Laman

Kamis, 20 Agustus 2015

Penulisan Fiksi

Ilustrasi
Sebagai sebuah proses, penulisan fiksi berkaitan dengan dua hal, pertama berkaitan dengan masalah teknik penulisan, seperti tokoh, plot, gaya, latar, dan sebagainya. Kedua, berkaitan dengan sikap, pandangan, dan pilihan. Dua hal ini membentuk kelengkapan laiknya jasad dan ruh pada diri manusia.

Masalah teknik penulisan dapat dengan mudah dipecahkan melalui tiga cara, pertama yaitu dengan mempelajari buku teori menulis fiksi. Seseorang bisa menyelesaikan membaca buku yang satu, lantas melompat ke buku yang lain. Akan tetapi setelah membaca buku-buku tersebut, malah kebingungan yang kerap didapatkan oleh seseorang daripada kejelasan. Terasa samar, terlalu teoritis, dan abstraks. Selain itu, jika seseorang terlalu berpegang pada teori, sangat mungkin bahwa dia akan sedikit sekali menghasilkan sebuah karya, sebab teori telah menjadi 'pagar'. Meskipun begitu, terdapat juga mereka yang bisa keluar dari teori dan produktif dalam berkarya.
Kedua, dengan membaca karya fiksi, seperti cerpen dan novel. Juga puisi. Pada saat membaca itulah, secara tidak langsung seseorang akan 'bertemu' dengan teori menulis fiksi. Tanpa perlu mengerti tokoh, plot, gaya, latar, dan sebagainya terlebih dulu, seseorang langsung bergumul dengan semuanya ketika berhadapan dengan dua dunia; dunia sebenarnya dan dunia ciptaan (fiksi) pengarang. Menikmati dan terlibat dalam proses menimbang logika dalam fiksi yang dibacanya. Barangkali seseorang dalam hati akan menolak suatu perwatakan dari tokoh yang digambarkan pengarang. Mungkin yang lain akan menemukan dan menerima suatu kebenaran, disebabkan adanya hubungan dengan kebenaran yang terdapat dalam pandangan hidupnya. Dan sebagainya. Karena itu, maka ada baiknya seorang penulis (pemula) melupakan dulu buku-buku tentang teori menulis fiksi. Akan lebih mengasyikkan membaca karya fiksinya secara langsung dan utuh. Maka, jika ingin menulis cerpen, sebaiknya membaca cerpen sebanyak-banyaknya. Kalau ingin menulis novel, sebaiknya juga membaca novel sebanyak-banyaknya. Baik cerpen dan novel karya penulis dalam negeri maupun luar negeri, baik cerpen dan novel serius (mainstream), pop, atau picisan (kitsch) dan sebagainya. Dengan membaca semua itu, seseorang akan mengamati dan mengetahui di mana keberadaannya (kecenderungan) dalam berkarya fiksi.                
Ketiga, dengan menulis langsung karya fiksi, tanpa perlu terlebih dahulu membaca buku-buku karya fiksi dan buku-buku teori menulis fiksi. Seseorang bisa saja langsung menulis fiksi, karena dalam hidupnya manusia berhadapan dengan sumber besar inspirasi, yaitu hidup dan kehidupan. Seseorang bisa juga langsung mentransfer pengalaman-pengalaman, pikiran-pikiran dalam hidupnya menjadi sebuah karya fiksi (rekaan). Terlepas bagaimana nanti hasilnya, entah nanti karya tersebut masuk atau tidak dalam cakupan teori fiksi yang telah ada. Karena bisa jadi karya tersebut akan menyebabkan lahirnya teori baru berkenaan dengan teori menulis fiksi. Bukankah teori (menulis fiksi) dirumuskan setelah terciptanya sebuah karya fiksi?!
Berdasarkan hal di atas, sebaiknya bagi seseorang yang ingin menulis fiksi adalah banyak membaca karya fiksi, mempelajari teori menulis fiksi, kemudian menulis fiksi tanpa harus 'terpagar' oleh teori. Dari semuanya itu, seseorang bisa mendapatkan arah tentang apa yang hendak ditulisnya. Pikiran, gagasan, pengalaman, penilaian apa yang akan dituangkan ke dalam bentuk tulisan fiksi. Bisa saja sesuai dengan konvensi yang telah ada, atau malah ingin mendobraknya.    
Tentunya, konvensi penulisan dapat dirubah. Malah konvensi penulisan harus dirombak, kalau mampu. Akan tetapi, sebuah konvensi yang baru tidak lepas dari hukum konvensi itu sendiri; logika dalam karya itu sendiri. Karena itu dalam karya non-konvensional, terdapat juga logika konvensinya (logika non-konvensional). Sebab konvensi ini adalah cermin dari semesta—keragaman hidup—. Ada laki-laki, ada  perempuan, dan ada juga banci/bencong dan wandu. Air laut tidak selamanya akan berombak dalam hukumnya yang seperti itu, dalam batasan pasir pantai dan karang, namun suatu ketika bisa menjadi gelombang tsunami yang jauh keluar menusuk perkampungan dan meluluh-lantakkan ratusan ribu nyawa. Seperti itulah, sesuatu yang tak biasa, fenomena non-konvensional dalam karya penulisan.      
Selanjutnya, masalah yang berkaitan dengan sikap, pandangan, dan pilihan. Berbeda dengan teknik penulisan yang bisa (bahkan mudah) kita pelajari, masalah ini jauh lebih berat karena berkaitan dengan cara seseorang memandang keberadaannya di dunia. Di sini, umumnya orang gagal atau menggagalkan dirinya dalam memandang proses kepenulisan sebagai proses yang lebih besar. Proses yang tidak berlangsung temporal, melainkan proses yang berjalan terus-menerus hingga akhirnya, yaitu hidup. Karena itulah, kerap sekali terjadi seseorang yang sebelumnya produktif dalam mengarang, tetapi setelah menikah dan mempunyai anak, menduduki jabatan tertentu dan karena kesibukan lainnya, ia lantas berhenti mengarang. Maka, tampaklah bahwa pengarang bukan sebab dijadikan, melainkan proses menjadi. Ukurannya di sini adalah kecintaan dan kesetiaan terhadap apa yang dilakukan dalam prosesnya. Inilah idealnya bagi manusia; sebuah kesadaran atas hidupnya. Menjadi, bukan dijadikan. Tidak hanya dalam kepenulisan, tapi juga yang lain.
Mengarang karya fiksi, novel maupun cerpen, merupakan sebuah profesi, dari banyak profesi yang ada, yang tidak lebih rendah atau mulia dari yang lain. Karena pada dasarnya, semua profesi yang ada di dunia sifatnya komplemen atau saling melengkapi. Dan semuanya (masing-masing profesi) harus ditekuni, diarahkan ke tingkat hubungan dengan Tuhan, manusia, dan dunia, yaitu keberadaan manusia hidup di dunia yang di ujung masa akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Tuhan.
Memilih menjadi seorang pengarang adalah berteman dengan sunyi dan sepi. Tentunya ini berbeda dengan profesi lainnya, seperti guru, PNS, polisi, pegawai perusahaan, dokter, tukang cukur, tukang cetak, dan sebagainya yang berhubungan dengan keramaian. Memang, seorang pengarang, sebagai manusia dengan naluri gregoriusness, tidak lepas dari berkawan dan bersosialisasi dengan masyarakat banyak, namun ketika dirinya memutuskan untuk mengarang, ia akan kembali kepada kesendiriannya. Bergulingan dengan pikiran dan angan-angannya, bergumul dengan kata-kata. Dan bila kata-kata tersumbat, itu adalah masalah pengarang sendiri. Kalau ceritanya mogok, itu beban pengarang sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa membantunya. Inilah harga mahal yang harus dibayar oleh seorang pengarang. Kebanyakan orang malas dan jenuh dengan kesendirian itu. Tidak tahan dan ingin membaur dengan keramaian. Karena itu, pengarang hanya sedikit jumlahnya. Meskipun sedikit, mereka mau dan mampu membayar harga yang mahal itu.
Seorang pengarang, tentu saja, tidak harus menopoli dirinya hanya sebagai pengarang. Sebagai manusia, ia boleh bekerja dan berprofesi lain, seperti pedagang, penambak ikan, dosen, menjadi tenaga kerja di luar negeri, dan sebagainya. Namun ketika dirinya mengarang, ia benar-benar menjadi seorang pengarang dengan semua kebahagiaan, kepedihan, dan masalah-masalah yang dihadapinya. Mungkin hanya menjadi seorang pengarang di Indonesia, kelihatannya mengerikan. Keadaan belum jelas dalam profesionalisme yang berkembang di masyarakat. Penghargaan kepada seorang pengarang masih kurang memadai, untuk dapat hidup layak. Dan sebagainya.

Penutup
Sedari kehadirannya di dunia, manusia telah berhadapan dengan hidup dan kehidupan. Sejak lama manusia, secara tidak langsung, telah memikirkan, menimbang, menilai, menolak dan menyetujui, menyimpulkan apa-apa yang ada di hadapannya. Berikutnya adalah menuangkan ke dalam tulisan. Manusia bisa bicara. Tentunya, manusia juga bisa menulis. Karena apa yang kita bicarakan dan tuliskan tidak lain adalah pikiran dan perasaan itu sendiri. Di samping itu, mungkin kita telah banyak membaca karya fiksi dan teorinya.
Dari kesemuanya itu, tanpa disadari, kita telah menjadi pengarang pasif dan telah memiliki feeling penulisan. Kini, saatnya adalah bergerak menjadi pengarang aktif. Tergantung pada diri kita, mau atau tidak. Memindahkannya menjadi sebuah karya fiksi. Menjadi pengarang dengan segala konsekuensinya. Selamat berkarya! [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar