Laman

Sabtu, 07 November 2020

KAUNIYAH DAN HUMANISME DALAM PUISI

 

Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Pengembaraan Burung”

Oleh A. Syauqi Sumbawi

  

KEHIDUPAN DUNIA adalah “kawah penyadaran”, dimana manusia berhadapan dengan realitas yang menuntutnya untuk memahami keberadaan dirinya secara luas. Tidak hanya di dunia, pemahaman itu pun melintasi berbagai alam, baik alam arwah maupun alam barzah dan akhirat—serta hal-hal eskatologis lainnya—. Dari keseluruhannya, “proses bersama waktu” merupa-kan keniscayaan. Karena itu, manusia tidak cukup diibaratkan laiknya “kertas putih” yang kosong, melainkan berisi potensi kemanusiaan—fithrah--, baik jasmani, rasional, maupun spiritual, yang tidak lain merupakan “bekal” manusia untuk memahami hidup dan kehi-dupannya di dunia.

Lantas, siapakah manusia itu?! Tentunya, tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini disebabkan permasalahan kemanusiaan merupakan hal yang kompleks. Tidak hanya mengenai diri sendiri, kompleksitas tersebut juga lahir dari keterkaitannya dengan sesama, lingkungan, serta keberadaan dzat yang dikenal sebagai Tuhan. Begitu juga keberadaan dan hidupnya yang menjadi kauniyah. Oleh karena itu, “membaca”—sebagaimana wahyu pertama yang ditu-runkan kepada Nabi Saw—merupakan syarat mutlak, sekaligus diperintahkan bagi manusia.

 

Membaca “Pengembaraan Burung”: Keterlibatan Manusia dalam Kauniyah dan Humanisme

Kauniyah dan humanisme, menjadi hal penting untuk dikemukakan terkait keberadaan manusia di dunia, sekaligus menjadi catatan kesan penulis atas puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi puisi “Pengembaraan Burung.” Di sini, keterlibatan manusia dengan kauniyah—yang notabene adalah medan inspi-rasi universal—, menjelma sebagai “moment puitika”. Kemudian dengan “potensi puitika”-nya, manusia menjadikannya sebagai “medan makna” yang indah; bermakna bagi kemanusiaan. Dengan concern yang beragam dari 26 penyair yang hadir, antologi ini tidak lain merupakan hasil dari “pembacaan” manusia terhadap dirinya sendiri dalam seluruh dimensi kehidupannya, sekaligus memproyeksikan humanisme-nya secara universal.

Untuk pembahasan lebih jauh mengenai huma-nisme dalam konteks “Pengembaraan Burung” yang bera-gam tersebut, maka perlu bagi penulis berangkat dari konsep-konsep al-Qur’an terkait keberadaan manusia. Di sini, al-Qur’an menyebut manusia dalam beberapa terminologi, yaitu abd Allah, al-basyr, al-insan, al-naas, bani Adam, al-ins, dan khalifah fi al-ardl. Dari beberapa terminologi tersebut, yang kemudian dikombi-nasikan dengan perspektif filosofis-antropologis, se-tidaknya didapatkan sebuah kerangka pemahaman atas keberadaan manusia dalam kehidupannya secara luas, yaitu sebagai pribadi atau persona, sebagai hamba Tuhan atau makhluk religious, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk lingkungan.

 

Pengembaraan Burung dan Manusia sebagai Persona: Proses Bersama Waktu dan Eksistensi Manusia

Ekspresi manusia sebagai pribadi atau persona menjadi bagian terbesar dari puisi-puisi yang terdapat dalam antologi ini. Selain membuktikan antusiasme manusia terhadap diri sendiri, hal ini menguatkan stigma terkait salah satu keunikan manusia, yakni upayanya dalam memahami eksistensinya di dunia. Pada titik ini, tampak bahwa “menjadi manusia” bukan perkara sederhana. Proses kemanusiaan bukan proses yang instans, melainkan proses yang menunjuk pada pengembaraan menuju kesadaran, serta melibatkan se-luruh potensi dan segala keterkaitan yang menyertainya.

Dari keseluruhannya, proses bersama waktu menjadi keberadaan penting yang melingkupinya, baik dalam kesadaran maupun ketidaksadarannya. Waktu yang mendesak tanpa ragu dengan kandungan segala musimnya, dimana pada gilirannya melahirkan kenang-an, kenyataan, dan harapan.

Burung-burung pesiar/ melepas bulu-bulu atas musim/ dalam tatapan duka atau suka/ menimbuni bumi di sisa kicaunya//

...

Hingga bumi tak bernama// (hlm. 53)

 

Demikian puisi “Pengembaraan Burung” karya Herry Lamongan, sekaligus menjadi judul antologi ini. Kemu-dian ditutup dengan ungkapan, … Hingga bumi tak bernama//, yang mengisyaratkan akhir pengembaraan di dunia. Dalam posisinya sebagai kauniyah, proses ini juga menjadi sesuatu yang harus dipahami manusia dalam hidupnya.

Melalui pembacaan sederhana, proses bersama waktu di atas dapat kita temukan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Kabut di Ubun Usia”—, 2 puisi karya Anis Ceha—“Perjalanan Waktu” dan “Metamorfosa”—, 2 puisi karya Bambang Kempling—“Hampir Pagi” dan “Tak Ada”—, serta 2 puisi Luqman Almishr—“Rayu Embun” dan “Muara Waktu”—.

Pada puisi berjudul “Tak Ada” karya Bambang Kempling, diungkapkan bahwa proses bersama waktu merupakan sebuah keniscayaan, dimana manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Juga segala konsekuensinya.

Tak ada yang perlu dihentikan/ saat kita selesai menebak waktu/ yang telah membunuh kita/ yang sedang terbaring/

di atas rumput yang tak berbunga/ dan jika esok harus pergi;/ pada pekuburan mana kita harus mati?//

Tak ada yang perlu dihentikan!// (hlm. 31)

 

Sementara dalam puisi “Perjalanan Waktu” karya Anis Ceha, dijelaskan bahwa menjadi tua dan mati adalah keniscayaan hidup manusia. Keberadaan tujuan dan harapan, tidak hanya menggerakkan proses ber-sama waktu; untuk pencapaian cita-cita, meningkatkan kualitas diri, dan sebagainya secara terus-menerus, tetapi juga memberikan makna dalam hidupnya.

aku pun akan tua nantinya/ menguning/ membumi kemudian/ bagaimana dengan harapan//

tak kubiar ia gugur/ meski lamat tak bertanda/ sebelum benar-benar tiba waktu/ panen/ aku pun melaju menghela//

sekuat nafas tersisa/ meski lembar-lembar daunku/ serupa warna kulit pisang//

aku menapaki/ perjalanan waktuku/ pada bias bianglala// (hlm. 28)

 

Kemudian dalam proses bersama waktu itulah, dualitas hidup menjadi keniscayaan yang berkelindan mengiringi historisitas manusia, baik idealitas-realitas, suka-duka, serta berbagai manifestasinya yang lain. Begitu juga dengan harapan dan cita-cita, kegagalan dan penyesalan. Hal ini tampak pada beberapa puisi, seperti karya Anis Ceha—“Kidung”—, puisi karya Pringgo Hr—“Sore Tadi”—, 2 puisi karya Imamuddin SA—“Menggulung Senja” dan “Di Stadion”—, puisi karya Nuruddin Zanky—“Sepasang Tetes Hujan”—, puisi karya Dhilla Lembayung Senja—“Kenangan Daun Pisang”—, dan puisi karya Iis RA—“Aku Ingin”—.

menggulung senja di warung tua/ berteman secangkir kopi/ dalam kepungan hujan//

sederet batu nisan/ menjadi saksi persinggahan/ yang bercerita tentang aroma rasa/ pahit/ manis/ dalam hangat/ dalam tabir dingin jalan//

“sebentar lagi malam tiba, katanya!”//

dan pahit yang mengental tak pernah dusta/ memberi perjamuan malam/ dengan mata terjaga/ seperti hatiku yang akan terjaga/ dalam luka/ mengingatnya!// (hlm. 63)

 

Demikian narasi pahit manis kehidupan manusia diungkapkan dalam puisi “Menggulung Senja” karya Imamuddin SA. Hal yang perlu digarisbawahi, bahwa kegagalan dan keberhasilan merupakan persinggahan dalam proses menjadi manusia. Kenangan tentang keduanya tidak pernah pudar dalam ingatan, sebagai-mana diungkapkan pada baris terakhir puisi “Kenangan Daun Pisang” karya Dhilla Lembayung Senja.

……

semua berlalu menjadi lukisan kalbu di setiap denting waktu// (hlm. 47)

 

Menyadari kehidupan bukan proses yang sederhana, melainkan berat dan melelahkan, terutama disebabkan oleh “kekalahan hidup”, maka wajar jika pada titik terendah, manusia pun dihantui oleh keputusasaan, sebagaimana tergambar pada 2 puisi karya Bambang Kempling—“Pada Sebuah Pementasan” dan “Dalam Hujan”—, 2 puisi karya Pringgo Hr—“Luka Senja” dan “Sajak Belum Selesai”—, dan puisi karya Luqman AlmishrPerkabungan”—.

Puisi berjudul “Sajak Belum Selesai” karya Pringgo Hr menggambarkan kondisi dalam keputusasaan, sebagai berikut:

raut wajah itu telah lunglai ditusuk waktu/ tinggal darah ngalirkan sejarah ke sungai tepi/ tiada yang harus dibaca dari guratgurat luka/ puluhan tahun hanya ninggalkan nanah/

rintih// (hlm. 80)

 

Sementara pada puisi “Perkabungan” karya Luqman Almishr diungkapkan, bahwa seseorang tak perlu larut dalam kesedihan dan penyesalan yang berlarut-larut hanya disebabkan oleh kematian sosok yang sangat penting dalam hidupnya. Sebagaimana hidup, mati adalah keniscayaan, juga proses berikutnya dari perja-lanan manusia.

tak perlu kau tenggelam/ dalam tangis bulan//

tak usah kau mengirim sesal/ ke palung hatimu//

ia telah menjelma//

serupa senja yang mencerai siang/ atau hujan yang menghapus kemarau//

biarkan ia terbaring dalam gelap/ karena ia telah melangkah dengan doa/ tertawa bersama sepi// (hlm. 68) 

 

Satu hal yang digarisbawahi bahwa hidup manusia adalah proses yang harus tiba pada waktunya. Kesan ini dapat kita lihat pada puisi karya Pringgo Hr—“Stasiun Batu”—, puisi karya Ahmad Shodiq—“Bangun”—, dan puisi karya Nuruddin Zanky—“Lorong Paling Sunyi”—. Hal tersebut juga diungkapkan puisi “Memandang Langit Lepas” karya Herry Lamongan, sebagai berikut:

Ia berkemas. Memandang langit lepas/ sebelum gerimis/ Keluhkesah itu runtuh lewat bibir/ ke trotoar yang nyaris senja//….

(hlm. 56)

 

Berbagai pengalaman yang hadir dari proses bersama waktu di atas, pada gilirannya melahirkan ruang-ruang reflektif bagi manusia untuk memandang hidup dan kehidupannya. Manusia memahami, menilai, mengambil hikmah dan memberi makna atas keberadaannya di dunia. Pada konteks ini, tidak keliru dikatakan bahwa manusia adalah “pembelajar sejati” dari seluruh peristiwa yang hadir bersama waktu—kauniyah—. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa puisi, antara lain puisi karya Iis RA—“Berguru pada Matahari”, 3 puisi karya Tulus Setiyadi—“Kebijaksanaan”, “Kesadaran Diri”, dan “Pengendalian Diri”—, puisi karya Benningdot—“Sesal”—, puisi karya Abdi Rahmansyah—“Berhias”—, puisi karya Benny Nasrullah—“Kunang-kunang di Batu Nisan”—, puisi karya Suharsono A.Q—Tusuk Jarum—, puisi karya Imamuddin SA—“Ajari Aku Melukis”—, dan puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Cerita Pendek tentang Membaca Cakrawala Pada suatu Adegan Pementasan”—.

Narasi di atas juga diungkapkan puisi Notasi Hidup yang Meredup” karya Zuhdi Swt. Pada bagian akhir dituliskan, sebagai berikut:

Sesekali dirijen kehidupan akan mengingatkan ketukan dan tempo dalam masanya…/ Hargailah ia, sebab ia yang dengan ikhlas hati/ tak memegang trompet, piano atau gitar/ Hanya doa yang ia harapkan/ menjaga lalu lintas notasi dan ketukan/ Jagalah ia tetap tegak berdiri dengan terus/ memainkan alur nadamu…// (hlm. 105)

 

Pemahaman terhadap eksistensi manusia secara filosofis dapat kita baca dalam puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Perjalanan di Atas Bukit”, yang menyuguh-kan sejarah universal manusia. Sederhananya, kehidu-pan manusia tidak lain adalah proses menjadi manusia, proses menemukan hakikat diri, hingga batas usia. Seperti diungkapkan pada bait kelima dan bait terakhir puisi tersebut, yaitu: ……

di bukit itu/ ketika waktu terhenti/ kesunyian hanyalah bayang-bayang/ dari jarak ketiadaan yang terus mengejar/ dirimu dari diriku yang kosong//

……

aku akan pulang/ ke kampung halamanmu/ dari perjalanan di atas bukit/ dari tempatmu yang/ tinggi// (hlm. 86)

   

Sementara puisi karya Benningdot—“Wayang”—menampilkan dimensi batin eksistensi manusia, puisi karya Amiruddin—“Kosong”—menggambarkan upaya manusia dalam memahami keberadaan dirinya. Kemu-dian, puisi “Aku Tak Lagi Penyair” karya Imamuddin SA mengungkapkan eksistensi terkait manifestasi diri. Kesan tersebut dikemukakan, sebagai berikut:

 aku tak lagi penyair/ sebab tak ada huruf yang dapat aku sublimkan/ seperti kayu menjadi api/ yang menyelimuti hangat dalam cahaya//

……

aku tertulis di setetes air yang menjadi darah/ darah menjadi daging/ yang merahasiakan cahaya/ dalam tabir masa dalam bisikan nama// (hlm. 61)

 

Pengembaraan Burung dan Manusia sebagai Makhluk Religius: Mengenal Tuhan dan Ragam Spiritualitas

Salah satu kesadaran yang dimiliki manusia dalam hidupnya, yaitu keberadaannya sebagai makhluk religius. Pada titik ini, pengenalan terhadap Realitas Tunggal yang menguasai hidup dan kehidupannya, memunculkan berbagai interpretasi dan ekspresi dinamis atas hubungan manusia dengan-Nya. Proses “pengenalan” juga menjadi “pintu pertama” yang pada gilirannya melahirkan ragam spiritualitas manusia. Hal inilah yang menjadi kesan dalam diri penulis atas puisi-puisi bertema religi dalam antologi “Pengembaraan Burung”.

Sebagaimana diketahui, ragam spiritualitas merupa-kan realitas yang diakui dalam agama—Islam—. Dalam hal ini, konsep syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat menjadi bukti dari keragaman tersebut. Begitu juga dengan konsep ma’rifah, musyahadah, mukasyafah, mahabbah. Bahkan Tuhan pun mengenalkan Diri sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, tidak salah jika ungkapan dan penyebutan manusia kepada-Nya berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam tradisi Islam, Tuhan mengenalkan diri-Nya dengan “99 nama yang baik” atau asmaul husna.

Berkaitan dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa risalah kenabian menjadi keberadaan penting dalam historisitas umat manusia. Tidak hanya memberikan petunjuk tentang Tuhan, tetapi juga dalam membangun keshalihan pada diri manusia serta revolusi masyarakat menuju tata nilai kehidupan yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan-Nya. Dalam episode ini, nabi yang notabene adalah manusia muncul sebagai personal model atau teladan yang baik (uswatun hasanah), yang merupakan konkritisasi dari idealitas-idealitas religius, terutama sebagai insan kamil.

Dalam spektrum yang luas, pentingnya sejarah kenabian dapat kita temukan dari puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Nubuat”—, dan puisi karya Ahmad Zaini—“Purnama Tergantung Sendiri”—, yang meng-hadirkan Nabi sebagai pemberi syafaat, diungkapkan sebagai berikut:

……

Hentakan shalawat menumpah/ Pahala dari sang nabi agung/ Kurasa/ Kunikmati/ Di kehidupan abadi nanti// ……  (hlm. 20)

 

Dalam tradisi Islam, idealitas hubungan antara manusia dengan Tuhannya menunjuk pada ketakwaan, yang secara umum diartikan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa Tuhan Maha Segalanya, yang menguasai seluruh alam semesta, sebagaimana yang diungkapkan dalam 2 puisi karya Ahmad Zaini—“Keremangan” dan “Tertiup Angin Kemarau”—, dan puisi karya Zuhdi Swt— “Yaa Alim”—. Juga puisi karya Amiruddin—“Kupinjam Nama-Mu”— yang mengekspre-sikannya sebagai berikut:

Tuhan…/ Apa yang akan kurencanakan telah ada pada-Mu/ Apa yang sebentar kulakukan telah kususun dengan nama-Mu/ Nama-Mu terlalu sempurna untuk kupinjam//… (hlm. 23)

 

Dinamika religiositas dan ekspresi spritualitas manusia kemudian berkembang sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Keberadaan harapan dan doa kepada Tuhan diungkapkan dalam puisi karya Benny Nasrullah—“Aku Belajar Padamu”—, 2 puisi karya Benningdot—“Cita” dan “Kekasih”—, puisi karya Iis RA—“Ketika Putih”—, puisi karya A. Inuy EA—“Simfoni Sang Penjaga”—, 2 puisi karya Zuhdi Swt—“Mengintip Dunia di Balik Jeda Aksara” dan “Yaa Bashir”—.

Di atas hamparan sajadah yang membentang/ Kusampaikan rindu dalam sujudku/ Membuncah pecah di tepian mata/ Membanjiri pipi yang telah lama mengering//… (hlm. 1)

 

Demikian harapan dan doa diungkapkan dalam bait kedua puisi “Di Atas Hamparan Sajadah” karya A. Inuy EA.

Berikutnya, ungkapan mohon ampun atas dosa dan kesalahan, serta kondisi jauh dari-Nya dapat kita temukan dalam puisi karya Ahmad Zaini—“Simpuh Malam”— dan puisi karya Abdi Rahmansyah—“Tercurah di Malam”—. Begitu juga puisi “Alif-Mu” karya Benny Nasrullah, yang mengungkapkannya sebagai berikut:

……

Tuhan, ampuni aku/ bukalah segala indraku/ tuk merajut kepingan Alif-Mu/ yang kunistakan// (hlm. 40)

 

Sementara ekspresi religiositas yang dipengaruhi oleh entitas yang lain, baik manusia maupun kondisi, dapat kita temukan dalam 2 puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Ziarah I” dan “Ziarah II”—, 2 puisi karya Amiruddin—“Semacam Berdzikir” dan “Bagaimana Sempat”—, serta puisi karya Ahmad Shodiq—“Begal”—.

……

Di makam aku berdoa setelah gagal meneteskan airmata;/ Tuhan, aku mohon ampun karena lupa bawa recehan//

Di makam berdesakan orang/ Saling membaca tahlil dengan suara lantang/ aku masih diam duduk bersila/ Sambil sesekali melihat letak sandal/ Siapa tahu ia pulang sendiri karena terlalu lama kutinggal// (hlm. 97)

 

Demikian ungkapan puisi “Ziarah I” karya Thoni Mukarrom tentang “kemenduaan” dan profanitas pada waktu berziarah—pengamalan religiositas—, yang seharusnya sakral dan jauh dari keterikatan hal-hal material.

Dimensi esoteris (sufistik) manusia dalam posisinya sebagai makhluk religius menjadi kesan utama dari beberapa puisi di bawah ini, dimana proses pengenalan kembali, terutama pada tataran hakikat, menjadi pintu yang akan mengantarkan pada hubungan yang lebih dekat dengan-Nya. Tidak hanya antara hamba dengan Tuhan, tetapi menunjuk pada kemanunggalan dan mahabbah.

Pentingnya pengenalan dan pemahaman (ma’rifah) yang berlanjut pada penyaksian (musyahadah), setidaknya dapat kita temukan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Memanggil Nama Laut”—, sebagai berikut:

……

o, lisan-lisan yang memanggil/ takaran lantang suara belum sepasti bening penyaksian/ kerna siapa fasih bersaksi ia telah mengenali//……

(hlm. 54)

 

Begitu juga puisi Abill Rahmatullah—“Alamat Cinta”— yang di dalamnya terdapat kutipan salah satu hadits yang sangat populer dalam sufisme, yaitu man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Lebih lanjut, ekspresi puitika terkait tasawuf falsafi, yaitu wahdat al-wujud, ittihad, fana’-baqa’, serta hubb-syauq, tampak jelas pada puisi karya Tulus Setiyadi—“Cermin Diri”—, dan 3 puisi karya Abill Rahmatullah—“Jalan Rindu”, “Fatwa Rindu”, dan “Hutang Rindu”—.

Pada puisi “Jalan Rindu”, ekspresi tasawuf falsafi diungkapkan sebagai berikut: ……

Kasih…/ engkau bukanlah hijab rinduku/ terbuka atau tertutupnya tirai tak kan mengubah apapun/ karna aku adalah engkau, engkau adalah aku//…… (hlm. 11)

 

Pengembaraan Burung dan Manusia sebagai Makhluk Sosial: Kedekatan Emosional dan Refleksi atas Realitas Sosial

Prinsip utama dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa keberadaan manusia lain. Bahkan, penegasan eksistensi manusia sebagai individu yang “unik”, hanya bisa diwujudkan dengan kehadiran sesamanya. Hal inilah yang kemudian melahirkan konsep sosial atau masyarakat, dimana interaksi sosial menjadi bagian penting di dalamnya.

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial pada konteks “Pengembaraan Burung”, secara umum dipro-yeksikan oleh kedekatan emosional, baik simpati, empati, maupun kasih sayang, manusia terhadap se-samanya. Pada unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga, berbakti kepada orang tua dalam segala manifestasinya, baik ketika masih hidup maupun telah wafat, tidak lain merupakan ekspresi kasih sayang manusia pada posisinya sebagai seorang anak. Di sini, romantisme masa kecil, tidak dipungkiri, menjadi sesuatu yang menggerakkan siklus afektif terkait peran-peran dari hubungan di antara keduanya, terutama ketika seorang anak telah dewasa. Kesan inilah yang tampak pada beberapa puisi berikut yaitu, puisi karya Suharsono A.Q—“Ruang Tamu”—, puisi karya Iis RA—“Ketika Hati”—, dan 2 puisi karya Emi Sudarwati—“Tangis Ibu” dan “Semalam Bersama Bapak”—.

……

Bapak…/ semalam bersamamu/ kala itu/ sungguh berbeda/ tiada ucapan/ ataupun kata perpisahan/ kau tinggalkan anakmu/ dengan senyuman//

Kini…/ hanya di atas sajadah ini kukirimkan setangkai doa/ tanda bukti kasihku/ tiada terhingga/ semoga kau bahagia/ di surga//

(hlm. 51)

 

Demikian puisi “Semalam Bersama Bapak”, mengungkapkan pengalaman seorang anak ketika si ayah meninggal dunia. Selanjutnya, meskipun telah berada di alam yang berbeda dan secara fisik terpisah, namun kenangan bersama dan doa yang terpanjatkan menjadi ikatan kuat, sekaligus menjadi cara lain bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tua.

Kedekatan emosional dalam lingkup keluarga, yakni antara suami dan istri, digambarkan oleh puisi karya Saiful Anam Assyaibani—“Rahasia Asin Tubuhmu”—, yang menampilkan makna dan idealitas pernikahan dan rumah tangga, dengan inspirasi kehidupan para “tokoh” dalam tradisi dan sejarah Islam. Pada bagian akhir puisi disebutkan,

……

karena aku mengingatmu/ seperti aku mengingat kesucian/ maka ingatlah cintaku padamu/ seperti cintanya adam dan hawa/ muhammad dan khadijah/ dan cinta ali kepada fatimah/ karena aku mencintaimu/ seperti zulaikha mencintai/ yusuf// (hlm. 88)  

 

Pada spektrum yang lebih umum, pemahaman atas diri manusia sebagai “jenis”—laki-laki dan perempuan—, melahirkan kedekatan emosional terhadap lawan jenis yang dikenal dengan istilah “cinta”. Sebagai hal yang manusiawi, maka tak keliru dikatakan bahwa manusia adalah makhluk cinta. Sederhananya, manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari permasalahan terkait cinta ini, di mana pada gilirannya menciptakan kisah cintanya sendiri yang unik.

Keberadaan puisi-puisi bertema cinta dalam anto-logi ini menjadi bukti konkrit dari keberadaan manusia di atas. Berbagai kedekatan emosional terkait hubungan laki-laki dan perempuan bermanifestasi dalam bentuk-nya, yaitu puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Lelaki Penanam Bunga”—, puisi karya Nuruddin Zanky—“Engkau Laut”—, puisi karya Ahmad Shodiq—“Berita Kasih Cinta”—, 4 puisi karya Luthfi Sepat—“Aku Sebulir Nasi”, “Aku Inderamu”, “Renda Gaun Rembulan” dan “Senandung Rumbai Bunga-bunga”—, puisi karya Suharsono A.Q—“Gadis Perbatasan”—, puisi karya Emi Sudarwati—“Menuju Sebuah Jembatan”—, puisi karya Abdi Rahmansyah—“Menggelar Pukat” dan “Sekata Rindu”—, 2 puisi karya Dhilla Lembayung Senja—“Malaikat Tanpa Sayap” dan “Melati Berdarah”—, 2 puisi karya Debby Niken Kartika Witasari—“Bila Cintamu yang Tersesat” dan “Bukan Karena Aku”—, serta puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Senja di Pelabuhan Gresik”—.

Ekspresi cinta sebagai kreasi dan doa diungkapkan puisi ““Senandung Rumbai Bunga-bunga” karya Luthfi Sepat, sebagai berikut…

Barangkali rumbai bunga, kasihku/ Semacam isyarat paling rayu/ Senandung lantun doa-doa/;maka pulanglah// (hlm.71)

 

Lebih lanjut, realitas sosial juga menunjukkan feno-mena lain terkait hubungan laki-laki dan perempuan di atas, yakni adanya distorsi dari nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat, terutama nilai sosial-religius, serta kecenderungan untuk menjadi “jenis” yang anggap lebih mewadahi “kejenisan”-nya. Kesan ini ditunjukkan oleh 2 puisi karya Debby Niken Kartika Witasari— “Perempuan di Bawah Bulan” dan “Alif dan Dada Lelaki”—.

kecupanmu di bawah bulan/ dengan rambut tergerai/ lalu aku berkeping-keping menjadi udara/ aku perempuan, kamu perempuan//

(hlm. 42)

 

Demikian realita cinta sesama jenis diungkapkan puisi “Perempuan di Bawah Bulan”.

Kedekatan emosional terkait peran sosial, yakni profesi seorang guru, diungkapkan oleh puisi karya Emi Sudarwati—“Sekolah”—. Kesan lain yang bisa ditemukan dari puisi ini, yakni keberadaan manusia yang multi-peran, dimana pada kondisi tertentu akan memainkan peran yang berbeda, baik sebagai seorang ibu rumah tangga, seorang guru, maupun peran lainnya, tergantung konteks sosial yang dihadapinya.

Pagi buta, menanak beras/ lauk dan sayur pun tak lupa/ anak-anak harus sarapan/ sebelum berangkat/ menuntut ilmu……

Jam 7.30/ aku pun berangkat ke sekolah/ bukanlah untuk belajar/ namun menebar/ ilmuku memang tak seberapa……

Jam 14.00/ bergegas pulang/ membawa tumpukan proposal/ jalan hidup siswaku sayang/ semoga kelak/ tercapai harapan// (hlm. 50)

 

Poin penting dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial mengarah pada pembacaan dan refleksinya terhadap realitas sosial di masyarakat. Kedekatan emosional terhadap “kaum marjinal” menjadi kesan utama dari beberapa puisi, seperti puisi karya A. Inuy EA—“Perempuan Tayub”—, puisi karya Nuruddin Zanky—“Wanita Penyedu Laut”—.

Terkait hal di atas, keberadaan perempuan sebagai “objek” kesenangan laki-laki digambarkan oleh puisi “Perempuan Tayub” sebagai berikut:

……

Hilir mudik lelaki menggilirmu dalam pusaran tembang/ Sambil membawa uang yang diselipkan di belahan dadamu/ Tak ada lagi malam yang penuh kedamaian/

……

Ini hidupmu yang kau tuju/ sebagai parang slalu kau telan/ mengutuki perjalanan waktu yang menuntunmu/ dalam gemerlap tayub malam// (hlm. 4)

 

Sementara kritik terhadap industrialisasi dan pembangunan yang acapkali mengabaikan dampak sosial bagi masyarakat, kecuali keuntungan financial, diungkapkan dalam puisi karya Thoni Mukarrom IA—“Mengunjungi Kotamu”—.

……

Aku kembali ke kotamu/ Yang masih setia mengirimkan/ Asap membumbung dari corong pabrik di tengah kota,/ Yang membuatku batuk dan menutup mata/…… (hlm. 100)

Pada konteks ke-Indonesia-an, refleksi terhadap realitas sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diungkapkan oleh puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Negeri Sapu Tangan”—, dan puisi karya Benny Nasrullah—“Wajah Negeriku”—, yang menampil-kan kritik terhadap rasa nasionalisme kita sebagai bangsa, terutama kalangan “penjaga”-nya yang sering-kali menampilkan perilaku sebaliknya.

Pengalaman melihat bendera merah putih yang kumal dan sobek pada tiang depan kantor polisi menjadi gambaran puisi “Wajah Negeriku”, di mana pada gilirannya melahirkan refleksi, juga kritik terhadap kebangsaan kita, sebagaimana ungkapan berikut: ……

terlintas di benakku/ berapa harga kain bendera/ dibanding darah pahlawan/ apakah kita harus iuran/ untuk membeli kain bendera dan menggantinya?// (hlm. 37)

 

Kemudian refleksi terhadap sejarah nasional—tokoh—, menjadi inspirasi bagi puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Cut Nyak Dien Muda”— dalam menampilkan idealitas terkait berbagai permasalahan yang dihadapi anak bangsa—perempuan—dewasa ini.

……

Inilah perang edisi baru/ Perempuan-perempuan luka/ Menjelma Cut Nyak Dien Muda/ Di depan sendiri mereka berada/ Berteriak lantang tanpa TOA//

“Kamilah Cut Nyak Dien muda/ Dengan semangat merah bara/ Kan binasa soal galau/ Kan binasa soal patah/ Kan binasa soal menyerah/ Kan binasa soal amarah/ Kan binasa soal dendam”// …… (hlm. 81)

 

Sederhananya, puisi ini menegaskan bahwa untuk meneruskan perjuangan bangsa, seseorang perempuan harus melampaui permasalahan yang berkaitan dengan diri sendiri, terutama cinta yang kerap mengurung kreativitas para remaja.

Perpecahan di kalangan internal umat beragama—Islam—menjadi kesan penting dari puisi karya Dhilla Lembayung Senja—“Cerita Rembulan”—. Sementara pada konteks global, yakni hubungan antar bangsa, puisi karya Luqman Almishr—“Relief Gaza”— menam-pilkan empati terhadap nasib kemanusiaan sebuah bangsa (Palestina) yang berada dalam penindasan bangsa lain (Israel). Diungkapkan sebagai berikut:

melihat palestina;/ tanah-tanah terampas dari tuannya,/ rumah-rumah dirobohkan dengan bulldozer//

melihat palestina;/ air mata tak pernah kering meneteskan luka,/ anak-anak tak berdosa menjadi santapan mesiu//

melihat palestina;/ para zionis terus melucuti kemanusiaan/ darah terus mengalir di pelataran masjidil aqso//

melihat palestina;/ kita diam// (hlm. 66) 

 

Pengembaraan Burung dan Manusia sebagai Makhluk Lingkungan: Rusaknya Lingkungan Hidup dan Kritik Kemanusiaan Kita

Dalam perspektif ekologis-filosofis, hubungan manusia dengan lingkungan hidup merupakan sebuah keniscayaan. Sederhananya, antara manusia dengan lingkungan hidup terdapat keterikatan yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Tanpa keberadaan lingkungan hidup, mustahil manusia bisa hidup. Juga, rusaknya lingkungan hidup mengakibatkan rusaknya kehidupan manusia di lingkungan tersebut. Hubungan manusia dengan lingkungan bersifat dinamis. Dari sisi manusia, hubungannya dengan lingkungan merupakan sebuah kesadaran yang termaknai dan menjadi dasar serta inti dari eksistensi dan kepribadiannya.

Hubungan saling mempengaruhi di antara manusia dan lingkungan hidup, memiliki sifat pengaruh yang berbeda dari keduanya. Pengaruh lingkungan hidup terhadap manusia bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia terhadap lingkungan hidup lebih bersifat aktif. Manusia dengan akalnya, memiliki kemampuan eksploratif terhadap alam, sehingga mampu merubah lingkungan hidup sesuai yang dikehendakinya. Di pihak lain, meskipun tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan manusia, namun apa yang terjadi pada lingkungan hidup memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia. Perilaku eksploitatif-manipulatif manusia terhadap lingkungan hidup akan mengakibat-kan kerusakan langsung kepadanya serta memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia.

Kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah krusial secara global yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini. Permasalahan ini tidak hanya ditandai dengan berbagai fenomena alam, seperti tanah longsor, banjir, global warming, climate change, krisis air bersih, dan sebagainya, tetapi juga menunjuk pada penurunan kualitas sumberdayanya. Pada konteks “Pengembaraan Burung”, rusaknya lingkungan hidup ditunjukkan oleh puisi karya Rialita Fithra Asmara—“Surat Kepada Sungai”—, puisi karya A. Inuy EA—“Pesan dari Ibu”—, puisi karya Suharsono A.Q—“Kering”—, dan puisi karya Anis Ceha—“Gugur Daun”—.

Terkait hal di atas, puisi “Surat Kepada Sungai” mengungkapkan pengakuan bahwa kerusakan sungai—juga ekosistem lainnya—, disebabkan oleh perilaku manusia yang sembrono dan tidak peduli.

Yang Terhormat Sungai/ Yang membentang dari kota ke kota/ di mana saja//

……

Sekian dari kami,/ Yang tak bosan-bosan mengurasmu/ Merusakmu memanfaatkanmu/ dan segala me…./ yang lain// (hlm. 84)

 

Kesan penting dari puisi-puisi tersebut menunjuk pada kritik terhadap kemanusiaan kita sebagai makhluk lingkungan. Sementara permasalahan terkait rusaknya sungai akibat perilaku manusia serta kekeringan, tidak lain merupakan gambaran sebenarnya dari perilaku ekologis masyarakat dan kondisi lingkungan yang disaksikan oleh para penyairnya.

 

Penutup

Tulisan ini merupakan catatan kesan penulis atas antologi puisi “Pengembaraan Burung”, dengan lebih mengarah pada content puisi untuk mencari makna umum terkait kerangka konsep yang dikemukakan, yaitu kauniyah dan humanisme. Keberadaan antologi ini merupakan hasil “pembacaan” manusia terhadap dirinya sendiri dalam seluruh dimensi kehidupannya, sekaligus memproyeksikan humanisme-nya secara universal. [*]

 

 

IDENTITAS BUKU:

Judul       : Pengembaraan Burung (Antologi Puisi)

Penulis    : Herry Lamongan, Saiful Anam Assyaibani, dkk.

Penerbit   : Pustaka Ilalang

Cet. I      : Desember 2015

ISBN       : 978-602-2582-72-2

Ukuran    : 14 x 20 cm

Tebal      : viii + 118 hlm.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar