungkapkan:
….
Aku merasa kekuatan itu semakin besar/
Mendorongku secara perlahan untuk/ mulai menerima semua/ Setiap manusia
memiliki garis takdir baru/ Takdir yang telah Tuhan persiapkan untukku// (hlm. 104)
Rupa-rupa Manusia dalam Waktu
Ketidakmampuan manusia dalam takdir di atas,
tidak dipungkiri, melahirkan kesadaran terkait keberadaan manusia sebagai
makhluk religious. Dalam kaitannya, Tuhan adalah tempat bergantung manusia.
Kepada-Nya, manusia tidak hanya menyembah dan berdoa, tetapi juga menjadi pusat
dari seluruh proses hidupnya dalam berbagai ekspresi, serta terjalin bersama
waktu.
Di antara puisi yang mengungkapkan pengalaman
religious-transendental tersebut yaitu berjudul “Sajak Segumpal Darah”, “Ku kira”, “Perih yang terkandung diri”, “Rindu
Sajak Ar-Rohman”, “Selaksa Makna”, dan
“Setiap Cerita”. Begitu pula puisi “Altar Persembahyangan” karya Jadid Al
Farisy, mengekspresikan kedekatan dengan Tuhan. Sementara dalam puisi “Lembar-lembar Kesaksikan” karya Amel Cimoetz,
menegaskan bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik bagi setiap manusia.
……
Tuhan…/ Terimalah
segala usaha/ Bila merayuku tak mampu memburu/ Bila menjauhku takkan mampu
merubah/ Ku pasrah…//……
Kupilih takdir-Mu
sebagai kebaikan akhirku// (hlm. 61)
Keberadaan
manusia yang tidak bisa hidup tanpa kehadiran sesamanya, melahirkan konsep, yaitu
manusia sebagai makhluk sosial. Pengetahuan dan pengalaman manusia sejak masih
kecil bersama keluarga, menjalin hubungan personal yang sangat kuat, terutama
di antara anak dan orang tua. Kasih sayang, rindu, rasa kehilangan, harapan
terkait keberadaan anak, dan lainnya—bahkan kondisi minus—menjadi ekspresi dari
beberapa puisi berikut, yaitu “Bu…”, “Doaku”, “Ibu”, “Mencoba”, “Janu”, “Kekuatanku”, “Perihal
Bunda”, “Rindu Ayah, “Hilang di Masa Kecilku”, dan “Hampa Berkarat”.
Terkait hal di atas, puisi “Kasa Mata” karya Ilham Munawir, menampilkan
gambaran yang indah tentang keberadaan
seorang ibu.
……
Hangat peluknya mengalahkan mentari pagi/
Kasih sayang itu mengalir deras dalam jiwaku/…
……
Menyelimuti amarah dengan pintalan kesabaran/
Keanggunan bak kupu-kupu/ Meredam badai dalam jiwa ini//…… (hlm. 49)
Hubungan sosial
manusia, terutama lingkaran pergaulan yang akrab atau pertemanan dan pola
aktivitasnya, diekspresikan dalam beberapa puisi, seperti “Kawan” karya Desy Putri Ayu,
“Kawan” Devi Nur Aini, dan “Asa”.
Pengalaman menyaksikan berbagai permasalahan manusia
dalam kehidupannya, baik ketimpangan sosial, sikap apatis, kebodohan, pengingkaran
janji politik, karakter buruk manusia dan sebagainya, diungkapkan oleh beberapa
puisi, yaitu “Ambisimu Lelahkan Aku”,
“Ada Apa Denganmu”, “Bungkam”, “Bangkai Saudara”, “Janji Si Gagak”, “Klenik”, “Kelam”,
“Kegelapan”, “Pertiwiku Meringkuk Haru”,
“Sajak Melarat”, dan “Suara yang
Terdiam”.
Pada puisi “Ambisimu Lelahkan Aku” karya Adinata Uwais, permasalahan sosial,
yaitu hipokrisi (oknum) kalangan agamawan, diungkapkan sebagai berikut:
……
Kebisingan otak-otak penuh ambisi/ Keserakahan
jiwa-jiwa gila akan duniawi/ Pergi…!!!/ Jangan kau buat menangis ibu pertiwi/
Jangan permainkan kata jihad untuk dirimu sendiri//…… (hlm. 5)
Hal yang harus digarisbawahi dari munculnya
puisi sosial tersebut, disebabkan realitas kehidupan manusia yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang disosialisasikan dan diinternalisasikan pada tiap
individu masyarakat. Karena itu, kritik sosial menjadi tema yang mencuat di
dalamnya. Membaca kondisi paradoks tersebut, maka tidak heran jika manusia dikatakan
sebagai “makhluk yang ruwet”, sebagaimana digambarkan dalam puisi “Manusia atau Apa” karya Hamid Setiawan.
Kalau kau tak terlahir menjadi manusia/ kau ingin menjadi apa/…. (hlm. 64)
Ungkapan satiris, bahkan sarkastik untuk
kalangan yang hobby protes dan mengeluh terkait keberadaan manusia, yang tidak
bisa lepas dari berbagai permasalahan hidup. Daripada terus mengeluh, maka
perlu bergerak dalam upaya restorasi sosial, atau mengalihkannya pada kegiatan
positif, seperti diungkapkan dalam puisi “Buku”
dan “Karyamu Takkan Sia-sia”,
yaitu kegiatan literasi atau lainnya.
keringatmu tak jadi rupiah/ idemu takkan jadi
bangunan besar/ tulisanmu mungkin tak dimuat pada surat kabar/ namun yakinlah
karyamu tak kan sia-sia//…… (hlm. 53)
Demikian puisi “Karyamu Takkan Sia-sia” karya Sofwan Toyib menegaskan bahwa setiap
karya kreatif—puisi dan sebagainya—mempunyai nilai tersendiri, baik bagi
penulis maupun bagi pembacanya.
Pengalaman membaca kehidupan manusia, secara
jernih dikemukakan oleh puisi-puisi berikut, yaitu “Wanita Tangguh”, “Wanita Bertubuh Puisi”, “Laki-laki Pertama”, “Petani”, dan “Santri”. Poin utama dari puisi-puisi ini adalah hadirnya karakter
kepribadian yang positif, yang secara tidak langsung dapat menarik rasa simpati
serta menjadi motivasi dan inspirasi dalam kehidupan masyarakat, seperti
diungkapkan dalam puisi berjudul “Pewarta”
karya Amel Cimoetz.
….
Kabarkan peristiwa tanpa lelah/
Mendedikasikan diri hingga dini terlihat kembali/ Olehmu dari lelah yang
terdeskripsi//
(hlm. 75)
Hal ini juga berlaku pada keberadaan
tokoh-tokoh penting dalam sejarah, seperti
puisi “Surat Untuk Baginda”,
yang menggambarkan Nabi Muhammad dan puisi
“Karna” yang menampilkan tokoh cerita
dalam Mahabharata. Dalam bentuk yang lain, puisi “Sajak Perempuan” yang menggambarkan sosok perempuan, agar
dipahami, terutama oleh laki-laki.
Berbagai moment dalam waktu, seperti hujan,
kemarau, pagi, malam, hadirnya pelangi, angin dan sebagainya, menjadi sesuatu
yang sangat personal terkait pengalaman, pemahaman, dan perasaan manusia. Hal
ini terutama disebabkan oleh aspek batin manusia yang ikut terlibat di
dalamnya, sebagaimana digambarkan beberapa puisi, yaitu “Arti Hujan”, “Hujan”, “Angin Rindu”, “Hangat”, “Hujan”, “Kemarau
Merindu” “Nafas kata”, serta “Mimpi
dan Harapan”. Juga bunga dan pekarangan, seperti dalam puisi “Seikat Anggrek Ungu Kesukaanku” karya
Jadid Al Farisy, sebagai berikut:
Seikat anggrek ungu/ Kutanam di pekarangan
rumahku/ Karena setiap melihatnya/ Senyummu selalu haru/… (hlm. 92)
Ekspresi terbesar dari antologi “Narasi
Sehari” yaitu keberadaan puisi bertema cinta. Pengalaman terkait hubungan lawan
jenis menjadikan manusia memaknai cinta, serta semua yang terkandung di
dalamnya, seperti lahirnya benih-benih cinta, kenangan bersama sang kekasih,
kerinduan, persoalan terkait hubungan laki-laki dan perempuan, cinta dan doa,
kegagalan cinta dan sebagainya. Hal ini diungkapkan oleh puisi-puisi berikut
yaitu “Burung dan Rindu”, “Belum Sadar
Rasa Apa”, “Aku adalah Puisi”, “Bukan Sekedar Kata”, “Bertemu”, “Halu”, “Kerinduan
Tanpa Temu”, “Yang Lelah”, “Daun Rindu”, “Pintu Hati”, “Prasasti Cinta”,
“Potret Wajahmu”, “Rindu”, “Sejumput Bayangan Seolah Nyata”, “Sekejap”, “Yang
Lelah”, “Aku dan Kamu Bukan Kita Lagi”, “Aku Kamu”, “Candu”, “Cinta atau
Malapetaka”, “Di Garis Akhir”, “Hasrat”, “Jika Aku adalah Hari ini”, “Kupinang
Puisimu”, “Kekasih Halu”, “Lingkar Tasbih Cinta”, “Musafir Rindu”, “Melepaskan”,
“Musuhku di Sampingku”, “Mencintaimu dalam Diam”, “Nafas Rindu”, “Pondok Koi”,
“Pada Suatu Hari Nanti”, “Senja Purnama”, dan “Sang Perindu”.
……
Lalu jika mencintaimu itu hanyalah/ Sebuah
kata/ Mengapa tidak ada satu kamus pun/ Yang mampu menerjemahkan kita?// (hlm. 26)
Demikian bait terakhir puisi “Cinta atau Malapetaka” karya Hamid
Setiawan, mempertanyakan cinta, sekaligus menunjukkan bahwa cinta sangat
personal dan subjektif. Pengalaman cinta antara satu orang dengan yang lain
berbeda. Di sinilah, barangkali cinta memang tak perlu didefinisikan.
Penutup
Ulasan
di atas merupakan pembacaan sederhana terhadap seluruh puisi dalam
antologi “Narasi Sehari”, yang menghadirkan waktu dan rupa-rupa—pengalaman—
manusia. Berbagai pengalaman, perasaan, pemahaman, dan
sikap manusia dalam jalinan dimensi waktu menjadi gambaran umum dari inspirasi
dan kreativitas para penyair. [*]
Identitas Buku:
Judul : Narasi Sehari (Antologi Puisi STNK)
Penulis : Trira, Awwaliyah Syamsuddin, dkk.
Pengantar : Dr. Sutardi, S.S, M.Pd
Penerbit : Pustaka Ilalang
Cet. I : Januari 2019
ISBN : 978-623-7731-06-1
Ukuran : 14,8 x 21 cm
Tebal : x + 114 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar