Catatan Kesan atas Kumpulan Puisi “Nyala Abadi”
Oleh A. Syauqi Sumbawi
PERISTIWA
KEMANUSIAAN merupakan inti, sekaligus menggerakkan kehidupan dunia. Di sini,
keterlibatan manusia menjadi sebuah keniscayaan, dimana keberadaannya tidak
hanya sebagai subjek, tetapi juga sebagai objek peristiwa. Sederhananya,
manusia adalah pembaca, kauniyah, dan proses itu sendiri. Karena itu, sangat
dipahami jika perintah pertama yang diberikan kepada manusia adalah perintah
membaca—proses intelektualitas dan spiritualitas—, yang pada gilirannya
melahirkan kesadaran atas kemanusiaannya.
Hal di atas
merupakan catatan kesan penulis terhadap puisi yang terbukukan dalam antologi
“Nyala Abadi” ini. Dari keseluruhannya, peristiwa dan proses kemanusiaan
menjadi ekspresi umum dari pembacaan dan kreativitas para penyairnya.
Peristiwa Kemanusiaan
Salah satu tema
penting terkait peristiwa kemanusiaan, terutama sebagai sebuah bangsa adalah
sejarah perjuangan kemerdekaan. Hal inilah yang tergambar dari puisi “Nyala Abadi” karya Herry
Lamongan—menjadi judul buku ini—, yang secara umum memproyeksikan nilai dan
semangat nasional-isme (religius). Begitu juga puisi karya Diyan Shodik Nurhadi
H—“Bambu Runcing”—, puisi karya Dwi
Da’watus Sholikha—“10 November 1945”—,
puisi karya Evi Dwi Widowati—“Semangat
Pahlawanku”—, puisi karya Tasliman—“Sang
Jenderal besar Pahlawanku”—, dan puisi karya Nurul Komariyah—“Tekad Bulat”—.
Terkait hal di
atas, puisi “Nyala Abadi”, mengung-kapkannya
sebagai berikut:
kembali kubaca jejak
tanganmu/ pada dinding di jalanan/ di buku-buku tebal sejarah,/ pengorbanan
sepanjang hayat telah kau pahat/ pada belantara waktu benak negeri/ yang rindu
merdeka bertahun-tahun/ rindu berdaulat atas bumi leluhur/ yang lepuh oleh
nafsu bengis para penjajah//
jihadmu menajam setiap
november/ aku mencatatnya pada rakaat sebelas/ dengan warna merah angka sepuluh
di jantung kalender,/ degup jam yang tak kunjung henti menampung/ menumpahkan
sukaduka jalan gerilya sajak-sajakku//
kembali terasa bangkit
semangat juangmu/ di hiruk mesiu kota Surabaya/ di lantang takbir bung tomo
seluas angkasa raya,/ ia membara/ membakar gegas khianat yang tumbuh pelan-pelan/ di tubuh negeri yang
belum lama tegak oleh/ proklamasi kemerdekaan/…… (hlm. 53)
Pada spektrum
yang lebih luas, perjuangan kemerdekaan sebagai proses yang terus menerus dapat
kita temukan dalam puisi karya Ahmad Rizanu Alami—“Sang Veteran”—, puisi karya Deny Fatmawati—“Pejuang”—, puisi karya Imam Sudjadi—“Ladang Juang”—, puisi karya Sukur—“Padamu Negeriku”—.
……
Kami hidup di era ini/
Simbol-simbol berkuasa/ Kami linglung di sini/ Kesenjangan meraja lela//
……
Sulit kupahami/ Makna
kehidupan ini/ Keberadaban yang terhempas/ Hanya berjuang agar tetap menjadi
waras// (hlm. 32)
Demikian ungkapan
puisi “Pejuang”, menampilkan realita
kesenjangan sosial di masyarakat. Juga kesenjangan antara idealitas nilai dan
realitas perilaku manusia. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan belum selesai,
yakni perjuangan menjadi manusia dan membela kemanusiaan.
Peristiwa
kemanusiaan lain yang ditampilkan dalam buku ini adalah bencana alam, yang pada
gilirannya menggerakkan spiritualitas dan rasa sosial pada diri manusia. Di
sini, rasa empati terhadap nasib sesama menjadi ekspresi yang paling kentara,
sebagaimana diungkapkan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Maha Dukana”—. Begitu juga puisi karya Nur Kholis Huda—“Mahligai Duka”—, sebagai berikut:
dalam hitungan angka empat/
menunjuk pada bulan kalender/ bumi mengisyarat/ dengan gerak ke gerak//
oh,/ kita berlinang pada
mahligai duka//
lombok, donggala, palu, sigi,
situbondo/ hingga mengimbas ujung madura// (hlm. 79)
Sementara kondisi
alam yang turut mempengaruhi kehidupan manusia disajikan dalam puisi karya
Sukur—“Kemarau”—, dan puisi karya Nur Kholis Huda—“Gerimis di Atas Kertas”—. Juga, puisi karya Herry Lamongan—“Pasar Dukana”— yang melukiskan kenangan
terkait kebakaran.
……
Debu berebut beterbangan/
Dedaunan terus berguguran/ Sumur mampat mata air/ sungai berhias kelok
kedangkalan/ Sungguh nestapa negeri ini// (hlm. 110)
Demikian ekspresi
dalam puisi “Kemarau” menggambarkan
kehidupan manusia dipengaruhi oleh kondisi alam.
Peristiwa
kemanusiaan yang secara khusus mengarah pada permasalahan sosial, baik politik,
ekonomi, agama maupun pendidikan, diungkapkan oleh beberapa puisi berikut,
yaitu puisi karya Dwi Da’watus Sholikha—“Indonesiaku
adalah Indonesiamu”—, 3 puisi karya Iva Titin Shovia—“Umrah Kreditan”, “Ada Bibir di Dahimu”, dan “Wajah Anak Sekolah Kita”—, puisi karya Nur Kholis Huda—“Seragam Tua”—, puisi karya Rohmat
Qosyim—“Lampu Merah Dekat Alon-alon
Kota”—, puisi karya Teguh Maranata—“Make
Up Tebal Bangsaku”—.
Pada puisi “Lampu Merah Dekat Alon-alon Kota”, gambaran kesenjangan sosial dan
keprihatinan tentang masa depan bangsa diekspresikan sebagai berikut: ……
Hilir mudik para guru
upacara/ Melintasi perempatan lampu merah/ Kulihat wajah para guru
berseri-seri/ berbaju rapi dan wangi/ Sungguh kontradiksi dengan anak-anak muda
tadi/ Mereka dekil, berbau, kusam dan layu//
Aku bertanya: apa yang salah
negeriku?/ Tunas bangsa yang mestinya mekar/ Mereka tumbuh liar di trotoar
jalanan/ Aku bertanya: bagaimana masa depan bangsaku?/ Bila anak mudanya saat
ini tidak perduli dengan/ masa depannya sendiri// (hlm. 86)
Hal yang perlu
digarisbawahi dari puisi-puisi di atas, yaitu keberadaannya sebagai puisi
sosial, yang umumnya mengekspresikan kritik konstruktif untuk perubahan yang
positif. Dalam sifatnya yang personal, peristiwa kemanusiaan diungkapkan puisi
Herry Lamongan—“Tukang Kayu”— yang
menghadirkan simpati atas perjuangan seorang tua dalam menjalankan peran dan
amanah.
dengan segenap lebih
kurangmu/ aku pilih engkau, entah/ tak sampai hati menyaksi/ tubuhmu aking,
riwa-riwi/ dari ibukota ke delapan penjuru/ daerah demi amanah itu/ kepada
ilahi kuwirid fatihah selalu/ untukmu. entah/ sesayap tukang kayu// (hlm. 58)
Proses Manusia
Salah satu keunikan manusia
adalah upayanya untuk memahami diri sendiri. Dalam proses awal, keberadaan
persona (manusia) sebagai role model
dan inspirasi, tidak bisa dipisahkan, serta potensial
dalam membangun diri manusia. Hal tersebut dapat dijumpai dalam puisi karya Evi
Dwi Widowati—“Bianglala Hidupku”— dan
puisi karya Sukur—Untukmu Ayahku” —,
yang menampilkan nilai-nilai ideal orang tua.
Dalam gambaran
tentang kasih sayang ibu, puisi “Bianglala
Hidupku” mengungkapkannya sebagai berikut:
……
Pancaran warna itu/ Membuatku
semakin bersemangat menyambut pagi/ Semburat warna yang menyimpan makna/ Dalam
kabut kelamnya roda kehidupan// …… (hlm. 46)
Sementara pada
dunia pendidikan, panutan dan inspirasi menunjuk pada keberadaan guru atau
pendi-dik, sebagaimana puisi karya Dwi Da’watus Sholikha—“Pahlawan Tak Berpedang”—, puisi karya Siti Fatimah—“Muara Senja”—, puisi karya Sukur—“Elegi Guru”—, puisi karya Taslimin—“Piala Cinta”—, dan puisi karya
Muhajiron—“Sang Pencerah”—.
……
dialah empunya kaki yang
selalu setia berjalan/ berpuluh kilo meter/ untuk bertemu pijar kecil di
seberang sana, katanya//……
dialah empunya tangan yang
selalu merangkul hangat/ jiwa suci di seberang sana, katanya//……
benar, dialah empunya bibir
yang tak pernah lelah/ menutur kata demi kata/ memahat kertas polos di seberang
sana, katanya//……
siapa dia?//
dialah potret sesungguhnya
pahlawan tanpa tanda jasa/ maha guru yang menginspirasi setiap mata
memandang/……
semoga kami yang kecil suatu
saat bisa mengikuti/ jejakmu dalam meniti kebaikan// (hlm. 102)
Demikian ungkapan
puisi “Muara Senja” tentang sosok
guru yang menjadi inspirasi bagi kehidupan murid-muridnya.
Sementara pada
dunia seni, inspirasi terkait kepenyairan diungkapkan oleh puisi karya Dwi
Da’watus Sholikha—“Pujangga”—.
Sementara inspirasi terkait emansipasi, ditampilkan puisi oleh puisi karya
Yohanes Yusi Ari—“Dara di Garis Batas”—.
Idealitas dan
inspirasi di atas, pada gilirannya meng-arahkan untuk menjadi sesuatu yang sama
[profesi]. Di sinilah proses kesadaran berlangsung, dimana nilai-nilai ideal
menjadi standar dalam evaluasi peran yang dilakukannya, sebagaimana diungkapkan
2 puisi karya Ahmad Rizanu Alami—“Sang
Pendidik” dan “Maafkan ‘Bapak’ Nak”—,
puisi karya Deny Fatmawati—“Batik
Pikirku”—, serta puisi karya Teguh Maranata—“Aku Bukanlah Guru”—.
Terkait proses
kesadaran di atas, puisi “Maafkan ‘Bapak’
Nak” mengungkapkannya sebagai berikut:
……
wahai hati dan jiwa yang
pernah kita bercengkerama/ ada maaf yang belum terucap/ aku bukan guru yang
baik/ dan aku juga bukan guru yang sangat buruk//
biarlah sang khalik
menjalankan peranku/ entah nanti muaranya kemana// (hlm. 21)
Di samping itu,
nilai-nilai ideal juga menjadi dasar dalam memahami dan menilai keberadaan
sesama, seperti yang diungkapkan oleh puisi karya Sukur—“Pesan Untuk Abangku”—, puisi karya Iva Titin Shovia—“Buat Tia”—, puisi karya Teguh Maranata—“Sombong”— dan puisi karya Taslimin—“Jika 1”—.
Pada puisi “Pesan Untuk Abangku”, tergerusnya
idealitas menyebabkan nilai seorang manusia turun di hadapan yang lain, seperti
diungkapkan sebagai berikut:
Setahun lalu/ Masih lekat dalam
benakku/ Engkau tanamkan asa baru/ Engkau ciptakan tatanan baru/ Seiring
berjalannya waktu/ Satu persatu tatanan engkau terjang/ Asa yang kau tanam
engkau benamkan/ Egomu/ Kepentinganmu/ Ketakutanmu/ Nalarmu/ Telah membelenggu
kearifanmu//
Kekagumanku/ Tertelan rasa
kecewa yang mendalam/ Hormatku/ Tertahan cara kewajiban/ Kewibawaanmu/ Hilang
di balik masa sekarang// (hlm. 111)
Kemudian, dalam
sifatnya yang umum, pemahaman atas peran manusia diungkapkan oleh 2 puisi karya
Nur Kholis Huda—“Tukang Goreng” dan “Bersemuka”—.
tiga November/ antara
purnama-purnama/ ikrar lima cangkir kedai sederhana/ pada sajak-sajak asa//
gores pena-pena lugu/
memenuhi lembaran semangat/ terikat satu/ wajah literasi kota alit//
nyala,/ jangan padam dahulu/
seribu sajak belum terlahir, bukan?//…. (hlm. 76)
Demikian puisi “Bersemuka” mengungkapkan sisi lain
kehidupan pegiat atau komunitas literasi.
Proses menjadi
manusia sebagai pribadi, yang sarat dengan berbagai permasalahan dan pertanyaan
hidup serta pengalaman dan harapan, digambarkan oleh puisi karya Deny
Fatmawati—“Atta Dippa”—, 3 puisi
karya Imam Sudjadi—“Pilihan”, “Ilalang”, dan
“Sunyi Sepi”—, puisi karya Diyan Nur
Shodik—“Ruang Semu Teman Sejati”—,
puisi karya Evi Dwi Widowati—“Bayangan
Semu”—, puisi karya Rohmat Qosyim—“Terik
Mentari”—, 2 puisi karya Teguh Maranata—“Galau”
dan “Kertas Putih”—, 2 puisi karya Windhi—“Hanya Sepenggal” dan “Kamar
Gelap”—.
Pada puisi “Kamar Gelap”, keberadaan manusia dan
kehidupannya muncul sebagai dialektika personal, terutama disebabkan oleh jarak
yang terbentang antara realita dan cita-cita, sebagaimana diungkapkan berikut
ini:
Apa yang kita pikirkan/ Kita
semakin menua/ Apa yang kita harapkan/ jalan hidup kadang tak sama/ Apa yang
kita banggakan, tak sadarkah kita ini apa?/…… (hlm. 129)
Pemahaman terkait manusia sebagai
“jenis”—laki-laki dan perempuan—melahirkan kedekatan emosional terhadap lawan
jenis yang dikenal dengan istilah “cinta”, yang pada gilirannya menciptakan kisah
cintanya sendiri yang unik. Keberadaan cinta sebagai anugerah menjadi kesan
dari 2 puisi karya Taslimin—“Dag Dig Dug
Der” dan “Buat Kamu”—, puisi
karya Rohmat Qosyim—“Mencintaimu dengan
Sederhana”—. Semen-tara puisi karya Sazma A. Al-Kautsar—“Apa itu Cinta”—, menampilkan ekspresi
cinta dalam kerangka yang lebih universal, yaitu kasih sayang.
Terkait hal di
atas, puisi “Mencintaimu dengan
Sederhana”, mengungkapkannya sebagai berikut:
……
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana/ Tanpa akhir tanpa batas masa/ Seperti kornea yang tak pernah
melihat/ Kelopak mata//
(hlm. 91)
Ekspresi harapan
dari yang tercinta, diungkapkan oleh puisi Imam Sudjadi—“Melati”—, 4 puisi
karya Nurul Komariyah—“Rona Cinta”, “Pijar Asmara”, “Siapakah Kau?”, dan “Egois
dan Puitis”—, puisi karya Rohmat Qosyim—“Semangat
Juang” dan “Senyummu Pesonamu”—,
puisi karya Sazma A. Al-Kautsar—“Semoga
Kelak”—, puisi karya Siti Fatimah—“Kasmaran”—,
puisi karya Taslimin—“Jika 2”—. Berikut-nya, ekspresi rindu dalam cinta
ditampilkan oleh puisi karya Evi Dwi Widowati—“Ruang Rindu”—.
……
Jika suatu hari nanti, tuhan mempertemukan
kita kembali/ akan kupersembahkan perjamuan meriah/ dengan aku rajanya, serta
kamu adalah/ permaisurinya// (hlm. 98)
Demikian ungkapan
puisi “Semoga Kelak” karya Sazma A.
Al-Kautsar mengekspresikan harapan cinta.
Kisah kebersamaan
laki-laki dan perempuan dalam cinta diungkapkan oleh puisi karya Diyan Shodik
Nurhadi H—“Pemilik Hati”—. Sementara
kisah cinta yang tak bersama, ditampilkan oleh puisi karya Diyan Shodik Nurhadi
H—“Doa Dalam Duka”—, puisi karya
Sazma A. Al-Kautsar—“Sebuah Kisah yang
Kosong” dan “Perihal Cinta Berakhir”—.
Keberadaan cinta dalam kaitannya dengan permasalahan rumah tangga digambarkan
oleh puisi karya Iva Titin Shovia—“Pesta
Jeruk di Syurga”—, puisi karya Siti Fatimah—“Saat Karut”—, puisi karya Windhi—“Wanita”—.
Pada puisi “Saat Karut”, keberadaan dan peran
saling melengkapi serta saling berbagi suka dan duka di antara laki-laki dan
perempuan (suami dan istri), diungkapkan sebagai berikut:
……
ada aku tempat bersandarmu
yang handal//
teman hidupku, perlu engkau
tahu/ dunia ini semakin ambigu/ dimana benar dan salah saling beradu/ bagai
warna hitam putih yang samar Nampak jadi abu-abu//…… (hlm. 106)
Kemudian, cinta
dalam bingkai kenangan diungkapkan oleh 2 puisi karya Ahmad Rizanu Alami—“Setidaknya Aku Pernah Berjuang” dan “Nyanyian Jiwa”—, puisi karya Diyan
Shodik Hurhadi H—“Jalan Cerita”—,
puisi karya Siti Fatimah—“Tentang Dia”—.
Sementara kenangan dalam pembacaan lebih luas, disajikan oleh puisi Sazma A.
Al-Kautsar—“Kala Senja di Kampungku”—,
puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Ingatan
Memutih”—, puisi karya Taslimin—“Senandung
Kata Pisah”—.
Pada puisi “Setidaknya Aku Pernah Berjuang”, kenangan
tentang cinta di masa lalu, diungkapkan sebagai berikut:
……
semua tak ada yang sia-sia/
namun setidaknya aku pernah berjuang/ walau kini hilang tak berbekas/ terlambat
kusadari/ arti indah bersamamu// (hlm. 22)
Proses menjadi
manusia, tentunya tidak bisa dilepaskan dari asal kehadirannya di dunia. Di
sini, pengenalan terhadap Dzat yang menguasai hidup dan kehidupannya,
melahirkan berbagai interpretasi dan ekspresi dinamis atas hubungan manusia
dengan-Nya. Proses pengenalan juga menjadi “pintu pertama” yang pada gilirannya
melahirkan ragam spiritualitas manusia.
Pengenalan
terhadap Tuhan melalui ciptaan-Nya ditunjukkan oleh puisi karya Evi Dwi
Widowati—“Sejuta Misteri di Balik Puncak”—,
puisi karya Siti Fatimah—“Gemintang”—,
puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Mata Embun”—.
Sementara pemahaman bahwa segala kejadian tidak bisa dilepaskan dari
kehendak-Nya, ditampilkan oleh puisi karya Muhajiron—“Tiki Taka Petaka”—, puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Lepas Maret”—. Demikian pula, 2 puisi
Deny Fatmawati—“Balutan Ragu” dan “Yang Mulia”—, puisi Dwi Da’watus
Sholikha—“Bersimpuh”—, puisi karya
Yohanes Yusi Ari—“Doa Seuntaiku”— di
mana Tuhan menjadi sandaran atas berbagai permasalahan hidup manusia.
……
Tak ada yang perlu disesali/
Biarlah waktu membawa diri/ mengikuti scenario Illahi/ tetap sabar memupuk
ikhlas dalam sanubari//
(hlm. 136)
Demikian bait
terakhir puisi “Lepas Maret”,
menggambar pemahaman bahwa skenario Tuhanlah yang berlaku dalam kehidupan ini.
Pemahaman dan
kesadaran di atas, pada gilirannya melahirkan rasa cinta dan kesetiaan
kepada-Nya, seperti diungkapkan puisi karya Muhajiron—“Kamu” dan “Ketika Istiqamah
Diuji”—. Pada puisi “Kamu”, rasa
cinta diungkapkan sebagai berikut:
Ku mencintaimu/ Melewati
batas kemampuan//……
Ku menyebutmu/ Di setiap
hembusan nafas//
Allah// (hlm. 72)
Proses pengenalan
Tuhan yang lebih mengarah pada tataran hakikat, diungkapkan oleh puisi karya
Zehan Zareez—“Sumpah, Ini Puisi!”—,
melalui upaya pengenalan diri sendiri secara filosofis. Dari sini, tampak bahwa
menjadi manusia bukan proses yang instans, melainkan proses yang sarat
perenungan menuju kesadaran, serta melibatkan seluruh potensi dan segala
keterkaitan yang menyertai kehadirannya. Dua bait pertama diekspresikan sebagai
berikut:
aku aku kau akui demi
pengakuan/ kau akukan aku hingga diakukan/ sementara aku tetap aku tanpa kau
akui/ akumu akuku hanya keakuan//
ya Aku, aku mengaku/ hanya
Kau yang pantas mengaku Aku/ ya Aku, aku mengaku/ Hanya Kau yang berhak mengaku
Aku//…… (hlm. 138)
Hal inilah, yang
juga menjadi kesan dari puisi karya Herry Lamongan—“Outbond Lima Cangkir Kopi”—, yang ditutup dengan ungkapan:
……
seperti rahasia waktu,/ kita
proklamasikan/ kilau sisik pada kali dan telaga/ sebelum syawal// (hlm. 59-60)
.
Penutup
Ulasan ini
merupakan pembacaan sederhana terhadap seluruh puisi yang terkumpul dalam antologi
“Nyala Abadi”, di mana peristiwa dan proses kemanusiaan menjadi ekspresi umum
dari pembacaan dan kreativitas para penyair.
Sebagai penutup,
jika perintah pertama manusia adalah “membaca”, maka perintah kedua adalah
“menulis”. Hal inilah yang tampaknya disadari oleh para penyair dengan
kehadiran kumpulan puisi “Nyala Abadi” sebagai satu episode dalam proses
manusia yang diharapkan dapat menjadi manfaat dan menyebarkan rahmat bagi
sesama. [*]
IDENTITAS BUKU:
Judul :
Nyala Abadi (Antologi Puisi)
Penulis :
Herry Lamongan, Nur Kholis Huda, Zehan Zareez dkk.
Penerbit : Pustaka GU bekerjasama dengan KKG Gugus II Kec. Lamongan
Cet. I :
November 2018
ISBN :
978-602-5071-34-8
Ukuran :
14,8 x 21 cm
Tebal :
152 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar