Episode Hari Santri Nasional: Perihal Khittah Budaya
Sejarah menyebutkan bahwa konteks masa
turunnya al-Quran berlangsung ketika syair atau sastra menjadi puncak
kebudayaan dan para penyair menduduki posisi tinggi dalam budaya dan kehidupan
masyarakat Arab. Kedudukan dan pengaruhnya sekelas dengan pemimpin kabilah.
Jika pada satu kabilah terlihat memiliki bibit penyair, maka kabilah-kabilah
lain akan berdatangan. Memberi selamat, hadiah, dan mengadakan pesta.
Keduanya ibarat dua sisi mata uang.
Jika pemimpin kabilah adalah elite di bidang sosial-politik, maka para penyair
elite sosial-budaya. Keduanya sama-sama memiliki prestise dan pengaruh besar
dalam kehidupan masyarakat. Saking dihormatinya penyair kala itu, mereka punya
peran sosial di masyarakat. Ketika pemimpin kabilah menyatakan perang,
kata-kata penyair menggerakkan keberanian. Ketika dua suku bertikai, diplomasi
para penyair sangat ampuh dalam merajut perdamaian.
Di mata pemimpin kabilah, kata-kata
para penyair bisa menjadi ancaman dan bisa juga menjadi bonus bagi
kekuasaannya. Karena itu, mereka menjalin hubungan mutualisme dengan para
penyair. Keberadaan para penyair dibutuhkan untuk menaikkan pamor dan kedudukan
pemimpin kabilah. Sementara jaminan hidup, terutama ekonomi dan keamanan,
diperlukan para penyair untuk kelangsungan hidupnya. Yah, baik pemimpin kabilah
maupun penyair, keduanya penting dalam menjaga eksistensi masyarakat dan
kebudayaannya.
Kondisi masyarakat Arab pra Islam di
atas, tentu berbeda dengan masyarakat wilayah lain. Begitu juga pada
periode-periode berikutnya. Hubungan mutualisme biasanya mempertemukan antara
elite politik dan tokoh agama. Karena itu, dalam periodesasi sejarah dan
kebudayaan di Indonesia masa lampau, dikenal dengan masa kerajaan Hindu-Budha
dan masa kerajaan Islam. Demikian pula keberadaan kerajaan Arab Saudi, yang
bermula dari koalisi antara pemimpin politik, Ibnu Saud dan tokoh agama yaitu,
Muhammad bin Abdul Wahhab.
Terkait hal di atas, bisa dipahami
bahwa kedudukan penyair pada masyarakat Arab pra-Islam mirip seperti “ulama”.
Kata-katanya ibarat “fatwa” yang mempengaruhi kebijakan dan perilaku. Dari
sini, dikatakan bahwa kebudayaan Arab pra-Islam, lebih kental dengan nuansa
sekuler-materialistik. Tidak seperti yang terjadi di Nusantara pada periode
yang sama, di mana kebudayaan kental dengan nuansa agama dan spiritualitas.
Atau di wilayah lain, seperti India, Cina, Persia dan sebagainya. Barangkali,
hal itu menjadi salah satu alasan, kenapa risalah Islam turun di kawasan Arab.
Dalam perspektif budaya, dapat
dijelaskan bahwa hadirnya Islam bersama al-Qur’an adalah untuk memberikan dasar
spiritualitas—tauhid—dan menyempunakan kebudayaan masyarakat bersama
nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang ada di dalamnya. Karena itulah,
ayat di atas---(QS. Asy-Syu'ara ayat 224-227)--- tidak berisi penolakan, tetapi
lebih memberikan panduan nilai terhadap penyair dan karyanya. Juga terhadap
kerja-kerja dalam pengembangan kebudayaan secara keseluruhan.
Demikian penjelasan Kang Badri yang
membayang di pikirannya. Ib tahu, hal inilah yang juga dilakukan oleh para
Walisongo dalam menyebarkan Islam. Tidak menghancurkan budaya, tapi memberikan
dasar dan mengembangkannya dengan nilai-nilai Islam, sesuai dengan kepribumian
masyarakat tersebut.
“Karena ruang kebudayaan penting dalam
pembangunan masyarakat, maka para santri harus berperan di dalamnya. Di setiap
ruang kebudayaan. Termasuk sastra. Puisi…” katanya di beranda masjid malam itu.
Kang Badri kemudian menjelaskan, bahwa
santri merupakan kalangan yang—paling—dekat dengan sastra. Tidak sekadar kata
shastri yang menjadi referensi istilah santri, tetapi hal itu terbaca dari pola
keseharian, yang akrab dengan ruang-ruang kesusastraan. Keberadaan al-Qur’an
dan hadist yang bernilai sastrawi tinggi, konstruksi bacaan shalawat,
diba’iyah, nadzam-nadzam, manaqib, pujen, dan sebagainya yang liris dan puitis,
serta kitab kuning (terutama akhlaq) yang sarat dengan syair, mengkonfirmasi
hal tersebut. Karena itu, bersastra atau berpuisi bagi santri adalah bagian
dari khittah budayanya.
“Ib, ingat ya! Kembali ke khittah,”
kata Kang Badri. Tersenyum. Kemudian pergi ke kompleks kamarnya.
***
(dikutip dari novel 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar