Cerpen Syauqi Sumbawi
Besok; usia pernikahanku dengan
Hamidah genap
Kami
menikah dijodohkan oleh orang tua kami. Sebelumnya kami belum saling mengenal.
Saat itu, umurku dua puluh empat tahun. Suatu hari, Bapak memanggilku. Di atas
punggung kasur kamarnya, ia terbaring sakit. Wajahnya tampak lelah. Namun,
sinar matanya menunjukkan kebahagiaan yang tercipta dari ketabahannya. Di
tangannya, jalinan tasbih berputar perlahan-lahan oleh jari-jarinya yang
bergerak lemah. Kata dokter, Bapak terserang kanker darah. Sementara Bulik Min,
duduk di sampingnya.
“Kemari,
anakku,” kata Bapak tersenyum melihatku datang. Aku mendekat. Kulihat Bulik Min
membantunya untuk duduk bersandar pada kayu ranjang yang berukir. Kemudian pamit
pergi. Dalam hati aku menyangka ada sesuatu yang penting yang akan dikatakan
oleh Bapak.
“Duduklah.”
Ia diam
sejenak sembari tersenyum padaku.
“Kau
sudah besar, anakku. Kau juga sudah sarjana sekarang. Tak terasa waktu berlalu
begitu cepat….”, ia berhenti sejenak. “O, ya, Bapak minta maaf. Bapak tidak
bisa hadir pada wisudamu.”
“Tidak
apa-apa, Bapak. Sekarang ini, kesembuhan Bapak adalah kebahagian terbesar bagi
saya.”
Ia
mendesah pelan dengan tetap tersenyum. Sementara jalinan tasbih di tangannya terus
berputar.
“Tidak,
anakku. Kau sendiri tahu tentang sakit Bapak ini. Kata dokter, Bapak hanya bisa
bertahan paling lama satu bulan lagi…” Bapak diam sejenak.
“Tapi,
manusia pasti kembali kepada-Nya. Entah, kapanpun itu. Siapa pun manusia tak
bisa mengelak ketika maut datang menjemput. Dan akhir-akhir ini, aku merasa
Emakmu menginginkan agar aku segera menyusulnya ke alam
Tiba-tiba aku teringat Emak. Tiga tahunan
yang lalu ia meninggal dunia. Saat itu, aku merasakan bahwa kami akan sangat
kehilangan. Seorang ibu dan seorang istri yang begitu baik. Kehidupan keluarga
yang begitu hangat. Aku tahu sebagaimana aku, Bapak sangat sedih ditinggal
Emak. Ya, bagi seorang laki-laki seperti Bapak, anak dan istri merupakan
belahan jiwa, kesayangannya. Memang keduanya mempunyai tempatnya
sendiri-sendiri. Tapi, di situlah letak kesempurnaannya.
Setelah ditinggal Emak, dalam beberapa
kesempatan ketika aku pulang ke rumah, sering kudapati Bulik Min menasehati
Bapak untuk menikah lagi ---karena waktu itu usia Bapak masih belum terlalu
tua--- juga dengan diam-diam berusaha mencarikan calon istri. Aku sebenarnya
tak keberatan jika Bapak menikah lagi. Namun, Bapak tak berminat. Dan suatu
hari, barangkali karena saking seringnya terlontar nasehat dari Bulik Min, Bapak
dengan tegas memintanya untuk menghentikan usahanya. Mencarikan pengganti Emak.
Saat itulah aku menyadari bahwa Bapak sangat mencintai Emak. Ya, begitu pula
sebaliknya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ini yang disebut dengan
pernikahan dunia sampai akherat?
“
“Kau adalah satu-satunya anakku yang masih
hidup. Dan sebelum aku menyusul Emakmu, juga saudara-saudaramu, aku ingin
melihat kau menikah.”
Aku tersentak. Namun sebelum sempat
berbicara, Bapak sudah mendahului.
“Dengarkan dulu….,” katanya kemudian ia
meminta untuk memanggil Bulik Min.
*
Dari Bulik Min aku tahu bahwa Bapak dan Bulik
Min dengan diam-diam telah mencarikan calon istri bagiku. Dia anak gadis teman
Bapak, namanya Hamidah. Bulik Min meyakinkan aku bahwa Hamidah adalah anak yang
baik dan sopan. Hormat pada orang tua. Meskipun hanya lulusan madrasah setahun
yang lalu, dia tergolong gadis yang cerdas.
“Semuanya tergantung padamu, San. Tapi, kau
tak boleh membuat keputusan sebelum bertemu dengannya,” katanya.
“Kapan?”
“Lusa. Dan aku yakin kau akan tertarik
kepadanya. Karena aku yakin bahwa Hamidah memang diciptakan untuk dirimu.”
*
Memang aku tak pernah menjalin hubungan
khusus dengan seorang gadis. Kecuali pertemanan biasa. Tapi, aku tak terlalu
bodoh jika disuruh menilai tentang mereka satu-persatu. Jika saat itu aku
menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis teman kuliah, maka barangkali aku
akan mengabaikan Hamidah demi dia. Ya, aku akan memilih calon istriku sendiri.
Tak perlu sampai harus dicarikan oleh orang tua.
Sore itu Bulik Min bertanya tentang
keputusanku. Entah kenapa, aku segera mengiyakannya tanpa berdebat terlebih
dahulu. Dalam hati, aku merasakan ada sesuatu yang menyuruhku untuk menuruti
keinginan Bapak. Yang terakhir kali sebelum ia meninggal dunia. Apakah ini yang
disebut pengorbanan seorang anak? Ah, kenapa aku harus berkorban begitu besar.
Menyerahkan hidupku untuk hidup bersama dengan seseorang yang belum kukenal.
Dan tak bijak kiranya jika orang tua menuntut pengorbanan dari anaknya untuk
kebahagiaannya sendiri.
Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku tentang
kedua orang tuaku yang begitu menyayangiku. Memberikan segala yang terbaik
bagiku. Mereka juga selalu mengabulkan segala keinginanku yang menurut mereka
memang baik bagiku.
Dulu,
ketika aku baru saja lulus dari SMA, aku mengatakan kepada mereka bahwa aku
ingin kuliah di luar
Sebenarnya, bisa saja aku berkata; tidak. Dan
jika demikian, aku yakin setelah itu Bulik Min akan datang lagi kepadaku dengan
calon istri baru. Tentu saja terlebih dahulu harus melewati persetujuan Bapak.
Karena Bapak telah mengganggap aku telah siap untuk menikah—selain keinginannya
sebelum meninggal dunia—maka, bukan hal yang main-main untuk menetapkan langkah
selanjutnya. Tapi, aku tidak melakukan hal itu. Barangkali karena hal ini juga
yang membuatku mengiyakannya adalah ketika dipertemukan dengan Hamidah, aku
merasakan ada sesuatu yang menarikku kepadanya. Entah, apa itu. Apakah cinta?
*
Hari itu kami berkumpul, membahas kehidupan
keluarga. Tujuh hari yang lalu Bapak meninggal dunia. Namun, dia sempat melihat
aku duduk bersama Hamidah di pelaminan. Bahkan dia cukup lama bertahan dari
waktu yang diperkirakan oleh Dokter.
Dalam kesempatan itu, aku sebagai ahli waris
mengajukan pendapat bahwa biarlah Bulik Min dan suaminya yang mengurus
usaha-usaha milik Bapak seperti sebelumnya. Juga tinggal di rumah ini. Ya,
Bapak memang orang kaya di daerah kecamatan yang terpencil ini. Sudah pergi haji
tiga kali. Barangkali juga terkaya. Ia mempunyai sawah di mana-mana, perkebunan
jati, penggilingan padi, toko pertanian, dan sebagainya. Dan aku masih ingin
melanjutkan kuliah lagi di luar
*
Sudah
Memang aku tahu, Hamidah juga mencintaiku.
Namun, aku sering terganggu dengan cintanya itu. Aku melihat ada pengorbanan
yang terasa lebih besar di dalam cintanya. Penghormatan seorang wanita kepada
suaminya yang lebih besar dari cinta yang wajar. Dia juga sangat menghormati orang tua. Dulu,
ketika Bapak masih hidup. Hamidah menggantikan Bulik Min, mengurus Bapak yang
sedang sakit.
Hampir
tiap hari ketika aku ada di rumah, Hamidah sendiri yang mengurus segala
keperluanku sehari-hari. Mulai dari menyiapkan makanan, mencuci baju,
mensterika, dan sebagainya.
“Kau seharusnya tak terlalu keras bekerja.
Karena kau nyonya rumah ini. Biarlah pekerjaan seperti itu dikerjakan oleh
pembantu,” kataku suatu hari. Ya, di rumah peninggalan Bapak ini, sejak semula
memang banyak pembantu yang bekerja. Namun, dia mengatakan bahwa pekerjaan
tersebut tidaklah terlalu berat baginya. Di samping itu, dia ingin melayani
segala kebutuhanku dengan tangannya.
Karena aku merasa kasihan bahwa dia akan
kecapekan dalam bekerja, maka aku membeli mesin cuci, kompor listrik, dan
alat-alat modern lainnya. Namun, tak pernah kulihat dia menggunakannya meskipun
dia sudah tahu cara menggunakannya.
Hampir tiap pagi ketika subuh telah tiba, dia
membangunkanku. Dengan keadaan sudah rapi dan dandanan sederhana. Juga dengan secangkir kopi dan segelas air
putih. Suatu kali aku pernah berkata kepadanya:
“Sayang,
pekerjaan seperti ini sesekali saja kaulakukan. Jangan tiap hari. Karena aku
lebih suka kalau kautinggal dalam pelukanku hingga subuh akan kehilangan
waktunya.”
“Tidak
baik seorang wanita pagi-pagi bermalas-malasan..…,” katanya sembari tersenyum
manis. Saat itu, aku melihat bahwa dia sangat cantik. Kalah bidadari-bidadari
yang pernah tercipta dalam pikiranku. Segera kutarik dia dalam pelukanku.
*
Setahun
setelah menikah dengan Hamidah, aku membeli rumah di luar
Di
rumah peninggalan Bapak yang cukup luas, aku menjadikan salah satu ruangan
kamar sebagai perpustakaan. Dengan koleksi buku yang kubeli dan cukup banyak
jumlahnya, baik itu karya penulis-penulis luar negeri maupun dalam negeri. Baik
penulis laki-laki maupun perempuan. Aku berharap istriku membaca buku-buku itu.
Ketika pulang—setelah mendapat gelar Magister, aku menjadi dosen—, aku sering
meminta bantuan Hamidah untuk membacakan buku di kamar kami, terutama karya penulis
wanita seperti R.A. Kartini, Fatima Mernissi, Jane Austen, Karen Amstrong dan
sebagainya. Dengan kebiasaan seperti ini, aku berharap dalam diri Hamidah
tumbuh keinginan untuk membaca, belajar, menambah wawasan. Dalam kesempatan
itu, aku juga kerap meminta komentar-komentarnya. Dari situ, aku pun tahu bahwa
sebenarnya Hamidah perempuan cerdas. Namun, barangkali karena rasa hormatnya
kepadaku, suaminya, dia tak pernah membantah ketika dengan sengaja aku membuat
perdebatan dengannya.
Meskipun Hamidah tak mau diajak pindah ke luar
Sudah tiga hari kami tinggal di
*
Sore
itu, kami kedatangan dua orang teman semasa menyelesaikan magisterku dulu. Din
dan Ratna, begitulah namanya. Mereka berdua sepasang kekasih dan sama-sama
merupakan fungsionaris sebuah partai politik. Mereka kerap bepergian bersama
dari
Dulu,
semasa menyelesaikan magister, Din kuajak tinggal bersamaku di rumah itu—karena
Din juga merupakan teman lamaku—. Di samping aku butuh teman, aku pikir lebih
baik Din menggunakan uangnya untuk keperluan lainnya daripada untuk menyewa
tempat tinggal. Apalagi, dia selama ini
telah membiayai hidupnya sendiri.
Sepanjang yang kuketahui, Din hanya membiayai
hidupnya dari menulis. Selain itu, tak pernah kutahu dia berusaha untuk mencari
pekerjaan. Hari-hari luangnya diisi dengan menulis opini, artikel, untuk
kemudian dikirimkan ke media
Suatu hari Din memperkenalkan aku dengan
Ratna. Teman satu jurusan dengannya—mereka berdua beda jurusan denganku—. Pada
wilayah inilah, aku kerap merasa jengkel dengan Din, karena dia sering membawa
Ratna menginap di kamarnya. Aku sendiri merasa risih dengan kelakuannya ini. Di
samping itu, tidak hanya aku dan Din saja yang tinggal di rumah itu.
“Tidak,
San. Aku pergi karena memang aku mau pergi.
Ya, memang demikian. Dulu, ketika masih
kuliah S1, Din memang terkenal sebagai aktifis mahasiswa yang sangat progresif.
Pemikiran-pemikirannya kritis. Tegas dan revolusioner. Apalagi ditambah
karakternya yang menawan. Maka maklumlah, banyak di antara para mahasiswa yang
mengaguminya.
Hari itu, Din dan Ratna pun pergi .
*
Dari percakapan di antara kami, aku pun tahu
bahwa kedatangan Din dan Ratna ke
“Besok, ikutlah bersama kami datang ke
seminar tersebut,” kata Din kepadaku dan istriku.
*
Seminar yang membicarakan tentang peranan
wanita itu selesai beberapa waktu yang lalu. Banyak yang hadir dalam seminar
tersebut. Ruangan seminar penuh sesak. Sebagian besar adalah kaum perempuan.
Meskipun begitu, acara seminar tersebut berjalan dengan lancar.
Sore itu, aku dan Hamidah sudah tiba di
rumah. Duduk-duduk di beranda rumah sembari menikmati secangkir kopi. Juga
suasana sore yang cukup cerah. Tak lupa pula bercakap-cakap tentang seminar
tadi. Sementara Din dan Ratna tidak bersama kami. Di tempat seminar tadi,
mereka pamit hendak mengunjungi beberapa kenalannya.
“Kapan mereka berdua kembali ke Ibu Kota?”
kata Hamidah dengan tiba-tiba. Memecah diam.
“Memangnya ada apa, sayang?”
“Ehm,…. aku ingin mengundang mereka makan
malam di sini. Sebelum mereka kembali?” katanya perlahan.
“Ide yang bagus, sayang,” aku menyambut
gembira. Sebenarnya, aku merasa cukup aneh dengan sikap istriku ini. Aku
membayangkan bahwa jika kami benar-benar makan malam, maka, obrolan yang
terjadi akan dipenuhi dengan persoalan-persoalan mengenai dunia aktivis dan
politik. Padahal selama ini, ketika aku mengajak istriku berdiskusi tentang persoalan-persoalan
tersebut, dia tampak enggan. Kalaupun selama ini dia melayani, aku masih
menganggap bahwa itu tak lain adalah rasa hormatnya kepadaku. Tapi, aku senang
dengan kemajuan ini. Bukankah ini yang selama ini kuharapkan dari istriku? Dan
sore itu juga, aku menelepon Din. Menyampaikan undangan makan malam.
Keesokan malamnya, kami makan bersama.
Istriku sendiri yang menyiapkan segalanya. Mulai hidangan pembuka, menu utama,
maupun hidangan penutup. Dalam kesempatan itu, Din dan Ratna memuji istriku
yang tidak hanya cantik, tapi juga pandai memasak. Bahkan dengan
terang-terangan Ratna minta diajari untuk memasak.
“Boleh,” kata istriku. Benar-benar saat itu
aku merasa bangga kepadanya.
Memang benar, obrolan yang terjadi selama di
meja makan sebagian besar adalah persoalan-persoalan tentang dunia aktivis dan
politik. Dan aku kembali merasa bangga sekaligus kaget dengan apa yang
diperbuat istriku. Ia tidak hanya lebur dalam permbicaraan tersebut, tapi juga
melontarkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang.
Setelah acara makan malam selesai, aku
kemudian menyeret Din keluar menuju beranda, membiarkan istriku berbicara
dengan Ratna. Aku ingin berbicara berdua dengan Din, terutama mengenai
hubungannya dengan Ratna.
“Kapan kalian menikah?”
“Mungkin nanti setelah pemilu.”
“Aku pikir, sebaiknya cepat-cepat kaunikahi
Ratna. Kasihan dia. Selama ini selalu setia menyertaimu ke manapun kau pergi.
Kautahu, bagi seorang perempuan, kepastian, kejelasan status merupakan sesuatu
yang amat penting.”
“Ya, aku tahu. Tapi, untuk sekarang ini aku
belum siap.”
“Apalagi yang perlu kausiapkan?”
“Ya, banyak. Begitu banyak yang masih harus
kuselesaikan. Dan untuk waktu dekat ini, pencalonanku dalam pemilu adalah
konsentrasi utama,” katanya menekan suara. Ya, begitulah Din. Sementara di
dalam rumah, terdengar istriku dan Ratna terlibat dalam percakapan yang
terdengar cukup menarik.
*
Pagi hari, aku melihat istriku sudah
berdandan rapi. Aku heran. Dia menggunakan busana muslim yang kubelikan
beberapa tahun yang lalu. Dulu, ketika kusuruh untuk memakainya, dia tak pernah
mau. Katanya busana muslim tersebut terlalu ketat Di samping itu, akan menjadi pusat perhatian
jika dipakai pergi kondangan, atau pengajian.
“Iih, cantiknya. Mau ke mana, sayang?”
“Pergi,” katanya tanpa memalingkan dirinya
dari kaca rias.
“Tinggallah di sini sebentar!” Dia tersenyum
manja. Menggodaku.
“Apakah kau tidak mengajakku?”
“Tidak. Karena aku sudah ada janji
dengan….Mbak Ratna.”
“Memangnya mau pergi ke mana?”
“Tidak boleh tahu. Ini urusan perempuan.” Aku
beranjak mendekatinya. Memeluknya dari belakang.
“Iiiiih, Mas Hasan. Nanti rusak semua, lho,”
katanya sembari meronta manja.
Dua
hari sudah, aku dibikin kaget oleh istriku.
*
Sepuluh hari kami tinggal di rumah itu, dan
ini sudah melebihi rencana sebelumnya, tujuh hari. Pagi itu kami pulang ke
rumah peninggalan Bapak. Sementara itu,
Din dan Ratna juga kembali ke Ibu Kota.
*
“Apakah Mas masih berharap aku mau pindah ke
rumah itu?” kata Hamidah suatu malam ketika liburan akhir semester tinggal
beberapa hari lagi.
“Kenapa? Kau ingin tinggal di
“Ya, itu kalau…”
“Tentu, sayang. Aku sangat mengharapkan hal
itu. Bersamamu setiap hari.”
*
Tiga bulan sudah kami tinggal di rumah itu.
Dan aku senang dengan perubahan yang terjadi pada diri istriku. Dia tidak
seperti yang dulu ketika masih tinggal di rumah peninggalan Bapak, hanya
berdiam diri di rumah saja. Tapi, dalam waktu tiga bulan itu, dia kerap pergi
mengikuti kegiatan sebuah organisasi perempuan yang dulu pernah mengadakan
seminar itu. Ketika berada di rumah, aku kerap pun melihat dia membaca di
perpustakaan.
Dalam
hubungannya dengan diriku, dia masih mengurus
segala keperluanku sehari-hari, meskipun
tidak setiap hari seperti yang dulu. Di samping itu, dia sudah menggunakan
peralatan modern. Hampir tiap pagi juga ketika subuh telah tiba, dia masih
sering membangunkanku, dengan keadaan sudah rapi dan dandanan sederhana. Juga dengan secangkir kopi dan segelas air
putih, meskipun juga tak setiap hari seperti yang dulu.
Mengenai
keadaan yang terakhir ini, entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan ada sedikit
kehilangan dalam diriku. Namun, hal itu segera ditimpali oleh yang lain; bukan
ini dari dulu kauharapkan dari dirinya?
*
Suatu
hari, Din dan Ratna mengunjungi kami. Dari pembicaraan yang terjadi, aku tahu
bahwa Din dicalonkan oleh partai politiknya untuk menjadi anggota dewan tingkat
wilayah Propinsi ini. Bukan Ibu
Hampir
tiap hari, kutemui istriku terlibat dalam percakapan di antara mereka bertiga.
Kadang berdua-dua. Istriku dengan Din,
juga dengan Ratna. Tidak hanya itu, mereka juga kerap bepergian selama
satu hingga tiga hari mengikuti kegiatan organisasi perempuan—ya, aku salut
dengan istriku, ketika tahu bahwa dia terpilih sebagai wakil ketua. Padahal,
paling lama dia aktif di
Suatu hari aku oleh Bulik Min diminta pulang
ke rumah peninggalan Bapak. Paklik Jan, suaminya, opname di rumah sakit. Di
“Ke mana Ratna? Kok nggak bersama kalian?”
kataku kepada istriku.
Istriku kemudian menjawab bahwa kata Din,
Ratna pagi tadi pergi ke Ibu Kota.
Pagi itu aku menemui Din. Bertanya tentang
keberadaan Ratna. Dan jawaban Din sama persis dengan apa yang dikatakan
istriku.
*
Suatu siang Ratna meneleponku di kampus. Dia
ingin bertemu. Katanya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan. Dalam
kepala aku jadi bertanya-tanya? Dan aku masih harus memberi kuliah terakhir.
Setelah jam kuliah berakhir, aku segera pergi
menemui Ratna.
*
Ternyata benar. Sesuatu yang penting itu
mengenai istriku dan Din. Ratna mengingatkan aku bahwa Din ingin memiliki
istriku. Dia ingin merebutnya dariku. Sementara tentang kepergian Ratna,
sebenarnya tidak ada ada rapat Partai. Dia pergi karena bertengkar dengan Din.
Malam itu, Ratna mencoba mengingatkan Din bahwa Hamidah adalah istriku. Istri
teman baiknya sendiri. Namun, Din malah marah-marah kepadanya.
*
Akhir-akhir ini, istriku dan Din semakin
akrab. Kerap kulihat mereka berdua pergi bersama. Dan sepanjang yang aku tahu,
mereka tidak pergi untuk bersenang-senang. Menghadiri kampanye atau acara
lainnya. Di rumah, sering kudapati mereka mengobrol bersama. Dan ketika aku
bergabung, entah kenapa kurasakan keterasingan dalam diriku.
Sehari-hari aku jarang berbicara dengan
istriku. Setiap kali aku bertemu dirinya. Entah kenapa aku tak bisa menggerakkan
lidahku merangkai kata untuk membuat percakapan setelah basa-basi kecil
pertemuan. Telah terjadi kekakuan di antara kami. Dan inilah yang menyebabkan
setiap kami bertemu, kami ingin segera menghindar. Di samping itu, istriku sama
sekali sudah tidak menyiapkan kebutuhanku sehari-hari. Semua dikerjakan oleh
pembantu. Dan di pagi hari, sudah tidak ada lagi segelas air putih dan
secangkir kopi darinya untukku.
Suatu malam ketika hendak tidur, aku berkata
kepadanya: “Aku rindu segelas air putih dan secangkir kopi di pagi hari.” Dan
keesokannya, dia membuatnya untukku. Namun, keesokannya lagi, dia sudah tidak
melakukannya lagi.
*
Setelah
Ratna tidak bersama kami, aku merasa khawatir dengan Din. Ya, dia memang
agresif. Dan apa diinginkannya, dia selalu berusaha sampai dapat. Bahkan dengan
merampas pun dia tak peduli. Ini pula yang tidak diinginkan Ratna, yang
menasehatiku untuk mengingatkan Din. Bahkan kalau perlu mengusirnya dari
rumahku. Namun, entah kenapa ketika hendak mengingatkannya, aku selalu tidak
bisa. Akhirnya, aku hanya bisa menumpuk-numpuk rasa cemburuku.
*
Sudah hampir
Kini
semua telah berbeda. Memang, Hamidah telah menjadi perempuan yang aktif.
Namun, kurasakan ada yang hilang di antara kami. Akhir-akhir ini, Hamidah sama
sekali sudah tidak menyiapkan segala keperluanku sehari-hari. Semua ditelah dikerjakan
oleh pembantu. Sementara di pagi hari, sudah tidak ada lagi segelas air putih
dan secangkir kopi darinya untukku. Apakah ini? Yang menyebabkan dia seperti
ini? Yang pasti bukanlah kesibukannya. Namun, cinta. Ya, hanya cinta yang
mempunyai kekuatan yang membuat dirinya menjadi perempuan seperti sekarang ini.
Dulu, begitu sulitnya aku ingin dia seperti sekarang ini. Namun, setelah
bertemu Din. O, Tuhan, ternyata istriku memang mencintainya.
*
Besok; usia pernikahanku dengan Hamidah akan
genap
Perlahan-lahan kudekati dia. Kemudian kuusap
kepalanya. Tiba-tiba dia memegang kedua kakiku erat sekali, seperti memohon
kepadaku untuk melepaskannya. Membiarkannya terbang bebas.
Malam
bertambah tinggi. Dan kini, aku ingin bebas. Aku sadar bahwa untuk bebas, maka
harus membebaskan. Ya, karena aku sangat mencintainya. Aku tak layak
menginginkan dirinya seperti yang kuinginkan, jika dia sendiri menolak untuk
itu. Biarlah Hamidah menjadi dirinya sendiri. Bahkan jika dia ingin lepas
dariku. Maka, karena cintaku, aku rela melepaskannya.
*
Sebelum berangkat ke kampus pagi itu, aku
mencari istriku. Ingin menyampaikan bahwa nanti malam aku ingin mengajaknya
pergi makan malam. Merayakan ulang tahun pernikahan kami. Seorang pembantu
mengatakan kepadaku bahwa istriku ada di ruang perpustakaan. Aku pun ke
“Kau sangat memalukan. Pergi! Aku muak
melihatmu! Dan asal kautahu, kupastikan tak ada yang bisa mengangkat kembali
dirimu di mataku. Karena hanya bicaramu yang besar,” kata istriku.
Kulihat
wajah Din memerah. Dia ingin mengucapkan sesuatu. Namun, dia mengurungkannya
setelah melihat aku berdiri di belakang istriku menatapnya tajam.
“Pergi!!”
Din pun
bergegas pergi.
*
Di kampus aku masih bertanya-tanya tentang
apa yang telah terjadi antara Din dan istriku. Tiba-tiba HP-ku berdering.
Ternyata, Ratna. setelah berbasa-basi sebentar, dia kemudian mengatakan bahwa
kemarin sore dia pergi ke rumahku. Waktu itu di rumah hanya ada istriku dan
pembantu.
*
Malam hari, aku di rumah. Duduk di hadapan
meja makan yang penuh dengan hidangan. Juga kue tart dengan angka 5. Kami tidak
jadi pergi. Istriku ingin merayakan ulang tahun pernikahan kami di rumah saja.
Aku juga minta pembantu untuk meninggalkan rumah. Hanya untuk malam ini, karena
istriku mengingkan hal itu.
Sementara menunggu istriku keluar dari kamar,
aku teringat kembali pertanyaan-pertanyaan yang beredar di pikiranku. Apa yang
sebenarnya terjadi? Tentunya yang telah terjadi di antara Din, Ratna, dan
istriku. Namun kemudian, aku melupakannya. Barangkali memang lebih baik aku tak
mengetahuinya. Ya, aku tak akan bertanya tentang hal itu.
Aku sudah mempunyai kado spesial untuknya.
Dan itu tak lain adalah kebebasannya. Aku akan membiarkan dirinya terbang.
Terbang seperti merpati. Karena aku tahu, dia pasti akan kembali kepadaku
ketika dia yakin bahwa rumahnya ada di dadaku.
“Mas, ada apa?” dia mengagetkanku. O, Tuhan.
Betapa indahnya dia. (*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar