Laman

Sabtu, 07 November 2020

MEMBACA PERISTIWA, MENJUMPA MANUSIA


Catatan Kesan atas Kumpulan Puisi “Nyala Abadi”

Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

PERISTIWA KEMANUSIAAN merupakan inti, sekaligus menggerakkan kehidupan dunia. Di sini, keterlibatan manusia menjadi sebuah keniscayaan, dimana keberadaannya tidak hanya sebagai subjek, tetapi juga sebagai objek peristiwa. Sederhananya, manusia adalah pembaca, kauniyah, dan proses itu sendiri. Karena itu, sangat dipahami jika perintah pertama yang diberikan kepada manusia adalah perintah membaca—proses intelektualitas dan spiritualitas—, yang pada gilirannya melahirkan kesadaran atas kemanusiaannya.    

Hal di atas merupakan catatan kesan penulis terhadap puisi yang terbukukan dalam antologi “Nyala Abadi” ini. Dari keseluruhannya, peristiwa dan proses kemanusiaan menjadi ekspresi umum dari pembacaan dan kreativitas para penyairnya.    

 

Peristiwa Kemanusiaan

Salah satu tema penting terkait peristiwa kemanusiaan, terutama sebagai sebuah bangsa adalah sejarah perjuangan kemerdekaan. Hal inilah yang tergambar dari puisi “Nyala Abadi” karya Herry Lamongan—menjadi judul buku ini—, yang secara umum memproyeksikan nilai dan semangat nasional-isme (religius). Begitu juga puisi karya Diyan Shodik Nurhadi H—“Bambu Runcing”—, puisi karya Dwi Da’watus Sholikha—“10 November 1945”—, puisi karya Evi Dwi Widowati—“Semangat Pahlawanku”—, puisi karya Tasliman—“Sang Jenderal besar Pahlawanku”—, dan puisi karya Nurul Komariyah—“Tekad Bulat”—. 

Terkait hal di atas, puisi “Nyala Abadi”, mengung-kapkannya sebagai berikut:

kembali kubaca jejak tanganmu/ pada dinding di jalanan/ di buku-buku tebal sejarah,/ pengorbanan sepanjang hayat telah kau pahat/ pada belantara waktu benak negeri/ yang rindu merdeka bertahun-tahun/ rindu berdaulat atas bumi leluhur/ yang lepuh oleh nafsu bengis para penjajah//

jihadmu menajam setiap november/ aku mencatatnya pada rakaat sebelas/ dengan warna merah angka sepuluh di jantung kalender,/ degup jam yang tak kunjung henti menampung/ menumpahkan sukaduka jalan gerilya sajak-sajakku//

kembali terasa bangkit semangat juangmu/ di hiruk mesiu kota Surabaya/ di lantang takbir bung tomo seluas angkasa raya,/ ia membara/ membakar gegas khianat yang  tumbuh pelan-pelan/ di tubuh negeri yang belum lama tegak oleh/ proklamasi kemerdekaan/…… (hlm. 53)

 

Pada spektrum yang lebih luas, perjuangan kemerdekaan sebagai proses yang terus menerus dapat kita temukan dalam puisi karya Ahmad Rizanu Alami—“Sang Veteran”—, puisi karya Deny Fatmawati—“Pejuang”—, puisi karya Imam Sudjadi—“Ladang Juang”—, puisi karya Sukur—“Padamu Negeriku”—.

……

Kami hidup di era ini/ Simbol-simbol berkuasa/ Kami linglung di sini/ Kesenjangan meraja lela//

……

Sulit kupahami/ Makna kehidupan ini/ Keberadaban yang terhempas/ Hanya berjuang agar tetap menjadi waras// (hlm. 32)

 

Demikian ungkapan puisi “Pejuang”, menampilkan realita kesenjangan sosial di masyarakat. Juga kesenjangan antara idealitas nilai dan realitas perilaku manusia. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan belum selesai, yakni perjuangan menjadi manusia dan membela kemanusiaan.

Peristiwa kemanusiaan lain yang ditampilkan dalam buku ini adalah bencana alam, yang pada gilirannya menggerakkan spiritualitas dan rasa sosial pada diri manusia. Di sini, rasa empati terhadap nasib sesama menjadi ekspresi yang paling kentara, sebagaimana diungkapkan dalam puisi karya Herry Lamongan—“Maha Dukana”—. Begitu juga puisi karya Nur Kholis Huda—“Mahligai Duka”—, sebagai berikut:

dalam hitungan angka empat/ menunjuk pada bulan kalender/ bumi mengisyarat/ dengan gerak ke gerak//

oh,/ kita berlinang pada mahligai duka//

lombok, donggala, palu, sigi, situbondo/ hingga mengimbas ujung madura// (hlm. 79)

 

Sementara kondisi alam yang turut mempengaruhi kehidupan manusia disajikan dalam puisi karya Sukur—“Kemarau”—, dan puisi karya Nur Kholis Huda—“Gerimis di Atas Kertas”—. Juga, puisi karya Herry Lamongan—“Pasar Dukana”— yang melukiskan kenangan terkait kebakaran. 

……

Debu berebut beterbangan/ Dedaunan terus berguguran/ Sumur mampat mata air/ sungai berhias kelok kedangkalan/ Sungguh nestapa negeri ini// (hlm. 110)

 

Demikian ekspresi dalam puisi “Kemarau” menggambarkan kehidupan manusia dipengaruhi oleh kondisi alam.

Peristiwa kemanusiaan yang secara khusus mengarah pada permasalahan sosial, baik politik, ekonomi, agama maupun pendidikan, diungkapkan oleh beberapa puisi berikut, yaitu puisi karya Dwi Da’watus Sholikha—“Indonesiaku adalah Indonesiamu”—, 3 puisi karya Iva Titin Shovia—“Umrah Kreditan”, “Ada Bibir di Dahimu”, dan “Wajah Anak Sekolah Kita”—, puisi karya Nur Kholis Huda—“Seragam Tua”—, puisi karya Rohmat Qosyim—“Lampu Merah Dekat Alon-alon Kota”—, puisi karya Teguh Maranata—“Make Up Tebal Bangsaku”—.

Pada puisi “Lampu Merah Dekat Alon-alon Kota”, gambaran kesenjangan sosial dan keprihatinan tentang masa depan bangsa diekspresikan sebagai berikut: ……

Hilir mudik para guru upacara/ Melintasi perempatan lampu merah/ Kulihat wajah para guru berseri-seri/ berbaju rapi dan wangi/ Sungguh kontradiksi dengan anak-anak muda tadi/ Mereka dekil, berbau, kusam dan layu//

Aku bertanya: apa yang salah negeriku?/ Tunas bangsa yang mestinya mekar/ Mereka tumbuh liar di trotoar jalanan/ Aku bertanya: bagaimana masa depan bangsaku?/ Bila anak mudanya saat ini tidak perduli dengan/ masa depannya sendiri// (hlm. 86)

 

Hal yang perlu digarisbawahi dari puisi-puisi di atas, yaitu keberadaannya sebagai puisi sosial, yang umumnya mengekspresikan kritik konstruktif untuk perubahan yang positif. Dalam sifatnya yang personal, peristiwa kemanusiaan diungkapkan puisi Herry Lamongan—“Tukang Kayu”— yang menghadirkan simpati atas perjuangan seorang tua dalam menjalankan peran dan amanah. 

dengan segenap lebih kurangmu/ aku pilih engkau, entah/ tak sampai hati menyaksi/ tubuhmu aking, riwa-riwi/ dari ibukota ke delapan penjuru/ daerah demi amanah itu/ kepada ilahi kuwirid fatihah selalu/ untukmu. entah/ sesayap tukang kayu// (hlm. 58)

 

Proses Manusia

Salah satu keunikan manusia adalah upayanya untuk memahami diri sendiri. Dalam proses awal, keberadaan persona (manusia) sebagai role model dan inspirasi, tidak bisa dipisahkan, serta potensial dalam membangun diri manusia. Hal tersebut dapat dijumpai dalam puisi karya Evi Dwi Widowati—“Bianglala Hidupku”— dan puisi karya Sukur—Untukmu Ayahku” —, yang menampilkan nilai-nilai ideal orang tua.

Dalam gambaran tentang kasih sayang ibu, puisi “Bianglala Hidupku” mengungkapkannya sebagai berikut:

……

Pancaran warna itu/ Membuatku semakin bersemangat menyambut pagi/ Semburat warna yang menyimpan makna/ Dalam kabut kelamnya roda kehidupan// …… (hlm. 46)

 

Sementara pada dunia pendidikan, panutan dan inspirasi menunjuk pada keberadaan guru atau pendi-dik, sebagaimana puisi karya Dwi Da’watus Sholikha—“Pahlawan Tak Berpedang”—, puisi karya Siti Fatimah—“Muara Senja”—, puisi karya Sukur—“Elegi Guru”—, puisi karya Taslimin—“Piala Cinta”—, dan puisi karya Muhajiron—“Sang Pencerah”—.

……

dialah empunya kaki yang selalu setia berjalan/ berpuluh kilo meter/ untuk bertemu pijar kecil di seberang sana, katanya//……

dialah empunya tangan yang selalu merangkul hangat/ jiwa suci di seberang sana, katanya//……

benar, dialah empunya bibir yang tak pernah lelah/ menutur kata demi kata/ memahat kertas polos di seberang sana, katanya//……

siapa dia?//

dialah potret sesungguhnya pahlawan tanpa tanda jasa/ maha guru yang menginspirasi setiap mata memandang/……

semoga kami yang kecil suatu saat bisa mengikuti/ jejakmu dalam meniti kebaikan// (hlm. 102)

 

Demikian ungkapan puisi “Muara Senja” tentang sosok guru yang menjadi inspirasi bagi kehidupan murid-muridnya.

Sementara pada dunia seni, inspirasi terkait kepenyairan diungkapkan oleh puisi karya Dwi Da’watus Sholikha—“Pujangga”—. Sementara inspirasi terkait emansipasi, ditampilkan puisi oleh puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Dara di Garis Batas”—.

Idealitas dan inspirasi di atas, pada gilirannya meng-arahkan untuk menjadi sesuatu yang sama [profesi]. Di sinilah proses kesadaran berlangsung, dimana nilai-nilai ideal menjadi standar dalam evaluasi peran yang dilakukannya, sebagaimana diungkapkan 2 puisi karya Ahmad Rizanu Alami—“Sang Pendidik” dan “Maafkan ‘Bapak’ Nak”—, puisi karya Deny Fatmawati—“Batik Pikirku”—, serta puisi karya Teguh Maranata—“Aku Bukanlah Guru”—.

Terkait proses kesadaran di atas, puisi “Maafkan ‘Bapak’ Nak” mengungkapkannya sebagai berikut:

……

wahai hati dan jiwa yang pernah kita bercengkerama/ ada maaf yang belum terucap/ aku bukan guru yang baik/ dan aku juga bukan guru yang sangat buruk//

biarlah sang khalik menjalankan peranku/ entah nanti muaranya kemana// (hlm. 21)

 

Di samping itu, nilai-nilai ideal juga menjadi dasar dalam memahami dan menilai keberadaan sesama, seperti yang diungkapkan oleh puisi karya Sukur—“Pesan Untuk Abangku”—, puisi karya Iva Titin Shovia—“Buat Tia”—, puisi karya Teguh Maranata—“Sombong”— dan puisi karya Taslimin—“Jika 1”—.

Pada puisi “Pesan Untuk Abangku”, tergerusnya idealitas menyebabkan nilai seorang manusia turun di hadapan yang lain, seperti diungkapkan sebagai berikut:

Setahun lalu/ Masih lekat dalam benakku/ Engkau tanamkan asa baru/ Engkau ciptakan tatanan baru/ Seiring berjalannya waktu/ Satu persatu tatanan engkau terjang/ Asa yang kau tanam engkau benamkan/ Egomu/ Kepentinganmu/ Ketakutanmu/ Nalarmu/ Telah membelenggu kearifanmu//

Kekagumanku/ Tertelan rasa kecewa yang mendalam/ Hormatku/ Tertahan cara kewajiban/ Kewibawaanmu/ Hilang di balik masa sekarang// (hlm. 111)

 

Kemudian, dalam sifatnya yang umum, pemahaman atas peran manusia diungkapkan oleh 2 puisi karya Nur Kholis Huda—“Tukang Goreng” dan “Bersemuka”—.

tiga November/ antara purnama-purnama/ ikrar lima cangkir kedai sederhana/ pada sajak-sajak asa//

gores pena-pena lugu/ memenuhi lembaran semangat/ terikat satu/ wajah literasi kota alit//

nyala,/ jangan padam dahulu/ seribu sajak belum terlahir, bukan?//…. (hlm. 76)

 

Demikian puisi “Bersemuka” mengungkapkan sisi lain kehidupan pegiat atau komunitas literasi.  

Proses menjadi manusia sebagai pribadi, yang sarat dengan berbagai permasalahan dan pertanyaan hidup serta pengalaman dan harapan, digambarkan oleh puisi karya Deny Fatmawati—“Atta Dippa”—, 3 puisi karya Imam Sudjadi—“Pilihan”, “Ilalang”, dan “Sunyi Sepi”—, puisi karya Diyan Nur Shodik—“Ruang Semu Teman Sejati”—, puisi karya Evi Dwi Widowati—“Bayangan Semu”—, puisi karya Rohmat Qosyim—“Terik Mentari”—, 2 puisi karya Teguh Maranata—“Galau” dan “Kertas Putih”—, 2 puisi karya Windhi—“Hanya Sepenggal” dan “Kamar Gelap”—.

Pada puisi “Kamar Gelap”, keberadaan manusia dan kehidupannya muncul sebagai dialektika personal, terutama disebabkan oleh jarak yang terbentang antara realita dan cita-cita, sebagaimana diungkapkan berikut ini:

Apa yang kita pikirkan/ Kita semakin menua/ Apa yang kita harapkan/ jalan hidup kadang tak sama/ Apa yang kita banggakan, tak sadarkah kita ini apa?/…… (hlm. 129)

 

 Pemahaman terkait manusia sebagai “jenis”—laki-laki dan perempuan—melahirkan kedekatan emosional terhadap lawan jenis yang dikenal dengan istilah “cinta”, yang pada gilirannya menciptakan kisah cintanya sendiri yang unik. Keberadaan cinta sebagai anugerah menjadi kesan dari 2 puisi karya Taslimin—“Dag Dig Dug Der” dan “Buat Kamu”—, puisi karya Rohmat Qosyim—“Mencintaimu dengan Sederhana”—. Semen-tara puisi karya Sazma A. Al-Kautsar—“Apa itu Cinta”—, menampilkan ekspresi cinta dalam kerangka yang lebih universal, yaitu kasih sayang.

Terkait hal di atas, puisi “Mencintaimu dengan Sederhana”, mengungkapkannya sebagai berikut:

……

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ Tanpa akhir tanpa batas masa/ Seperti kornea yang tak pernah melihat/ Kelopak mata//

(hlm. 91)

 

Ekspresi harapan dari yang tercinta, diungkapkan oleh puisi Imam Sudjadi—“Melati”—, 4 puisi karya Nurul Komariyah—“Rona Cinta”, “Pijar Asmara”, “Siapakah Kau?”, dan “Egois dan Puitis”—, puisi karya Rohmat Qosyim—“Semangat Juang” dan “Senyummu Pesonamu”—, puisi karya Sazma A. Al-Kautsar—“Semoga Kelak”—, puisi karya Siti Fatimah—“Kasmaran”—, puisi karya Taslimin—“Jika 2”—. Berikut-nya, ekspresi rindu dalam cinta ditampilkan oleh puisi karya Evi Dwi Widowati—“Ruang Rindu”—.

……

Jika suatu hari nanti, tuhan mempertemukan kita kembali/ akan kupersembahkan perjamuan meriah/ dengan aku rajanya, serta kamu adalah/ permaisurinya// (hlm. 98)

 

Demikian ungkapan puisi “Semoga Kelak” karya Sazma A. Al-Kautsar mengekspresikan harapan cinta.

Kisah kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam cinta diungkapkan oleh puisi karya Diyan Shodik Nurhadi H—“Pemilik Hati”—. Sementara kisah cinta yang tak bersama, ditampilkan oleh puisi karya Diyan Shodik Nurhadi H—“Doa Dalam Duka”—, puisi karya Sazma A. Al-Kautsar—“Sebuah Kisah yang Kosong” dan “Perihal Cinta Berakhir”—. Keberadaan cinta dalam kaitannya dengan permasalahan rumah tangga digambarkan oleh puisi karya Iva Titin Shovia—“Pesta Jeruk di Syurga”—, puisi karya Siti Fatimah—“Saat Karut”—, puisi karya Windhi—“Wanita”—.

Pada puisi “Saat Karut”, keberadaan dan peran saling melengkapi serta saling berbagi suka dan duka di antara laki-laki dan perempuan (suami dan istri), diungkapkan sebagai berikut:

……

ada aku tempat bersandarmu yang handal//

teman hidupku, perlu engkau tahu/ dunia ini semakin ambigu/ dimana benar dan salah saling beradu/ bagai warna hitam putih yang samar Nampak jadi abu-abu//…… (hlm. 106)

 

Kemudian, cinta dalam bingkai kenangan diungkapkan oleh 2 puisi karya Ahmad Rizanu Alami—“Setidaknya Aku Pernah Berjuang” dan “Nyanyian Jiwa”—, puisi karya Diyan Shodik Hurhadi H—“Jalan Cerita”—, puisi karya Siti Fatimah—“Tentang Dia”—. Sementara kenangan dalam pembacaan lebih luas, disajikan oleh puisi Sazma A. Al-Kautsar—“Kala Senja di Kampungku”—, puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Ingatan Memutih”—, puisi karya Taslimin—“Senandung Kata Pisah”—.

Pada puisi “Setidaknya Aku Pernah Berjuang”, kenangan tentang cinta di masa lalu, diungkapkan sebagai berikut:

……

semua tak ada yang sia-sia/ namun setidaknya aku pernah berjuang/ walau kini hilang tak berbekas/ terlambat kusadari/ arti indah bersamamu// (hlm. 22)

 

Proses menjadi manusia, tentunya tidak bisa dilepaskan dari asal kehadirannya di dunia. Di sini, pengenalan terhadap Dzat yang menguasai hidup dan kehidupannya, melahirkan berbagai interpretasi dan ekspresi dinamis atas hubungan manusia dengan-Nya. Proses pengenalan juga menjadi “pintu pertama” yang pada gilirannya melahirkan ragam spiritualitas manusia.

Pengenalan terhadap Tuhan melalui ciptaan-Nya ditunjukkan oleh puisi karya Evi Dwi Widowati—“Sejuta Misteri di Balik Puncak”—, puisi karya Siti Fatimah—“Gemintang”—, puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Mata Embun”—. Sementara pemahaman bahwa segala kejadian tidak bisa dilepaskan dari kehendak-Nya, ditampilkan oleh puisi karya Muhajiron—“Tiki Taka Petaka”—, puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Lepas Maret”—. Demikian pula, 2 puisi Deny Fatmawati—“Balutan Ragu” dan “Yang Mulia”—, puisi Dwi Da’watus Sholikha—“Bersimpuh”—, puisi karya Yohanes Yusi Ari—“Doa Seuntaiku”— di mana Tuhan menjadi sandaran atas berbagai permasalahan hidup manusia.

……

Tak ada yang perlu disesali/ Biarlah waktu membawa diri/ mengikuti scenario Illahi/ tetap sabar memupuk ikhlas dalam sanubari//

(hlm. 136)

 

Demikian bait terakhir puisi “Lepas Maret”, menggambar pemahaman bahwa skenario Tuhanlah yang berlaku dalam kehidupan ini.

Pemahaman dan kesadaran di atas, pada gilirannya melahirkan rasa cinta dan kesetiaan kepada-Nya, seperti diungkapkan puisi karya Muhajiron—“Kamu” dan “Ketika Istiqamah Diuji”—. Pada puisi “Kamu”, rasa cinta diungkapkan sebagai berikut:

Ku mencintaimu/ Melewati batas kemampuan//……

Ku menyebutmu/ Di setiap hembusan nafas//

Allah// (hlm. 72)

 

Proses pengenalan Tuhan yang lebih mengarah pada tataran hakikat, diungkapkan oleh puisi karya Zehan Zareez—“Sumpah, Ini Puisi!”—, melalui upaya pengenalan diri sendiri secara filosofis. Dari sini, tampak bahwa menjadi manusia bukan proses yang instans, melainkan proses yang sarat perenungan menuju kesadaran, serta melibatkan seluruh potensi dan segala keterkaitan yang menyertai kehadirannya. Dua bait pertama diekspresikan sebagai berikut:

aku aku kau akui demi pengakuan/ kau akukan aku hingga diakukan/ sementara aku tetap aku tanpa kau akui/ akumu akuku hanya keakuan//

ya Aku, aku mengaku/ hanya Kau yang pantas mengaku Aku/ ya Aku, aku mengaku/ Hanya Kau yang berhak mengaku Aku//…… (hlm. 138)

 

Hal inilah, yang juga menjadi kesan dari puisi karya Herry Lamongan—“Outbond Lima Cangkir Kopi”—, yang ditutup dengan ungkapan:

……

seperti rahasia waktu,/ kita proklamasikan/ kilau sisik pada kali dan telaga/ sebelum syawal// (hlm. 59-60)

.

Penutup

Ulasan ini merupakan pembacaan sederhana terhadap seluruh puisi yang terkumpul dalam antologi “Nyala Abadi”, di mana peristiwa dan proses kemanusiaan menjadi ekspresi umum dari pembacaan dan kreativitas para penyair.

Sebagai penutup, jika perintah pertama manusia adalah “membaca”, maka perintah kedua adalah “menulis”. Hal inilah yang tampaknya disadari oleh para penyair dengan kehadiran kumpulan puisi “Nyala Abadi” sebagai satu episode dalam proses manusia yang diharapkan dapat menjadi manfaat dan menyebarkan rahmat bagi sesama. [*]

 

IDENTITAS BUKU:

Judul       : Nyala Abadi (Antologi Puisi)

Penulis   : Herry Lamongan, Nur Kholis Huda, Zehan Zareez dkk.

Penerbit : Pustaka GU bekerjasama dengan KKG Gugus II Kec. Lamongan

Cet. I       : November 2018

ISBN       : 978-602-5071-34-8

Ukuran   : 14,8 x 21 cm

Tebal       : 152 hlm.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar