Laman

Kamis, 20 Agustus 2015

Manusia dan Moment Puitika

Dalam perspektif antropologis-psikologis, kepribadian manusia dalam posisinya sebagai makhluk budaya, terproyeksi dalam eksistensi cipta, karsa, dan karya. Trilogi individualitas manusia ini, menjadikan manusia tidak hanya sebagai makhluk berbudaya—memiliki kebudayaan— an sich, melainkan lebih jauh lagi, sebagai pencipta, pelestari, dan pengembang kebudayaan, terutama dalam kaitannya sebagai usaha penyelarasan terhadap berbagai persoalan kemanusiaan aktual. Dengan demikian, kebudayaan bukan produk manusia yang bersifat statis, tetapi bersifat dinamis.

Salah satu komponen kebudayaan yang dinamis tersebut adalah seni. Pada konteks ini, seni secara khusus merujuk pada karya puisi, yang merupakan salah satu jenis karya dari seni sastra. Secara historis, puisi tidak pernah sepi dari perkembangannya, terutama pencapaian-pencapaian baru, baik dalam aspek tema, gaya bahasa, tipografi, dan sebagainya, yang kesemuanya tidak bisa dilepaskan dari sisi historisitasnya. Hal ini, paling tidak, disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama, manusia sebagai makhluk yang kreatif dan inovatif dalam hidup dan kehidupannya. Kedua, universalitas puisi. Dalam hal ini, puisi—sebagaimana karya seni lainnya—merupakan karya yang “luas”, seluas hidup dan kehidupan manusia. Di samping itu, puisi adalah milik semua manusia, di mana dalam kondisi tertentu, manusia berkelindan dalam moment-moment puitika. 
Dalam kehidupan manusia, moment puitika bisa hadir kapan saja dan di mana saja, dan merupakan “ruang sekaligus bahan dasar” dalam proses penciptaan sebuah karya puisi. Dari kehadirannya, semua tergantung pada manusia itu sendiri. Berkehendak atau tidak, mengkonstruksikannya menjadi karya puisi. Kebanyakan manusia membiarkan dan melepaskan begitu saja moment puitika tersebut, dan sedikit sekali yang “menjadikannya abadi”.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar