Laman

Sabtu, 07 November 2020

NAHDLATUL ULAMA DALAM PUISI

Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Muhasabah Warna”

Oleh A. Syauqi Sumbawi

 

KEBERADAAN Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia hingga sekarang ini, tidak bisa dilepaskan dari lintasan historisnya dalam mengemban peran keagamaan dan kebangsaan. Pada titik ini, dialektika konstruktif dalam bingkai Islam dan ke-Indonesia-an, merupakan proses penting yang menjadikannya sebagai ormas Islam wasathiyah atau moderat serta mengakar pada kepribumiannya.

Secara historis, lahirnya NU pada tahun 1926 ber-tepatan dengan periode paling dinamis dari kebangkitan Islam dan pergerakan nasional, baik Indonesia maupun bangsa-bangsa lain di kawasan Asia-Afrika. Gerakan Islam modernis yang bergema di seluruh Dunia Islam serta menguatnya paham Wahabi dalam kehidupan politik di Arab Saudi—terutama berkaitan tuntutan penyamaan madzhab—, tidak dipungkiri melahirkan polarisasi aliran dan pemikiran keislaman yang harus dijawab oleh kalangan Islam tradisionalis. Di sisi lain, pergerakan nasional Indonesia dan kesadaran politik yang semakin kuat sejak tahun 1920-an untuk mencapai kemerdekaan dari cengkeram-an pemerintah kolonial Belanda, mensyaratkan dukung-an rakyat secara luas.

Tidak dipungkiri, kalangan Islam tradisonalis yang secara kultural berada di bawah kepemimpinan para ulama pesantren merupakan kelompok mayoritas pribumi Muslim. Dikuatkan dengan proses Islamisasi yang mengarah pada pribumisasi Islam, kalangan ini lahir dan bersama-sama mempraktikkan ajaran Islam sejak masuknya agama tersebut di Indonesia. Maka, tidak heran NU kemudian menjadi ormas Islam terbesar mengingat keberadaan basis pendukungnya yang telah jauh terbentuk sebelum organisasi formalnya.

Kemudian, mengiringi perkembangan Islam dan pergerakan nasional di atas, para ulama yang semula terikat dalam hubungan kekeluargaan dan jaringan keilmuwan—kyai dan santri—, serta perayaan haul yang mengikat para ulama dengan masyarakat luas, mulai merasakan kebutuhan terhadap sebuah jam’iyah atau organisasi. Di samping sebagai penguatan identitas serta konsolidasi dan intensifikasi Islam berhaluan ahlus-sunnah wal jama’ah, keberadaan NU juga dimaksudkan untuk memupuk kesadaran nasionalisme di kalangan pribumi.

Terkait hal di atas, setidaknya terdapat dua proses dialektika yang terjadi secara bersamaan dan menyertai eksistensi NU hingga dewasa ini, yaitu dialektika Islam dan budaya serta dialektika Islam dan kebangsaan, teru-tama untuk meneguhkan identitasnya. Intensitas dalam proses dialektika ini, pada gilirannya menjadikan NU semakin mapan dalam mengemban peran keagamaan dan kebangsaan sekaligus, sebagaimana bisa dilihat dari slogan “NU penjaga Aswaja dan NKRI” dan ungkapan lain dengan makna yang sama. Tentunya, hal ini akan sulit terwujud tanpa adanya manhaj kebera-gamaan NU yang berpegang pada prinsip tawasuth, ta’adul, tawazun, dan tasamuh serta kesadaran amar ma’ruf nahi munkar dengan pendekatan kultural.

 

Konstruksi “Muhasabah Warna”: Merefleksikan NU dengan Puisi

Eksistensi dan peran NU di atas, menjadi konteks penulis dalam pembacaan atas antologi puisi “Muhasabah Warna”. Hal tersebut ternyata juga merupakan proyeksi besar dari sepai-sepai tematik 70 puisi karya 22 penyair yang hadir di dalamnya. Bukan sebuah kebetulan, melainkan inilah tujuan dari Lesbumi PCNU Babat, bahwa antologi ini dimaksudkan untuk merefleksikan eksistensi dan peran NU yang secara eksplisit dirumuskan dalam tema “NU Penjaga Aswaja dan NKRI”. 

Satu hal yang menjadi perhatian, bahwa mencipta puisi sesuai dengan arahan tema, merupakan tantangan tersendiri. Pada sebagian kasus, tema acapkali muncul sebagai “jebakan” dalam kreativitas, dimana pada gilirannya, keberadaan puisi lebih tampak sebagai jargon. Atau puisi lebih mengarah pada keberadaannya sebagai pesan-pesan tersurat dengan kata-kata yang lugas. Di sinilah, pengalaman seorang penyair dalam menuangkan ide dan perasaannya dalam bentuk puisi menjadi penting. Baik pengalaman ketika berhadapan dengan bahan dan inspirasi puisi, pengalaman terkait kebahasaan puisi, maupun pengalaman dalam mengeks-presikannya. Luasnya pengalaman seorang penyair pada gilirannya menentukan kualitas sebuah karya.

Lepas dari masalah pengalaman di atas, antologi puisi ini merupakan hasil pembacaan mengenai NU dan seluk-beluknya, yang sekaligus menjadi identitas sosial dari para penyair. Dalam ekspresinya, puisi-puisi dalam antologi ini setidaknya dapat dikategorisasikan dalam beberapa concern pembacaan, yaitu aswaja yang menjadi manhaj keberagamaan, kesadaran dan identitas NU, tradisi pesantren dan masyarakat tradisional lainnya.

 

Membaca Aswaja; Dialektika Islam, Pluralitas Budaya, dan Kebangsaan

Aswaja menjadi concern pertama dalam antologi ini. Keberadaannya sebagai manhaj keberagamaan yang rahmatan lil alamin menjadi modal penting dalam dialektika antara Islam dan budaya, Islam dan kebangsaan, serta dalam menjalin harmoni dalam pluralitas. Hal ini menjadi kesan umum dari puisi “Muhasabah Warna” karya Ahmad Shodiq, yang sekaligus menjadi judul antologi ini.

……

Sesekali di sore hari temui mereka di serambi, hijau banyak menempel di seragam ngaji anak-anak TPQ yang akan menjadi pondasi keabadian Qur’an sebagai warisan Nabi.//

Sesekali lihat apa yang mereka pegang, hijau menjadi warna pilihan desain sampul buku Yaasin yang tlaten dibaca walau sudah hafal dengan segala kerendahan menggaungkan kalimat-kalimat Tauhid pengakuan kebesaran Tuhan di setiap Kamis Malam//

……

Kini, apa masalahmu pada merah dan putih serta subur hijau dan tanah tempat kita berdiri?..... (hlm. 12-13)

 

Dalam interpretasinya, penerapan aswaja dalam kehidupan sehari-hari digambarkan dalam tradisi keberagamaan NU yang lebih menekankan substansi dengan pendekatan kultural. Bukan simbolis dan politis, sebagaimana gerakan ideologi (Islam) trans-nasional dan gerakan (Islam) radikal lainnya.

Terkait hadits tentang tujuhpuluhtiga firqah dalam Islam, puisi “Ahlussunnah wal Jama’ah”, karya Muhammad Afif Junaidi, menghadirkan pemahaman aswaja secara substansial, yakni kesadaran dan jalan hidup yang berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah, beramal shalih, serta amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini terutama untuk menghindari klaim kebenaran dari satu golongan serta memandang sesat golongan lainnya. Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:

Konon nanti akan terbagi firqoh-firqoh menjadi hingga tujuh puluh tiga bagian/ Yang lain masuk neraka satu golongan yang ke surga/ Bukankah bangsa ini sudah bosan dengan fragmen mengkotak-kotakkan/ Apalagi lantang berani mengambil alih wilayah dan hak prerogatif Tuhan// ……

Hanyalah dirimu sendiri dan amal baikmu yang telah menjadi kunci/ pastikan hati senantiasa terpaut pada ilahi rabbi// (hlm. 42)

 

Sementara pada 3—bagian dari— puisi “NU Penjaga Aswaja dan NRKI” karya Achmad Farid Ali Irsyadi, aswaja ditampilkan secara fungsional, yakni sebagai ben-teng dari ekstremisme madzhab dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam, serta pengikat keragaman agama dan budaya dalam satu bingkai ke-Indonesia-an. Dalam ekspresinya, hal tersebut digambarkan sebagai berikut:

...

Dirimu nahkoda gerbang utama/ Pemersatu segala agama/ Segala ancaman menggoda/ Tak satupun yang binasa// (“puisi 1”, hlm. 1)

……

Aswaja benteng negara/ Seutas nama bergelar agama/ Percikan perjuangan membara/ Sampai titik penghabisan tuk negara/ Dan keselamatan NKRI terjaga// (“puisi 2”, hlm. 2)

……

Kini engkau menjadi garda terdepan/ Sebagai selimut umat/ Menyatukan perbedaan/ Dalam bingkai kebhinnekaan/….. (“Puisi 3”, hlm. 3)

 

Peran aswaja sebagai pengikat keragaman, dilatarbelakangi oleh pemahaman dan kesadaran bahwa pluralitas adalah sunnatullah. Pesan utama dari hal tersebut adalah li ta’arafu, agar manusia saling mengenal, yang pada gilirannya berlanjut dengan proses, tafahhum (saling memahami), ta’awun (saling bekerja-sama) hingga dapat bekerjasama dalam satu kesatuan (takafful) untuk mengaktualisasikan peran kemanusiaan secara luas. Hal inilah yang menjadi gambaran umum dari puisi Berjuanglah Kesadaran” karya Fathun Nasihin.

……

Kemajemukan adalah sunatullah/ Menyulam fikiran tetap berada di garis edar/ Tak berarti berhenti berbenah/ Berharap segala upaya dalam koridor agama//……

Demi tujuan mulia kemanusiaan//..…. (hlm. 22)

 

Membaca Nahdlatul Ulama: Identifikasi Jam’iyah dan Kesadaran diri sebagai Jama’ah

Pembacaan terhadap NU menjadi ekspresi mayo-ritas dari antologi puisi ini. Berbagai ragam pengalaman mempengaruhi sudut pandang para penyair dalam proses identifikasi jam’iyah dan kesadaran diri sebagai jamaah.

Keberadaan basis massa terbesar, yakni kalangan muslim tradisionalis yang hidup di pedesaan, menjelas-kan posisi NU yang krusial dalam peran keagamaan dan peran kebangsaan, sekaligus menggambarkan tantangan besar yang dihadapi mengiringi perjalanan sejarahnya. Di sini, ngemong menjadi pola umum dari dakwah kultural yang dikembangkan para kyai NU dalam membangun pemahaman dan kesadaran beragama dan bernegara, sebagaimana juga dilakukan oleh para Walisongo yang menjadi inspirasinya. Karena itu, wajar jika NU kemudian menjadi identitas sosial kalangan mayoritas pribumi Muslim, baik dalam pola keberaga-maan maupun keberadaannya sebagai bangsa Indonesia.

Kesuksesan dalam mengemban peran keagamaan dan kebangsaan di atas disebabkan oleh keberhasilan NU dalam dialektika antara universalisme Islam dengan partikularitas budaya. Begitu juga dalam dialektika antara agama dan negara. Tentunya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari manhaj keberagamaan NU, yakni aswaja an-nahdliyah—sebagaimana dijelaskan di atas—. Begitu juga ushushul khamsh—tujuan penerapan syariat—, yang diinterpretasikan secara proporsional dengan pendekatan kultural.

Proses identifikasi terhadap eksistensi dan peran NU di atas, menjadi gambaran umum dari beberapa puisi dalam antologi ini, antara lain yaitu 4 puisi karya Agung SuprayitnoberjudulBahtera”, “Cahaya Kebangkitan”, Sebuah Kesaksian”, dan “31 Januari Lagi” —, 3 puisi karya Ahmad Zaini—berjudul “Penyelamat Hidup”, “Tentang Kehadiranmu”, dan “Tradisi Dakwah” —, 2 puisi karya Moh. Agung Santoso—berjudul “Dimanakah Tempat Itu” dan “Kembalilah Anakku”—, puisi karya Muhammad Afif Junaidi berjudulIhwal Menjaga Kewarasan”, puisi karya Mbah Lamong (Arengga Putra) berjudul “Fasilitas Sembilan Bintang”, puisi karya Ahmad Shodiq berjudul “Tawasul Cinta”, dan puisi karya M. Alief Mubaidillah Sm. berjudul NU dan NKRI”.

Keberadaan dan peran di atas terekspresikan dalam puisi “Tentang Kehadiranmu” karya Ahmad Zaini, sebagai berikut;

Kehadiranmu di tengah keremangan/ memperjelas sulur menuju jalan lurus/ Tak peduli aral mengganjal perjalanan/ Dirimu tenang mewarnai hidup damai//……

Banyak cobaan memendam nilai dan tradisimu/ Namun zaman telah mengikis mereka/ Hingga nilai dan tradisimu semakin jaya//

Tegak beri’tidal/ Sikap bertawazun dan bertasamuh/ Seraya berdiri dengan keseimbangan/ Beramar ma’ruf nahi munkar// (hlm. 83)

 

Pembacaan terhadap keberadaan NU dalam dimensi spiritual, ditunjukkan oleh 4 puisi karya Jadid Al Farisy berjudul “Melibas Prahara”, “Maka Lahirlah Keberkah-an”, “Masihkah”, dan “Tali Jagad”.  Kesan utama dari puisi-puisi ini, bahwa NU bukan sekedar organisasi lahiriyah, melainkan lebih sebagai “anak” spiritual dari para Kyai. Di balik keberadaannya, berdiri daya spiritual yang besar berupa doa dan laku tirakat. Daya spiritual inilah yang kemudian menjelma sebagai pengikat antara NU dan jama’ahnya serta mengobarkan semangat perjuangan NU di kalangan kadernya. Maka wajar, jika NU tidak hanya terjaga eksistensinya hingga sekarang, tetapi semakin mapan dan terus berkembang.

Pada puisi “Tali Jagad” karya Jadid Al farisy, kesan tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Tahukah kau/ Sebuah tali kokoh/ Melingkar indah di atas bumi/ Adalah pancaran doa dimensi alam semesta/ Sirri mencipta daya/ Lantunan Kalam nan suci/ Menggema ke penjuru negeri/ Ya Jabbar… Ya Qohhar…/ Ya Jabbar… Ya Qohhar…/ Tali Jagad/ Menyimpul kedalaman hati/ Kuatkan pondasi negri// (hlm. 29)

 

Selain dimensi spiritual, keberadaan kyai sebagai pemimpin sosial-kultural juga mengisi dimensi psiko-logis, yaitu sebagai teladan dalam perjuangan NU di kalangan jama’ahnya, sebagaimana digambarkan dalam puisi karya Sukirno Waska berjudulNU dan Kyai NU”.

Kharismatik/ Sabar/ Ikhlas/ Nriman/ Nan berjuang melintasi ruang-ruang kosong/ Menuju dimensi-dimensi waktu/ Tanpa kenal lelah atau sekeadar menggerutu/ Kala ummat bingung, ia membendung/ Ummat saling pukul, ia merangkul/ Saling membenci, ia mengasihi/…… (hlm. 75) 

Keteladanan—yang tersirat di atas—dari para kyai yang dilihat sebagai idealitas konkrit, pada gilirannya mengisi ruang kesadaran dan mensugesti para santri dan masyarakat sekitar untuk mendekat kepadanya. Ringkas kata adalah berusaha untuk mengikuti jejaknya. Juga, loyal dan militan menyertai perjuangan para kyai.

Loyalitas jamaah, kebanggaan, harapan, dan militansi kader NU dalam antologi ini ditampilkan oleh beberapa puisi antara lain, yaitu 3 puisi karya Luluk Dianah—berjudul “Sampai Waktuku”, “Tafakur Santri”, dan “Nostalgia Hijau”—, 2 puisi karya Ulumi Khaifi Mubasyiroh—berjudul NU Penjaga Aswaja”, “NU Penjaga Kedaulatan NKRI”—, puisi karya M. Alief Mubaidillah Sm. berjudulAku dan NU”, 2 puisi karya Sri Utami Affrilia Dewiberjudul “Bunga Senja” dan “Nafas”—, 2 puisi karya Sukirno Waska—berjudulAku Ini NU” dan “Tirai NU”—, puisi karya Lia Puji Okdzatul Fatimah berjudulNKRI, Aswaja dalam NU-Ku”, puisi karya Fathun Nasihin berjudulDari Mu, Karena Mu, Menujumu”, puisi karya Saada_lm berjudul “Kebang-kitan (Nahdlatul Ulama)”, dan puisi karya Rizma Yasha berjudulAku Cinta NU”.

Pada puisi Dari Mu, Karena Mu, Menujumu” karya Fathun Nasihin mengemukakan hal di atas sebagai berikut:

 

 

……

Masih tetap berpegang teguh/ tiang penyangga bumi hijau/ sekalipun diterjang badai//

Begitu yakin segala perjuangan/ bukan karena terbisik tujuan imitasi/ bukan karena hanyut kepentingan pribadi//….

Di atas bahtera Aswaja Nahdlatul Ulama/ Berkah-Mu kan terraih/ bimbinglah kami ya Robb/ menuju jalan yang engkau Ridhoi/ menuju negara kesatuan yang terlindungi/ cerminan rahmatan lil alamin// (hlm. 24-25)

 

Militansi dan semangat perjuangan kader NU di atas, dapat dilihat dari pengalaman dalam kegiatan yang dilakukan oleh keluarga besar NU, sebagaimana diekpresikan dalam 5 puisi karya Yusro, yaitu “Jelajah Santri”,Harlah NU”,Gelombang Infaq”, “RAKOR 3” dan “LESBUMI”. Hal yang perlu digarisbawahi dari puisi-puisi di atas, bahwa keberadaan pemahaman dan kesadaran terkait perintah dakwah serta amar ma’ruf nahi munkar yang diinterpretasikan secara luas dengan pendekatan kultural, menjadi dasar dan motivasi dari kegiatan-kegiatan di atas. Dari pengalaman konkrit tersebut, evaluasi atas segala kekurangan, baik dalam sosialisasi dan konsolidasi kelembagaan maupun koordinasi dalam kegiatan, juga menjadi catatan dari beberapa puisi di atas.

 

Dunia Pesantren dan Nasionalisme: Keteladanan Kyai serta lahirnya Ulama nasionalis dan nasionalis religius

Pesantren merupakan basis utama dari keberadaan NU, dimana seorang kyai menempati posisi sentral di dalamnya. Tidak hanya dalam kegiatan mengaji, shalat berjama’ah, dan aktivitas dunia pesantren lainnya, tetapi juga dalam memberikan gambaran konkrit dari nilai-nilai ideal baik agama maupun budaya, di kalangan para santri. Di samping itu, intensitas interaksi dalam keseharian pesantren, pada gilirannya melahirkan ikatan kuat secara psikologis dan kultural, antara santri dan kyai. Pada titik ini, ungkapan “santri nderek kyai” memberikan pemahaman bahwa segala sesuatu yang disandarkan pada kyai merupakan representasi dari harapan seorang santri terkait hidupnya.

Peran sentral dan keberadaan kyai sebagai teladan hidup bagi para santri secara umum ditunjukkan dalam beberapa puisi antara lain, yaitu puisi karya Muhammad Afif Junaidi berjudul “Kiai”, puisi karya Enha Zen berjudulPangilon dari Beratkulon”, puisi Sukirno Waska berjudulLingkar Kyai” dan puisi karya Rizma Yasha berjudul Guruku Adalah Kyai”.

……

oh romo yai al fatihah aku salimkan/ syair syauqi bik yang kau dengungkan/ menggema di relung jiwa/ “qif duuna ra’yika fi al-hayati mujahidin/ innal hayata ‘aqidatun wa jihadun”/ pertahankan gagasanmu dalam hidup ini dengan penuh kesungguhan/ sebab sesungguhnya hidup tak lain adalah keyakinan dan perjuangan//

aku saksikan kau selalu hidup/ di sini, di dalam hati// (hlm. 17)

 

Demikian bagian akhir puisi “Pangilon dari Beratkulon” karya Enha Zen, menggambarkan posisi kyai dalam kehidupan santri.  

Kemudian sebagai kelanjutannya, identitas santri dan perannya diungkapkan oleh “Puisi 3” karya Turhan Badri, yang menekankan pentingnya sifat dinamis terkait peran santri, baik dalam menjaga tradisi, maupun menjawab tantangan zaman, sebagaimana juga digambarkan Rizma Yasha dalam puisi berjudulSantri Jadi Pemimpin.”

Aspek lain dari pesantren sebagai sub kultur yang khas di masyarakat, yakni keberadaannya sebagai ruang penyemaian benih-benih kesadaran nasionalisme. Karena itu wajar, jika ulama-ulama yang lahir dari komunitas pesantren adalah ulama yang nasionalis. Sementara para nasionalis yang “dekat” dengan pesantren adalah nasionalis religius. Nasionalisme komunitas pesantren ini ditampilkan oleh Ahmad Shodiq dalam puisi berjudul “Takbir!”, di mana lintasan sejarah perang 10 November 1945 menjadi bagian dari ilustrasinya. Di sini, epidose tentang sowan-nya Bung Tomo di hadapan KH. Hasyim Asy’ari, lahirnya “resolusi jihad”, dan pekik takbir Bung Tomo untuk mengobar-kan semangat menjadi ingatan kolektif komunitas pesantren dan kalangan NU, sekaligus menjadi kepingan-kepingan diri yang menegaskan identitas dan perjuangannya. Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:

……

Kang, bukankah Surabaya pernah terbakar/ Kalimat itu pula yang tenar/ masihkah sesakti saat itu untuk mengobar/ Terucap lantang suara Bung Tomo dengan mata binar/ siapa saat itu menjadi Akbar/ Hingga Malabi sekutu hancur bubar/ Para santri yang berikrar/ Karena Dawuh Mbah Hasyim tersiar/ atau kekuatan Ilahi yang memancar/ yang jelas merah putih jadi gagah berkibar//…… (hlm. 9)  

 

Nasionalisme komunitas pesantren bukanlah kesadaran yang baru tumbuh, melainkan telah mengakar di dasar kepribumian mengiringi sejarah perjuangan bangsa dalam melawan kolonialisme Barat. Hal ini menjadi kesan dari puisi karya Jadid Al Farisy yang berjudul Seratus Tahun”.

Laskar-laskar juang itu/ Para Ulama dan Santri/ Seratus tahun silam/ Bertaruh darah dan nyawa/ Mengusir penjajah bangsa/ Dipimpin sang Pangeran/ Seribu delapan ratus dua puluh lima/ Tlah tertoreh tinta emas sejarah/ Awal kebangkitan Nusantara//

Laskar-laskar juang itu/ Para Ulama dan Santri/ Seratus tahun berlalu/ Genggam Aqidah dan keyakinan/ Menjaga tradisi Aswaja/ Berkat tirakat para ulama wira’i/ Seribu sembilan ratus dua puluh enam/ Lahirlah Nahdlatul Ulama/ Pembuka gerbang kemerdekaan Indonesia// (hlm. 30)

 

Demikian, ungkapan puisi tersebut. Dalam pem-bacaannya, perjuangan Pangeran Diponegoro bersama para kyai dan santri melahirkan inspirasi kesadaran nasionalisme bagi komunitas pesantren periode berikut-nya. Jika pada tahun 1825 lebih mengarah pada perjuang-an fisik—Perang Diponegoro—, maka pada tahun 1926 perjuangan komunitas pesantren termanifes-tasikan pada lahirnya NU, yang memang sesuai dengan zamannya, yaitu periode kebangkitan Islam dan pergerakan nasional di kalangan pribumi.

 

Tradisi Masyarakat: Pribumisasi Islam dan Dakwah kultural

Kepemimpinan sosial-kultural para kyai dapat dilihat kehadiran masyarakat pada peringatan haul dan sebagainya. Hal tersebut juga dipancarkan melalui keha-diran para santri dalam kehidupan sosial masyarakat, setelah pulang dari mondok di pesantren. Dapat dikata-kan, bahwa para santri ini merupakan “kepanjangan tangan” dari kyai, yang secara praksis memainkan peran sosial-kulturalnya, terutama mengarah pada upaya menjaga tradisi dan harmoni masyarakat dalam bingkai ke-Indonesia-an.

Salah satu cara yang dilakukan, yakni dengan meles-tarikan tradisi-tradisi seperti ziarah, diba’an, yasinan, tahlilan, dan lain-lain, yang tidak hanya dipandang bernilai sebagai amaliyah ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga berfungsi sosial untuk mem-pererat solidaritas sosial di masyarakat. Secara tidak langsung, tradisi tersebut juga merupakan cara mendi-dik masyarakat terkait praktik dalam amaliyah ibadah di luar shalat, dimana pada gilirannya menumbuhkan pe-mahaman dan kesadaran mengenai posisi tradisi dalam ajaran Islam.

Ekspresi dari pengalaman serta pemahaman dan kesadaran terkait tradisi diungkapkan oleh beberapa puisi sebagai berikut, yaitu 2 puisi karya Enha Zen— berjudul “Ziarah” dan Pencari Syafa’at”—, dan puisi karya Fathun Nasihin berjudul “Panorama Kamis Malam”. Begitu juga puisi karya Nuruddin Zanky ber-judulDoa Para Peziarah”, yang lebih menggambarkan pengalaman dimensi mistik-spiritual ketika berziarah.

Terkait hal di atas, puisi “Ziarah” karya Enha Zen mengekspresikannya sebagai berikut:

Kau boleh beda sunah/ Namun cinta mengajarkan hakikat penyatuan/ Para ulama ajarkan tawassul/ Berjalan menuju tempat kekasih beristirah//

Di batu keabadian/ Aku taburkan doa doa/ Agar redam segala gelisah/ Agar lesap segala gundah//

Serupa mata perindu yang berbinar/ Aku dendangkan syair madah/ Kala ku duduk di singgasanamu/ Semata agara bertambah mawaddah/ Di degup jantungku//

ku wiridkan tahlil/ ku sembahkan kalam ilahi/ Dalam ziarah siang dan malam//

Kekasih, dzikirku adalah saat ingatan mengerjap kenangan yang datang tak mengenal waktu// (hlm. 14)

 

Sementara puisi berjudul “Wahai Sabdo” karya Saada_lm, menampilkan tantangan besar yang dihadapi oleh para penjaga tradisi, yakni globalisasi yang menghadirkan pertarungan kebudayaan, serta ditengarai dapat menggerus identitas sosial-kultural masyarakat pribumi. Pada bagian akhir puisi ini, diungkapkan penegasan kultural kepribumian, yaitu …… Kuharap…/ Tuhan tak pernah mencabut Jawa/ Dari tubuhku// (hlm. 92)

 

Membaca Kauniyah: Kontekstualisasi Aswaja dalam Kehidupan Sehari-hari 

Sebagaimana dijelaskan di atas, aswaja sebagai manhaj keberagamaan berprinsip pada tawasuth, ta’adul, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar, yang mana kesemuanya merupakan nilai-nilai universal dalam Islam. Maksudnya, aktualisasi dari nilai-nilai di atas dalam kehidupan sehari-hari bersifat partikular, dengan bentuknya yang beragam. Hal inilah yang juga dipahami dari hubungan antara universalisme Islam dan partikularitas budaya. Pada seluruh konstruksinya, hal ini diarahkan untuk membumikan tujuan kerasulan, yakni sebagai rahmatan lil alamin.

Pada konteks “Muhasabah Warna”, manifestasi rahmatan lil alamin digambarkan oleh interaksi dan hubungan yang baik (bil ihsan) lahir dan batin di antara sesama manusia, baik antara orang tua dan anak, antar sesama teman, dan sebagainya. Hal ini menjadi kesan umum dari beberapa puisi berikut, antara lain yaitu 4 puisi karya Nuruddin ZankyberjudulCahaya di Tanganmu”, “Dari Cangkir Kecil”, “Doa Kecil”, dan “Episode Pemakaman”—, dan puisi karya Luqman Alm berjudul “Detik Tak Berdetak”—.

Hubungan yang baik di atas tidak hanya berlangsung di dunia, tetapi melintasi ruang dan waktu, dalam doa. Sebagaimana diungkapkan puisi “Episode Pemakaman”, berikut:

Siang menumbuhi ranting-ranting di halaman/ Sejak pagi, masih setia menunggumu/ Menuju tempat paling muara, aku diam di balik waktu/ Tempat kuberkaca, berjejak sesal demi sesal/ Setelah daun-daun menyiram tubuh, memandikanmu//

Kini angin pun tak memiliki tempat sujud/ Segala arah telah lepas/ Tiada lagi yang membaca kalam-Nya/ Saat langit memutuskan untuk diam//

Hanya doa, dan gugusan air mata/ Mengiring engkau jauh, menyempurna hidup// (hlm. 47)

 

Dalam ekspresi lain, yakni keberadaan kritik, peno-lakan, dan kecaman atas berbagai perilaku manusia. Kritik mengenai hilangnya idealisme di masyarakat menjadi kesan dari 3 puisi karya Turhan Badri berjudul “Puisi 1”, “Puisi 2”, dan “Puisi 3”. Sementara penolakan dan kecaman terhadap radikalisme dan terorisme ditunjukkan oleh puisi karya Sri Utami Affrilia Dewi berjudulKabar Paksaan”. Juga puisi karya Luqman Alm berjudulAir Mata Chistchurch”, yang memberikan penegasan dengan tanda seru (!) terkait aksi-aksi radikalisme dan terorisme sebagai berikut:

 Allah…./ sungguh,/ ia!/ dia!/ mereka!/ penembak!/ pembunuh!/ teroris!/ TERKUTUKLAH!// (hlm. 89)

 

Pesan rahmatan lil alamin yang lebih bersifat ekologis tersirat dari puisi karya Sri Utami Affrilia Dewi berjudulSinar Lobang”. Begitu juga puisi karya Luqman Alm berjudulParadoks Pagi” yang satiris, serta menampilkan harmoni kehidupan di sekitar manusia dan spiritualitas dalam sunatullah.

……

pagi ini/ gerimis datang tak sendiri/ ia datang bersama angin yang singgah di pohon kemarau/ menitipkan sebaris doa//

sepagi ini/ hikmat doa-doa merayu langit/ berucap syukur melabur nikmat ilahi//(hlm. 86)

 

Proyeksi penerapan aswaja dalam kehidupan sehari-hari tergambar dari puisi karya Enha Zen berjudul “Tasbih dan Parfume” yang secara tersirat menampilkan dasar pegangan dan mata rantai ajaran serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Sederhananya, beraswaja adalah berusaha meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah, mencintai Nabi dengan menjalankan sunnahnya secara proporsional, serta apresiasi terhadap karya-karya salafus shalih—sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga sampai pada ulama di sekitar kita—. Hal ini tergambar dari ungkapan sebagai berikut:

……

Aku melihat Sa’ad bin Abi Waqqash/ Menyebut nyebut nama Kekasihnya dengan kerikil-kerikil dan biji kurma ribuan kali//

……

Bukankah setiap benda akan bersaksi atas apa yang diperbuat?//

……

Tak ada yang mengalahkan sikap Nabi memuliakan perempuan/ kecuali para pecinta kepada kekasih//

……

Puncak kecintaan adalah berdiri tunduk di hadapNya/ Menekuri dan mensyukuri setiap jengkal anugerah yang diberi// (hlm. 20)

 

Pada hubungan antara manusia dengan Tuhannya, taqwa merupakan posisi atau derajat ideal yang menjadi tujuan dari amaliyah ibadah. Dari keseluruhannya, hal tersebut tidak mungkin bisa tanpa dibuka dengan pengenalan kepada-Nya. Salah satu tahapan pertama, yaitu dengan bertafakkur atau membaca kauniyah— sebagaimana ditunjukkan pada episode sebelum turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw—, seperti yang ditunjukkan oleh puisi karya Sri Utami Affrilia Dewi berjudulRembulan Beku”, berikut:

Aku menyelam dalam semesta fikirMu/ Malam berjalan menyusul bulan/ Mengambil langkah membawa ujaran/ Lalu aku membatu dalam rindu//…… (hlm. 48)

 

Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, sebagai gambaran umum dari menuju derajat taqwa, tentu tidak mudah. Dari keseluruhnya, syaitan dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai musuh manusia yang terus-menerus mengarahkan manusia agar menjauh dari Tuhannya. Begitu juga hawa nafsu.

 

 

……

Percuma saja kau memuja/ Sebab kita akan tetap bersama di neraka/ Bersama mereka, para durjana// (hlm. 91)

 

Demikian hal tersebut diungkapkan dalam puisi “Terngiang” karya Saada_lm tentang bisikan-bisikan yang kehadirannya selalu menyertai niat dalam keshalihan.

 

Penutup

Ulasan di atas merupakan pembacaan sederhana terhadap antologi puisi “Muhasabah Warna”. Dalam ekspresinya, puisi-puisi dalam antologi ini menampilkan pembacaan dan pengalaman terkait beberapa hal, yaitu aswaja yang menjadi manhaj keberagamaan, kesadaran dan identitas kultural, serta tradisi pesantren dan masyarakat tradisional. Juga, pembacaan terhadap kauniyah yang hadir di hadapannya dengan kerangka pemikiran keagamaan yang khas, yaitu ahlussunnah wal jama’ah. [*]



  

IDENTITAS BUKU:

Judul       : Muhasabah Warna (Antologi Puisi)

Penulis    : Ahmad Shodiq, Ahmad Zaini, dkk.

Penerbit   : Pustaka Ilalang & Lesbumi PCNU Babat

Cet. I      : Februari 2019

ISBN       : 978-602-7459-33-5

Ukuran    : 14,8 x 20,5 cm

Tebal      : xiv + 98 hlm.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar