Dalam perspektif
antropologis-psikologis, kepribadian manusia dalam posisinya sebagai makhluk
budaya, terproyeksi dalam eksistensi cipta, karsa, dan karya. Trilogi
individualitas manusia ini, menjadikan manusia tidak hanya sebagai makhluk
berbudaya—memiliki kebudayaan— an sich, melainkan lebih jauh lagi,
sebagai pencipta, pelestari, dan pengembang kebudayaan, terutama dalam
kaitannya sebagai usaha penyelarasan terhadap berbagai persoalan kemanusiaan
aktual. Dengan demikian, kebudayaan bukan produk manusia yang bersifat statis,
tetapi bersifat dinamis.
Salah satu komponen kebudayaan yang
dinamis tersebut adalah seni. Pada konteks ini, seni secara khusus merujuk pada
karya puisi, yang merupakan salah satu jenis karya dari seni sastra. Secara
historis, puisi tidak pernah sepi dari perkembangannya, terutama
pencapaian-pencapaian baru, baik dalam aspek tema, gaya bahasa, tipografi, dan
sebagainya, yang kesemuanya tidak bisa dilepaskan dari sisi historisitasnya.
Hal ini, paling tidak, disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama, manusia
sebagai makhluk yang kreatif dan inovatif dalam hidup dan kehidupannya. Kedua,
universalitas puisi. Dalam hal ini, puisi—sebagaimana karya seni
lainnya—merupakan karya yang “luas”, seluas hidup dan kehidupan manusia. Di
samping itu, puisi adalah milik semua manusia, di mana dalam kondisi tertentu,
manusia berkelindan dalam moment-moment puitika.
Dalam kehidupan manusia, moment puitika
bisa hadir kapan saja dan di mana saja, dan merupakan “ruang sekaligus bahan
dasar” dalam proses penciptaan sebuah karya puisi. Dari kehadirannya, semua
tergantung pada manusia itu sendiri. Berkehendak atau tidak,
mengkonstruksikannya menjadi karya puisi. Kebanyakan manusia membiarkan dan
melepaskan begitu saja moment puitika tersebut, dan sedikit sekali yang
“menjadikannya abadi”.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar