![]() |
Foto |
Sejumlah pengamat Barat memandang
al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa,
gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus
bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluhan tahun,
merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan gaya dan kandungan,
bahkan ajarannya. Meskipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami,
terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslimin sendiri,
dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berjilid-jilid kitab tafsir yang
berusaha menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar
mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian
mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Pada umumnya, kaum Muslimin meyakini
bahwa al-Qur’an bersumber dari Tuhan, dan al-Qur’an sendiri mengkonfirmasikan
hal tersebut. Keyakinan sumber ilahiyah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad
merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan semacam
itu, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai Muslim. Akan tetapi,
keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamirkan
pertama kali oleh al-Qur’an dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan
tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa dirinya
merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab sezaman
dengannya. Al-Qur’an sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius
terhadap Nabi, tetapi justru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa
memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan Nabi tentang asal-usul
genetik atau sumber wahyu yang diterimanya, juga bantahan terhadap miskonsepsi
mereka.
Dalam beberapa bagian al-Qur’an, para
penentang Nabi memandangnya sebagai kahin (tukang tenun) dan wahyu yang
disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenun”. Nabi juga dituduh sebagai
syaa’ir (penyair), majnun (kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya),
sahir (tukang sihir) atau mashur (korban sihir), dan wahyu yang diterimanya
dianggap sebagai sihr (sihir).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di
atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Qur’an berasal
dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam
konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya
dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan. Tanpa
memutarbalikkan fakta, al-Qur’an telah merekam rentetan kejadian sehubungan
dengan oposisi dan sudut pandang orang yang semasa dengan Nabi Saw mengenai
asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Sejalan dengan itu,
al-Qur’an juga merespon para oposan Nabi tersebut. Meskipun respon spesifik
al-Qur’an berbeda untuk setiap kasusnya, namun dalam berbagai jawaban tersebut,
kitab ini selalu menekankan asal-usul ilahiyahnya, yaitu bersumber dari Tuhan
semesta alam.
Rupanya gagasan para oposan Nabi di
atas memiliki sisi kemiripan dengan konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak
abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi
yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau
apologetik. Pada abad pertengahan ini, Muhammad digagaskan sebagi penipu,
pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran al-Qur’an yang didakwahkannya itu
tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bid’ah.
Meskipun lebih merupakan mitos dan
fiksi imajinatif, gagasan Barat abad pertengahan tersebut memiliki pengaruh
kuat di kalangan sarjana Barat pada masa berikutnya, dan terlihat sulit untuk
dihilangkan dari pikiran masyarakat Barat hingga dewasa ini. Akan tetapi,
konsepsi abad pertengahan ini secara sederhana dapat diabaikan karena tidak
ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Di sini, gagasan
Barat abad pertengahan tidak dapat disejajarkan dengan gagasan Barat modern
jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya.
Karya Barat modern yang berupaya
melacak sumber-sumber al-Qur’an bisa dikatakan bermula pada tahun 1833 dengan
publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?
Dalam penelitiannya, Geiger berkesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang
tertuang di dalam al-Qur’an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usulnya
dari Yahudi secara transparan. Tidak hanya sebagian besar kisah para nabi,
tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Qur’an pada faktanya juga bersumber dari
tradisi Yahudi. Akan tetapi, selama hampir setengah abad setelah publikasinya,
tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada
tahun 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan mempublikasikan
karyanya, Juedische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur’an), yang
mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Pasca kemunculan kedua karya di atas,
sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan
asal-usul genetik al-Qur’an. Dalam hal ini, terjadi semacam pertarungan
akademik antara mereka yang menganggap al-Qur’an tidak lebih tiruan dari
tradisi Yahudi dan mereka yang menganggap agama Kristen sebagai sumber
utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berusaha membuktikan bahwa asal-usul genetik
al-Qur’an secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan Muhammad merupakan
seorang murid Yahudi tertentu. Sementara para sarjana Kristen juga berupaya
membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang tradisi Kristiani,
serta menganggap Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan
suatu bentuk aneh dari agama Kristen.
Di kalangan para sarjana tersebut, John
Wansbrough muncul dengan penerbitan karyanya, Quranic Studies: Sources and
Methods of Sciptural Interpretation, pada tahun 1977. Dengan menggunakan metode
kajian kritis terhadap bentuk sastra (form criticism) dan studi kritis terhadap
redaksi (redaction criticism) atau juga disebut dengan metode analisis sastra
(method of literary analysis) al-Qur’an, John Wansbrough menegaskan bahwa
al-Qur’an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dengan
pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang berada di bawah pengaruh
Yahudi, dan pada batas tertentu Kristen, sehingga asal-usul al-Qur’an
sepenuhnya berada dalam tradisi tersebut.
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough
di atas mengundang perdebatan di kalangan para sarjana yang memiliki otoritas
dalam studi Al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun sarjana
muslim. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar