![]() |
Foto |
Penekanan pada aspek kesejarahan di atas didorong oleh
upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan kebenaran mutlak atau
kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat tergantung pada
pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan. Hipotesa bahwa
sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar historis agama,
khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah yang dapat
dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang positif. Dalam
hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis sumber —kitab
suci— adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa yang
sesungguhnya terjadi.”
Terlepas dari persolan teologis, ilmu
modern berusaha mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional
memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang
terpancang dalam sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk
bersikap sama terhadap sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal
sebagaimana gambaran sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen. Dari
sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan rekaman atau data-data yang
mendukung untuk menganalisis tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam
sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam —dalam hal ini, al-Qur’an yang
menjadi sumber ajarannya—, dalam pandangan para orientalis Barat, memiliki
tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.
Setidaknya terdapat empat pendapat yang
berkembang di kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber
al-Qur’an. Pertama, bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal dari
tradisi Yahudi. Kedua, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal
dari tradisi Kristen. Ketiga, bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an
berasal dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang
secara serempak mempengaruhinya. Keempat, bahwa latar belakang al-Qur’an
—Islam— adalah milieu Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen
yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Pendapat-pendapat yang berkembang di
kalangan orientalis Barat tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Qur’an di
atas, sebenarnya berpijak pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen
pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Akan tetapi, asumsi semacam
ini tampaknya tidak mendapat legitimasi dari informasi-informasi historis yang
terdapat dalam al-Qur’an sendiri —dengan catatan, apabila al-Qur’an dipandang
sebagai sumber sejarah yang otoritatif—. Di samping itu, pengaruh kedua tradisi
keagamaan Semit tersebut terhadap milieu Arab tampak tidak cukup menyakinkan.
Memang benar, bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di
kalangan masyarakat Arab. Bahkan al-Qur’an sendiri mengemukakan adanya upaya
dari orang-orang Yahudi dan Kristen melakukan penyebaran ajaran agama mereka masing-masing
kepada orang-orang Arab. Akan tetapi, tampaknya upaya ini tidak cukup
membuahkan hasil yang maksimal, karena implikasi politik kedua agama tersebut.
Orang-orang Arab lebih memilih untuk setia dalam mengikuti tradisi-tradisi
leluhur mereka.
Kemiripan ajaran al-Quran dengan
tradisi Yahudi-Kristen juga dijadikan sebagai basis oleh para orientalis Barat
untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Qur’an adalah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru —atau Tawrat dan Injil dalam istilah al-Qur’an—. Akan tetapi,
barangkali kaum Muslim akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama
Ibrahim ini pada kesamaan sumber inspirasi kitab suci masing-masing ketiga
agama tersebut. Dalam keyakinan Islam, seluruh kitab suci —bahkan di luar
ketiga tradisi keagamaan Semit tersebut— bersumber dari Allah, dan rasul yang
menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Qur’an memang menyebutkan bahwa
para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada
masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal
dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal, yaitu umm
al-kitab (induk segala kitab), kitab maknun (kitab yang tersembunyi), atau lawh
mahfuzh (luh yang terpelihara), yang merupakan esensi pengetahuan Tuhan. Dari
esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada pada utusan Tuhan.
Tawrat dan Zabur —merujuk pada Perjanjian Lama serta Injil, semuanya bersumber
dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia
harus mengimani seluruhnya.
Dalam al-Qur’an, di samping disebutkan
kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad
juga diperintahkan untuk mendeklarasikan keimanan kepada seluruh kitab yang
diturunkan Allah. Oleh karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah.
Demikian juga dengan kenabian, di mana al-Qur’an mengharuskan keimanan kepada
nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi. Bagi al-Qur’an tidak ada
satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan. Jadi,
berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu
mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal
dari satu sumber, yaitu Tuhan semesta alam.
Meskipun uraian di atas dianggap lebih
bersifat dogmatis, barangkali hanya jawaban semacam itulah yang bisa
dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Qur’an tentangnya. Sementara di
kalangan orientalis Barat sendiri, masalah pelacakan sumber-sumber dan
asal-usul genetik al-Qur’an masih tetap merupakan bidang kajian yang
kontroversial.
Berkaitan dengan persoalan tersebut,
John Wansbrough berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu
yang mengada-ada. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber
sejarah yang otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber
dan asal-usul geneologisnya sendiri —juga Islam—. Skeptisisme Wansbrough ini
terutama disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan
kesaksian yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas
data arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan
historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar
komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan
tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.
Sementara sumber-sumber lain yang
tersedia, yaitu teks-teks Arab dari komunitas Muslim, terdiri dari sejumlah
literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi. Informasi yang
terkandung dalam literatur ini ditulis selama dua abad tersebut. Sumber-sumber
internal ini bermaksud mendokumentasikan basis keimanan, validitas kitab suci,
dan bukti rencana Tuhan bagi manusia. Hal ini dapat dilihat dari karakter
historis sumber-sumber tentang dasar-dasar Islam yang terbukti lebih lentur
daripada dalam penafsiran al-Qur’an. Tafsir-tafsir mempunyai kategori informasi
yang disebut asbaab al-nuzuul, sebab-sebab datangnya wahyu yang menurut para
pengkaji al-Qur’an di Barat berguna untuk merekam peristiwa sejarah yang
berkenaan dengan pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an. Analisis ayat dengan
menggunakan asbab dalam tafsir menyatakan tentang signifikansi aktual
sebab-sebab itu dalam kasus tertentu. Hal ini menghasilkan pemahaman bahwa
al-Qur’an itu terbatas, di mana anekdot-anekdot dikemukakan, kemudian dicatat,
dan disampaikan dengan tujuan untuk memberi gambaran situasi di mana penafsiran
al-Qur’an dapat dibentuk. Materi-materi yang tercatat dalam tafsir bukan karena
nilai sejarahnya, tetapi karena nilai tafsirannya. Fakta-fakta kesusastraan
yang mendasar tentang materi tersebut sering diabaikan dalam kajian Islam
dengan maksud untuk menemukan akibat-akibat historis yang positif.
Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa
semua korpus dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat
dipercaya. Semua yang berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha
dijelaskan oleh karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian
peristiwa dunia yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan. Seluruh
komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah Penyelamatan Islam”, adalah sarana
untuk menyaksikan titik iman yang sama —dengan Yahudi dan Kristen—, yaitu
pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan
manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini, dalam pandangan Wansbrough,
tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa awal Islam,
melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai konteks historisnya sendiri.
Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan analisis sastra. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar