Oleh A. Syauqi Sumbawi
Di punggung
kasur, Abdun telentang. Menerawang cahaya purnama yang menerobos lewat sebuah
genting kaca. Temaram dalam kamar. Istrinya telah jatuh dalam tidur. Mungkin
lelah yang berat. Sepanjang siang diombang-ambingkan oleh tingkah-polah dan
perilaku tak terduga seorang balita perempuan sepuluh bulanan yang kini tengah
pulas di sampingnya.
Sejenak
dilihatnya anak pertamanya itu. Mimik wajahnya melukis senyum. Apakah dalam
tidurnya, seorang balita juga punya mimpi?! pikirnya.
Abdun
memeriksa diri. Tak satu pun peristiwa tersangkut di dinding ingatannya saat
balita. Termasuk sebuah kisah yang didengarnya beberapa jam yang lalu. Cerita
dari laki-laki tua, saudara jauh bapaknya yang datang berkunjung. Konon, dia
pernah basah. Dipipisi ketika menggendong Abdun.
Laki-laki tua
itu tertawa. Sementara Abdun, kecut dalam senyumnya. Pikirannya dipenuhi tanda
tanya.
Yah, peristiwa
apa yang diingat oleh anak manusia saat balita?! Tak satu pun yang
mengingatnya. Kecuali penggal demi penggal yang diceritakan oleh para orang tua
saat jumpa. Lantas, apakah anak manusia akan menyanggahnya dengan cerita lain versi
dirinya sendiri?! Tak seorang pun yang akan nekat melakukannya. Karena pasti,
itu adalah dusta dan mengada-ada.
Barangkali,
inilah salah satu kondisi absurd dari hidup manusia. Terpasak dalam kondisi
yang entah dan tak berdaya. Mungkin hanya senyum yang bisa menawarkannya. Maka,
Abdun berusaha tersenyum. Sepanjang dia tahu, tak sepantasnya juga seorang tua
disanggah dalam kisahnya. Karena hanya itu, sesuatu yang berharga dan dimiliki
terkait waktu manusia di dunia.
Abdun kembali
menerawang cahaya purnama. Teringat sodokan dan jendulan di tangannya saat
meletakkan tangan di perut istrinya. Gerak anggota tubuh anak perempuannya
ketika dalam kandungan. Sejenak pikirannya pun tergerak.
Dari manakah
anak manusia mengetahui keberadaannya saat dalam rahim ibu, jika dia saja baru
bisa mengetahui masa kecilnya—balita dan seterusnya—dari penggal-penggal kisah
yang diceritakan orang lain?! Bukankah telah ada kehidupan yang dijalaninya
ketika dalam rahim?!
Tidak ada
manusia yang tahu. Bantuan teknologi pun, USG misalnya, tak mampu mengungkap
kejadian sebenarnya yang dialami bayi yang akan lahir ke dunia. Lantas, jika
diungkapkan sebuah peristiwa, bahwa telah terjadi sesuatu di dalam rahim—juga
sebelumnya—, bagaimana manusia akan menyanggahnya?!
Peristiwa yang
diungkapkan dan bersumber dari wahyu (dalam keyakinan Islam) inilah yang
dikemukakan Alang Khoiruddin, sebagai pintu masuk dalam puisi berjudul
“Makrifat Purba”, pada buku Kabar Debu,
antologi kostela, Lamongan: Kostela bekerjasama dengan Pustaka Ilalang, 2011,
hlm. 124.
Makrifat Purba
sebelum ada
sesuatu
Tuhan telah
bercakap dengan begitu salju
‘Aku adalah
kabar bagimu’
Lantas aku
serupa pecinta
yang gemulai
membikin
senyum di dataran pipi
merona
tanda syahadah atasmu
Kemudian
saat rahim
membuka kelopaknya
aku menjejaki
lembah demi lembah
aku menyusuri
sepi demi sepi
berharap saut
mesra denganmu
Adakah terlalu lampau
semesta
makrifat purba ini
sampai
pengetahuan atasmu
terjajah
_____
Umumnya,
makrifat dipahami sebagai pengenalan. Lebih jauh dari sekadar tahu. Kalau pun
itu pengetahuan, tarafnya utuh. Bukan tahu-tahuan, serta mengarah pada
pengenalan. Sebuah adagium pun menyebutkan, “tak kenal maka tak sayang".
Tak kenal, maka biasa saja dan “tak ada rasa”. Barangkali inilah yang hendak
diungkapkan Alang, bahwa tidak hanya pengenalan dan penyaksian, tetapi “ada
kondisi rasa”—(begitu salju)— dalam perjanjian antara Tuhan dengan ruh-ruh
sebelum diturunkan ke alam jasad, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an.
Tuhan
berfirman: “Alastu birabbikum?”
—Bukankah Aku ini Tuhan kalian?—
Dan ruh-ruh
menjawab: “Qaaluu balaa, syahidna.”
—Benar, Engkau adalah Tuhan kami—. (QS. al-A’raf: 172)
Pada episode
di atas, “kondisi rasa” itu digambarkan …serupa
pecinta yang gemulai/ membikin senyum di dataran pipi/ merona/ tanda syahadah
atasmu//
Barangkali,
kondisi rasa yang tenang dan damai, sebagaimana yang juga digambarkan dalam, “Hai, jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27-28),
dengan level yang berbeda, yaitu awal perjalanan dan akhir perjalanan bersama
jasad.
Kemudian,
inilah yang dialami “aku” dalam perjalanannya di dunia. Seperti pengembara yang
…menjejaki lembah demi lembah/ …menyusuri
sepi demi sepi/ dengan harapan dapat merasakan “kondisi rasa” itu, yakni …saut
mesra denganmu//
Keberadaan
manusia bersama jasad dan alam materi, menempatkannya pada kondisi dan upaya
pencarian dan pengenalan lagi tentang-Nya, dengan penuh kesadaran. Namun, juga
kerap menjadikan manusia lebih terjerumus dalam kebutaan dan perilaku
membabi-buta. Bukan jiwa yang tenang, melainkan dalam kondisi terjajah.
Lantas, ...Adakah terlalu lampau/ semesta makrifat
purba ini/ sampai pengetahuan atasmu/ terjajah//, tampak lebih merupakan
pernyataan retoris, tidak lain untuk menunjukkan bahwa hal pertama yang harus
dimiliki oleh manusia sebagai hamba adalah mengenal Tuhannya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar