Laman

Kamis, 20 Agustus 2015

Historisitas al-Qur’an dalam pandangan John Wansbrough

Foto
Pada umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam sejarah” telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan “medan percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama tersebut —terlepas dari persoalan teologis—.
Penekanan pada aspek kesejarahan di atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan. Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis sumber —kitab suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa yang sesungguhnya terjadi.”
Terlepas dari persolan teologis, ilmu modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen. Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini, al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.
Setidaknya terdapat empat pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar belakang al-Qur’an —Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Pendapat-pendapat yang berkembang di kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Qur’an di atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari informasi-informasi historis yang terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan catatan, apabila al-Qur’an dipandang sebagai sumber sejarah yang otoritatif—. Di samping itu, pengaruh kedua tradisi keagamaan Semit tersebut terhadap milieu Arab tampak tidak cukup menyakinkan. Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an sendiri mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan penyebaran ajaran agama mereka masing-masing kepada orang-orang Arab. Akan tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup membuahkan hasil yang maksimal, karena implikasi politik kedua agama tersebut. Orang-orang Arab lebih memilih untuk setia dalam mengikuti tradisi-tradisi leluhur mereka.
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para orientalis Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah al-Qur’an—. Akan tetapi, barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab suci masing-masing ketiga agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab suci —bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal, yaitu umm al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab yang tersembunyi), atau lawh mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan esensi pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada pada utusan Tuhan. Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian Lama serta Injil, semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia harus mengimani seluruhnya.
Dalam al-Qur’an, di samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi al-Qur’an tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan. Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.
Meskipun uraian di atas dianggap lebih bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah yang bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya. Sementara di kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber dan asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang kontroversial.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—. Skeptisisme Wansbrough ini terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.
Sementara sumber-sumber lain yang tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim, terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi. Informasi yang terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad tersebut. Sumber-sumber internal ini bermaksud mendokumentasikan basis keimanan, validitas kitab suci, dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari karakter historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam yang terbukti lebih lentur daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir mempunyai kategori informasi yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab datangnya wahyu yang menurut para pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk merekam peristiwa sejarah yang berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an. Analisis ayat dengan menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi aktual sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman bahwa al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian dicatat, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana penafsiran al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir bukan karena nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta kesusastraan yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam kajian Islam dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.
Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan Kristen—, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar