Laman

Kamis, 05 November 2020

WAKTU DAN RUPA-RUPA MANUSIA


Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Narasi Sehari”

Oleh A. Syauqi Sumbawi

  

Salah satu rahasia terbesar dalam kehidupan manusia adalah waktu. Dalam eksistensinya yang universal, tidak ada seorang pun manusia yang mampu mengetahui waktu. Karena manusia terbatas oleh waktu. Bahkan secara transendental-objektif, harus tunduk pada kenyataan waktu yang eksistensinya berada di luar kehendak dan kemampuan manusia.   

Di sisi lain, secara historis-subjektif, waktu dapat dipahami, dimanfaatkan dan diagendakan oleh manusia. Pada konteks ini, manusia merumuskan hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Juga menamai pagi, siang, sore, malam dan sebaganya. Dalam eksistensinya yang partikular ini, kehidupan manusia bersifat unik, di mana setiap orang memiliki pengalaman, perasaan, serta pemahaman yang berbeda satu dengan lainnya. Begitu pula dalam melihat dimensi waktu; masa lalu, masa sekarang, masa depan.

 

Membaca “Narasi Sehari”

Waktu dan rupa-rupa —peristiwa— manusia merupakan catatan kesan atas pembacaan penulis terhadap puisi-puisi yang terbukukan dalam antologi ini. Berbagai pengalaman, perasaan, pemahaman, dan sikap manusia dalam jalinan dimensi waktu menjadi gambaran umum dari inspirasi dan kreativitas para penyair. Sebagaimana juga yang tersirat dalam ungkapan puisi “Narasi Sehari” karya Trira, yang menjadi judul antologi ini.

Jedahku kemarin lesap begitu saja/ Lalu hatipun senyap dari pikir dunia/ Aku menyerah/ Alur kita terlalu rumit tak terarah/ Takkan lagi kita melarung rindu/ Karena aku sudah jauh melarungkanmu/ bersama laut dan berudu/ Takkan lagi sapaku muncul di jendela/ Karena jendelaku telah hilang kubuang bersama kata yang fana/

Berhenti dari segala janji/ Karena telah menanti dan mengerti/ Akhiri seperti ini/ Manis berpahit/ Pahit pasih, maaf aku pamit//.   (hlm. 70)

 

Puisi di atas, tidak hanya menjelaskan kegagalan yang dialami dalam proses terkait rencana dan harapan, tetapi juga menampilkan pemahaman terhadap segala entitas manusia yang fana. Pengalaman (menanti) dan pemahaman (mengerti) ini, pada gilirannya menjadi dasar sikap untuk merubah arah hidup berikutnya, yaitu …maaf aku pamit//.

Kesan lain dari puisi di atas, yakni kendati manusia diberi kesempatan untuk menyusun rencana, merancang visi, dan sebagainya, namun segala yang terjadi dalam prosesnya, berada di luar dirinya. Tak ada seorang pun manusia yang mampu berkuasa atas waktu. Bahkan, manusia harus pasrah pada “kehendak” rahasia yang hadir bersamanya.  

    

Identifikasi Waktu dan Manusia  

Pengalaman dan pemahaman mengenai hidup dan kehidupannya, tak pelak akan mengarahkan manusia pada proses identifikasi atas waktu dan diri sendiri. Beberapa puisi, yaitu Waktu, 24 Jam, Perihal Waktu, dan Tanda Baca, memproyeksikan persepsi manusia terkait waktu dan dimensinya serta kehidupan —proses— yang ternamai bersamanya. Sebagaimana diungkapkan dalam puisi berjudul “Waktu” karya Risky Maulana,  

….

Tiap detik berlalu/ Semua yang kita bicarakan hanya masa depan dan masa lalu/ Yang kita jalani hanya jadi masa lalu/ Semua hanya masa lalu dan masa depan// (hlm. 110)

 

Pengalaman hidup bersama waktu—yang transendental-objektif—, pada gilirannya mendorong manusia untuk mengenali realitas diri serta mengarahkan hidupnya. Pada bagian akhir puisi berjudul “Aku adalah Puisi” karya @ladylina..aa diungkapkan,

……

Aku../ Yang tersusun dari sebuah cinta/ Titipan Sang Pencipta/ Dan menjadi lakon skenario-Nya// (hlm. 9)

 

Sementara puisi berjudul “Wahai Aku” karya Krisna, menegaskan arah dan tujuan hidup manusia.

….

Wahai aku,/ Ingatlah kepada Sang Penciptamu/ untuk terus beribadah dan berdoa/ Kepada Sang Penciptamu//…. (hlm. 108)

 

Keterlibatan manusia bersama waktu, dalam prosesnya, menjadikan manusia akrab dengan berbagai permasalahan, harapan, ketakutan, kegagalan dan sebagainya. Hal ini ditampilkan oleh beberapa puisi berjudul, yaitu “Hari ini dan Esok”, “Aduh…”, “Berharap”, “Benih-benih Cinta”, “Terputus”, “Takdir Bukan Garis!”, Getah Hati” dan “Takdir Tuhan”. Dari semuanya, lahir pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari ketentuan-Nya, yang rahasia.

Pada bagian akhir puisi “Takdir Tuhan” karya Nerissa, diungkapkan:

….

Aku merasa kekuatan itu semakin besar/ Mendorongku secara perlahan untuk/ mulai menerima semua/ Setiap manusia memiliki garis takdir baru/ Takdir yang telah Tuhan persiapkan untukku// (hlm. 104)

 

Rupa-rupa Manusia dalam Waktu 

Ketidakmampuan manusia dalam takdir di atas, tidak dipungkiri, melahirkan kesadaran terkait keberadaan manusia sebagai makhluk religious. Dalam kaitannya, Tuhan adalah tempat bergantung manusia. Kepada-Nya, manusia tidak hanya menyembah dan berdoa, tetapi juga menjadi pusat dari seluruh proses hidupnya dalam berbagai ekspresi, serta terjalin bersama waktu.

Di antara puisi yang mengungkapkan pengalaman religious-transendental tersebut yaitu berjudul “Sajak Segumpal Darah”, “Ku kira”, “Perih yang terkandung diri”, “Rindu Sajak Ar-Rohman”, “Selaksa Makna”, dan “Setiap Cerita”. Begitu pula puisi “Altar Persembahyangan” karya Jadid Al Farisy, mengekspresikan kedekatan dengan Tuhan. Sementara dalam puisi “Lembar-lembar Kesaksikan” karya Amel Cimoetz, menegaskan bahwa kehendak-Nya adalah yang terbaik bagi setiap manusia.

……

Tuhan…/ Terimalah segala usaha/ Bila merayuku tak mampu memburu/ Bila menjauhku takkan mampu merubah/ Ku pasrah…//……

Kupilih takdir-Mu sebagai kebaikan akhirku// (hlm. 61)

 

Keberadaan manusia yang tidak bisa hidup tanpa kehadiran sesamanya, melahirkan konsep, yaitu manusia sebagai makhluk sosial. Pengetahuan dan pengalaman manusia sejak masih kecil bersama keluarga, menjalin hubungan personal yang sangat kuat, terutama di antara anak dan orang tua. Kasih sayang, rindu, rasa kehilangan, harapan terkait keberadaan anak, dan lainnya—bahkan kondisi minus—menjadi ekspresi dari beberapa puisi berikut, yaitu Bu…”, “Doaku”, “Ibu”, “Mencoba”, “Janu”, “Kekuatanku”, “Perihal Bunda”, “Rindu Ayah, “Hilang di Masa Kecilku”, dan “Hampa Berkarat”.

Terkait hal di atas, puisi “Kasa Mata” karya Ilham Munawir, menampilkan gambaran yang indah tentang  keberadaan seorang ibu.

……

Hangat peluknya mengalahkan mentari pagi/ Kasih sayang itu mengalir deras dalam jiwaku/…

……

Menyelimuti amarah dengan pintalan kesabaran/ Keanggunan bak kupu-kupu/ Meredam badai dalam jiwa ini//…… (hlm. 49)

 

Hubungan sosial manusia, terutama lingkaran pergaulan yang akrab atau pertemanan dan pola aktivitasnya, diekspresikan dalam beberapa puisi, seperti “Kawan” karya Desy Putri Ayu,  Kawan” Devi Nur Aini, dan  “Asa”.

Pengalaman menyaksikan berbagai permasalahan manusia dalam kehidupannya, baik ketimpangan sosial, sikap apatis, kebodohan, pengingkaran janji politik, karakter buruk manusia dan sebagainya, diungkapkan oleh beberapa puisi, yaitu “Ambisimu Lelahkan Aku”, “Ada Apa Denganmu”, “Bungkam”, “Bangkai Saudara”, “Janji Si Gagak”, “Klenik”, “Kelam”, “Kegelapan”, “Pertiwiku Meringkuk Haru”, “Sajak Melarat”, dan “Suara yang Terdiam”.

Pada puisi “Ambisimu Lelahkan Aku” karya Adinata Uwais, permasalahan sosial, yaitu hipokrisi (oknum) kalangan agamawan, diungkapkan sebagai berikut:

……

Kebisingan otak-otak penuh ambisi/ Keserakahan jiwa-jiwa gila akan duniawi/ Pergi…!!!/ Jangan kau buat menangis ibu pertiwi/ Jangan permainkan kata jihad untuk dirimu sendiri//…… (hlm. 5) 

Hal yang harus digarisbawahi dari munculnya puisi sosial tersebut, disebabkan realitas kehidupan manusia yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal yang disosialisasikan dan diinternalisasikan pada tiap individu masyarakat. Karena itu, kritik sosial menjadi tema yang mencuat di dalamnya. Membaca kondisi paradoks tersebut, maka tidak heran jika manusia dikatakan sebagai “makhluk yang ruwet”, sebagaimana digambarkan dalam puisi “Manusia atau Apa” karya Hamid Setiawan.

Kalau kau tak terlahir menjadi manusia/ kau ingin menjadi apa/…. (hlm. 64)

Ungkapan satiris, bahkan sarkastik untuk kalangan yang hobby protes dan mengeluh terkait keberadaan manusia, yang tidak bisa lepas dari berbagai permasalahan hidup. Daripada terus mengeluh, maka perlu bergerak dalam upaya restorasi sosial, atau mengalihkannya pada kegiatan positif, seperti diungkapkan dalam puisi “Buku” dan “Karyamu Takkan Sia-sia”, yaitu kegiatan literasi atau lainnya.

keringatmu tak jadi rupiah/ idemu takkan jadi bangunan besar/ tulisanmu mungkin tak dimuat pada surat kabar/ namun yakinlah karyamu tak kan sia-sia//…… (hlm. 53)

Demikian puisi “Karyamu Takkan Sia-sia” karya Sofwan Toyib menegaskan bahwa setiap karya kreatif—puisi dan sebagainya—mempunyai nilai tersendiri, baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.

Pengalaman membaca kehidupan manusia, secara jernih dikemukakan oleh puisi-puisi berikut, yaitu “Wanita Tangguh”, “Wanita Bertubuh Puisi”, “Laki-laki Pertama”, “Petani”, dan “Santri”. Poin utama dari puisi-puisi ini adalah hadirnya karakter kepribadian yang positif, yang secara tidak langsung dapat menarik rasa simpati serta menjadi motivasi dan inspirasi dalam kehidupan masyarakat, seperti diungkapkan dalam puisi berjudul “Pewarta” karya Amel Cimoetz.

….

Kabarkan peristiwa tanpa lelah/ Mendedikasikan diri hingga dini terlihat kembali/ Olehmu dari lelah yang terdeskripsi// (hlm. 75)

 

Hal ini juga berlaku pada keberadaan tokoh-tokoh penting dalam sejarah, seperti  puisi “Surat Untuk Baginda”, yang menggambarkan Nabi Muhammad  dan puisi “Karna” yang menampilkan tokoh cerita dalam Mahabharata. Dalam bentuk yang lain, puisi “Sajak Perempuan” yang menggambarkan sosok perempuan, agar dipahami, terutama oleh laki-laki.

Berbagai moment dalam waktu, seperti hujan, kemarau, pagi, malam, hadirnya pelangi, angin dan sebagainya, menjadi sesuatu yang sangat personal terkait pengalaman, pemahaman, dan perasaan manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh aspek batin manusia yang ikut terlibat di dalamnya, sebagaimana digambarkan beberapa puisi, yaitu “Arti Hujan”, “Hujan”, “Angin Rindu”, “Hangat”, “Hujan”, “Kemarau Merindu” “Nafas kata”, serta “Mimpi dan Harapan”. Juga bunga dan pekarangan, seperti dalam puisi “Seikat Anggrek Ungu Kesukaanku” karya Jadid Al Farisy, sebagai berikut:

Seikat anggrek ungu/ Kutanam di pekarangan rumahku/ Karena setiap melihatnya/ Senyummu selalu haru/… (hlm. 92)

 

Ekspresi terbesar dari antologi “Narasi Sehari” yaitu keberadaan puisi bertema cinta. Pengalaman terkait hubungan lawan jenis menjadikan manusia memaknai cinta, serta semua yang terkandung di dalamnya, seperti lahirnya benih-benih cinta, kenangan bersama sang kekasih, kerinduan, persoalan terkait hubungan laki-laki dan perempuan, cinta dan doa, kegagalan cinta dan sebagainya. Hal ini diungkapkan oleh puisi-puisi berikut yaitu “Burung dan Rindu”, “Belum Sadar Rasa Apa”, “Aku adalah Puisi”, “Bukan Sekedar Kata”, “Bertemu”, “Halu”, “Kerinduan Tanpa Temu”, “Yang Lelah”, “Daun Rindu”, “Pintu Hati”, “Prasasti Cinta”, “Potret Wajahmu”, “Rindu”, “Sejumput Bayangan Seolah Nyata”, “Sekejap”, “Yang Lelah”, “Aku dan Kamu Bukan Kita Lagi”, “Aku Kamu”, “Candu”, “Cinta atau Malapetaka”, “Di Garis Akhir”, “Hasrat”, “Jika Aku adalah Hari ini”, “Kupinang Puisimu”, “Kekasih Halu”, “Lingkar Tasbih Cinta”, “Musafir Rindu”, “Melepaskan”, “Musuhku di Sampingku”, “Mencintaimu dalam Diam”, “Nafas Rindu”, “Pondok Koi”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Senja Purnama”, dan  “Sang Perindu”. 

……

Lalu jika mencintaimu itu hanyalah/ Sebuah kata/ Mengapa tidak ada satu kamus pun/ Yang mampu menerjemahkan kita?// (hlm. 26)

 

Demikian bait terakhir puisi “Cinta atau Malapetaka” karya Hamid Setiawan, mempertanyakan cinta, sekaligus menunjukkan bahwa cinta sangat personal dan subjektif. Pengalaman cinta antara satu orang dengan yang lain berbeda. Di sinilah, barangkali cinta memang tak perlu didefinisikan.

 

Penutup

Ulasan di atas merupakan pembacaan sederhana terhadap seluruh puisi dalam antologi “Narasi Sehari”, yang menghadirkan waktu dan rupa-rupa—pengalaman— manusia. Berbagai pengalaman, perasaan, pemahaman, dan sikap manusia dalam jalinan dimensi waktu menjadi gambaran umum dari inspirasi dan kreativitas para penyair. [*]

 


Identitas Buku:

Judul          : Narasi Sehari (Antologi Puisi STNK)

Penulis       : Trira, Awwaliyah Syamsuddin, dkk.

Pengantar  : Dr. Sutardi, S.S, M.Pd

Penerbit     : Pustaka Ilalang

Cet. I         : Januari 2019

ISBN          : 978-623-7731-06-1

Ukuran      : 14,8 x 21 cm

Tebal         : x + 114 hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar