Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Pengembaraan Burung”
Oleh A. Syauqi Sumbawi
KEHIDUPAN DUNIA adalah “kawah penyadaran”,
dimana manusia berhadapan dengan realitas yang menuntutnya untuk memahami
keberadaan dirinya secara luas. Tidak hanya di dunia, pemahaman itu pun
melintasi berbagai alam, baik alam arwah maupun alam barzah dan akhirat—serta
hal-hal eskatologis lainnya—. Dari keseluruhannya, “proses bersama waktu”
merupa-kan keniscayaan. Karena itu, manusia tidak cukup diibaratkan laiknya
“kertas putih” yang kosong, melainkan berisi potensi kemanusiaan—fithrah--, baik jasmani, rasional,
maupun spiritual, yang tidak lain merupakan “bekal” manusia untuk memahami
hidup dan kehi-dupannya di dunia.
Lantas, siapakah manusia itu?! Tentunya,
tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini disebabkan permasalahan
kemanusiaan merupakan hal yang kompleks. Tidak hanya mengenai diri sendiri,
kompleksitas tersebut juga lahir dari keterkaitannya dengan sesama, lingkungan,
serta keberadaan dzat yang dikenal sebagai Tuhan. Begitu juga keberadaan dan
hidupnya yang menjadi kauniyah. Oleh
karena itu, “membaca”—sebagaimana wahyu pertama yang ditu-runkan kepada Nabi
Saw—merupakan syarat mutlak, sekaligus diperintahkan bagi manusia.
Membaca
“Pengembaraan Burung”: Keterlibatan
Manusia dalam Kauniyah dan Humanisme
Kauniyah dan
humanisme, menjadi hal penting untuk dikemukakan terkait keberadaan manusia di
dunia, sekaligus menjadi catatan kesan penulis atas puisi-puisi yang terkumpul
dalam antologi puisi “Pengembaraan Burung.” Di sini, keterlibatan manusia
dengan kauniyah—yang notabene adalah medan inspi-rasi
universal—, menjelma sebagai “moment puitika”. Kemudian dengan “potensi
puitika”-nya, manusia menjadikannya sebagai “medan makna” yang indah; bermakna
bagi kemanusiaan. Dengan concern yang
beragam dari 26 penyair yang hadir, antologi ini tidak lain merupakan hasil
dari “pembacaan” manusia terhadap dirinya sendiri dalam seluruh dimensi
kehidupannya, sekaligus memproyeksikan humanisme-nya secara universal.
Untuk pembahasan lebih jauh mengenai huma-nisme dalam konteks
“Pengembaraan Burung” yang bera-gam tersebut, maka perlu bagi penulis berangkat
dari konsep-konsep al-Qur’an terkait keberadaan manusia. Di sini, al-Qur’an
menyebut manusia dalam beberapa terminologi, yaitu abd Allah, al-basyr, al-insan,
al-naas, bani Adam, al-ins, dan khalifah fi al-ardl.
Dari beberapa terminologi tersebut, yang kemudian dikombi-nasikan dengan
perspektif filosofis-antropologis, se-tidaknya didapatkan sebuah kerangka
pemahaman atas keberadaan manusia dalam kehidupannya secara luas, yaitu sebagai
pribadi atau persona, sebagai hamba Tuhan atau makhluk religious, sebagai
makhluk sosial, dan sebagai makhluk lingkungan.
Pengembaraan
Burung dan Manusia sebagai Persona: Proses
Bersama Waktu dan Eksistensi Manusia
Ekspresi manusia sebagai pribadi
atau persona menjadi bagian terbesar dari puisi-puisi yang terdapat dalam
antologi ini. Selain membuktikan antusiasme manusia terhadap diri sendiri, hal
ini menguatkan stigma terkait salah satu keunikan manusia, yakni upayanya dalam
memahami eksistensinya di dunia. Pada titik ini, tampak bahwa “menjadi manusia”
bukan perkara sederhana. Proses kemanusiaan bukan proses yang instans,
melainkan proses yang menunjuk pada pengembaraan menuju kesadaran, serta melibatkan
se-luruh potensi dan segala keterkaitan yang menyertainya.
Dari keseluruhannya, proses
bersama waktu menjadi keberadaan penting yang melingkupinya, baik dalam
kesadaran maupun ketidaksadarannya. Waktu yang mendesak tanpa ragu dengan
kandungan segala musimnya, dimana pada gilirannya melahirkan kenang-an,
kenyataan, dan harapan.
Burung-burung pesiar/ melepas
bulu-bulu atas musim/ dalam tatapan duka atau suka/ menimbuni bumi di sisa
kicaunya//
...
Hingga bumi tak bernama// (hlm. 53)
Demikian puisi “Pengembaraan Burung” karya Herry
Lamongan, sekaligus menjadi judul antologi ini. Kemu-dian ditutup dengan
ungkapan, … Hingga bumi tak bernama//,
yang mengisyaratkan akhir pengembaraan di dunia. Dalam posisinya sebagai kauniyah, proses ini juga menjadi
sesuatu yang harus dipahami manusia dalam hidupnya.
Melalui pembacaan sederhana,
proses bersama waktu di atas dapat kita temukan dalam puisi karya Herry
Lamongan—“Kabut di Ubun Usia”—, 2
puisi karya Anis Ceha—“Perjalanan Waktu” dan “Metamorfosa”—, 2 puisi karya Bambang
Kempling—“Hampir Pagi” dan “Tak Ada”—, serta 2 puisi Luqman
Almishr—“Rayu Embun” dan “Muara Waktu”—.
Pada
puisi berjudul “Tak Ada” karya
Bambang Kempling, diungkapkan bahwa proses bersama waktu merupakan sebuah
keniscayaan, dimana manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Juga
segala konsekuensinya.
Tak ada
yang perlu dihentikan/ saat kita selesai menebak waktu/ yang telah membunuh
kita/ yang sedang terbaring/
di atas
rumput yang tak berbunga/ dan jika esok harus pergi;/ pada pekuburan mana kita
harus mati?//
Tak ada
yang perlu dihentikan!// (hlm. 31)
Sementara
dalam puisi “Perjalanan Waktu” karya
Anis Ceha, dijelaskan bahwa menjadi tua dan mati adalah keniscayaan hidup
manusia. Keberadaan tujuan dan harapan, tidak hanya menggerakkan proses ber-sama
waktu; untuk pencapaian cita-cita, meningkatkan kualitas diri, dan sebagainya
secara terus-menerus, tetapi juga memberikan makna dalam hidupnya.
aku pun
akan tua nantinya/ menguning/ membumi kemudian/ bagaimana dengan harapan//
tak
kubiar ia gugur/ meski lamat tak bertanda/ sebelum benar-benar tiba waktu/
panen/ aku pun melaju menghela//
sekuat
nafas tersisa/ meski lembar-lembar daunku/ serupa warna kulit pisang//
aku
menapaki/ perjalanan waktuku/ pada bias bianglala// (hlm. 28)
Kemudian dalam proses bersama
waktu itulah, dualitas hidup menjadi keniscayaan yang berkelindan mengiringi
historisitas manusia, baik idealitas-realitas, suka-duka, serta berbagai
manifestasinya yang lain. Begitu juga dengan harapan dan cita-cita, kegagalan
dan penyesalan. Hal ini tampak pada beberapa puisi, seperti karya Anis Ceha—“Kidung”—, puisi karya Pringgo Hr—“Sore Tadi”—, 2
puisi karya Imamuddin
SA—“Menggulung Senja” dan “Di Stadion”—, puisi karya Nuruddin
Zanky—“Sepasang Tetes Hujan”—, puisi karya Dhilla
Lembayung Senja—“Kenangan Daun Pisang”—, dan
puisi karya Iis RA—“Aku Ingin”—.
menggulung
senja di warung tua/ berteman secangkir kopi/ dalam kepungan hujan//
sederet
batu nisan/ menjadi saksi persinggahan/ yang bercerita tentang aroma rasa/
pahit/ manis/ dalam hangat/ dalam tabir dingin jalan//
“sebentar
lagi malam tiba, katanya!”//
dan
pahit yang mengental tak pernah dusta/ memberi perjamuan malam/ dengan mata
terjaga/ seperti hatiku yang akan terjaga/ dalam luka/ mengingatnya!// (hlm. 63)
Demikian
narasi pahit manis kehidupan manusia diungkapkan dalam puisi “Menggulung Senja” karya Imamuddin SA.
Hal yang perlu digarisbawahi, bahwa kegagalan dan keberhasilan merupakan
persinggahan dalam proses menjadi manusia. Kenangan tentang keduanya tidak
pernah pudar dalam ingatan, sebagai-mana diungkapkan pada baris terakhir puisi “Kenangan Daun Pisang” karya Dhilla
Lembayung Senja.
……
semua berlalu menjadi lukisan kalbu di setiap
denting waktu// (hlm. 47)
Menyadari kehidupan bukan proses yang sederhana,
melainkan berat dan melelahkan, terutama disebabkan oleh “kekalahan hidup”,
maka wajar jika pada titik terendah, manusia pun dihantui oleh keputusasaan,
sebagaimana tergambar pada 2 puisi karya Bambang Kempling—“Pada Sebuah Pementasan” dan “Dalam Hujan”—, 2 puisi karya Pringgo Hr—“Luka Senja” dan “Sajak Belum Selesai”—, dan puisi karya Luqman Almishr—“Perkabungan”—.
Puisi
berjudul “Sajak Belum Selesai” karya
Pringgo Hr menggambarkan kondisi dalam keputusasaan, sebagai berikut:
raut
wajah itu telah lunglai ditusuk waktu/ tinggal darah ngalirkan sejarah ke
sungai tepi/ tiada yang harus dibaca dari guratgurat luka/ puluhan tahun hanya
ninggalkan nanah/
rintih//
(hlm.
80)
Sementara
pada puisi “Perkabungan” karya Luqman
Almishr diungkapkan, bahwa seseorang tak perlu larut dalam kesedihan dan
penyesalan yang berlarut-larut hanya disebabkan oleh kematian sosok yang sangat
penting dalam hidupnya. Sebagaimana hidup, mati adalah keniscayaan, juga proses
berikutnya dari perja-lanan manusia.
tak
perlu kau tenggelam/ dalam tangis bulan//
tak
usah kau mengirim sesal/ ke palung hatimu//
ia
telah menjelma//
serupa
senja yang mencerai siang/ atau hujan yang menghapus kemarau//
biarkan
ia terbaring dalam gelap/ karena ia telah melangkah dengan doa/ tertawa bersama
sepi// (hlm.
68)
Satu
hal yang digarisbawahi bahwa hidup manusia adalah proses yang harus tiba pada
waktunya. Kesan ini dapat kita lihat pada puisi karya Pringgo Hr—“Stasiun Batu”—, puisi karya Ahmad Shodiq—“Bangun”—, dan puisi karya Nuruddin
Zanky—“Lorong Paling Sunyi”—. Hal tersebut
juga diungkapkan puisi “Memandang Langit
Lepas” karya Herry Lamongan, sebagai berikut:
Ia berkemas. Memandang langit lepas/ sebelum
gerimis/ Keluhkesah itu runtuh lewat bibir/ ke trotoar yang nyaris senja//….
(hlm. 56)
Berbagai pengalaman yang hadir dari proses
bersama waktu di atas, pada gilirannya melahirkan ruang-ruang reflektif bagi
manusia untuk memandang hidup dan kehidupannya. Manusia memahami, menilai,
mengambil hikmah dan memberi makna atas keberadaannya di dunia. Pada konteks
ini, tidak keliru dikatakan bahwa manusia adalah “pembelajar sejati” dari
seluruh peristiwa yang hadir bersama waktu—kauniyah—.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa puisi, antara lain puisi karya Iis RA—“Berguru pada Matahari”, 3 puisi karya Tulus Setiyadi—“Kebijaksanaan”, “Kesadaran Diri”, dan “Pengendalian Diri”—, puisi karya Benningdot—“Sesal”—,
puisi karya Abdi Rahmansyah—“Berhias”—,
puisi karya Benny Nasrullah—“Kunang-kunang di Batu Nisan”—, puisi
karya Suharsono A.Q—Tusuk Jarum—, puisi karya
Imamuddin SA—“Ajari Aku
Melukis”—, dan puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Cerita Pendek tentang Membaca Cakrawala Pada
suatu Adegan Pementasan”—.
Narasi
di atas juga diungkapkan puisi “Notasi Hidup yang Meredup” karya Zuhdi Swt. Pada bagian akhir
dituliskan, sebagai berikut:
Sesekali dirijen kehidupan akan
mengingatkan ketukan dan tempo dalam masanya…/ Hargailah ia, sebab ia yang
dengan ikhlas hati/ tak memegang trompet, piano atau gitar/ Hanya doa yang ia
harapkan/ menjaga lalu lintas notasi dan ketukan/ Jagalah ia tetap tegak
berdiri dengan terus/ memainkan alur nadamu…// (hlm. 105)
Pemahaman terhadap eksistensi manusia secara
filosofis dapat kita baca dalam puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Perjalanan di Atas Bukit”, yang
menyuguh-kan sejarah universal manusia. Sederhananya, kehidu-pan manusia tidak
lain adalah proses menjadi manusia, proses menemukan hakikat diri, hingga batas
usia. Seperti diungkapkan pada bait kelima dan bait terakhir puisi tersebut,
yaitu: ……
di bukit itu/ ketika waktu terhenti/ kesunyian
hanyalah bayang-bayang/ dari jarak ketiadaan yang terus mengejar/ dirimu dari
diriku yang kosong//
……
aku akan pulang/ ke kampung halamanmu/ dari
perjalanan di atas bukit/ dari tempatmu yang/ tinggi// (hlm. 86)
Sementara puisi
karya Benningdot—“Wayang”—menampilkan dimensi batin eksistensi manusia, puisi karya Amiruddin—“Kosong”—menggambarkan
upaya manusia dalam memahami keberadaan dirinya. Kemu-dian, puisi “Aku Tak Lagi Penyair” karya Imamuddin SA mengungkapkan eksistensi
terkait manifestasi diri. Kesan tersebut dikemukakan, sebagai berikut:
aku tak lagi penyair/ sebab tak ada huruf yang
dapat aku sublimkan/ seperti kayu menjadi api/ yang menyelimuti hangat dalam
cahaya//
……
aku tertulis di
setetes air yang menjadi darah/ darah menjadi daging/ yang merahasiakan cahaya/
dalam tabir masa dalam bisikan nama// (hlm. 61)
Pengembaraan Burung dan Manusia sebagai Makhluk Religius: Mengenal Tuhan dan Ragam Spiritualitas
Salah satu kesadaran yang dimiliki manusia
dalam hidupnya, yaitu keberadaannya sebagai makhluk religius. Pada titik ini,
pengenalan terhadap Realitas Tunggal yang menguasai hidup dan kehidupannya,
memunculkan berbagai interpretasi dan ekspresi dinamis atas hubungan manusia
dengan-Nya. Proses “pengenalan” juga menjadi “pintu pertama” yang pada
gilirannya melahirkan ragam spiritualitas manusia. Hal inilah yang menjadi
kesan dalam diri penulis atas puisi-puisi bertema religi dalam antologi
“Pengembaraan Burung”.
Sebagaimana diketahui, ragam spiritualitas
merupa-kan realitas yang diakui dalam agama—Islam—. Dalam hal ini, konsep syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat menjadi bukti dari keragaman
tersebut. Begitu juga dengan konsep ma’rifah,
musyahadah, mukasyafah, mahabbah.
Bahkan Tuhan pun mengenalkan Diri sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh
manusia. Karena itu, tidak salah jika ungkapan dan penyebutan manusia
kepada-Nya berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam tradisi Islam, Tuhan
mengenalkan diri-Nya dengan “99 nama yang baik” atau asmaul husna.
Berkaitan dengan uraian di atas, dapat
dipahami bahwa risalah kenabian menjadi keberadaan penting dalam historisitas
umat manusia. Tidak hanya memberikan petunjuk tentang Tuhan, tetapi juga dalam
membangun keshalihan pada diri manusia serta revolusi masyarakat menuju tata
nilai kehidupan yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan-Nya. Dalam episode
ini, nabi yang notabene adalah
manusia muncul sebagai personal model atau teladan yang baik (uswatun hasanah), yang merupakan
konkritisasi dari idealitas-idealitas religius, terutama sebagai insan kamil.
Dalam spektrum yang luas, pentingnya sejarah
kenabian dapat kita temukan dari puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Nubuat”—, dan puisi karya Ahmad Zaini—“Purnama Tergantung Sendiri”—, yang meng-hadirkan
Nabi sebagai pemberi syafaat, diungkapkan sebagai berikut:
……
Hentakan shalawat menumpah/ Pahala dari sang nabi agung/
Kurasa/ Kunikmati/ Di kehidupan abadi nanti// …… (hlm. 20)
Dalam tradisi Islam, idealitas hubungan
antara manusia dengan Tuhannya menunjuk pada ketakwaan, yang secara umum
diartikan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini
disebabkan oleh keyakinan bahwa Tuhan Maha Segalanya, yang menguasai seluruh
alam semesta, sebagaimana yang diungkapkan dalam 2 puisi karya Ahmad Zaini—“Keremangan” dan “Tertiup Angin Kemarau”—,
dan puisi karya Zuhdi Swt— “Yaa
Alim”—. Juga puisi karya Amiruddin—“Kupinjam
Nama-Mu”— yang mengekspre-sikannya sebagai berikut:
Tuhan…/ Apa yang akan kurencanakan telah ada pada-Mu/ Apa yang
sebentar kulakukan telah kususun dengan nama-Mu/ Nama-Mu terlalu sempurna untuk
kupinjam//… (hlm. 23)
Dinamika religiositas dan ekspresi
spritualitas manusia kemudian berkembang sesuai dengan kondisi yang
dihadapinya. Keberadaan harapan dan doa kepada Tuhan diungkapkan dalam puisi
karya Benny Nasrullah—“Aku Belajar
Padamu”—, 2 puisi karya Benningdot—“Cita” dan “Kekasih”—, puisi karya Iis RA—“Ketika Putih”—, puisi karya A. Inuy EA—“Simfoni
Sang Penjaga”—, 2 puisi karya Zuhdi Swt—“Mengintip
Dunia di Balik Jeda Aksara” dan “Yaa Bashir”—.
Di atas hamparan sajadah yang membentang/ Kusampaikan
rindu dalam sujudku/ Membuncah pecah di tepian mata/ Membanjiri pipi yang telah
lama mengering//…
(hlm. 1)
Demikian harapan dan doa diungkapkan dalam
bait kedua puisi “Di Atas Hamparan
Sajadah” karya A. Inuy EA.
Berikutnya,
ungkapan mohon ampun atas dosa dan kesalahan, serta kondisi jauh dari-Nya dapat
kita temukan dalam puisi karya Ahmad Zaini—“Simpuh
Malam”— dan puisi karya Abdi Rahmansyah—“Tercurah di Malam”—. Begitu juga puisi
“Alif-Mu” karya Benny Nasrullah, yang mengungkapkannya sebagai
berikut:
……
Tuhan,
ampuni aku/ bukalah segala indraku/ tuk merajut kepingan Alif-Mu/ yang
kunistakan//
(hlm. 40)
Sementara ekspresi religiositas yang dipengaruhi
oleh entitas yang lain, baik manusia maupun kondisi, dapat kita temukan dalam 2
puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Ziarah
I” dan “Ziarah II”—, 2 puisi
karya Amiruddin—“Semacam
Berdzikir” dan “Bagaimana Sempat”—, serta puisi karya Ahmad Shodiq—“Begal”—.
……
Di
makam aku berdoa setelah gagal meneteskan airmata;/ Tuhan, aku mohon ampun
karena lupa bawa recehan//
Di
makam berdesakan orang/ Saling membaca tahlil dengan suara lantang/ aku masih
diam duduk bersila/ Sambil sesekali melihat letak sandal/ Siapa tahu ia pulang
sendiri karena terlalu lama kutinggal// (hlm. 97)
Demikian
ungkapan puisi “Ziarah I” karya Thoni
Mukarrom tentang “kemenduaan” dan profanitas pada waktu berziarah—pengamalan
religiositas—, yang seharusnya sakral dan jauh dari keterikatan hal-hal
material.
Dimensi
esoteris (sufistik) manusia dalam posisinya sebagai makhluk religius menjadi
kesan utama dari beberapa puisi di bawah ini, dimana proses pengenalan kembali,
terutama pada tataran hakikat, menjadi pintu yang akan mengantarkan pada
hubungan yang lebih dekat dengan-Nya. Tidak hanya antara hamba dengan Tuhan,
tetapi menunjuk pada kemanunggalan dan
mahabbah.
Pentingnya pengenalan dan pemahaman (ma’rifah) yang berlanjut pada
penyaksian (musyahadah), setidaknya
dapat kita temukan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Memanggil Nama Laut”—, sebagai berikut:
……
o, lisan-lisan yang
memanggil/ takaran lantang suara belum sepasti bening penyaksian/ kerna siapa
fasih bersaksi ia telah mengenali//……
(hlm. 54)
Begitu juga puisi Abill Rahmatullah—“Alamat Cinta”— yang di dalamnya
terdapat kutipan salah satu hadits yang sangat populer dalam sufisme, yaitu man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu.
Lebih lanjut, ekspresi puitika terkait tasawuf falsafi, yaitu wahdat al-wujud, ittihad, fana’-baqa’, serta hubb-syauq, tampak jelas
pada puisi karya Tulus Setiyadi—“Cermin
Diri”—, dan 3 puisi karya Abill Rahmatullah—“Jalan
Rindu”, “Fatwa Rindu”, dan “Hutang Rindu”—.
Pada puisi “Jalan
Rindu”, ekspresi tasawuf falsafi diungkapkan sebagai berikut: ……
Kasih…/ engkau bukanlah hijab rinduku/ terbuka
atau tertutupnya tirai tak kan mengubah apapun/ karna aku adalah engkau, engkau
adalah aku//…… (hlm. 11)
Pengembaraan
Burung dan Manusia sebagai Makhluk Sosial:
Kedekatan Emosional dan
Refleksi atas Realitas Sosial
Prinsip utama dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial,
bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa keberadaan manusia lain. Bahkan, penegasan
eksistensi manusia sebagai individu yang “unik”, hanya bisa diwujudkan dengan
kehadiran sesamanya. Hal inilah yang kemudian melahirkan konsep sosial atau
masyarakat, dimana interaksi sosial menjadi bagian penting di dalamnya.
Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial pada konteks “Pengembaraan Burung”, secara umum
dipro-yeksikan oleh kedekatan emosional, baik simpati, empati, maupun kasih
sayang, manusia terhadap se-samanya. Pada unit terkecil masyarakat, yaitu
keluarga, berbakti kepada orang tua dalam segala manifestasinya, baik ketika
masih hidup maupun telah wafat, tidak lain merupakan ekspresi kasih sayang
manusia pada posisinya sebagai seorang anak. Di sini, romantisme masa kecil,
tidak dipungkiri, menjadi sesuatu yang menggerakkan siklus afektif terkait
peran-peran dari hubungan di antara keduanya, terutama ketika seorang anak
telah dewasa. Kesan inilah yang tampak pada beberapa puisi berikut yaitu, puisi
karya Suharsono A.Q—“Ruang Tamu”—, puisi karya Iis
RA—“Ketika
Hati”—, dan 2
puisi karya Emi Sudarwati—“Tangis Ibu” dan “Semalam Bersama Bapak”—.
……
Bapak…/
semalam bersamamu/ kala itu/ sungguh berbeda/ tiada ucapan/ ataupun kata
perpisahan/ kau tinggalkan anakmu/ dengan senyuman//
Kini…/
hanya di atas sajadah ini kukirimkan setangkai doa/ tanda bukti kasihku/ tiada
terhingga/ semoga kau bahagia/ di surga//
(hlm. 51)
Demikian
puisi “Semalam Bersama Bapak”,
mengungkapkan pengalaman seorang anak ketika si ayah meninggal dunia.
Selanjutnya, meskipun telah berada di alam yang berbeda dan secara fisik
terpisah, namun kenangan bersama dan doa yang terpanjatkan menjadi ikatan kuat,
sekaligus menjadi cara lain bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tua.
Kedekatan
emosional dalam lingkup keluarga, yakni antara suami dan istri, digambarkan
oleh puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Rahasia Asin Tubuhmu”—, yang menampilkan
makna dan idealitas pernikahan dan rumah tangga, dengan inspirasi kehidupan
para “tokoh” dalam tradisi dan sejarah Islam. Pada bagian akhir puisi
disebutkan,
……
karena aku mengingatmu/ seperti aku mengingat
kesucian/ maka ingatlah cintaku padamu/ seperti cintanya adam dan hawa/
muhammad dan khadijah/ dan cinta ali kepada fatimah/ karena aku mencintaimu/
seperti zulaikha mencintai/ yusuf// (hlm. 88)
Pada spektrum yang lebih umum, pemahaman atas
diri manusia sebagai “jenis”—laki-laki dan perempuan—, melahirkan kedekatan
emosional terhadap lawan jenis yang dikenal dengan istilah “cinta”. Sebagai hal
yang manusiawi, maka tak keliru dikatakan bahwa manusia adalah makhluk cinta.
Sederhananya, manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari permasalahan terkait
cinta ini, di mana pada gilirannya menciptakan kisah cintanya sendiri yang
unik.
Keberadaan
puisi-puisi bertema cinta dalam anto-logi ini menjadi bukti konkrit dari keberadaan
manusia di atas. Berbagai kedekatan emosional terkait hubungan laki-laki dan
perempuan bermanifestasi dalam bentuk-nya, yaitu puisi karya Rialita
Fithra Asmara—“Lelaki Penanam Bunga”—, puisi
karya Nuruddin Zanky—“Engkau Laut”—, puisi
karya Ahmad Shodiq—“Berita
Kasih Cinta”—, 4 puisi karya Luthfi Sepat—“Aku Sebulir Nasi”, “Aku Inderamu”, “Renda Gaun Rembulan” dan “Senandung Rumbai Bunga-bunga”—, puisi
karya Suharsono A.Q—“Gadis Perbatasan”—, puisi
karya Emi
Sudarwati—“Menuju Sebuah Jembatan”—, puisi karya
Abdi Rahmansyah—“Menggelar Pukat” dan “Sekata Rindu”—, 2 puisi karya Dhilla
Lembayung Senja—“Malaikat Tanpa Sayap” dan “Melati Berdarah”—, 2 puisi karya Debby
Niken Kartika Witasari—“Bila Cintamu yang
Tersesat” dan “Bukan Karena Aku”—, serta puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Senja di Pelabuhan Gresik”—.
Ekspresi cinta sebagai kreasi dan doa
diungkapkan puisi ““Senandung Rumbai Bunga-bunga” karya Luthfi Sepat, sebagai berikut…
Barangkali rumbai bunga,
kasihku/ Semacam isyarat paling rayu/ Senandung lantun doa-doa/;maka
pulanglah// (hlm.71)
Lebih lanjut,
realitas sosial juga menunjukkan feno-mena lain terkait hubungan laki-laki dan
perempuan di atas, yakni adanya distorsi dari nilai-nilai yang diakui oleh
masyarakat, terutama nilai sosial-religius, serta kecenderungan untuk menjadi
“jenis” yang anggap lebih mewadahi “kejenisan”-nya. Kesan ini ditunjukkan oleh
2 puisi karya Debby Niken Kartika
Witasari— “Perempuan di Bawah Bulan”
dan “Alif
dan Dada Lelaki”—.
kecupanmu di bawah bulan/
dengan rambut tergerai/ lalu aku berkeping-keping menjadi udara/ aku perempuan,
kamu perempuan//
(hlm. 42)
Demikian realita
cinta sesama jenis diungkapkan puisi “Perempuan di Bawah Bulan”.
Kedekatan
emosional terkait peran sosial, yakni profesi seorang guru, diungkapkan oleh puisi
karya Emi Sudarwati—“Sekolah”—. Kesan
lain yang bisa ditemukan dari puisi ini, yakni keberadaan manusia yang multi-peran,
dimana pada kondisi tertentu akan memainkan peran yang berbeda, baik sebagai
seorang ibu rumah tangga, seorang guru, maupun peran lainnya, tergantung
konteks sosial yang dihadapinya.
Pagi
buta, menanak beras/ lauk dan sayur pun tak lupa/ anak-anak harus sarapan/
sebelum berangkat/ menuntut ilmu……
Jam
7.30/ aku pun berangkat ke sekolah/ bukanlah untuk belajar/ namun menebar/
ilmuku memang tak seberapa……
Jam
14.00/ bergegas pulang/ membawa tumpukan proposal/ jalan hidup siswaku sayang/
semoga kelak/ tercapai harapan// (hlm. 50)
Poin penting dari keberadaan manusia sebagai
makhluk sosial mengarah pada pembacaan dan refleksinya terhadap realitas sosial
di masyarakat. Kedekatan emosional terhadap “kaum marjinal” menjadi kesan utama
dari beberapa puisi, seperti puisi karya A. Inuy EA—“Perempuan Tayub”—, puisi karya
Nuruddin
Zanky—“Wanita
Penyedu Laut”—.
Terkait hal di
atas, keberadaan perempuan sebagai “objek” kesenangan laki-laki digambarkan
oleh puisi “Perempuan Tayub” sebagai
berikut:
……
Hilir mudik lelaki
menggilirmu dalam pusaran tembang/ Sambil membawa uang yang diselipkan di
belahan dadamu/ Tak ada lagi malam yang penuh kedamaian/
……
Ini hidupmu yang kau tuju/
sebagai parang slalu kau telan/ mengutuki perjalanan waktu yang menuntunmu/
dalam gemerlap tayub malam// (hlm. 4)
Sementara kritik
terhadap industrialisasi dan pembangunan yang acapkali mengabaikan dampak
sosial bagi masyarakat, kecuali keuntungan financial, diungkapkan dalam puisi
karya Thoni
Mukarrom IA—“Mengunjungi Kotamu”—.
……
Aku kembali ke kotamu/ Yang masih setia mengirimkan/ Asap
membumbung dari corong pabrik di tengah kota,/ Yang membuatku batuk dan menutup
mata/…… (hlm.
100)
Pada konteks ke-Indonesia-an, refleksi terhadap
realitas sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diungkapkan oleh puisi
karya Rialita
Fithra Asmara—“Negeri Sapu Tangan”—,
dan puisi karya Benny Nasrullah—“Wajah Negeriku”—, yang menampil-kan
kritik terhadap rasa nasionalisme kita sebagai bangsa, terutama kalangan
“penjaga”-nya yang sering-kali menampilkan perilaku sebaliknya.
Pengalaman melihat bendera merah putih yang kumal
dan sobek pada tiang depan kantor polisi menjadi gambaran puisi “Wajah Negeriku”, di mana pada
gilirannya melahirkan refleksi, juga kritik terhadap kebangsaan kita,
sebagaimana ungkapan berikut: ……
terlintas di benakku/ berapa harga kain bendera/
dibanding darah pahlawan/ apakah kita harus iuran/ untuk membeli kain bendera
dan menggantinya?// (hlm. 37)
Kemudian refleksi terhadap sejarah
nasional—tokoh—, menjadi inspirasi bagi puisi karya Rialita
Fithra Asmara—“Cut Nyak Dien Muda”—
dalam menampilkan idealitas terkait berbagai permasalahan yang dihadapi anak
bangsa—perempuan—dewasa ini.
……
Inilah
perang edisi baru/ Perempuan-perempuan luka/ Menjelma Cut Nyak Dien Muda/ Di
depan sendiri mereka berada/ Berteriak lantang tanpa TOA//
“Kamilah
Cut Nyak Dien muda/ Dengan semangat merah bara/ Kan binasa soal galau/ Kan
binasa soal patah/ Kan binasa soal menyerah/ Kan binasa soal amarah/ Kan binasa
soal dendam”//
…… (hlm. 81)
Sederhananya,
puisi ini menegaskan bahwa untuk meneruskan perjuangan bangsa, seseorang
perempuan harus melampaui permasalahan yang berkaitan dengan diri sendiri,
terutama cinta yang kerap mengurung kreativitas para remaja.
Perpecahan
di kalangan internal umat beragama—Islam—menjadi kesan penting dari puisi karya
Dhilla Lembayung Senja—“Cerita
Rembulan”—. Sementara pada konteks global, yakni hubungan antar bangsa,
puisi karya Luqman Almishr—“Relief Gaza”—
menam-pilkan empati terhadap
nasib kemanusiaan sebuah bangsa (Palestina) yang berada dalam penindasan bangsa
lain (Israel). Diungkapkan sebagai berikut:
melihat
palestina;/ tanah-tanah terampas dari tuannya,/ rumah-rumah dirobohkan dengan
bulldozer//
melihat
palestina;/ air mata tak pernah kering meneteskan luka,/ anak-anak tak berdosa
menjadi santapan mesiu//
melihat
palestina;/ para zionis terus melucuti kemanusiaan/ darah terus mengalir di
pelataran masjidil aqso//
melihat
palestina;/ kita diam// (hlm. 66)
Pengembaraan
Burung dan Manusia sebagai Makhluk Lingkungan: Rusaknya Lingkungan Hidup dan Kritik Kemanusiaan Kita
Dalam perspektif ekologis-filosofis, hubungan
manusia dengan lingkungan hidup merupakan sebuah keniscayaan. Sederhananya,
antara manusia dengan lingkungan hidup terdapat keterikatan yang saling
mempengaruhi di antara keduanya. Tanpa keberadaan lingkungan hidup, mustahil
manusia bisa hidup. Juga, rusaknya lingkungan hidup mengakibatkan rusaknya
kehidupan manusia di lingkungan tersebut. Hubungan manusia dengan lingkungan
bersifat dinamis. Dari sisi manusia, hubungannya dengan lingkungan merupakan
sebuah kesadaran yang termaknai dan menjadi dasar serta inti dari eksistensi
dan kepribadiannya.
Hubungan saling mempengaruhi di antara
manusia dan lingkungan hidup, memiliki sifat pengaruh yang berbeda dari
keduanya. Pengaruh lingkungan hidup terhadap manusia bersifat pasif, sedangkan
pengaruh manusia terhadap lingkungan hidup lebih bersifat aktif. Manusia dengan
akalnya, memiliki kemampuan eksploratif terhadap alam, sehingga mampu merubah
lingkungan hidup sesuai yang dikehendakinya. Di pihak lain, meskipun tidak
mempunyai kemampuan yang sama dengan manusia, namun apa yang terjadi pada
lingkungan hidup memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia. Perilaku
eksploitatif-manipulatif manusia terhadap lingkungan hidup akan mengakibat-kan
kerusakan langsung kepadanya serta memberikan dampak negatif bagi kehidupan
manusia.
Kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah
krusial secara global yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini. Permasalahan
ini tidak hanya ditandai dengan berbagai fenomena alam, seperti tanah longsor,
banjir, global warming, climate change, krisis air bersih, dan
sebagainya, tetapi juga menunjuk pada penurunan kualitas sumberdayanya. Pada
konteks “Pengembaraan Burung”, rusaknya lingkungan hidup ditunjukkan oleh puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Surat Kepada Sungai”—, puisi karya A. Inuy EA—“Pesan
dari Ibu”—, puisi karya Suharsono A.Q—“Kering”—, dan puisi karya Anis Ceha—“Gugur Daun”—.
Terkait hal di atas, puisi “Surat Kepada Sungai” mengungkapkan
pengakuan bahwa kerusakan sungai—juga ekosistem lainnya—, disebabkan oleh
perilaku manusia yang sembrono dan tidak peduli.
Yang Terhormat Sungai/ Yang membentang dari kota ke kota/
di mana saja//
……
Sekian dari kami,/ Yang tak bosan-bosan mengurasmu/
Merusakmu memanfaatkanmu/ dan segala me…./ yang lain// (hlm. 84)
Kesan penting dari puisi-puisi tersebut
menunjuk pada kritik terhadap kemanusiaan kita sebagai makhluk lingkungan.
Sementara permasalahan terkait rusaknya sungai akibat perilaku manusia serta
kekeringan, tidak lain merupakan gambaran sebenarnya dari perilaku ekologis
masyarakat dan kondisi lingkungan yang disaksikan oleh para penyairnya.
Penutup
Tulisan ini merupakan catatan kesan penulis
atas antologi puisi “Pengembaraan Burung”, dengan lebih mengarah pada content puisi untuk mencari makna umum
terkait kerangka konsep yang dikemukakan, yaitu kauniyah dan humanisme. Keberadaan antologi ini merupakan hasil
“pembacaan” manusia terhadap dirinya sendiri dalam seluruh dimensi
kehidupannya, sekaligus memproyeksikan humanisme-nya secara universal. [*]
IDENTITAS BUKU:
Judul : Pengembaraan Burung (Antologi Puisi)
Penulis : Herry Lamongan, Saiful Anam Assyaibani, dkk.
Penerbit : Pustaka Ilalang
Cet. I : Desember 2015
ISBN :
978-602-2582-72-2
Ukuran : 14 x 20 cm
Tebal :
viii + 118 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar