Catatan Kesan atas Antologi Puisi “Muhasabah Warna”
Oleh A. Syauqi Sumbawi
KEBERADAAN Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia hingga sekarang ini, tidak bisa
dilepaskan dari lintasan historisnya dalam mengemban peran keagamaan dan
kebangsaan. Pada titik ini, dialektika konstruktif dalam bingkai Islam dan
ke-Indonesia-an, merupakan proses penting yang menjadikannya sebagai ormas
Islam wasathiyah atau moderat serta
mengakar pada kepribumiannya.
Secara historis, lahirnya NU pada
tahun 1926 ber-tepatan dengan periode paling dinamis dari kebangkitan Islam dan
pergerakan nasional, baik Indonesia maupun bangsa-bangsa lain di kawasan
Asia-Afrika. Gerakan Islam modernis yang bergema di seluruh Dunia Islam serta
menguatnya paham Wahabi dalam kehidupan politik di Arab Saudi—terutama
berkaitan tuntutan penyamaan madzhab—, tidak dipungkiri melahirkan polarisasi
aliran dan pemikiran keislaman yang harus dijawab oleh kalangan Islam
tradisionalis. Di sisi lain, pergerakan nasional Indonesia dan kesadaran
politik yang semakin kuat sejak tahun 1920-an untuk mencapai kemerdekaan dari
cengkeram-an pemerintah kolonial Belanda, mensyaratkan dukung-an rakyat secara
luas.
Tidak dipungkiri, kalangan Islam
tradisonalis yang secara kultural berada di bawah kepemimpinan para ulama
pesantren merupakan kelompok mayoritas pribumi Muslim. Dikuatkan dengan proses
Islamisasi yang mengarah pada pribumisasi Islam, kalangan ini lahir dan
bersama-sama mempraktikkan ajaran Islam sejak masuknya agama tersebut di
Indonesia. Maka, tidak heran NU kemudian menjadi ormas Islam terbesar mengingat
keberadaan basis pendukungnya yang telah jauh terbentuk sebelum organisasi
formalnya.
Kemudian, mengiringi perkembangan
Islam dan pergerakan nasional di atas, para ulama yang semula terikat dalam
hubungan kekeluargaan dan jaringan keilmuwan—kyai dan santri—, serta perayaan haul yang mengikat para ulama dengan
masyarakat luas, mulai merasakan kebutuhan terhadap sebuah jam’iyah atau organisasi. Di samping sebagai penguatan identitas
serta konsolidasi dan intensifikasi Islam berhaluan ahlus-sunnah wal jama’ah, keberadaan NU juga dimaksudkan untuk
memupuk kesadaran nasionalisme di kalangan pribumi.
Terkait hal di atas, setidaknya
terdapat dua proses dialektika yang terjadi secara bersamaan dan menyertai
eksistensi NU hingga dewasa ini, yaitu dialektika Islam dan budaya serta
dialektika Islam dan kebangsaan, teru-tama untuk meneguhkan identitasnya.
Intensitas dalam proses dialektika ini, pada gilirannya menjadikan NU semakin
mapan dalam mengemban peran keagamaan dan kebangsaan sekaligus, sebagaimana
bisa dilihat dari slogan “NU penjaga Aswaja dan NKRI” dan ungkapan lain dengan
makna yang sama. Tentunya, hal ini akan sulit terwujud tanpa adanya manhaj kebera-gamaan NU yang berpegang
pada prinsip tawasuth, ta’adul, tawazun, dan tasamuh
serta kesadaran amar ma’ruf nahi munkar
dengan pendekatan kultural.
Konstruksi “Muhasabah Warna”: Merefleksikan
NU dengan Puisi
Eksistensi dan peran NU di atas,
menjadi konteks penulis dalam pembacaan atas antologi puisi “Muhasabah Warna”.
Hal tersebut ternyata juga merupakan proyeksi besar dari sepai-sepai tematik 70
puisi karya 22 penyair yang hadir di dalamnya. Bukan sebuah kebetulan,
melainkan inilah tujuan dari Lesbumi PCNU Babat, bahwa antologi ini dimaksudkan
untuk merefleksikan eksistensi dan peran NU yang secara eksplisit dirumuskan
dalam tema “NU Penjaga Aswaja dan NKRI”.
Satu hal yang menjadi perhatian,
bahwa mencipta puisi sesuai dengan arahan tema, merupakan tantangan tersendiri.
Pada sebagian kasus, tema acapkali muncul sebagai “jebakan” dalam kreativitas,
dimana pada gilirannya, keberadaan puisi lebih tampak sebagai jargon. Atau
puisi lebih mengarah pada keberadaannya sebagai pesan-pesan tersurat dengan
kata-kata yang lugas. Di sinilah, pengalaman seorang penyair dalam menuangkan
ide dan perasaannya dalam bentuk puisi menjadi penting. Baik pengalaman ketika berhadapan dengan bahan dan
inspirasi puisi, pengalaman terkait kebahasaan puisi, maupun pengalaman dalam
mengeks-presikannya. Luasnya pengalaman seorang penyair pada gilirannya
menentukan kualitas sebuah karya.
Lepas dari masalah pengalaman di
atas, antologi puisi ini merupakan hasil pembacaan mengenai NU dan
seluk-beluknya, yang sekaligus menjadi identitas sosial dari para penyair.
Dalam ekspresinya, puisi-puisi dalam antologi ini setidaknya dapat dikategorisasikan
dalam beberapa concern pembacaan,
yaitu aswaja yang menjadi manhaj
keberagamaan, kesadaran dan identitas NU, tradisi pesantren dan masyarakat
tradisional lainnya.
Membaca Aswaja; Dialektika Islam, Pluralitas Budaya, dan
Kebangsaan
Aswaja menjadi concern pertama dalam antologi ini.
Keberadaannya sebagai manhaj
keberagamaan yang rahmatan lil alamin
menjadi modal penting dalam dialektika antara Islam dan budaya, Islam dan
kebangsaan, serta dalam menjalin harmoni dalam pluralitas. Hal ini menjadi
kesan umum dari puisi “Muhasabah Warna”
karya Ahmad Shodiq, yang sekaligus menjadi judul antologi ini.
……
Sesekali di sore hari temui mereka di
serambi, hijau banyak menempel di seragam ngaji anak-anak TPQ yang akan menjadi
pondasi keabadian Qur’an sebagai warisan Nabi.//
Sesekali lihat apa yang mereka pegang, hijau
menjadi warna pilihan desain sampul buku Yaasin yang tlaten dibaca walau sudah
hafal dengan segala kerendahan menggaungkan kalimat-kalimat Tauhid pengakuan
kebesaran Tuhan di setiap Kamis Malam//
……
Kini, apa masalahmu pada merah dan putih
serta subur hijau dan tanah tempat kita berdiri?..... (hlm.
12-13)
Dalam interpretasinya, penerapan
aswaja dalam kehidupan sehari-hari digambarkan dalam tradisi keberagamaan NU
yang lebih menekankan substansi dengan pendekatan kultural. Bukan simbolis dan
politis, sebagaimana gerakan ideologi (Islam) trans-nasional dan gerakan
(Islam) radikal lainnya.
Terkait hadits tentang
tujuhpuluhtiga firqah dalam Islam,
puisi “Ahlussunnah wal Jama’ah”,
karya Muhammad
Afif Junaidi, menghadirkan pemahaman aswaja secara substansial, yakni kesadaran
dan jalan hidup yang berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah, beramal shalih,
serta amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini terutama untuk menghindari klaim
kebenaran dari satu golongan serta memandang sesat golongan lainnya.
Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:
Konon nanti akan terbagi firqoh-firqoh
menjadi hingga tujuh puluh tiga bagian/ Yang lain masuk neraka satu golongan
yang ke surga/ Bukankah bangsa ini sudah bosan dengan fragmen mengkotak-kotakkan/
Apalagi lantang berani mengambil alih wilayah dan hak prerogatif Tuhan// ……
Hanyalah dirimu sendiri dan amal baikmu yang
telah menjadi kunci/ pastikan hati senantiasa terpaut pada ilahi rabbi// (hlm. 42)
Sementara pada 3—bagian dari— puisi “NU
Penjaga Aswaja dan NRKI” karya Achmad Farid Ali Irsyadi, aswaja
ditampilkan secara fungsional, yakni sebagai ben-teng dari ekstremisme madzhab
dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam, serta pengikat keragaman agama dan
budaya dalam satu bingkai ke-Indonesia-an. Dalam ekspresinya, hal tersebut
digambarkan sebagai berikut:
...…
Dirimu nahkoda gerbang utama/ Pemersatu
segala agama/ Segala ancaman menggoda/ Tak satupun yang binasa// (“puisi 1”,
hlm. 1)
……
Aswaja benteng negara/ Seutas nama bergelar
agama/ Percikan perjuangan membara/ Sampai titik penghabisan tuk negara/ Dan
keselamatan NKRI terjaga// (“puisi 2”, hlm. 2)
……
Kini engkau menjadi garda terdepan/ Sebagai
selimut umat/ Menyatukan perbedaan/ Dalam bingkai kebhinnekaan/….. (“Puisi 3”,
hlm. 3)
Peran aswaja sebagai pengikat
keragaman, dilatarbelakangi oleh pemahaman dan kesadaran bahwa pluralitas
adalah sunnatullah. Pesan utama dari hal tersebut adalah li ta’arafu,
agar manusia saling mengenal, yang pada gilirannya berlanjut dengan proses,
tafahhum (saling memahami), ta’awun (saling bekerja-sama) hingga
dapat bekerjasama dalam satu kesatuan (takafful) untuk
mengaktualisasikan peran kemanusiaan secara luas. Hal inilah yang menjadi
gambaran umum dari puisi “Berjuanglah
Kesadaran” karya Fathun
Nasihin.
……
Kemajemukan adalah sunatullah/ Menyulam
fikiran tetap berada di garis edar/ Tak berarti berhenti berbenah/ Berharap
segala upaya dalam koridor agama//……
Demi tujuan mulia kemanusiaan//..…. (hlm. 22)
Membaca
Nahdlatul Ulama: Identifikasi
Jam’iyah dan Kesadaran diri sebagai Jama’ah
Pembacaan terhadap NU menjadi ekspresi
mayo-ritas dari antologi puisi ini. Berbagai ragam pengalaman mempengaruhi
sudut pandang para penyair dalam proses identifikasi jam’iyah dan
kesadaran diri sebagai jamaah.
Keberadaan basis massa terbesar, yakni
kalangan muslim tradisionalis yang hidup di pedesaan, menjelas-kan posisi NU
yang krusial dalam peran keagamaan dan peran kebangsaan, sekaligus
menggambarkan tantangan besar yang dihadapi mengiringi perjalanan sejarahnya.
Di sini, ngemong menjadi pola umum dari dakwah kultural yang
dikembangkan para kyai NU dalam membangun pemahaman dan kesadaran beragama dan
bernegara, sebagaimana juga dilakukan oleh para Walisongo yang menjadi
inspirasinya. Karena itu, wajar jika NU kemudian menjadi identitas sosial
kalangan mayoritas pribumi Muslim, baik dalam pola keberaga-maan maupun
keberadaannya sebagai bangsa Indonesia.
Kesuksesan dalam mengemban peran
keagamaan dan kebangsaan di atas disebabkan oleh keberhasilan NU dalam
dialektika antara universalisme Islam dengan partikularitas budaya. Begitu juga
dalam dialektika antara agama dan negara. Tentunya, hal ini tidak bisa
dilepaskan dari manhaj keberagamaan NU, yakni aswaja an-nahdliyah—sebagaimana
dijelaskan di atas—. Begitu juga ushushul khamsh—tujuan penerapan
syariat—, yang diinterpretasikan secara proporsional dengan pendekatan
kultural.
Proses identifikasi terhadap eksistensi
dan peran NU di atas, menjadi gambaran umum dari beberapa puisi dalam antologi
ini, antara lain yaitu 4 puisi karya Agung Suprayitno—berjudul “Bahtera”, “Cahaya
Kebangkitan”,
“Sebuah Kesaksian”, dan “31
Januari Lagi” —, 3 puisi karya Ahmad Zaini—berjudul “Penyelamat Hidup”, “Tentang
Kehadiranmu”, dan “Tradisi Dakwah” —,
2 puisi karya Moh. Agung Santoso—berjudul “Dimanakah
Tempat Itu” dan “Kembalilah Anakku”—,
puisi karya Muhammad
Afif Junaidi berjudul “Ihwal Menjaga
Kewarasan”, puisi karya Mbah
Lamong (Arengga Putra) berjudul “Fasilitas Sembilan Bintang”, puisi
karya Ahmad Shodiq berjudul “Tawasul Cinta”, dan puisi karya M. Alief
Mubaidillah Sm. berjudul “NU dan NKRI”.
Keberadaan dan peran di atas
terekspresikan dalam puisi “Tentang
Kehadiranmu” karya Ahmad Zaini, sebagai berikut;
Kehadiranmu di tengah keremangan/ memperjelas sulur
menuju jalan lurus/ Tak peduli aral mengganjal perjalanan/ Dirimu tenang
mewarnai hidup damai//……
Banyak cobaan memendam nilai dan tradisimu/ Namun
zaman telah mengikis mereka/ Hingga nilai dan tradisimu semakin jaya//
Tegak beri’tidal/ Sikap bertawazun dan bertasamuh/
Seraya berdiri dengan keseimbangan/ Beramar ma’ruf nahi munkar// (hlm. 83)
Pembacaan terhadap keberadaan NU dalam
dimensi spiritual, ditunjukkan oleh 4 puisi karya Jadid Al Farisy berjudul “Melibas Prahara”, “Maka Lahirlah Keberkah-an”,
“Masihkah”, dan “Tali Jagad”. Kesan utama dari puisi-puisi ini, bahwa NU
bukan sekedar organisasi lahiriyah, melainkan lebih sebagai “anak” spiritual
dari para Kyai. Di balik keberadaannya, berdiri daya spiritual yang besar
berupa doa dan laku tirakat. Daya spiritual inilah yang kemudian menjelma
sebagai pengikat antara NU dan jama’ahnya serta mengobarkan semangat perjuangan
NU di kalangan kadernya. Maka wajar, jika NU tidak hanya terjaga eksistensinya
hingga sekarang, tetapi semakin mapan dan terus berkembang.
Pada puisi “Tali Jagad” karya Jadid Al farisy, kesan tersebut diungkapkan
sebagai berikut:
Tahukah kau/ Sebuah tali kokoh/ Melingkar indah di
atas bumi/ Adalah pancaran doa dimensi alam semesta/ Sirri mencipta daya/
Lantunan Kalam nan suci/ Menggema ke penjuru negeri/ Ya Jabbar… Ya Qohhar…/ Ya
Jabbar… Ya Qohhar…/ Tali Jagad/ Menyimpul kedalaman hati/ Kuatkan pondasi
negri// (hlm. 29)
Selain dimensi spiritual, keberadaan
kyai sebagai pemimpin sosial-kultural juga mengisi dimensi psiko-logis, yaitu
sebagai teladan dalam perjuangan NU di kalangan jama’ahnya, sebagaimana
digambarkan dalam puisi karya Sukirno Waska berjudul “NU dan Kyai NU”.
Kharismatik/ Sabar/ Ikhlas/ Nriman/ Nan berjuang
melintasi ruang-ruang kosong/ Menuju dimensi-dimensi waktu/ Tanpa kenal lelah
atau sekeadar menggerutu/ Kala ummat bingung, ia membendung/ Ummat saling
pukul, ia merangkul/ Saling membenci, ia mengasihi/…… (hlm. 75)
Keteladanan—yang tersirat di atas—dari
para kyai yang dilihat sebagai idealitas konkrit, pada gilirannya mengisi ruang
kesadaran dan mensugesti para santri dan masyarakat sekitar untuk mendekat
kepadanya. Ringkas kata adalah berusaha untuk mengikuti jejaknya. Juga, loyal
dan militan menyertai perjuangan para kyai.
Loyalitas jamaah, kebanggaan, harapan,
dan militansi kader NU dalam antologi ini ditampilkan oleh beberapa puisi
antara lain, yaitu 3 puisi karya Luluk Dianah—berjudul “Sampai Waktuku”, “Tafakur Santri”, dan “Nostalgia Hijau”—, 2 puisi karya Ulumi Khaifi Mubasyiroh—berjudul “NU
Penjaga Aswaja”, “NU Penjaga Kedaulatan NKRI”—, puisi karya M. Alief
Mubaidillah Sm. berjudul “Aku dan NU”, 2 puisi karya Sri Utami Affrilia Dewi—berjudul “Bunga Senja” dan “Nafas”—,
2 puisi karya Sukirno
Waska—berjudul “Aku Ini NU” dan
“Tirai NU”—, puisi karya Lia
Puji Okdzatul Fatimah berjudul “NKRI, Aswaja dalam NU-Ku”, puisi karya Fathun Nasihin
berjudul “Dari Mu, Karena
Mu, Menujumu”, puisi karya Saada_lm berjudul “Kebang-kitan (Nahdlatul Ulama)”, dan puisi karya Rizma
Yasha berjudul “Aku Cinta NU”.
Pada puisi “Dari Mu, Karena Mu, Menujumu” karya Fathun Nasihin mengemukakan hal
di atas sebagai berikut:
……
Masih tetap berpegang teguh/ tiang penyangga bumi
hijau/ sekalipun diterjang badai//
Begitu yakin segala perjuangan/ bukan karena
terbisik tujuan imitasi/ bukan karena hanyut kepentingan pribadi//….
Di atas bahtera Aswaja Nahdlatul Ulama/ Berkah-Mu
kan terraih/ bimbinglah kami ya Robb/ menuju jalan yang engkau Ridhoi/ menuju
negara kesatuan yang terlindungi/ cerminan rahmatan lil alamin// (hlm. 24-25)
Militansi dan semangat perjuangan kader
NU di atas, dapat dilihat dari pengalaman dalam kegiatan yang dilakukan oleh
keluarga besar NU, sebagaimana diekpresikan dalam 5 puisi karya Yusro, yaitu “Jelajah Santri”, “Harlah NU”, “Gelombang Infaq”, “RAKOR 3” dan “LESBUMI”. Hal yang perlu
digarisbawahi dari puisi-puisi di atas, bahwa keberadaan pemahaman dan
kesadaran terkait perintah dakwah serta amar
ma’ruf nahi munkar yang diinterpretasikan secara luas dengan pendekatan
kultural, menjadi dasar dan motivasi dari kegiatan-kegiatan di atas. Dari
pengalaman konkrit tersebut, evaluasi atas segala kekurangan, baik dalam
sosialisasi dan konsolidasi kelembagaan maupun koordinasi dalam kegiatan, juga
menjadi catatan dari beberapa puisi di atas.
Dunia Pesantren dan Nasionalisme: Keteladanan Kyai serta lahirnya Ulama nasionalis dan nasionalis
religius
Pesantren merupakan basis utama
dari keberadaan NU, dimana seorang kyai menempati posisi sentral di dalamnya.
Tidak hanya dalam kegiatan mengaji, shalat berjama’ah, dan aktivitas dunia
pesantren lainnya, tetapi juga dalam memberikan gambaran konkrit dari
nilai-nilai ideal baik agama maupun budaya, di kalangan para santri. Di samping
itu, intensitas interaksi dalam keseharian pesantren, pada gilirannya
melahirkan ikatan kuat secara psikologis dan kultural, antara santri dan kyai.
Pada titik ini, ungkapan “santri nderek kyai” memberikan pemahaman bahwa segala
sesuatu yang disandarkan pada kyai merupakan representasi dari harapan seorang
santri terkait hidupnya.
Peran sentral dan keberadaan kyai
sebagai teladan hidup bagi para santri secara umum ditunjukkan dalam beberapa
puisi antara lain, yaitu puisi karya Muhammad Afif Junaidi berjudul “Kiai”, puisi karya Enha Zen berjudul
“Pangilon dari Beratkulon”, puisi Sukirno Waska
berjudul “Lingkar Kyai” dan puisi karya Rizma Yasha berjudul
Guruku Adalah Kyai”.
……
oh romo yai al fatihah aku salimkan/ syair syauqi
bik yang kau dengungkan/ menggema di relung jiwa/ “qif duuna ra’yika fi
al-hayati mujahidin/ innal hayata ‘aqidatun wa jihadun”/ pertahankan gagasanmu
dalam hidup ini dengan penuh kesungguhan/ sebab sesungguhnya hidup tak lain
adalah keyakinan dan perjuangan//
aku saksikan kau selalu hidup/ di sini, di dalam
hati// (hlm. 17)
Demikian bagian akhir puisi “Pangilon dari Beratkulon” karya Enha
Zen, menggambarkan posisi kyai dalam kehidupan santri.
Kemudian sebagai kelanjutannya,
identitas santri dan perannya diungkapkan oleh “Puisi 3” karya Turhan Badri, yang menekankan pentingnya sifat
dinamis terkait peran santri, baik dalam menjaga tradisi, maupun menjawab
tantangan zaman, sebagaimana juga digambarkan Rizma Yasha dalam puisi berjudul “Santri Jadi Pemimpin.”
Aspek lain dari pesantren sebagai sub
kultur yang khas di masyarakat, yakni keberadaannya sebagai ruang penyemaian
benih-benih kesadaran nasionalisme. Karena itu wajar, jika ulama-ulama yang
lahir dari komunitas pesantren adalah ulama yang nasionalis. Sementara para
nasionalis yang “dekat” dengan pesantren adalah nasionalis religius.
Nasionalisme komunitas pesantren ini ditampilkan oleh Ahmad Shodiq dalam puisi
berjudul “Takbir!”, di mana lintasan
sejarah perang 10 November 1945 menjadi bagian dari ilustrasinya. Di sini,
epidose tentang sowan-nya Bung Tomo
di hadapan KH. Hasyim Asy’ari, lahirnya “resolusi jihad”, dan pekik takbir Bung
Tomo untuk mengobar-kan semangat menjadi ingatan kolektif komunitas pesantren
dan kalangan NU, sekaligus menjadi kepingan-kepingan diri yang menegaskan
identitas dan perjuangannya. Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:
……
Kang, bukankah Surabaya pernah terbakar/ Kalimat itu
pula yang tenar/ masihkah sesakti saat itu untuk mengobar/ Terucap lantang
suara Bung Tomo dengan mata binar/ siapa saat itu menjadi Akbar/ Hingga Malabi
sekutu hancur bubar/ Para santri yang berikrar/ Karena Dawuh Mbah Hasyim
tersiar/ atau kekuatan Ilahi yang memancar/ yang jelas merah putih jadi gagah
berkibar//…… (hlm. 9)
Nasionalisme komunitas pesantren
bukanlah kesadaran yang baru tumbuh, melainkan telah mengakar di dasar
kepribumian mengiringi sejarah perjuangan bangsa dalam melawan kolonialisme
Barat. Hal ini menjadi kesan dari puisi karya Jadid Al Farisy yang berjudul “Seratus Tahun”.
Laskar-laskar juang itu/ Para Ulama dan Santri/
Seratus tahun silam/ Bertaruh darah dan nyawa/ Mengusir penjajah bangsa/
Dipimpin sang Pangeran/ Seribu delapan ratus dua puluh lima/ Tlah tertoreh
tinta emas sejarah/ Awal kebangkitan Nusantara//
Laskar-laskar juang itu/ Para Ulama dan Santri/
Seratus tahun berlalu/ Genggam Aqidah dan keyakinan/ Menjaga tradisi Aswaja/
Berkat tirakat para ulama wira’i/ Seribu sembilan ratus dua puluh enam/
Lahirlah Nahdlatul Ulama/ Pembuka gerbang kemerdekaan Indonesia// (hlm. 30)
Demikian, ungkapan puisi tersebut. Dalam
pem-bacaannya, perjuangan Pangeran Diponegoro bersama para kyai dan santri
melahirkan inspirasi kesadaran nasionalisme bagi komunitas pesantren periode
berikut-nya. Jika pada tahun 1825 lebih mengarah pada perjuang-an fisik—Perang
Diponegoro—, maka pada tahun 1926 perjuangan komunitas pesantren termanifes-tasikan
pada lahirnya NU, yang memang sesuai dengan zamannya, yaitu periode kebangkitan
Islam dan pergerakan nasional di kalangan pribumi.
Tradisi
Masyarakat:
Pribumisasi Islam dan Dakwah kultural
Kepemimpinan sosial-kultural para kyai
dapat dilihat kehadiran masyarakat pada peringatan haul dan sebagainya.
Hal tersebut juga dipancarkan melalui keha-diran para santri dalam kehidupan
sosial masyarakat, setelah pulang dari mondok di pesantren. Dapat dikata-kan,
bahwa para santri ini merupakan “kepanjangan tangan” dari kyai, yang secara
praksis memainkan peran sosial-kulturalnya, terutama mengarah pada upaya
menjaga tradisi dan harmoni masyarakat dalam bingkai ke-Indonesia-an.
Salah satu cara yang dilakukan, yakni
dengan meles-tarikan tradisi-tradisi seperti ziarah, diba’an, yasinan,
tahlilan, dan lain-lain, yang tidak hanya dipandang bernilai sebagai amaliyah
ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga berfungsi sosial untuk
mem-pererat solidaritas sosial di masyarakat. Secara tidak langsung, tradisi
tersebut juga merupakan cara mendi-dik masyarakat terkait praktik dalam amaliyah
ibadah di luar shalat, dimana pada gilirannya menumbuhkan pe-mahaman dan
kesadaran mengenai posisi tradisi dalam ajaran Islam.
Ekspresi dari pengalaman serta
pemahaman dan kesadaran terkait tradisi diungkapkan oleh beberapa puisi sebagai
berikut, yaitu 2 puisi karya Enha Zen— berjudul “Ziarah” dan “Pencari Syafa’at”—, dan puisi karya Fathun Nasihin
berjudul “Panorama Kamis Malam”. Begitu juga puisi karya Nuruddin Zanky
ber-judul “Doa Para
Peziarah”, yang lebih menggambarkan pengalaman dimensi mistik-spiritual ketika
berziarah.
Terkait hal di atas, puisi “Ziarah” karya Enha Zen
mengekspresikannya sebagai berikut:
Kau boleh beda sunah/ Namun cinta mengajarkan
hakikat penyatuan/ Para ulama ajarkan tawassul/ Berjalan menuju tempat kekasih
beristirah//
Di batu keabadian/ Aku taburkan doa doa/ Agar redam
segala gelisah/ Agar lesap segala gundah//
Serupa mata perindu yang berbinar/ Aku dendangkan
syair madah/ Kala ku duduk di singgasanamu/ Semata agara bertambah mawaddah/ Di
degup jantungku//
ku wiridkan tahlil/ ku sembahkan kalam ilahi/ Dalam
ziarah siang dan malam//
Kekasih, dzikirku adalah saat ingatan mengerjap
kenangan yang datang tak mengenal waktu// (hlm. 14)
Sementara puisi berjudul “Wahai Sabdo” karya Saada_lm, menampilkan tantangan besar yang
dihadapi oleh para penjaga tradisi, yakni globalisasi yang menghadirkan
pertarungan kebudayaan, serta ditengarai dapat menggerus identitas
sosial-kultural masyarakat pribumi. Pada bagian akhir puisi ini, diungkapkan
penegasan kultural kepribumian, yaitu …… Kuharap…/
Tuhan tak pernah mencabut Jawa/ Dari tubuhku// (hlm. 92)
Membaca
Kauniyah: Kontekstualisasi Aswaja dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagaimana dijelaskan di atas, aswaja
sebagai manhaj keberagamaan berprinsip pada tawasuth, ta’adul,
tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar, yang mana
kesemuanya merupakan nilai-nilai universal dalam Islam. Maksudnya, aktualisasi
dari nilai-nilai di atas dalam kehidupan sehari-hari bersifat partikular,
dengan bentuknya yang beragam. Hal inilah yang juga dipahami dari hubungan
antara universalisme Islam dan partikularitas budaya. Pada seluruh
konstruksinya, hal ini diarahkan untuk membumikan tujuan kerasulan, yakni
sebagai rahmatan lil alamin.
Pada konteks “Muhasabah Warna”,
manifestasi rahmatan lil alamin digambarkan oleh interaksi dan hubungan
yang baik (bil ihsan) lahir dan batin di antara sesama manusia, baik
antara orang tua dan anak, antar sesama teman, dan sebagainya. Hal ini menjadi
kesan umum dari beberapa puisi berikut, antara lain yaitu 4 puisi karya
Nuruddin Zanky—berjudul “Cahaya di Tanganmu”, “Dari Cangkir Kecil”,
“Doa Kecil”, dan “Episode
Pemakaman”—, dan puisi karya Luqman Alm berjudul “Detik Tak Berdetak”—.
Hubungan yang baik di atas tidak hanya
berlangsung di dunia, tetapi melintasi ruang dan waktu, dalam doa. Sebagaimana
diungkapkan puisi “Episode Pemakaman”,
berikut:
Siang menumbuhi ranting-ranting di halaman/ Sejak
pagi, masih setia menunggumu/ Menuju tempat paling muara, aku diam di balik
waktu/ Tempat kuberkaca, berjejak sesal demi sesal/ Setelah daun-daun menyiram
tubuh, memandikanmu//
Kini angin pun tak memiliki tempat sujud/ Segala
arah telah lepas/ Tiada lagi yang membaca kalam-Nya/ Saat langit memutuskan
untuk diam//
Hanya doa, dan gugusan air mata/ Mengiring engkau
jauh, menyempurna hidup// (hlm. 47)
Dalam ekspresi lain, yakni keberadaan
kritik, peno-lakan, dan kecaman atas berbagai perilaku manusia. Kritik mengenai hilangnya idealisme di
masyarakat menjadi kesan dari 3 puisi karya Turhan Badri berjudul “Puisi 1”, “Puisi 2”, dan “Puisi 3”. Sementara
penolakan dan kecaman terhadap radikalisme dan terorisme ditunjukkan oleh puisi
karya Sri
Utami Affrilia Dewi berjudul “Kabar Paksaan”. Juga puisi karya
Luqman
Alm berjudul “Air Mata
Chistchurch”, yang memberikan penegasan dengan tanda seru (!) terkait aksi-aksi
radikalisme dan terorisme sebagai
berikut:
Allah…./
sungguh,/ ia!/ dia!/ mereka!/ penembak!/ pembunuh!/ teroris!/ TERKUTUKLAH!// (hlm. 89)
Pesan rahmatan lil alamin yang lebih bersifat ekologis tersirat dari
puisi karya Sri
Utami Affrilia Dewi berjudul “Sinar Lobang”. Begitu juga puisi karya Luqman Alm berjudul “Paradoks Pagi” yang satiris, serta menampilkan harmoni
kehidupan di sekitar manusia dan spiritualitas dalam sunatullah.
……
pagi ini/ gerimis datang tak sendiri/ ia datang
bersama angin yang singgah di pohon kemarau/ menitipkan sebaris doa//
sepagi ini/ hikmat doa-doa merayu langit/ berucap
syukur melabur nikmat ilahi//(hlm. 86)
Proyeksi penerapan aswaja dalam
kehidupan sehari-hari tergambar dari puisi karya Enha Zen berjudul “Tasbih dan Parfume” yang secara tersirat
menampilkan dasar pegangan dan mata rantai ajaran serta hikmah yang terkandung
di dalamnya. Sederhananya, beraswaja adalah berusaha meningkatkan iman dan
taqwa kepada Allah, mencintai Nabi dengan menjalankan sunnahnya secara
proporsional, serta apresiasi terhadap karya-karya salafus shalih—sahabat,
tabi’in, dan seterusnya hingga sampai pada ulama di sekitar kita—. Hal
ini tergambar dari ungkapan sebagai berikut:
……
Aku melihat Sa’ad bin Abi Waqqash/ Menyebut
nyebut nama Kekasihnya dengan kerikil-kerikil dan biji kurma ribuan kali//
……
Bukankah setiap benda akan bersaksi atas apa
yang diperbuat?//
……
Tak ada yang mengalahkan sikap Nabi
memuliakan perempuan/ kecuali para pecinta kepada kekasih//
……
Puncak kecintaan adalah berdiri tunduk di
hadapNya/ Menekuri dan mensyukuri setiap jengkal anugerah yang diberi// (hlm. 20)
Pada hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, taqwa merupakan posisi atau derajat ideal yang menjadi tujuan dari
amaliyah ibadah. Dari keseluruhannya, hal tersebut tidak mungkin bisa tanpa
dibuka dengan pengenalan kepada-Nya. Salah satu tahapan pertama, yaitu dengan
bertafakkur atau membaca kauniyah— sebagaimana ditunjukkan pada episode
sebelum turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw—, seperti yang ditunjukkan
oleh puisi karya Sri Utami Affrilia Dewi berjudul “Rembulan Beku”, berikut:
Aku menyelam dalam semesta fikirMu/ Malam
berjalan menyusul bulan/ Mengambil langkah membawa ujaran/ Lalu aku membatu
dalam rindu//……
(hlm. 48)
Menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya, sebagai gambaran umum dari menuju derajat taqwa, tentu tidak
mudah. Dari keseluruhnya, syaitan dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai musuh
manusia yang terus-menerus mengarahkan manusia agar menjauh dari Tuhannya.
Begitu juga hawa nafsu.
……
Percuma saja kau memuja/ Sebab kita akan
tetap bersama di neraka/ Bersama mereka, para durjana// (hlm. 91)
Demikian hal tersebut diungkapkan dalam
puisi “Terngiang” karya Saada_lm tentang bisikan-bisikan yang
kehadirannya selalu menyertai niat dalam keshalihan.
Penutup
Ulasan di atas merupakan pembacaan sederhana terhadap antologi puisi “Muhasabah Warna”. Dalam ekspresinya, puisi-puisi dalam antologi ini menampilkan pembacaan dan pengalaman terkait beberapa hal, yaitu aswaja yang menjadi manhaj keberagamaan, kesadaran dan identitas kultural, serta tradisi pesantren dan masyarakat tradisional. Juga, pembacaan terhadap kauniyah yang hadir di hadapannya dengan kerangka pemikiran keagamaan yang khas, yaitu ahlussunnah wal jama’ah. [*]
IDENTITAS BUKU:
Judul : Muhasabah Warna (Antologi Puisi)
Penulis : Ahmad Shodiq, Ahmad Zaini, dkk.
Penerbit : Pustaka Ilalang & Lesbumi PCNU Babat
Cet. I : Februari 2019
ISBN : 978-602-7459-33-5
Ukuran : 14,8 x 20,5 cm
Tebal : xiv + 98 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar