Cerpen A. Syauqi Sumbawi
Tak pernah kuduga sebelumnya aku akan mengunjungi desa
Sri Kahyangan. Aku tak punya sanak keluarga, teman, guru, pacar yang tinggal di
sana yang memberiku alasan untuk itu. Namun, kini aku sudah tinggal di desa itu
selama dua minggu. Menurut rencana, aku masih akan tinggal di sana sekitar satu
bulan setengah lagi. Dan ini adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh
panitia pelaksanaan KKN suatu kampus di mana aku kuliah.
Beberapa hari sebelum berangkat,
di depan papan pengumuman aku membayangkan bahwa dari namanya, desa yang akan
menjadi lokasi KKN-ku berada di dataran tinggi dengan pemandangan indah. Sejuk
dan permai. Dan ketika sampai di sana, aku kecewa. Ternyata kondisi yang
sebenarnya berbeda dengan apa yang kubayangkan. Memang Sri Kahyangan berada di
daerah perbukitan. Namun, kering dan panas. Ruas jalan naik turun dan masih
berbatu, sehingga banyak di antara pengendara motor, sepeda, harus berzig-zag
untuk mendapatkan medan yang tidak mendatangkan banyak guncangan. Sementara
pengendara mobil harus sabar dengan tidak menginjak pedal gasnya dalam-dalam.
Apabila angin bertiup cukup kencang, maka tak pelak debu-debu jalanan betebaran
ke sana ke mari. Dan sepanjang jalan, banyak kutemui pohon jati kering tumbuh
di kanan kiri jalan. Juga orang-orang yang duduk-duduk di depan rumah dengan
baju terbuka.
Di sana aku dan delapan orang anggota kelompok tinggal di
rumah Pak Dukuh Gowangsan. Ia bernama Waskito dan tinggal bersama istri dan
seorang anak laki-laki yang masih duduk di kelas lima SD. Bapak dan Ibu Waskito
ramah dan aku percaya mereka berdua orang baik. Barangkali begitu juga anggapan
delapan orang temanku.
****
Saat itu sekitar pukul satu siang. Aku duduk-duduk di
depan rumah bersama seorang teman. Beberapa waktu yang lalu, setelah
beramah-tamah, kami dipersilahkan memasuki kamar kami, meskipun hanya dua
kamar. Juga dipersilahkan membersihkan badan, shalat, kemudian makan siang.
Ternyata, keluarga ini telah mempersiapkan penyambutan kedatangan kami, gumamku
setelah melihat beraneka macam makanan.
“Panas ya, Wik,” kata Heru.
“Iya,” kataku. Heru mencopot kaosnya. Kulihat tubuhnya
mengkilat ditumbuhi butir-butir keringat.
Di jalanan angin bertiup cukup keras menerbangkan
debu-debu. Terik matahari nyalang. Cukup lama tak ada seorang pun lewat di jalan.
Dan sejauh edaran mataku, aku tak menemukan salah seorang warga pun yang
duduk-duduk ngisis di depan rumah.
“Kemana yang lain?” kataku.
“Tidur.”
Dalam hati aku berkata bahwa pantas saja, karena cuaca
yang panas seperti ini.
Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki seumuran kami
berdiri di depan rumah di hadapan kami. Aku tersenyum ketika bertatapan mata
dengannya. Namun aneh, ia segera membuang langkahnya ke arah sebuah bangunan
kandang ayam yang ada di sebelah kiri rumah itu. Dia pincang. Tak lama kemudian,
ia masuk ke kandang ayam tersebut. Tadi, kata Pak Waskito, di samping bertani,
banyak di antara warga yang beternak ayam petelur.
“Mau kemana?” kataku ketika Heru berdiri.
“Aku ngantuk. Semalam kurang tidur,” katanya kemudian
melangkah ke dalam.
Setelah cukup lama menunggu, dan laki-laki pincang itu
tak juga kulihat lagi, aku pun pergi ke kamar.
****
Sore itu aku dan anggota kelompok yang laki-laki
menggabung dengan para warga yang sedang main voli di sebelah kanan rumah Pak
Waskito. Sebagian besar di antara mereka adalah para pemuda. Kami berkenalan
dan bercakap-cakap dengan mereka yang menunggu giliran untuk bermain. Sesekali
tertawa oleh kejadian lucu yang terjadi di lapangan. Juga olok-olok ringan.
Tak lama kemudian, terjadi pergantian pemain. Beberapa orang warga yang menunggu giliran memasuki lapangan, termasuk tiga orang temanku. Sementara aku, temanku, dan salah seorang pemuda desa bernama Sobri masih menunggu giliran pada permainan selanjutnya sembari bercakap-cakap. Enam orang warga desa yang baru saja digantikan itu duduk bergerombol agak jauh di samping kami. Meskipun begitu, kami dan mereka sudah melempar senyum untuk menunjukkan keramahan masing-masing.
****
Malam itu kami sekelompok beramah-tamah dengan muda-mudi
Karang Taruna. Sebagian di antaranya adalah mereka yang tadi sore bermain voli.
Dalam kesempatan itu, kami juga membakar tiga ekor ayam. Menurut kabar yang
beredar, salah seorang di antara anggota Karang Taruna berulang tahun.
Sembari menunggu ayam matang, aku bersama beberapa orang
duduk melingkar di lapangan voli sembari menyanyi diiringi suara gitar. Karena
di antara kami hanya aku dan Sobri yang cukup pandai bermain gitar, tentu saja
aku dan dia yang memainkan gitar. Sementara beberapa orang lainnya memasak nasi
di dapur keluarga Pak Waskito yang terletak terbuka di belakang rumah.
Dari beberapa orang aku mendengar bahwa sebelum kami
datang, mereka sudah sering masak-masak di rumah keluarga Pak Waskito. Dan aku
tambah percaya bahwa Bapak dan Ibu Waskito adalah orang baik.
Dengan mencuri-curi kesempatan, salah seorang teman
kelompokku mengatakan padaku bahwa ia cukup gembira karena kami disambut dengan
baik di sini. Aku juga, kataku saat itu.
Tak lama kemudian, kami kembali berkumpul di dalam rumah
untuk menyantap ayam bakar. Pada saat itu, tiba-tiba aku teringat dengan
laki-laki pincang yang kulihat siang tadi. Ia tak ada bersama kami malam itu.
****
Sejak malam itu, kami cukup akrab dengan warga kampung, terutama golongan muda-mudi. Kami saling sapa jika bertemu. Namun di antara mereka, Sobri yang cukup sering bermain ke posko kami. Ya, maklumlah. Karena ia cukup pandai bergaul. Dan di antara teman kelompok, akulah yang paling akrab dengan Sobri. Kami berdua sering bernyanyi bersama diiringi permainan gitar secara bergantian. Di samping itu, ia sudah dua kali mengajakku pergi untuk melihat tontonan campur sari. Katanya, para pemuda desa yang lain pergi ke sana.
****
Malam itu, setelah memarkirkan sepeda motor, aku dan
Sobri segera mendekati panggung yang sudah ramai dengan pengunjung. Tiba-tiba
terdengar suara memanggilku. Aku mengalihkan pandangan mataku. Kulihat beberapa
orang pemuda desa duduk melingkar di antara pepohonan jati. Aku dan Sobri
segera berjalan ke arah mereka. Ah, rupanya mereka minum, kataku setelah
melihat beberapa botol minuman keras. Salah seorang di antara mereka menawariku
minum. Namun, aku mengatakan bahwa aku tidak doyan minum. Dan untunglah, mereka
mengerti.
****
Setelah nonton campursari, aku dan para pemuda kampung menjadi lebih akrab. Aku sering pergi ke pos kampling, bergabung bersama mereka. Kadang aku sendiri, kadang juga dengan Heru. Teman-temanku lainnya tak pernah mau kuajak ke sana. Entahlah, barangkali memang sebelumnya mereka jarang nongkrong.
Sementara laki-laki pincang itu tak pernah kulihat
bergabung dengan para pemuda desa lainnya. Di tempat tontonan campur sari, di
pos kampling, atau dalam permainan bola voli. Namun, aku kerap melihat dia di
sekitar rumahnya. Dan setiap kali kami bertatapan mata, dia selalu menghindar.
Entah kenapa?
Pagi itu, aku merasa aneh. Ia tersenyum menganggukkan
kepala kepadaku ketika aku menyapanya dari depan rumah, seperti yang kulakukan
kepada para pemuda desa yang hampir setiap pagi lewat di jalanan. Pergi ke
sawah. Ia kemudian berjalan menuju bangunan kandang ayam. Tiba-tiba saja aku
ingin menghampirinya.
“Wah, banyak sekali telurnya, Mas,” kataku. Ia hanya
tersenyum. Aku segera mengulurkan tanganku.
“Awik,” kataku.
“Joko,” katanya.
Aku mengamati kandang ayam itu.
“Kandang sebesar
ini, berapa ekor ayam, Mas?”
“Lima ratus.” Aku mengangguk-angguk pelan.
Tiba-tiba aku mendengar suara memanggilku. Rupanya Sobri. Aku segera pamit kepadanya, karena sudah ada janji dengan Sobri. Ya, pagi ini, aku dan Sobri akan pergi ke kostku yang sudah seminggu kutinggalkan. Sementara jarak antara lokasi KKN dengan kostku kira-kira menghabiskan waktu 45 menit dengan sepeda motor.
****
Di kost, aku terkejut mendengar cerita tentang Joko. Kata
Sobri, dulu Joko tidak pincang. Ia normal seperti kami. Suatu malam Joko
tertangkap oleh warga desa sebelah karena mencuri. Salah seorang warga yang
memergokinya dan membacok kakinya hingga memutuskan tulang yang ada di bawah
mata kaki bagian belakang. Beberapa orang datang menghajarnya. Untunglah, para
warga desa lainnya segera berdatangan menghentikan perbuatan main hakim sendiri
tersebut. Joko memang tidak meninggal. Namun, memerlukan perawatan yang cukup
serius di rumah sakit. Ia kemudian dipenjara.
Baru dua minggu Joko dipenjara ketika keluarganya
membawanya pulang dengan tebusan. Membayar jaminan. Sejak saat itu, para warga
desa tahu bahwa Joko pincang. Salah seorang warga mengatakan bahwa tulang kaki
Joko yang putus itu sengaja oleh dokter tidak disambung, tapi di tempelkan.
Alasannya, biar Joko tidak bisa mencuri lagi. Karena ternyata Joko terlibat
banyak kasus pencurian.
****
Pagi itu, aku kembali melihat Joko. Karena tak
memperdulikan latar belakang hidupnya, aku menyapanya. Akan tetapi, ia tak
merespon. Seperti dulu, ia membuang langkah menuju kandang ayam. Aku jadi
berpikir sendiri. Dan pagi itu aku mengurungkan niatku untuk menghampirinya.
****
Waktu terus berjalan. Joko masih tak menghiraukan
sapaanku. Tersenyum pun tidak. Sementara di antara para pemuda desa aku
mendengar mereka membicarakan tentang kejelekan Sobri. Benarkah Sobri seperti itu? Tiba-tiba aku
mencoba mengingat-ingat tentang Sobri. Setelah kuanalisa, memang Sobri tidak
terlalu akrab dengan para pemuda desa. Dan selama ini, aku jarang melihat Sobri
pergi bersama dengan salah seorang mereka.
****
Malam itu setelah mengadakan pengajian ibu-ibu dan
bapak-bapak aku pergi ke pos kampling seperti biasa. Aku ingin mengawasi Sobri.
Dan benar. Setiap kali Sobri berbicara, para pemuda desa berpura-pura
memperhatikannya. Mereka memang diam, tapi aku melihat perhatian mereka singgah
di tempat lain. Dan malam itu, aku menyimpulkan bahwa banyak di antara pemuda
desa yang tak menyukai Sobri.
****
Sore itu aku duduk bersama dengan Bu Waskito dan anak
laki-lakinya di depan rumah. Baru kali ini aku ngobrol-ngobrol dengan Ibu
Waskito tanpa ditemani teman-temanku. Ya, tadi saat aku pulang dari konfirmasi
proposal dana yang telah kami ajukan ke Pemerintah Daerah, aku tak menemukan
seorang pun teman kelompokku. Kata Bu Waskito, mereka pulang ke kost. Untuk
mengurus registrasi di kampus. Aku kecewa kepada mereka. Kenapa mereka tidak
bergiliran saja untuk pulang? Karena sudah terjadi, meskipun kecewa aku pun
harus menerimanya.
Dalam kesempatan ini, entah tiba-tiba saja aku ingin
bertanya tentang Joko kepada Bu Waskito.
“Bu. Dulu, Joko katanya tidak pincang ya, Bu?”
Kemudian Bu Waskito menceritakan kepadaku bahwa
kepincangan Joko disebabkan oleh kecelakaan di jalan raya. Saat itu ia pergi
dengan Sobri untuk mengunjungi teman perempuannya. Sobri ingin berkenalan
dengan perempuan itu. Karena tak sabar ingin cepat sampai, Sobri ngebut. Joko
memintanya untuk pelan-pelan saja. Namun, Sobri tak menghiraukannya. Dan
kecelakaan pun terjadi. Mereka tabrakan dengan truk. Memang Sobri hanya luka
ringan saja, namun Joko mengalami patah tulang kakinya. Sejak itu ia pincang
dan sempat mengalami tekanan berat. Ia menjadi pendiam, jarang keluar rumah,
dan perasaannya menjadi sensitif. Padahal, dia terkenal pandai main voli dan
bermain gitar.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Tiba-tiba aku teringat
saat berbicara dengannya pagi itu. Sekilas tampak ada rona tak suka di wajahnya
ketika Sobri memanggilku. [*] 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar