Laki-laki itu beranjak dari kursi, berjalan meninggalkan layar komputer yang menumpulkan sorot matanya. Muram, di bawah bohlam. Di sebuah jendela, dia kemudian berhenti dengan menumpukan kedua sikunya. Menatap malam larut dan lengang, di mana rembulan tanggal sembilan menusuk-nusukkan garis-garis cahayanya pada daun-daun pohonan yang bergoyang perlahan. Di sana, udara mengendap dan menjadi dingin.
Sejenak tangan laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok kretek. Memijat-mijat pelan, seperti tengah bersabar dalam menyiapkan sesuatu yang besar pada cita-citanya. Sebentar dia menyulutnya. Lantas asap pun merayap di udara dan melenyap di bawah dedaunan.
Perempuan yang beberapa waktu lalu menghidangkan secangkir kopi untuknya, telah tertidur di punggung kasur. Nyenyak. Seperti memahami waktu atas laki-laki itu agar tidak menjadi rusak.
"Yah… siapa yang bernama nanti atau kini, segera menjelma kemarin setelah siang dan malam menandunya pergi, selalu begitu, selalu tak abadi peristiwa di bumi…*)" gumam laki-laki itu pelan seraya menatap rembulan tengah malam.
Dan laki-laki itu tak peduli. Telah tertancap tongkat perjalanan hidupnya di sini. Begitu juga waktu-waktu yang lalu, kini dia terus bersetia pada keyakinannya. Inilah hidup. Senantiasa bergerak adalah tanda. Seperti pagi yang tak berapa lama lagi tiba bersama matahari yang menggurat merah cakrawala. Selalu datang menghangatkan kehidupan.
Selepas menghembuskan asap rokok, laki-laki itu melangkah ke kursi dan mendudukkan tubuhnya. Sejenak ditatapnya perempuan yang telah sekian tahun menemaninya itu. Cukup lama.
"Tidak ada yang lebih membahagiakan dalam hidup ini, melainkan kesetiaan pada apa yang diyakini," gumamnya sendiri, lalu menghadapkan wajahnya kembali ke layar komputer yang tampak muram di bawah bohlam.
Sebentar jari-jari tangannya menari-nari, menandakan dirinya belum mati.
*) Kutipan sajak "Malam Sebelum Tidur" karya Herry Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar