Laman

Kamis, 05 November 2020

MEMBACA SANTRI DALAM ALIF LAM


Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

Konstelasi sastra (puisi) Indonesia kontemporer menunjukkan satu fenomena penting, yakni eksistensi penyair santri dan karya-karya puisinya. Kendati bukan hal baru, namun hal tersebut sangat menggembirakan, terutama potensinya sebagai arus besar dalam perkembangan puisi Indonesia berikutnya. 

Istilah santri, ditengarai berasal dari kata “shastri” yang berarti ahli kitab agama (Hindu) dan “cantrik” yang memiliki arti seseorang yang setia mengikuti gurunya. Dari sini, dapat dikatakan bahwa istilah santri mengarah pada identitas kultural yang khas, yakni identitas berkesadaran yang dibangun dari-dengan akhlakul karimah, dimana dalam prosesnya tidak bisa dipisahkan dari perpaduan antara kitab—teks ajaran agama— dan peran kyai/ ulama, baik sebagai pembimbing maupun teladan.

Pertautannya dengan pesantren mengidentifikasi santri sebagai kalangan yang terlibat dalam sosialisasi dan institusionalisasi ajaran-ajaran Islam yang khas, yaitu sub-kultur pesantren. Begitu pula peran dan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, yang tidak bisa dipisahkan dari jaringan keilmuan, laku, dan spiritual para kyai sebagai pusat dari sub-kultur tersebut.

Menilik shastri sebagai referensi istilah, tidak bisa dipungkiri bahwa santri merupakan kalangan yang (paling) dekat dengan sastra. Keberadaan al-Qur’an dan hadist yang bernilai sastrawi tinggi, konstruksi bacaan shalawat, diba’iyah, nadhom-nadzom, manaqib, pujen, dan sebagainya yang liris dan puitis, serta kitab kuning (terutama akhlaq) yang sarat dengan syair, mengkonfirmasi hal tersebut. Karena itu, bersastra atau berpuisi bagi santri adalah bagian dari “khittah” budayanya.  

 

Santri dan Puisi

Istilah “puisi” memang lahir dalam budaya modern, sebagai akibat dari difusi kebudayaan Barat di Dunia Timur yang berlangsung deras terutama pada paruh pertama abad ke-20—masa terakhir kolonialisme Barat—. Akan tetapi secara historis, wilayah puitika tidak pernah sepi dari aktivasi umat Islam dan para ulama. Pada masa klasik, sahabat Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai tokoh yang mempopulerkan syair-syair didaktis. Kemudian Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Fariduddin Attar, al-Hallaj, Abu Nuwas, Ibn Arabi, merupakan ulama (sufi) yang tidak bisa diabaikan perannya.

Pada masa berikutnya di Nusantara, nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, di wilayah pulau Sumatera—khususnya kerajaan Aceh—, serta Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan lain-lain di pulau Jawa dengan khazanah kesusastraan seperti suluk, serat, dan kidung, menegaskan bahwa sastra (puisi) menjadi bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam intensifikasi nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan umat Islam.

Sementara pada paruh kedua abad ke-20, muncul A. Mustofa Bisri, Ehma Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Kuswaedy Syafi’i dan lain-lain, merupakan pionir-pionir santri (kyai) dalam memperkaya khazanah puisi Indonesia modern, terutama dengan munculnya wacana baru yang disebut puisi religius dan puisi profetik. Hal yang perlu digarisbawahi dari sekian banyak karya sastra atau puisi yang dihasilkan oleh para sastrawan (santri) di atas, yaitu adanya titik kesamaan dengan spirit yang dibangun oleh al-Qur’an.

Pelibatan diri dalam historisitas kemanusiaan merupakan semangat yang diusung dalam sastra Islam. Semangat pelibatan diri inilah yang memotivasi Imam Syafi’i untuk menulis syair didaktis. Jalaluddin Rumi yang mengingatkan bahwa pembangunan politik dan ekonomi harus selaras dengan tujuan religius. Hamzah Fansuri mengecam kezaliman yang dipraktikkan oleh kalangan penguasa dan orang-orang kaya. Begitu juga KH. A. Mustofa Bisri yang terkenal dengan “puisi balsem" sebagai wujud keterlibatan terhadap berbagai permasalahan sosial di masyarakat.

Kehadiran santri dalam puisi memperlihatkan arus besar dalam perkembangan sastra Indonesia kontemporer. Selain menguatnya wacana sastra pesantren, hal tersebut juga dapat dibaca dari karakteristik unsur-unsur estetik dalam karya-karya puisi dewasa ini. Hal inilah yang terbaca dari hadirnya antologi serba puisi “Alif Lam”. Pengalaman lima (5) penyair, yaitu Mahrus Ali, Mawardi, Retno Rengganis, Zehan Zareez, dan Mufidatul Munawwaroh, dengan identitas kulturalnya sebagai santri diungkapkan serta menjadi ekspresi utama di dalamnya.

 

Santri dalam Alif Lam

Menjadi santri, bukan perkara sederhana. Karena ke-santri-an bukan sekedar simbol dan tradisi lahiriyah, tetapi lebih mengarah pada jatidiri berkesadaran yang dibangun dari-dengan akhlakul karimah, baik kepada Tuhan, manusia, maupun lingkungan. Begitu pula adagium santri, yaitu sik gak ngaji ya ngopi.

Ngaji bukan sekedar belajar menuntut ilmu kepada kyai, tetapi lebih menunjuk pada proses mengamalkan dan membuahkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Sementara ngopi, adalah laku kultural untuk menjalin silaturrahmi serta proses solutif terkait permasalahan dan tantangan zaman, terutama dalam ngopeni—merawat dan membina—masyarakat secara bijak. Persoalan di atas merupakan ekspresi umum yang terbaca dari antologi ini.

Baru/ Bahagia bisa diperbaharui/ Hampir Januari/ Adakah kamu di bulan itu?/ Seperti mekarnya cinta Desember/ Pada ujung tahun/ Ada kekasih Allah di bulan ini/ Abdurrahman Ad Dhakhil/ "yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan"//

 Khoirunnas anfa'uhum linnas/ Menuju kebahagiaan lahir batin/ Kuasai diri dari batil/ Korbankan nafsu demi kemerdekaan diri//

Baru/ Kibarkan pusaka dzikir/ Menuju arsy/ Menuju dzat/ Melalui pori-pori/ Mencumbui Maha Kasih/ Allah Allah Allah//

Hampir Januari/

La Ilaha Illa anta subhanaka inni kuntu minaddholimin// (hlm. 1)

 

Demikian ungkapan puisi “Alif Lam” karya Mahrus Ali, yang juga menjadi judul antologi ini. Bersama kenangan wafatnya Gus Dur dan momentum tahun baru, Mahrus Ali seperti mengingatkan kita agar meneladani beliau dengan berjuang untuk kemanusiaan. Bersama hari yang baru, terdapat motivasi untuk bertambah baik dan lebih bermanfaat, dimana harus dipadukan dengan peningkatan spiritualitas. Di sini, barangkali perlu dihadirkan sebuah teori, bahwa semakin tinggi tingkat spiritualitas manusia, maka nilai kebermanfaatannya semakin besar pula dalam kehidupan.

Pada sebagian besar puisi-puisinya, Mahrus Ali lebih banyak mengungkapkan pengalaman dan permasalahannya, terutama berkaitan dengan proses pengejawantahan nilai-nilai ke-santri-an dalam kehidupan. Dari keseluruhannya, proses tersebut muncul seperti ruang belajar—ngaji laku—, yang berpusat pada nilai-nilai dan ajaran untuk menjadi santri yang paripurna. Sebagaimana diungkapkan pada puisi “Gus Sulung dan Secangkir Kopi”, berikut:  

"Ulama warasatul anbiya”/ Patuh dan tawadu'/ Pada kiyai bagian penting dari mencintai akhlak Nabi/ Cium tangan wolak walik juga boleh/ Pasang badan/ Berdiri di belakang/ Menunduk saat di hadapannya/ Sangat dianjurkan/ Jangan berlebihan/ Agar kopi tetap mewarnai segala kebutuhan/ Jangan berlebihan/ Hingga lupa cara nyeruput secangkir kopi berdua/ Jangan berlebihan/ Bahwa Manusia makhluk dua kaki/ Ingatlah awal mula bunga bermekaran/ Tak bakal wangi sebelum kuncupnya merindui angin/ Bahkan sewangi melati/ Kadang menjadi bau busuk jika di sekitar bangkai tikus/ bergelimpangan/  Ingatlah kopi/ Saat kita memulai kisah menanam padi/ Menyiapkan bibit/ Meracik obat anti wereng/ Saat tiba panen/ Kau bahkan lupa meneguk kopimu sendiri/ Jangan takabbur/ Bahwa "Manusia mahluk dua kaki"// (hlm. 5)

 

Puisi di atas menampilkan nilai-nilai yang merepresentasikan keberadaan santri dalam kehidupannya, yaitu pertama, tawadlu’ dan patuh kepada kyai. Hal ini ditengarai oleh kesadaran bahwa kyai atau ulama adalah pewaris Nabi. Dari keseluruhannya, prinsip tawasuth dan tawazun menjadi penekanan Mahrus Ali mengenai pola hubungan santri kyai. Jangan berlebihan…. demikian ungkapnya. Kedua, keshalihan individual dan keshalihan sosial, dimana kerjasama dan saling berbagi menjadi poin penting, terutama dalam menjalankan perannya di masyarakat, sebagaimana ditunjukkan pada istilah ngaji dan ngopi di atas.  

Identitas santri dan tradisi pesantren menjadi concern Mawardi dalam puisi-puisinya. Hal yang harus digarisbawahi, bahwa identitas santri tidak bisa dipisahkan dari kyai. Posisi sentral seorang kyai tidak hanya dalam kegiatan mengaji, shalat berjama’ah, dan aktivitas dunia pesantren lainnya, tetapi juga memberikan gambaran konkrit dari nilai-nilai ideal baik agama maupun budaya serta intensitas interaksi dalam keseharian pesantren, pada gilirannya melahirkan ikatan kuat secara psikologis dan kultural, antara santri dan kyai. Pada titik ini, ungkapan “santri nderek kyai” memberikan pemahaman bahwa segala sesuatu yang disandarkan pada kyai merupakan representasi dari harapan seorang santri mengenai hidupnya. Keterkaitan antara santri dan kyai juga digambarkan melintasi ruang dan waktu, dimana seorang santri mengidentifikasi dirinya dalam jaringan keilmuan, lelaku, dan spiritualitas para kyai yang telah wafat.

Pada puisi “Rindu Kyai Sepuh”, Mawardi mengungkapkan realitas kehidupan masyarakat kulturalnya—kalangan nahdliyin—yang mengalami pergeseran, dalam arti, mulai menjauh dari pola hidup dan keteladanan para kyai. Pada gilirannya, kondisi ini menghadirkan kerinduan tersendiri kepada sosok panutan dalam tersebut, sebagaimana diungkapkan berikut ini:  

Seperti anak-anak rindu ibu bapaknya/ Ada gemuruh di hati/ Sebab jarak tak pasti/ Aku semakin dekat pada pertemuan terlipat/ Merindukan pejuang saban hari/ Memutar otak meski hanya sepintas/ Terlihat senyumnya kadang-kadang sinis/ Tiba-tiba tersenyum meringis/ Kemudian sunging manis//

Dimanakah kau sekarang kiai-kiai sepuh/ KH. Hasyim Asy’ari/ KH. Bisri Samsuri/ KH. Nawawi/ KH. Abdul Hamid Faqih/ KH. Maksum/ Mbah Syaikhona Kholil Bangkalan// Bangkit dan bangunlah kembali/ Lihat umat saling hujat/ Sesama saudara sesama agama/

Sama-sama menganggap benar sendiri-sendiri/ Dadaku kini terus bergemuruh menahan sesak menjahit pilu// 

Mereka benar-benar menjadi kanak-kanak/ Yang selalu ingin disanjung setiap saat//

Bangun dan bangkitlah sejenak kiai-kiai sepuh/ Tuntunlah seperti anak-anak/ 

Berjumpa pada kebenaran yang hakiki// (hlm. 57)

Dalam puisi-puisinya, Zehan Zareez lebih menghadirkan otokritik terhadap kalangannya, yakni pesantren dan NU. Dalam puisi “Kepada yang Terhormat; Gus-Gus”, Zareez mengingatkan para gus, yang merupakan elite santri untuk kembali pada khittah-nya yaitu ngaji dan ngopeni masyarakat secara bijak, sebagaimana berikut:

Gus,/ Kapal ini sudah hampir pecah/ Ombaknya bahaya/ Tidak bisa dikira-kira/ Sudut-sudutnya bocor/ Besinya karat/ Sampean kok malah sibuk nytater mobilnya bapak?//

Gus,/ Masyarakat ini sudah mulai lupa dermaganya/ Mereka jarang yang bisa berenang/ Badai semakin galak, gus/ Sampean kapan kesininya?/ Jangan lupa bawa air/ Satu botol saja/ Biar nanti dibagi sendiri//

Gus,/ Pelacur-pelacur itu juga terlihat mulai bosan begadang/ Para pemabuk itu juga sudah kenyang/ Penjudi-penjudi itu juga sudah paham tak akan kaya meski pin menang/Mahasiswa-mahasiswa bingung mencari tongkat, gus/ Penganggur-penganggur itu malah hampir bunuh diri// 

Apa sampean ndak kasihan?/  Pemuda-pemuda rusuh berdesakan membawa bendera/ Berteriak-teriak sampai habis suaranya//

 Jasnya penuh keringat/ Wajahnya kusam tersengat/ Pulang-pulang subuhnya ketinggalan// 

Sebenarnya mereka hanya tak mengerti, gus//

Bayi politikus juga semakin banyak/ Garis-garis yang tidak ramah itu menyebar/ Kebobrokan sudah menular/ Mereka butuh obat, gus//

Mau pergi ke kiai, mereka sungkan/ Mereka tidak paham bahasa langit//

Mau pergi ke dukun, masih takut sirik/ Belum lagi disuruh puasa dan membaca rajah-rajah/ Tentu gagap, gus// 

Mereka hanya tak punya kawan bercerita/ Sampean dimana?// (hlm. 114-115)

 

Di samping puisi “Kepada yang Terhormat; Gus-Gus”, Zareez juga menghadirkan dua puisi, yaitu “Kepada yang Terhormat; Bapak Kyai” dan “Kepada yang Terhormat; Masyarakat” yang merupakan komplemen dari otokritik atas kehidupan masyarakat kulturalnya.

Pada puisi “Kepada yang Terhormat; Bapak Kyai” diungkapkan sebagai berikut:

Masih adakah yang tersisa dari udara, kiai/ Selain kejanggalan hidup yang diderita warga kelas bayi?/ Sampah-sampah dilebur dalam tempat sampah/ Sedangkan mutiara tak punya singgasana menerbangkan jiwa/ Semuanya merayakan derita/ Tanpa rekayasa//

Hidup tumpang tindih/ Hilang asih//

Menangis, meratapi pedih/ Tanpa kasih//

Bukankah zuhud itu ciri, kiai?/ Tak nampak namun pedang/ Sembunyi tapi terang/ Samar, tapi tonggak gemilang//

Bukankah wira’i itu tanda, kiai?/ Baiat utama yang khas/ Kunci pertama dan harus jelas/ Berhati-hati nun sarat akan tegas//

Dua itu bukannya cukup, kiai?/ Sahaja jauh dari mewah/ Wibawa musuh euforia// (hlm. 116)

 

Sementara pada puisi “Kepada yang Terhormat; Masyarakat”, yaitu:

 

Wahai,/ Sabarlah/ Akan ada yang indah sebelum semuanya benar-benar jumpa/ Percayalah.../ Ini sedang tidak ada yang bersalah/ Hanya saja/ Kita sedang dalam abad dilemma// 

Wahai,/ Tenang-tenanglah sebentar/ Jangan terburu-buru bertengkar/ Lanjutkan merajut hayal/ Hingga nanti/ Hingga benar benar-benar benar//

Kita memang sudah lama begini/ Berdiri di atas keluhan/ Dipaksa tegar berpura-pura baik-baik saja/ Padahal terluka/ Padahal berduka//

Kita sudah hapal alur laju hidup/ Tentang gejolak pasti akan redup/ Tentang tangis yang pasang surut/ Tentang nafas pasti bertemu ujung maut//

Kita hanya dipersilahkan menunggu/ Seluruh baju kembali pada tugasnya Kita hanya bisa menanti/ Seluruh wajah kembali pada posisi//

Kepada Yang Terhormat; Masyarakat/ Pastikan;/ Selalu ada yang selamat ketika semua sedang semburat// (hlm. 117-118)

 

Dalam puisi-puisi yang lain, Zareez hendak mengingatkan bahwa eksistensi segala sesuatu itu terletak pada kesadaran dan konkritisasi peran. Bukan sekedar sebutan, simbol, maupun jargon, tetapi harus menyentuh langsung kepada masyarakat. Bagi Zareez, simbolisasi dan jargonisasi dikhawatirkan akan menjurus pada fanatisme, yang tentu saja akan kontra-produktif dalam pengembangan manhaj aswaja nahdliyah yang berprinsip pada tawasuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul.

Berbeda dengan tiga penyair di atas, Retno Rengganis dan Muveeda lebih menghadirkan nilai-nilai religius secara universal dibandingkan nilai-nilai kultural santri. Baik puisi bertema cinta dan sebagainya, yang diarahkan pada proses menjadi pribadi seorang muslim yang ideal.

Di antara puisi-puisi karya keduanya, puisi “Malam Bertasbih” karya Muveeda dan puisi “PRY” Retno Rengganis, memiliki kemiripan tematik, suasana, perasaan, dan muatan pesan yang cukup menarik untuk diungkapkan di sini.

Pada puisi, “Malam Bertasbih”, Muveeda mengekspresikannya sebagai berikut:

 

Dalam perjamuan malam/ Denting jam berbunyi penuh irama/ Mempesona kalbuku untuk segera bangkit dari tidur yang pulas/

Bersama gema/ Membuat yang mati cemburu akan eulogi/ Karena hidup/ Kuat jiwa raga/ Kudekap sepertiga malam dengan sujud/  

Dalam buaian tahajjud/ Begitu juga tasbih dan witir / Deraian air mata mengucur deras/ Bersimpuh karena laknat jahat mengikat kemarin/ Taubat dalam malam bertasbih// (hlm. 158)

 

Sementara puisi “PRY” karya Retno Rengganis diungkapkan:

 

Keinginan di seperempat malam/ Menekan dada dalam khusyuk/

Menghiba mengemis pintar dalam hina//

Ruku' sujud hanya kepada-Mu di jalan sebenar-benarnya/ Karena Engkau zat yang Maha Rahman dan Rahim//

Pengajaran ilmu dari Rasulullah/ Perlindungan tali Alloh/

Cara membuka pintu taubat// 

Bersujud di penghujung malam/ Hati khusyuk/ Berdzikir dengan air mata mengalir/ Kelak bening menjadi pelita hening//

Kepada-Mu bermohon mengadu/ Lemah sedikitnya hela dan hinanya diri/ Tiada daya upaya kecuali pertolongan Alloh//

Setiap yang bernyawa pasti akan mati/ Menitis air mata keharuan/ Tiada menjadi impian/ Yang terbias pada ketulusan sekeping hati//

Ya Alloh..../ Sesungguhnya Engkau memiliki Kurnia Maha Agung/ Sedingin embun bergulir Engkau Maha Tahu/ Tempatkan kelak di kediaman akhir abadi/ Yang dinaungi kemuliaan-Mu// (hlm. 81)

 

Dua puisi di atas menampilkan keberadaan manusia sebagai makhluk religius, dimana pemahaman terhadap Dzat yang menguasai hidup, mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mengakui kesalahan dan dosa, bersimpuh mohon ampun, mengutarakan harapan dan doa, dimana keseluruhannya menegaskan keberadaan manusia yang kerdil dan tak berdaya. Di hadapan-Nya. [*]

 


Identitas Buku:

Judul       : Alif Lam (Antologi Puisi)

Penulis    : Mahrus Ali, Mawardi Tamam, Retno Rengganis, 

                    Zehan Zareez, dan Muveeda

Penerbit   : Pustaka Ilalang

Cet. I      : Oktober 2019

ISBN       : 978-602-6715-07-4

Ukuran    : 14 x 20 cm

Tebal      : viii + 171 hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar